Setelah membahas empat sub-bab dari Geografis, Administratif, Sumber Daya Manusia, serta Ekonomi & Budaya pada pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat, sampailah kita pada sebuah renungan bersama. Kata renungan di sini kami maksudkan sebagai keluasan dari hasil mengolah daya pikir, meramu olahan perasaan, memadukannya dalam perumusan-kesimpulan sementara yang dinamis—yang pada akhirnya akan sampai pula pada pemaknaan masing-masing pembaca, masing-masing kelompok, maupun masing-masing dari diri kami sendiri. Ini semua sebagai prosesi atas output-input segala bahan pembelajaran bersama yang sudah ditempuh masing-masing untuk sampai pada jalan bercabang dialektika: suatu penempuhan jalan yang—jika meminjam konsep pemikiran Hegel maupun Tan Malaka serta memperluasnya—maka seperti penempuhan jalan atas duduk-perkara (kebaikan maupun keburukan) di dalam kehidupan ini sering dan harus terjadi melalui pertentangan-perumusan dan perluasan sudut, gerak, jarak jangkauan pandangan kita tentang segala hal untuk mencapai suatu (kesepakatan) kebenaran yang berlandaskan atas rentetan kajian mitos dan logos. Dengan begitu, persoalan pemekaran suatu wilayah, dalam hal ini tentu diperuntukkan pada DOB Kabupaten Bogor Barat, mesti ditelusuri dan dilanjutkan lebih jauh melalui rentetan kajian yang terus-semakin mendalam, memunculkan kembali dialektika baru, perenungan baru—yang lalu terus berkelindan untuk mencapai kesepakatan serta keinginan yang mengarah pada kesejahteraan bersama, juga kebutuhan bersama.
Oleh sebab itu, perlu kami tegaskan di sini: edisi Mengintip Bogor Barat ini bukan suatu capaian kebenaran, bukan pula suatu pegangan ajek jika hendak menelusuri persoalan pemekaran suatu wilayah secara umum maupun secara khusus wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat. Edisi ini justru hanya merupakan gerbang pembuka agar terciptanya perenungan sekaligus dialektika bersama atas persoalan tersebut. Halimun Salaka bukan suatu kelompok (media) yang menolak mentah atas persoalan pemekaran, bukan suatu kelompok yang mendukung penuh persoalan pemekaran ini, jika diandaikan kami masih berada di persimpangan—maka kami tentu belum sampai pada penentuan memilih jalan ke kanan, ke kiri, atau lurus terhadap pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat itu sendiri. Alasan kami sangat amat sederhana, persoalan pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat belum sampai pada dialog terbuka, simposium bersama, pengumpulan bahan kajian bersama mengenai dampak baik dan buruknya—sekaligus sosialisasi bahan kajiannya itu secara terbuka kepada seluruh masyarakat yang wilayahnya akan terpilih-masuk di pemerintahan Kabupaten Bogor Barat mendatang.
Kami sebagai sekumpulan orang yang ikut gelisah dalam rangka isu pemekaran wilayah barat Kabupaten Bogor menjadi DOB Kabupaten Bogor Barat—hanya ingin menyumbang saran, pemikiran, ide, dan sudut pandang terkait isu tersebut. Tak ada niat “caper” atau apalagi menentang bagaimana usaha-usaha otonomisasi suatu daerah yang ingin mandiri sesuai amanat undang-undang. Justru, jika melihat bagaimana mana data diolah, pemikiran diberdayakan, dan perasaan dilibatkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, siapa pun bisa melihat effort usaha memberikan informasi dari hasil olahan seadanya. Empat bahasan yang disuguhkan adalah sebuah pandangan terhadap kenyataan yang dimanifestasi dalam data dan kenyataan yang ada. Analisis coba dilakukan, pendapat coba dilontarkan, dan sepenuhnya informasi yang diperoleh disebarluaskan. Tidak lain, hal ini dilakukan untuk mengingatkan sekaligus menjelaskan hal-hal yang dirasa penting untuk diberitahukan kepada khalayak terkait pemekaran ini. Pasalnya, informasi tentang pemekaran dan sekelumit alasan di dalamnya terlampau sedikit untuk bisa diakses dan didapatkan masyarakat. Padahal, propaganda positif dengan terus mengagendakan penyebarluasan informasi terkait hal ini bisa meyakinkan masyarakat terkait dirinya sendiri yang ingin mandiri dan “lepas” dari Kabupaten Bogor.
