The Fall of the Rebel Angels (1562)
“BEGITU PANJANG RIWAYAT BANGSA, TETAPI HARI INI KITA BARU PANDAI MEMUJA MASA LALU.”
—Wiji Thukul
Kutipan dari Wiji Thukul itu terasa tepat menggambarkan kenyataan hari ini. Ketika sejarah hanya hadir sebagai pujaan, bukan pelajaran. Ketika ingatan kolektif dilipat-lipat dan disimpan terlalu rapat, hingga kita sendiri nyaris lupa rupa asli kota ini.
Bogor, nyatanya adalah kota dengan denyut seni yang pernah hidup dan menggeliat. Tapi hari ini, kita memanggilnya hanya sebagai potensi. Satu kata yang menyimpan ironi, karena potensi tanpa pengarsipan adalah nostalgia tanpa akar.
Penulis menemukan napas lama yang terlupakan itu di sebuah sudut dunia maya: https://seputarteater.wordpress.com/Di sana, jejak-jejak tentang geliat teater modern Bogor pada era 60 80-an yang cukup memberi kita cermin retak untuk menatap apa yang telah hilang di Bogor.
Arsip itu dirawat dan disusun ulang oleh Odi Shalahuddin, anak dari Umar Machdam– salah satu tokoh penting di balik Studi Teater Bogor, kelompok teater progresif yang didirikan pada 1966, saat Indonesia masih gamang keluar dari gelap pasca tahun 65.
Membaca arsip-arsip itu seperti menemukan danau jernih di hamparan tanah kering. Ia melepaskan dahaga penulis sebagai warga Bogor yang haus akan sejarah kesenian kotanya. Dalam tumpukan koran tua itu, terdapat dua tulisan penting, satu dari M. Ryana Veta dan satu lagi dari Deddy Roamer. Dua tokoh pelaku seni yang berbeda pandangan, namun sama-sama menggugat: apa arti pendirian Dewan Kesenian Bogor?
Dua tulisan itu bukan sekadar opini, tapi potret kegelisahan zaman. Mereka mempertanyakan urgensi lembaga kesenian yang lahir sebagai formalitas, bukan sebagai ruang hidup seni itu sendiri. Pertanyaan yang anehnya masih terasa sangat relevan hari ini, lebih dari 50 tahun kemudian.
Hari ini, Dewan Kesenian Kabupaten maupun Kota Bogor tetap ada secara administratif. Ia dilantik, punya struktur bahkan kadang punya program. Tapi apakah itu membuktikan ia hidup?
Gedung kesenian yang sempat mangkrak dan dipinjamkan untuk kepentingan yang gak seni-seni amat, menjadi simbol paradoks: bahwa seni di Bogor belum menjadi prioritas. Ruang tampil bagi seniman kerap lahir dari inisiatif komunitas—di ruang-ruang alternatif, kedai kopi, teras rumah, bukan dari dewan yang seharusnya menjadi lokomotif kesenian di Bogor.
Tak hanya itu, banyak pelaku seni muda di Bogor bahkan tidak tahu siapa ketua Dewan Kesenian mereka. Ini bukan salah mereka, tapi sinyal bahwa lembaga ini berjalan tanpa jembatan yang menghubungkan generasi.
Salah satu problem mendasar seni di Bogor adalah ketiadaan pengarsipan yang berkesinambungan. Arsip seputarteater.wordpress.com berhenti di sekitar tahun 1985-an (sila dikroscek kembali). Setelah itu, kosong. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan kelompok teater pasca Dipokersen, bagaimana pementasan di era reformasi, siapa saja aktor, sutradara, pelukis, penari, dan penulis naskah yang membentuk wajah kesenian Bogor hari ini?
Ketiadaan arsip membuat kita kehilangan identitas. Dan kehilangan identitas, pada akhirnya, memunculkan kebingungan kolektif tentang siapa kita sebagai komunitas seni. Kita terpaku pada selebrasi masa lalu, tapi gagap menciptakan narasi masa kini.***