Pati Adalah Kunci: Perlawanan Bangsa Indonesia Dimulai Kembali

Pati Adalah Kunci: Perlawanan Bangsa Indonesia Dimulai Kembali

dok. ANTARA/Aji Styawan/tom

Gerakan rakyat atau People Power bangsa Indonesia mulai menemui titik terang untuk mengancam para penguasa yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dan Pati adalah percikan api perlawanan yang bisa menebar dan dicontoh oleh seluruh rakyat Indonesia.

Demonstrasi terpusat yang dilakukan di Pemerintahan Pusat belakangan ini hanya mengubah beberapa kebijakan kontroversial, tidak merubah cara pandang rakyat dalam memilih jalan perlawanan terhadap kebijakan yang tidak pro kepada rakyat secara keseluruhan. Perlawanan masyarakat Pati merupakan bukti nyata pengambilalihan kebijakan dari rakyat untuk rakyat. Masyarakat merangsek ke gedung DPRD, mirip reformasi 1998 untuk menggulingkan Soeharto, mertuanya Prabowo Subianto.

Kasus Pati membuka kembali mata kita bahwa reformasi yang dulu tercipta adalah hasil dari pergerakan-pergerakan yang terakumulasi dari wilayah yang menyebabkan Soeharto tumbang tanpa ampun.

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme era Soeharto dilakukan di Pusat namun terasa hingga wilayah dan daerah-daerah terpencil. Kini, desentralisasi membuat kebijakan-kebijakan daerah lebih leluasa dan mampu memiliki hak kuasa atau hak atas otomomi daerah mereka masing-masing.

Kita pasti sepakat bahwa protes besar atau People Power yang mampu menumbangkan sebuah rezim bukan disebabkan oleh satu kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat, tapi ketidakmapuan pemerintah dalam mengelola dan mensejahterakan rakyatnya.

Revolusi Perancis juga tidak tiba-tiba pecah. Revolusi Perancis pecah karena krisis ekonomi, pemerintahan yang tidak pro rakyat dan pengabaian hak asasi manusia. Bahkan, salah satu percikan yang menyebabkan Revolusi Perancis adalah kenaikan pajak yang tidak pro terhadap rakyat. Kesenjangan sosial, gap antara pemerintah dan rakyat terpisah dinding yang tinggi. Para pejabat menaikkan dan menikmati pajak untuk poya-poya, sementara rakyat bersusah payah untuk bertahan hidup.

Namun kekuatan rakyat Perancis mampu mendobrak pintu kekuasaan, merangsek Bastille, dan memenggal kepala Louis XVI di atas Guillotine di Place de la Révolution.

Revolusi Dimulai dari mana?

Api perlawanan rakyat Pati jangan sampai padam diterpa isu lain. Jangan sampai rakyat disibukan oleh kasus para influencer yang tidak sama sekali mencerdaskan bangsa. Kita harus fokus pada perubahan-perubahan struktur sosial, politik, ekonomi, hingga budaya yang signifikan.

Media sosial merupakan wadah perlawanan pertama yang mesti kita awasi dan kita ramaikan bersama-sama. Media sosial adalah tempat bebas berekspresi yang tidak sedikit mempengaruhi cara pandang dan pola berpikir masyarakat. Jika Media Sosial didominasi oleh Buzzer dan propaganda-propaganda yang mempengaruhi daya rekat perlawanan, maka kita sudah kalah 1-0.

Kita harus terus memantau dan share literasi dan postingan yang membuat follower kita membaca dan berpikir untuk tetap mempertahankan perlawanan-perlawanan terhadap setiap kedzaliman.

Setelah media sosial, kita harus merawat kesadaran orang-orang terdekat kita dengan memberikan pemahaman-pemahaman isu terkini soal bagaimana kawan-kawan di Pati melawan kedzaliman. Bagaimana kondisi Indonesia dan daerah mereka saat ini, sehingga mereka memiliki rasa sayang terhadap daerah-wilayahnya, dan bahkan Indonesia.

Tak hanya itu, ruang-ruang diskusi untuk mengumpulkan orang banyak juga sangat diperlukan untuk melakukan sebuah loncatan signifikan dalam merubah tatanan sosial-politik, menghilangkan feodalisme. Ruang-ruang diskusi telah beberapa kali berhasil meraih revolusi yang totalitas di beberapa negara, termasuk Perancis dan Inggris.

Revolusi Inggris dan Perancis juga dimulai dari kumpulan orang dalam ruang diskusi, di kedai kopi, warung klontong dan tempat-tempat sederhana lainnya. Kedai kopi Le Procope, Café de Foy, dan Café de la Régence menjadi saksi sejarah terjadinya revolusi Perancis. Di sana, ide-ide perlawanan dan penumbangan rezim muncul dan dikumpulkan.

Bahkan, Raja Charles II dari Inggris mengeluarkan perintah agar rakyatnya tidak terlalu banyak berkumpul di kedai kopi karena kekhawatiran rezim yang dia duduki bisa ditumbangkan. Benar juga, Charles II akhirnya tumbang.

Tak perlu jauh-jauh mencontoh revolusi Inggris dan Perancis, rakyat Indonesia juga pernah digembosi saat persiapan-persiapan, pembuatan tak-tik, dan pengumpulan ide untuk menumbangkan rezim Soeharto saat berkumpul di tempat-tempat diskusi.

Lantas, bagaimana kita harus mulai ruang-ruang itu? Pertama, kita harus mulai dari kesadaran diri sendiri bahwa tidak ada yang lebih kuat dan tidak ada yang lebih berpengaruh daripada kekuatan yang diakumulasi. Artinya, ruang-ruang diskusi harus dimulai dari Nol, agar apa yang didiskusikan merupakan kesepakatan bersama sehingga dijalankan bersama-sama untuk keuntungan bersama.

Kemudian, kita harus mulai menghilangkan jabatan non-akademik pada setiap diskusi. Pemantik diskusi harus diisi oleh orang-orang yang berlatar belakang akademik yang jelas, bukan politisi yang menjadi pejabat hasil pemilihan curang dan mahal. Kita sering melakukan kesalahan bahwa setiap diskusi harus ada pejabat setempat, baik Bupati-Walikota hingga para Menteri. Padahal, kita membicarakan perubahan yang mendasar yang mereka tidak ingin perubahan itu terjadi.

Saudara-saudari, Sebangsa dan Setanah-air, mari kita mulai kembali ruang-ruang dialektika yang lama hilang itu untuk mengubah tatanan-tatanan kehidupan masyarakat, praktik politik yang baik, dan mengubah segala kejahatan-kejahatan terorganisir lainnya. Inilah saatnya!