Dengan demikian, Halimun Salaka mengambil peran (yang kami bayangkan membuka pintu gerbang yang mulanya tertutup agar siapa pun bisa masuk ke dalamnya) untuk mencoba meninjau-memasarkan propaganda positif dengan membicarakan secara khusus hal-hal seputar pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat agar dikonsumsi masyarakat luas, lebih khusus lagi untuk masyarakat yang nantinya tergabung di pemerintahan Kabupaten Bogor Barat. Langkah yang kami ambil ini tentu saja bukan suatu usaha untuk melangkahi (apalagi melawan) para pemangku kebijakan pemekaran, sangat tidak demikian. Kami menyadari betul atas keterbatasan kajian yang kami jalani dalam keempat sub-bab yang jauh dari kata utuh-mendalam. Itulah sebabnya, kami sangat mengharapkan dengan keterbatasan ini dan dengan banyaknya kekurangan bahasan yang sudah kami tempuh-jalani, semoga para pemangku pemekaran dapat secepatnya membuka akses kajiannya untuk masyarakat luas, guna dapat dipelajari-dimaknai atas pentingnya pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat, bagaimana kematangannya konsep serta kajian geografis, administratif, sumber daya manusia dan sumber daya alamnya—maupun keterkaitan ekonomi, budaya, sosio-politiknya yang nantinya akan mendukung perjalanan DOB Kabupaten Bogor Barat itu sendiri.
Sedikitnya informasi terkait pemekaran Kabupaten Bogor Barat yang sudah kami tempuh ini, tentu saja perlu menjadi perhatian dan mesti dilengkapi para pemangku kebijakan pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat, ditambah perlu dibuatkan ruang kajian lanjutan yang aksesnya wajib terbuka. Pastinya dan kami rasa juga begitulah harapannya, masyarakat memerlukan informasi terbuka dari kajian-kajian yang mengarah ke persoalan pemekaran sebagai bahan bakar keyakinan, kekuatan, dan persiapan mereka ketika akhirnya lepas dari pemerintahan Kabupaten Bogor.
Seperti beberapa hari lalu tersiar kabar berita menggembirakan bahwa Bogor Barat memiliki skor Kapasda (Kapasitas Daerah) tertinggi di Jawa Barat, yakni berjumlah 409. Skor tersebut diperoleh dari hasil olahan para ahli dalam Kajian Updating Data Injabar. Tentu ini adalah angin segar untuk masyarakat umum, khususnya bagi pejuang pemekaran Bogor Barat. Pada berita di Radar Bogor dijelaskan hasil skor tersebut berasal dari penilaian aspek-aspek seperti geografis, demografis, keamanan, sosial politik, potensi ekonomi, keuangan daerah, dan jelas kemampuan penyelenggaraan pemerintahan. Aspek tersebut, sebagaimana sudah kami telusuri sumbernya itu benar-benar telah mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pada pasal 36. Melihat hal tersebut, tentunya selain menjadi titik menggembirakan, juga menjadi titik renungan kembali dengan pertanyaan, “siapkah kita menghadapi ini”?
Pertanyaan di atas tentu hanya retoris yang tak perlu dijawab hari ini, tapi harus dihadapi dan dilakukan untuk mengetahui hasilnya nanti seiring berjalannya DOB Kabupaten Bogor Barat. Atau kita bisa kembali menilik tulisan-tulisan atau artikel terkait aspek Kapasda tersebut yang beberapa telah dibahas dan diuraikan sedikit di pembahasan kami sebelumnya. Pada ulasan edisi pertama tentang geografis, yang di dalamnya membahas tentang calon ibu kota (pusat pemerintahan), hidrografi dan kerawanan bencana, jelas menguraikan secara sederhana potensi, pertimbangan, dan lain sebagainya terkait hal tersebut. Cigudeg yang konon diajukan sebagai ibu kota kabupaten, dan isu tentang pemilihan Rumpin sebagai pengganti Cigudeg, telah dibahas bagaimana potensi geografisnya. Bagaimana sentralitas menjadi urusan utama, kontur dan sumber daya, kemudian nantinya beralih pada lahan kosong milik pemerintah, dan juga menyangkut potensi bencana pada masing-masing kecamatan pilihan. Kami berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan dari hasil tulisan, riset, dan lain sebagainya untuk melihat kondisi geografis ini dari kacamata kami sendiri, dan hasilnya kami tulis-opinikan—yang kemudian bisa menjadi renungan.
