Ilustrasi: @Alanwari
Hari ini, bagaimana akan kita baca ungkapan “nenek moyangku seorang pelaut”, sedangkan laut hanya pesona bagi mata memandang. Hari ini, laut adalah sejarah terpenggal. Jadi kepingan pulau-pulau, sekawanan nama-nama, dan serentetan peristiwa-peristiwa di masa lampau—yang masih acak. Dan kini, syukurlah banyak orang sibuk mengurus sejarah pulaunya masing-masing. Biarkan itu menjadi ombak penalaran dan penyadaran bagi yang lainnya—yang mudah-mudahan dengan kesediaan dan kerelaannya mau meneliti pulaunya, sendiri atau bersama-sama.
Sementara saat ini, saya ingin berkisah mengenai “babang”, ialah berlayar mencari ikan di tengah lautan, selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pantang pulang sebelum dapat ikan. Ikan adalah penanda bagi orang laut. Ikan juga bisa merupakan “mata uang” mereka satu-satunya. Sebab ikan tersebut nantinya akan didaya-gunakan menjadi kebutuhan sehari-hari, dijual untuk menunjang keperluan hidup, termasuk bayar hutang, cicilan, dan semacamnya.
Babang bukan sekedar mencari ikan. Babang mengandung laku hidup tak tepermanai. Babang adalah bergulat dengan angin, tangguh tahan diuji gelombang, dan siap sedia kapanpun badai datang. Di sisi lain, babang juga lautan kerinduan sekaligus harapan bagi keluarga yang menunggu di rumah; di mana para lelaki pergi babang, sedangkan anak-istri senantiasa mendoakan keselamatannya. Suatu ketersambungan yang niscaya. Dan saya merasakan getaran energi itu.
Tentu saja babang bukan tanpa resiko. Barangkali, pergi babang sama dengan pergi ke medan perang, bedanya kalau yang satu menghasilkan kemenangan, sedang satunya lagi, menghasilkan ikan. Dan persamaannya, ialah sama-sama menghadapi kematian yang nyaris tiap saat menghantui. Alangkah kematian begitu akrab di tengah lautan, hal ini bisa terjadi karena faktor alam atau ada insiden/kecelakaan fatal dalam bekerja.
Lalu, bagaimana jika seseorang mati ketika sedang babang?
Ya, kita tahu, tak ada pekuburan di laut. Terkenang lagi saya pada kesaksian seorang kawan yang pernah mengalami babang. Pada saya ia pernah bertutur, kalau seseorang mati di tengah lautan akibat ditelan ombak pada saat ia sedang turun ke laut atau karena kecelakaan kerja (seperti berenang membetulkan jaring namun terseret arus), dan saat itu, tak ada penyelamatan apapun akibat faktor cuaca, keterampilan atau dari segi peralatannya.
Seandainya mayatnya tidak bisa ditemukan, maka dibiarkan saja. Namun, kalau mayatnya masih bisa diselamatkan, maka akan dimasukan di lemari es bersama ikan-ikan, dan itu tidak lantas dibawa pulang, masih harus mengikuti pelayaran sesuai jadwal yang ditentukan, baru kemudian mayatnya (yang dibekukan itu) sampai di darat. Itulah mungkin bagi orang laut, mati di laut itu biasa. Kematian seperti ikan kehilangan air.
Apalagi saat ini, di tengah perubahan iklim, proses mencari ikan semakin jauh ke tengah laut, lebih jauh dari biasanya. Sehingga mencari ikan menjadi susah. Tak sedikit dari mereka pun rela “menipu” dengan anggun, seperti membeli ikan di Muara Angke, lalu dibawa pulang sebagai hasil tangkapan babang.
Akan tetapi, kita yang bergantung pada laut itu, kemudian lambat-laun, tak sedikit jumlahnya, yang tingkah-lakunya ternyata merusak laut. Jadi, “nenek moyangku seorang pelaut”, bagaimana bisa saya menjawabnya? Saya sendiri tidak tahu apa-apa soal laut dan pulau. Hanya mengalami prosesi pulang babang yang sedemikian syahdu. Masih ingin terus belajar membaca arah mata angin barat daya, barat laut, tenggara, dan timur laut itu yang bagaimana?
Dan terus menekankan diri untuk senantiasa menanam mangrove yang sedemikian penting bagi lingkungan hidup. Ia yang dikemudian hari, mudah-mudahan, mampu mencegah dampak terburuk dari potensi tsunami, ia yang menahan laju arus air laut agar tidak mengalami pengikisan daratan yang signifikan. Belum lagi upaya-upaya mencegah abrasi dan erosi yang kapanpun bisa terjadi. Tapi, yang jelas, di dalam babang ada pulang, dan sesudah pulang, mau diapakan lagi laut kita hari ini? Sementara pesona terumbu karang, akan selalu menarik perhatian “perompak modern” untuk dijadikan reklamasi, Nek.
Jakarta, 4 November 2023
***
Catatan Redaksi: Melalui pembacaan dan penelusuran Pulang Babang: Laut Tak Terinjak, olahan Syahruljud Maulana, kita akan menemukan refleksi tentang perompak-modern versi daratan juga menjamur dan membikin gamang hati saudara kita di hutan adat dan pegunungan lindung, sebagaimana terjadi di kawasan Halimun Salak dan Gede Pangrango: maraknya perompak tambang yang mengambil harta-karun bernama Andesit, Pasir, Tanah, Lempung, Bentonit, Falshdpar, Bijih Besi, Galena, Emas, Gas Bumi, dan sebagainya, dan seterusnya.
Dengan demikian, persoalan Nenek-moyang laut dan gunung, pada kenyataannya tengah menghadapi pelenyapan jejak sejarah kehidupannya dewasa ini. Sebagaimana uraian Syah, “sementara pesona terumbu karang, akan selalu menarik perhatian “perompak modern” untuk dijadikan reklamasi, Nek.” Dan persoalan reklamasi adalah hasil dari penggalian tanah-tanah di pegunungan, yang sangat memungkinkan reklamasi pada laut, salah-satunya disumbang oleh penggalian di Halimun Salak dan Gede Pangrango, lebih luas Bogor khususnya.***
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.