The Fall of the Rebel Angels 1562
Coba jawab pertanyaan ini dengan jujur:
Kapan terakhir kali kamu benar benar merasa didengar? Bukan sekadar dibalas chat. Tapi didengar. Dipahami. Direngkuh.
Kami tidak bicara tentang negara. Kami sadar ia tuli dan tebal muka. Kami juga tidak bicara tentang birokrat budaya. Mereka cuma sibuk bikin agenda, mengisi laporan, lalu bilang “ini kami ada”—padahal kami tahu, mereka hanya bayangan hampa. Ada tanpa jiwa. Hadir tanpa makna.
Mereka tidak pernah berdiri di tengah keresahan kami. Tidak pernah berdiri di antara pecahan mimpi yang kami simpan rapuh di dada.
Kami bicara tentang hidup kami. Tentang keresahan yang tumbuh liar di kepala setiap hari. Tentang kegelisahan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan repost story atau membuat thread di sosial media. Tentang luka yang tidak bisa disembuhkan oleh kopi dan spik basa-basi. Tentang hasrat yang tidak pernah punya tempat mendarat.
Dan di tengah semua itu, kami menemukan satu hal yang tak pernah mengkhianati: kesenian. Dan betapa kita membutuhkannya seperti kita butuh udara—bukan karena ia megah atau memukau, tapi karena ia memberi ruang bernapas.
Kesenian bukan soal panggung dan sorotan. Bukan tentang siapa tampil dan siapa mendapat perhatian. Kesenian adalah tempat kita meletakkan yang tak bisa kita ucapkan. Tempat kita menyelamatkan yang retak-retak di dalam diri. Tempat kita menemukan cara untuk tidak jadi gila di tengah kota yang kian mekanik.
Jadi ketika kami mendengar bahwa Kamuning Gading akan direvitalisasi dengan anggaran sembilan miliar lebih, kami tak langsung bersorak. Kami bertanya— bukan soal desain atapnya, bukan soal bentuk fasadnya, bukan soal arsitektur yang akan ditampilkan di selebaran media massa—tapi soal siapa yang akan diberi ruang di dalamnya. Soal apa yang akan lahir dari sana. Soal apakah kami, penonton, masih bisa menemukan kehidupan di sana.
Sebab, kami bukan sekadar penonton. Kami adalah warga kota yang gelisah. Yang resah tiap hari disuapi iklan. Disuruh diam. Dan didisiplinkan di barak kemiliteran.
Kami resah melihat anak-anak muda kehilangan bahasa untuk marah selain lewat kekerasan atau kesia-siaan. Kami muak melihat bakat dan keberanian dikurung dalam algoritma dan konten viral.
Kami adalah mereka yang setiap malam minggu ingin memeluk kehidupan dengan puisi yang tak laku dijual. Dengan pentas yang tak disponsori. Dengan musik yang tak masuk playlist resmi. Dengan tari yang menolak jinak. Kami datang ke ruang-ruang kesenian bukan untuk berlibur, tapi untuk bertahan hidup. Untuk mengingat bahwa kami masih manusia, belum sepenuhnya mesin.
Maka, jangan tipu kami dengan revitalisasi palsu. Revitalisasi Kamuning Gading tak akan berarti apa-apa bila hanya menjadikannya bangunan indah untuk Instagram. Sebab gedung yang cantik tidak akan menyembuhkan kota yang membusuk dari dalam.
Dan kami tak butuh gedung yang “estetik”. Kami butuh ruang hidup. Ruang yang membiarkan anak-anak muda berekspresi tanpa takut ditertawakan. Ruang yang membuat warga belajar berempati lewat teater. Menyuarakan luka lewat monolog. Mengingat sejarah lewat puisi. Dan mengolok-olok tirani lewat musik jalanan yang tak bisa diredam.
Karena kesenian bukan dekorasi kota. Ia adalah amarah yang dibentuk. Ia adalah perlawanan yang dirawat. Ia tumbuh dari luka-luka yang tak sempat disentuh negara.
Dan pernahkah kamu merasa dunia ini terlalu cepat? Terlalu sunyi? Terlalu kejam? Pernahkah kamu merasa hidupmu sedang dicekik oleh algoritma dan cicilan?