Dari segi pelayanan administrasi juga telah termanifestasi hasil pencarian berupa bagaimana upaya-upaya pelayanan administrasi yang merupakan pandangan kami ketika melihat aspek kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan aspek keamanan. Penglihatan tersebut mengarah pada tiga unsur penting terkait pendidikan, kesehatan, dan tentu saja keamanan. Infrastruktur juga kemudian ada di pembahasan-pembahasan karena memang, aksesibilitas yang dimiliki daerah menjadi poin penting untuk penyelenggaraan maupun potensi geografis. Namun, usaha-usaha pembahasan yang dilakukan tentu saja selalu dari hasil kajian dan data yang diperoleh. Bagaimana bahwa DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya memiliki “pekerjaan rumah” yang banyak dan besar—dalam hal ini (karena ini jugalah yang kemudian selalu dituntut kepada pemkab Bogor maupun yang lainnya). Hasilnya, tentu saja, DOB Kabupaten Bogor Barat akan bekerja keras dengan segala potensi dan penyelenggaraan pemerintahannya nanti.
Persoalan demografis di Bogor Barat juga tak kalah seru untuk dibahas sebenarnya. Buktinya, pada bagian sumber daya manusia (masyarakat dan juga pemerintah) banyak hal yang kemudian menjadi pertanyaan dan patut dipertanyakan. Dengan pembangunan manusia yang cukup besar, Kabupaten Bogor saja masih memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan keterlibatan masyarakat pada bidang pendidikan. Angka pengangguran yang tak bisa diperoleh khusus yang berasal dari barat Kabupaten Bogor juga membuat siapapun akan berupaya melihat sekelilingnya dan bertanya-tanya. Sedangkan pembahasan pada bagian ini diarahkan untuk melihat tingkat keterserapan tenaga kerja yang cukup rendah, dan juga ketersediaan lapangan pekerjaan nantinya. Bagaimanapun, dari data yang ada, masyarakat di 14 kecamatan di DOB Kabupaten Bogor Barat memiliki keterdaftaran sebagai pencari kerja di Disnaker Kabupaten Bogor dengan angka yang rendah. Entah, apakah karena tidak banyak yang tahu dan teredukasi terkait hal ini, atau sudah tidak banyak pengangguran di barat Kabupaten Bogor ini?
Kemudian, mencakup aspek potensi ekonomi dan keuangan daerah, tentu saja juga telah dibahas pada bagian ekonomi dan budaya. Memang tidak spesifik pada bagaimana keuangan daerah, namun penglihatan kami pada potensi ekonomi di wilayah barat Kabupaten Bogor ini jelas berbeda dengan potensi dari wilayah lainnya. Meski di sini ada pertambangan emas dan non-logam, namun siapa pun tahu bahwa hal tersebut tidak menjadi pendapatan utama yang masuk kepada kas daerah, melainkan ke tingkat provinsi bahkan pusat. Alhasil, pendapatan besar dari DOB Kabupaten Bogor Barat, konon akan berasal pada pajak (bumi dan bangunan, penghasilan, ritel, dan lain-lain) yang pastinya harus ada pengembangan lain yang berasal dari non-pajak semisal pariwisata. Dengan segala potensi sejarah-budaya-alam yang sangat potensial untuk dinarasikan sebagai pariwisata tentunya akan sedikit membantu pendapatan daerah di sektor non-pajak. Bagaimanapun, dari sektor ini perputaran uang akan cukup masif mulai dari wahana, kuliner, dan UMKM yang bisa dikembangkan oleh masyarakat dengan arahan dari pemerintah.
Terakhir, sebelum pembahasan edisi Mengintip Bogor Barat ini, tentu siapa pun menginginkan pembahasan lebih detail, lebih mendalam, dan lebih terbuka agar masyarakat bisa “melek” pemekaran. Harapannya, masyarakat bisa lebih jelas meyakini bahkan mengamini usaha pemekaran ini dengan berbagai pembahasan berisi tantangan, potensi, dan langkah-langkah konkret di dalamnya—yang nanti akan dilaksanakan di kemudian hari. Kami menginginkan adanya bentuk sosialisasi terbuka, simposium, maupun akses kajian-kajian yang dilakukan yang kemudian bisa dikonsumsi oleh masyarakat umum DOB Kabupaten Bogor Barat sebagai upaya nyata bahwa pemekaran harus benar-benar didorong penuh, dengan kesadaran dan berdasarkan kebutuhan masyarakat, dan oleh masyarakat itu sendiri. Nantinya, pada bagian akhir episode pemekaran yang tengah dijalani sebagian besar masyarakat akan terlontar seruan-seruan di berbagai penjuru dari hasil propaganda positif (dengan rencana matang, terarah, sekaligus terukur) ini dengan sangat lantang: “Kami siap mekar!”. ***
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!