Alih-Alih Bahaya Laten, Rimpang Justru Lumbung Laten

Alih-Alih Bahaya Laten, Rimpang Justru Lumbung Laten

The power behind the scare-crow (1903) – John Samuel Pughe

Beberapa hari terakhir, sebuah tulisan yang menyebut gerakan rimpang sebagai bahaya laten ramai dibahas. Dibilang gerakan ini terlalu cair. Terlalu spontan. Terlalu tanpa bentuk. Sehingga rawan disusupi dan malah melanggengkan status quo. Seolah-olah, kalau sebuah gerakan tidak punya struktur. Tidak punya garis ideologi. Tidak punya pemimpin. Maka gerakan itu sia-sia bahkan berbahaya.

Tapi benarkah semua yang tidak bisa kita beri bentuk harus kita curigai?  Apakah yang tak bisa kita pimpin otomatis harus kita kebiri?

Kami tak hendak membela gerakan rimpang. Karena sejatinya, rimpang tak butuh dibela. Ia tumbuh karena ada kebutuhan. Ia menjalar karena ada ruang. Ia hadir karena struktur formal tak lagi cukup merespons kenyataan. Dan di saat organisasi rapi sibuk menyusun strategi, banyak orang memilih jalan langsung. Dengan saling bantu. Saling jaga. Saling bersuara dan menyahut bersama. Dan di banyak tempat—termasuk di sini, di Bogor—apa yang mereka sebut rizoma itu nyatanya hidup. Bukan sebagai konsep. Tapi sebagai cara hidup.

Pelanpelan, biar nggak salah mengartikan

Dalam teori Deleuze dan Guattari, rimpang (rhizome) adalah bentuk kehidupan yang tumbuh menyebar secara horizontal, bukan vertikal. Tak ada batang utama. Tak ada pusat. Setiap simpul bisa menjadi awal. Setiap ujung bisa menjadi cabang. Dan rimpang bukan hanya cara tumbuh tumbuhan, tapi juga metafora bagaimana pengetahuan, perlawanan, dan kehidupan bisa menjalar di luar struktur-struktur resmi pencatatan.

Dan di tengah situasi sosial politik yang semakin represif, formalistik, dan penuh kecurigaan, tak heran jika banyak gerakan hari ini lebih memilih cara kerja rimpang. Mengapa? Karena cara kerja rizoma itu lebih lentur. Lebih tangguh. Lebih cepat merespons. Dan lebih aman dari kooptasi.

Gerakan rimpang tidak mencari kekuasaan. Ia menciptakan ruang. Bukan mesin perebut tampuk. Tapi mesin perawatan. Dan cara kerja itu—yang lentur, tak hirarkis, dan berbasis kedekatan—nyatanya tak tinggal di teori. Ia sudah menjelma jadi praktik sehari-hari. Menjalar ke banyak penjuru. Dan beberapa tahun terakhir, di Bogor sendiri, ini terbukti dengan menjamurnya begitu banyak kolektif, afinitas, komunitas, jaringan longgar yang tak terdaftar secara resmi, tapi bekerja terus-menerus.

Ada yang bergerak di isu pangan, seni, keperempuanan, logistik, perkotaan, pengetahuan, sampai perawatan kesehatan mental. Masing-masing punya cara kerja sendiri. Saling berbeda, tapi perlahan saling bersentuhan. Jaringan ini tumbuh dari kebiasaan temu dan saling bantu. Tak ada pusat. Tak ada panitia. Tapi semua tahu siapa harus dihubungi saat kawan ditangkap. Siapa bisa bantu saat butuh tenda. Siapa bisa turun bantu masak. Siapa bisa kirim poster dan tau siapa yang menyediakan rumah aman.

Dan diam-diam, jaringan ini menguat. Menjalar. Seperti akar rimpang. Dan sekarang, kita menyebutnya: Bogor Calling.

Bogor Calling tumbuh dari saling tahu. Tak ada nama besar. Tak ada garis kepemimpinan. Apalagi kepeloporan. Ia hanya rangkaian simpul yang tahu kapan harus bergerak. Ke mana harus mengulurkan tangan. Yang satu masak. Yang lain jaga alat. Yang satu diam. Yang lain ngurus tempat. Semuanya terhubung. Memiliki kesadaran. Tanpa harus disusun atau diperintahkan.

Dan dari jaringan yang senyap inilah, kehidupan tetap berjalan

Jadi saat ada yang menyebut ini bahaya laten, kami hanya bisa tersenyum dan berkata: lah apa dah…. Sebab seperti Zen Rs bilang, di saat struktur resmi—entah NGO, partai buruh, partai kiminis-lininis, you name it—bawa pengetahuan bawaan yang sering nggak nyambung sama kenyataan. Sama korban. Rimpang menawarkan alternatif yang lebih relevan. Lebih relate. Lebih setara. Lebih pada keputusan bersama.

So, alih-alih bahaya laten, gerakan ini justru lumbung laten. Lumbung yang menyimpan kekuatan pelan-pelan. Lumbung yang berisi kepercayaan. Kerja sama. Keintiman. Lumbung yang minjem ucapan Zen RS, bisa melampaui spontanitas dengan konsolidasi horizontal, meski tanpa badan hukum formal.

Pertanyaan, lalu kenapa ia relevan? Karena hari ini kita hidup dalam tumpukan kekecewaan. Struktur formal, partai, lembaga, bahkan organisasi gerakan, sering kali gagal menjawab kegelisahan paling dasar: soal makan. Soal ruang. Soal aman. Dan saat semua itu tak terjawab, orang mencari cara lain. Bukan untuk lari, tapi untuk bertahan.

Dan seharusnya, struktur-struktur lama yang kini ditinggalkan, tidak buru-buru menyalahkan. Tapi duduk sejenak, reflektif, dan bertanya: mengapa orang-orang mulai memilih jalan lain?

Mungkin bukan karena mereka tak paham ideologi. Tapi karena mereka sudah lelah dipimpin oleh ideologi yang tak bisa disentuh dan terlalu jauh dari keseharian, dari kehidupan sehari-hari. Karena sekarang barangkali, banyak orang sudah tidak butuh penguasa baru. Banyak orang, termasuk kami, butuh cara hidup yang bisa ditumbuhkan siapa saja, kapan saja, tanpa harus menunggu komando dari si yang paling ngerasa tahu.

Dan itu yang sedang kami jalani sekarang. Diam-diam. Dan bismillah ini jalan yang jauh lebih menjawab kenyataan.

Jadi kalau nanti kamu melihat seseorang tanam sayur di tanah kosong, jangan tanya siapa ketuanya. Kalau kamu lihat kolektif seni masak logistik buat demo, jangan tanya apa organisasinya. Kalau kamu lihat panggung dibangun tanpa sponsor, jangan tanya siapa penanggung jawabnya. Cukup tahu bahwa semuanya saling terhubung-berkelindan barudakan.

Sebab mereka sedang merawat lumbung. Yang mungkin satu hari nanti, akan menyelamatkan kita semua dari kelaparan yang lebih besar. Dari kelaparan akan kepercayaan, kehangatan, dan kebebasan.

Jadi sekali lagi, jadi alih-alih bahaya laten, rimpang justru lumbung laten. Dan siapa tahu, kamu juga sedang tumbuh jadi bagiannya. Barangkali. Siapa tau.