Salvador Dali – Dance of Time 1979
Laladon – Cemplang
001
sebagai pengamen kita nyanyikan lagu Tuhan
dengan senar waktu memetik hidup para penumpang
di perjalanan di dalam fragmen volume sesak kendaraan
yang memenuhi ruas jalanan
kita syukuri kemacetan ini adalah rezeki
walau mata-mata penumpang menikam
penuh kecurigaan, kita akhirnya menyadari
bahwa jalanan, kendaraan, & Tuhan
menyatu dalam diri kita: Ia hadir
di antara komposisi kata-kata recehan
untuk makan & untuk mabuk semalaman
100
sebagai pengamen kita nyanyikan lagu Tuhan
dengan senar waktu memetik hidup para penumpang
di perjalanan di dalam fragmen volume sesak kendaraan
yang memenuhi ruas jalanan
akhirnya kita muak dengan biaya kesejahteraan
walau hidup di atas warisan tanah jajahan
kemerdekaan hanya jadi debu aspal
& kita tak sampai menggenggamnya
tak akan sampai.
Bogor, 2025
Cemplang – Pamijahan
& kita tak sampai menggenggamnya
tak akan sampai.
kita lewati jalan purba
tempat muasal desa-desa
diberi nama, namun tak meninggalkan
jejak
sajak
yang terwariskan
di ujung jalan ini adalah Desa Cibunian
hunian para Resi bersemayam
mitos dari muasal cerita Purwabakti
sebagai kasepuhan, skriptorium
yang hilang
terkubur
tanpa nisan
& yang kita temui hanya Desa Pasarean
aneka hidangan masa revolusi
Soleh Iskandar
yang berdiri atas nama
Tuhan
& iman
O, jalan menurun, jalan meninggi
segala kenangan & impian
segala kata-kata
O, curam!
Bogor, 2025
Pamijahan
segala kata-kata
O, curam!
diam-diam sajak dituliskan hujan
& kita bernaung dari badai masa silam
di rumah tanpa huma, tanpa leuit,
tanpa hawu, tanpa suluh, & tanpa pupuh
diam-diam hujan menuliskan sajak
& kita kembali menunaikan jarak:
dalam pangkuan waktu
dalam pangkuan Ibu.
Bogor, 2025