Kota Hujan dan Puisi Lainnya

Dok. halimunsalaka di Galeri Bumiparawira


Kota Hujan

*

aku pergi ke hutan, timbul kenangan:

kabut turun membawa hujan

perlahan-lahan membasahi pohonan

dengan rasa gembira aku tengadah

menghadap langit, kubuka mulut

agar air hujan menyirami isi lambungku:

berharap menumbuhkan bunga-bunga,

seperti danau di Taman Kota

*

lalu aku terus menjelajah hutan ke hutan

memasuki belantara lamunan, berkembang

ketegangan: siapa itu yang diselimuti bayangan

di balik rerimbun pepohonan?

*

: akulah Resi, akulah Ratu, akulah Rama

yang menjaga harta karun di Kota Hujan-

di bawah pohon enau ini…

*

dengan rasa gundah-gulana aku terbayang wajah

Nenek dan Kakek, nyanyian tembang kenangannya

itu membawaku terlempar jauh ke masa kecil, ketika

setiap petang minta didongengkan Kota impian.

*

Di Pemakaman Dredet

*

Dengan mengolah ketegangan hidup ini

kuburkan Bogor dalam pangkuanku

jika tak ada yang mau menampungnya

jika tak ada yang mau mengantarkan

kepulangannya

*

Sebab ragaku tanah dari bukit Halimun

dengan anak sungai yang sabar menuntun

cerita ke samudera lautan: perjalanan cinta

yang terekam angin dan hujan, menguap segala kenangan

—mencatat air mata kematian

*

Kau tak usah risau! Aku terima semua yang luput dari bahasa

Aku terima segala yang datang menagih makna

*

Di pemakaman Dredet ini, aku akan menerima semua

yang memburu luka atas nama Kotaku.

*

Kesaksian Bujangga Manik

: Serpihan Jejak Perjalanan Sajak

*

Maafkan aku, anak-cucuku. Pada tahun 1450-an itu

Aku hanya menulis kerangka rahasia kehidupanku

di daun nipah yang gugur tepat di pinggir pohon

sejarah, yang akarnya menumbuhkan kebudayaan:

itulah tempat yang dijadikanmu rumah hari ini,

tempat berteduh dari amukan angin zaman.

*

Dan inilah saatnya, membuka kembali

batu lawang: sudah 623 tahun aku

menikam beban perjalanan cerita,

tanpa membeberkan maknanya.

Inilah saatnya, melepas nama

Prabu Jaya Pakuan, meninggalkan

kemegahan peradaban nenek-moyang.

Inilah saatnya, sebagai Ameng Layaran,

sebagai Bujangga Manik, aku menghadirkan

kesaksian rahasia pengembaraan panjang.

*

Akhirnya semua lenyap. Raja-raja di Pulau Jawa

dan di seluruh Nusantara beserta Kerajaannya:

tak ada Kutai-kuna, tak ada Tarumanagara,

tak ada Sriwijaya, tak ada Sunda-Galuh, Kalingga,

Kanjuruhan, Mataram Kuno, Singhasari, Majapahit,

dan seterusnya, dan sebagainya, semua sudah tak ada.

*

Sesuai perkiraanku dalam perjalanan masa lalu

Aku juga membayangkan republik sebagaimana Tantular

dalam Sutasomanya. Sebab aku, seorang pertapa lampau,

yang kini hidup dalam huruf-aksaramu, kata-katamu, dan juga

bahasamu. Sebagai pertapa, dunia tak menarik bagiku,

selain hening-sembahyang, selain jejak-jejak sajak

kerinduanku kepada Tuhan.

*

Tebaklah! Di mana tapaku terbaring, jasadku terkubur,

dan jiwaku terbang? Semua terperangkap jebakanku!

Bukan di Kawah Putih Gunung Patuha, bukan di Gede-Pangrango

atau Telaga Warna, bukan pula di lereng Gunung Padang.

Tapaku terbaring, jasadku terkubur, dan jiwaku terbang

di Gunung Salak, di puncak Manik tanah Pakuan

yang sunyi: lambang dunia tengah di balik hidupku ini.

*

Di perjalanan masa lalu telah kulalui dengan menyusuri

ilmu bahasa terasa dalam bertutur, bertapa terasa

dalam berkelana, duduk terasa dalam keteguhan, dan

kenyataan terasa dalam kesaksian: itulah cara menempuh

masa depan, itulah cara membongkar rahasia pengembaraanku

di masa sekarang, wahai, anak-cucuku.

*

Ingat! Jangan memakai semiotika si Ferdinand de Saussure,

sebab cara itu tak akan mampu menyusuri jalan hidupku.

Pelajarilah ilmu panca-curiga dan panca-niti: ingat ini baik-baik!

dengan cara itulah aku bisa membiarkan diriku membeberkan

segala rahasia lengkap rentetan perjalanan kisahku padamu.

*

Aku melihat Cipakancilan, hunianku di masa silam:

tanah Pakuan, tempat segala kenangan berlarian

dalam kotak ingatan. Kamu pasti akan bertanya,

bagaimana Pakuan Pajajaran, nama lain dari

Keraton-berjajar itu hilang dalam pandangan?

Jawabannya ialah pesan dari ibuku!

*

Ia selalu berpesan: jika perjalanan tak pernah kau genggam

dan membuat hari-haru bertambah bosan

singgahlah, nak, pada rumah yang lama merindukan.

*

Anak-cucuku, rumah itu tak lain

adalah dirimu sendiri. Dirimu lahir

dari cerita nenek-moyangmu

yang kelam, kadang cemerlang, itulah jalan

panjang agar kamu menempuh makna di antara

bias senjakala, sehabis hujan reda.

#berantai dan #bersambung…