Bogor: Hujan di Mataku

Tugu Kujang

Gambar: Dok.Halimunsalaka


1)
Aku mendatangi Sapardi malam ini,
dengan serantang masalah,
juga seteko sumpah-serapah
dalam kepalaku – senantiasa aku membutuhkannya agar tenang sudi menghampiri jantungku

Sesampai di daun pintu
aku mendengar sayup-sayup
anaknya bicara,
“Pak, bagaimana jika Negara tidak memberikan hak pada setiap warganya?”

Hahahahhaha Halah BANGSAT!

2)
Setelah menemui Sapardi
hari ini aku mulai menulis
puisiku dengan sumpah-serapah
meratapi bogor yang hujan
di kamis sore

Mungkin, sama halnya seperti kita,
pada dasarnya kesia-siaan itu
akan tetap ada
—semuram apapun ratapan
yang kita bawa

3
Ingatkah? Kita kembali diguyur hujan
di tugu kujang
sial lilin yang kubawa akhirnya
tak bisa aku nyalakan.

“Tak apa,” katamu.

Aku cukup menawan di bawah deras
air kala itu, seolah merepresentasikan
perasaan. Aku jadi sedikit lebih tenang:
hanya saja kesal masih enggan lari
dari ingatan

3)
Hujan dan bogor memang begitu akrab sampai kadang enggan berpisah
Mereka menyapa setiap orang
dengan sedu sedan, atau dengan
lambaian romansa ala film-film kekinian,
atau seperti lingkaran kita yang segini-gini
saja setiap bulan

4)
Aku menengadahkan tangan,
membiarkan butirnya jatuh dan meresap ke dalam tubuh yang sudah gemetar.

Aku ingat kembali bagaimana ibu
selalu saja mencegahku melingkar
Ia mencemaskanku yang rentan
sakit dan terbakar, sebab katanya
yang selalu ku bawa pulang adalah kesia-siaan, hanyalah isak tangis
dari hujan yang beranak-sungai
di mataku

Tapi sekali lagi bu, ampuni aku
sebab mewarisi keras kepalanya bapak,
akan senantiasa aku ulangi ini
setiap minggu:
menjemur tubuh di tengah terik
atau bermandikan hujan kota bogor
yang syahdu

lalu aku obral segala pilu pada orang-orang yang tak tahu bagaimana rasanya menanti bapak pulang adalah kesia-siaan.

5)
Aku juga ingat kembali aroma tanah
yang basah, saat pertama kalinya
aku paham bahwa bapak tidak akan lagi
pulang dengan sekantong martabak
rasa kacang, bapak tidak akan lagi
mengajakku melingkar dengan om seno
atau mas Imran, bapak tidak lagi menempel
poster-poster di jalanan, bapak tidak akan
lagi membuatkan kita puisi-puisi
yang berhasil membuat bunga-bunga
di pipimu bermekaran

Bu, aku akan tetap disini,
berdiri tegak dengan payung hitam
yang diwarisi bapak, juga poster-poster
buatan bapak akan senantiasa kami pajang,
hanya saja yang kian membuatku sesak tak karuan: aku juga harus membuat poster wajah bapak untuk serta kami rayakan.