Itulah sebabnya kesenian dibutuhkan. Karena hanya di puisi kamu bisa menangis tanpa malu. Hanya di teater kamu bisa meneriakkan amarah tanpa takut. Hanya di musik kamu bisa berdansa meski hatimu koyak. Hanya di mural kamu bisa menggambar dunia lain yang kamu rindukan. Dan hanya di pertunjukan, kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian.
Di luar sana, setiap kota sibuk memproduksi beton, mal, dan kantor pajak. Tapi tak satupun memberi tempat untuk kita beristirahat dari kekerasan hidup. Tak ada ruang untuk sekadar merasa. Tidak ada panggung untuk menjadi manusia.
Maka saat ada yang bilang kesenian itu “hiburan”, kami ingin tertawa. Kesenian bukan hiburan. Kesenian adalah kebutuhan. Ia seperti makan, tidur, dan jatuh cinta. Tanpanya, kita hanya jadi mesin produksi yang menua. Dan jika pemerintah bertanya apa fungsi kesenian dalam kehidupan warga, maka lihatlah sejarah. Lihatlah bagaimana Lenin mendukung Proletkult untuk membentuk manusia baru lewat seni. Lihatlah bagaimana Ali Sadikin membangun Taman Ismail Marzuki karena tahu Jakarta butuh tempat agar rakyatnya tak sekadar konsumtif, tapi juga reflektif. Baca kembali Ajip Rosidi dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008), tentang bagaimana seniman diundang langsung untuk memilih siapa yang mewakili mereka, dan kebijakan diletakkan pada partisipasi, bukan pengaturan dari atas.
Sekarang, lihatlah Bogor. Kota ini tumbuh seperti Kebun Raya yang disemen pelan-pelan. Anak-anaknya kehilangan ruang bermain. Pemudanya kehilangan ruang menyala. Seni bisa jadi jawabannya—bukan sekadar hiburan, tapi sarana pembebasan.
Friedrich Schiller, filsuf Jerman, dalam On the Aesthetic Education of Man (2016), pernah menulis bahwa “manusia hanya benar-benar manusia saat ia bermain.” Dan yang ia maksud dengan “bermain” adalah saat manusia mencipta. Membayangkan. Merasakan. Saat ia menjelma menjadi lebih dari sekadar tubuh yang bekerja dan menua.
Di sinilah pentingnya kita menonton pertunjukan. Menyimak musik jalanan. Membaca zine. Menggambar puisi di tembok kota. Karena dengan mengapresiasi seni, kita sedang menghidupkan diri kita sendiri.
Menjadi penonton bukan posisi pasif. Menonton adalah tindakan politik. Yang berarti kita menolak untuk mati rasa. Kita menolak untuk dikendalikan oleh sistem yang cuma mengukur produktivitas dan laba.
Menonton adalah bentuk perlawanan terhadap hidup yang dikeringkan dari segala hal yang diatur oleh segelintir orang. Jadi kita harus bertanya: di mana ruang kita sebagai pengapresiator? Mengapa suara kita tak pernah diundang? Mengapa kita terus menerus disuruh menonton tanpa diajak bicara?
Kita tidak ingin gedung megah tanpa kehidupan. Kita tidak butuh “festival” kalau yang ditampilkan hanya seniman elite yang jauh dari keresahan warga. Kita ingin ruang yang hidup. Yang penuh debat. Penuh tangisan. Penuh tawa. Ruang di mana kita bisa bilang: “pertunjukan ini bikin aku merasa hidup.”
Karena kita bukan hanya warga kota. Kita adalah jiwa-jiwa yang butuh dihidupkan. Dan kesenian adalah cara kita menghidupkan satu sama lain. Dan kalau kamu masih berpikir kesenian cuma untuk seniman, maka kamu sedang membunuh dirimu sendiri secara perlahan. Karena suatu hari nanti, saat dunia ini kian sunyi dan algoritma mengambil segalanya, hanya kesenian yang akan mengingatkanmu bahwa kamu pernah menjadi manusia.***