Sudah Terlanjur Terbakar, Mau Diapakan Lagi

Sudah Terlanjur Terbakar, Mau Diapakan Lagi

gambar. AI


Memandang bakar sampah dari sisi rutinitas harian. Teringat pada Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang nyaris mendapatkan nobel sastra. Pram mungkin satu-satunya pengarang Indonesia yang oleh banyak kalangan dianggap pantas menerima nobel, tetapi ia memang bukanlah satu-satunya pengarang yang dapat dianugerahi nobel itu.

Pram lebih besar dari semua penghargaan paling prestisius di dunia, sementara kita kini berada dalam suatu Negara yang tidak mengenal keindahan. Tidak mempunyai apresiasi terhadap kesenian maupun kebudayaan. Dilihat dari rekam jejak sejarah, pemerintah pernah membakar ratusan buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi Indonesia.

Dulu, buku-bukunya Pram dilarang dibaca, sekarang beralih menjadi bakar sampah dilarang, kecuali kalau ente bakar buku Najwa Shihab, mungkin boleh aje. Tapi ingatlah, yang bisa kita musnahkan hanya fisiknya, tapi tidak dengan pikiran-pikirannya. Bahkan, sebelum kita lebih gemar membakar daripada membaca buku, Pram telah terbakar dalam berbagai kebijakan yang hendak memusnahkan dan menghancurkan kehidupan wong cilik.

Pram telah menerima lebih sering dihancurkan. Perpustakaannya dibakar. Buku-bukunya dilalap api. Dokumennya dimusnahkan. Ia terbakar amarah sendirian. Dan menjelang akhir hayatnya, kegiatan membakar sampah adalah hal yang ia menikmatinya sebagai bentuk protes, karena dari situ pulalah, ia dapat kembali berkata, “lihat, aku bisa hancurkan kau!

Sekarang di mana keberadaan Negara, atau lebih tepatnya lembaga kementerian lingkungan hidup dan kehutanan itu, ketika hutan dibakar hidup-hidup. Ketika polusi udara lebih banyak disebabkan oleh karena kegiatan pertambangan kapitilistik dan industri agen perusakan alam.

Ketika perusahaan sebagai pelaku kejahatan lingkungan hidup yang legal itu, dibiarkan semau-maunya plus sebebas-bebasnya boleh menggunduli hutan, menebang pohon, mencemari sungai, merusak terumbu karang, mengotori air laut, menjual pasir laut, dan merampas hak hidup masyarakat adatnya.

Apa ini semua diperbolehkan hanya karena soal perizinan?

Karena jika memiliki izin, itu berarti tak mungkin terjadi pelanggaran undang-undang. Secara perizinan, perusahaan perusak lingkungan itu seakan-akan tidak salah, tapi fakta di lapangannya terjadi pembakaran hutan dan pencemaran sungai. Jadi, secara hukum fasilitas Negara, terimalah bahwa kita memang selalu dikalahkan, dan tak bisa menang, biarpun hanya sekali. Cuma sekali, lho!

Dan untuk kita kalau mau membakar sampah, maka perlu izin secara legal agar tidak dipidanakan. Karena seandainya pun saya mengelola limbah tapi tanpa izin, pastilah akan dikenakan pasal sekian, pidana penjara, hingga pemalakan-pemalakan yang berdalih denda. Menjadi jelaslah bahwa kita, rakyat kecil yang tak punya izin sama sekali, tidak boleh mengelola serta mendayagunakan keragaman lingkungan hidup maupun kehutanan.

Tampaknya, kita adalah tersangka karena berusaha menyelamatkan alam, sedangkan para perampok alam itu, adalah korban yang berkedok memanfaatkan hasil kekayaan alam dengan segala keanekaragaman hayatinya. Dan untuk para forester maupun rimbawan, sekarang sudah bukan waktunya lagi pelestarian alam, melainkan inilah saatnya kita melakukan deforestasi besar-besaran demi membayar hutang Negara yang tak kunjung terlunaskan.

Kalau hukum pidana lingkungan hidup dan kehutanan saja bisa dilemahkan oleh para pelaku perusakan alam, lalu ditajamkan kepada kita agar tidak membakar sampah demi mengurangi polusi udara. Sedangkan atas nama kepentingan hukum dan pelestarian lingkungan hidup, segala pidana yang seharusnya dipenjarakan itu ternyata bisa dikonversi menjadi pidana denda. Asal ada duit untuk memenjarakan hukum itu sendiri, maka perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dianggap sah-sah saja.

Lantas, akan ke manakah kepercayaan atas hidup ini kita arahkan? Akankah lebih baik kalau kita pasrahkan dan berserah diri setotal-totalnya pada kekuasaan alam dan keajaiban Allah; bahwa yang berlaku baik akan menerima kebaikannya, dan yang berlaku buruk akan menghadapi keburukannya, itu pastikan, Ya Allah?

Saat datang malam sering saya memimpikan betapa bersahajanya hidup apabila ada seorang pemimpin yang penyair, sastrawan, maupun budayawan. Alangkah bahagianya rakyat bila ada satu “sosok” saja yang ia sungguh-sungguh mampu mengayomi, melembutkan, dan menentramkan hati rakyatnya. Biarpun kita masih harus membayar hutang. Esok pagi kembali bekerja. Tetapi, sayangnya, sistem politik kita masih dijalankan oleh oligarki, yang tak pernah mau mewakili kita, lantaran yang bukan dari keluarga, tidak boleh ambil bagian.

Setidaknya pembayangan itu bisa kita dayagunakan untuk keseimbangan nurani dan pemikiran yang wajar terhadap hidup ini. Meskipun memang kita sudah terlalu lama sekali tidak berpapasan dengan tipe manusia semacam itu. Di jalanan kita lebih sering bertemu dengan para penyintas mental, orang-orang yang lebih banyak menyumbangkan kegetiran dan kepahitan hidup. Sedemikian rupa sehingga puisi-puisi dan lagu-lagu yang mengungkapkan sebelum lelap masih menjadi semacam obat pereda sakit. Pada lelah yang berharga. Pada derita yang bernilai.

2 November 2024