Kemungkinan-kemungkinan (Hari Jadi Bogor) Selain Hari Jadi Pajajaran

Kemungkinan-kemungkinan (Hari Jadi Bogor) Selain Hari Jadi Pajajaran

Berbicara masa lalu, selalu ada pembicaraan tentang kemungkinan. Pada bagian ini, mari kita coba kupas kemungkinan-kemungkinan yang ada terkait peradaban dan puncak kejayaan yang akhirnya bisa saja diposisikan sama dengan Pajajaran (baca: penobatan Prabu Siliwangi dan perayaan Ibukota Pakuan Pajajaran) sebagai patokan Hari Jadi Bogor (HJB) hari ini. Secara  bersih juga jernih, bagian ini bukan akan berupaya menentang kesaksian sejarah siapa pun. Namun hanya saja, kadang, perlu ada jawaban terkait pertanyaan masyarakat yang mengetahui bahwa peradaban lain juga pernah ada dan jaya di masanya. Semisal Kerajaan Tarumanegara, Bogor memiliki lima bukti sejarah terkait peradaban ini, dan juga peradaban yang diarsip-wariskan pasca runtuhnya Kerajaan Pajajaran.

Masyarakat yang semakin kritis hari ini, tentu saja bertanya-tanya, dan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh catatan sejarah kita, selalu saja menghasilkan pertanyaan baru yang perlu terus dijawab. Jika pertanyaan-pertanyaan itu selalu tidak menemukan jawaban, dan bahkan tidak pernah ada usaha menjawabnya, maka sekali lagi kecurigaan dan ketidakpercayaan akan tumbuh subur. Barangkali, masyarakat yang selalu bertanya-tanya terkait bandingan peradaban lain di luar Pajajaran sebagai puncak jaya peradaban di Bogor masa silam, mungkin saja bisa memperkuat keyakinan terhadap HJB hari ini setelah menerima jawaban-jawaban tersebut.

Sejatinya, kita wajib percaya bahwa jawaban itu pasti ada dan sudah seharusnya selesai dibahas ketika Saleh dkk. bersama DPRD Kota dan Kabupaten Bogor tahun 1971-1973 membahas titik tolak HJB. Sebenarnya, jika semacam “notulensi” atau hasil kajian perbandingan mengapa harus memilih Pakuan Pajajaran dan tidak memilih masa-masa yang lain itu tertulis jelas dan terarsipkan berikut dipublikasikan warisannya, tidak perlu lagi kita membahas kemungkinan ini. Masalahnya, sejauh pencarian yang telah kami lakukan, tidak pernah ditemukan hasil notulensi atau kajian bandingan ini di mana pun. Kami curiga kalau-kalau tulisan hasil notulensi sidang paripurna itu lenyap, hilang, dimakan rayap. Atau, jahatnya dugaan kami, tidak pernah ada semacam notulensi itu saat pembahasan paripurna HJB kala itu. Siapa yang tahu?

Bagaimana Tarumanagara?

Tarumanagara, seperti tercatat di buku-buku pelajaran sejarah kita atau kajian-kajian yang sudah bertebaran, merupakan sebuah kerajaan yang pernah eksis di sekitaran Pulau Jawa bagian Barat. Di sana dibahas terkait bukti-bukti sejarah peradaban Tarumanagara yang sampai hari ini menjadi pengetahuan umum kita sehari-hari. Dari sekian jumlah bukti sejarah tersebut, Bogor mewarisi sekitar lima bukti peradabannya dengan bentuk prasasti-prasasti. Katakanlah bukti-bukti sejarah seperti Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Muara Cianten, Pasir Awi, Pasir Jambu, sebagai bukti peradaban Kerajaan Tarumanegara. Bukti prasasti tersebut pun rasanya cukup menjadi saksi bahwa peradaban Bogor di masa silam dekat hubungannya dengan Tarumanegara.

 Beberapa catatan sejarah sering membahas terkait bagaimana Kerajaan Tarumanagara pernah menguasai Bogor dan menjadikannya salah satu wilayah penting dalam pemerintahannya. Misal saja pada prasasti Ciaruteun terdapat ukiran sepasang telapak kaki raja mereka bernama Purnawarman. Tulisan pada batu tersebut membuktikan bahwa masyarakat sekitar yang kini daerahnya bernama Ciampea-Cibungbulang Bogor, entah pada masa itu daerahnya bernama apa, sangat mengagungkan Purnawarman. Bahkan, dari tulisan tersebut menyandingkan Purnawarman dengan Dewa Wisnu Sang Dewa Pelindung. Sebagaimana jika mengacu pada cerita “Panji Segala Raja”[1] olahan Ayatrohaedi, bahwa prasasti-prasasti (di daerah Bogor) itu dibuat pasca Purnawarman berhasil melindungi masyarakat sekitaran Bogor dari serangan-serangan perompak yang meresahkan masyarakat setempat.

Maka dari itu, tulisan yang tertera pada batu tersebut, yang beraksara Pallawa-Sansekerta menyebut Purnawarman raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia. Seperti halnya yang juga ditemukan di Prasasti Pasir Jambu, Nanggung: Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – Yang Termasyhur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh.  Prasasti Kebon Kopi yang berupa batu berukiran sepasang telapak kaki gajah dengan tulisan yang mengagungkan Airawata, gajah tunggangan Purnawarman. Bukti sejarah ini juga menunjukkan betapa di masa Purnawarman ini, masyarakat begitu mengagumi dan mengagungkan keberanian Purnawarman sebagai pemimpin Taruma dan bisa menyejahterakan masyarakat kala itu. Sampai-sampai, di prasasti ini, tersebut kata “kejayaan” Tarumanagara di tangan pemerintahan Purnawarman yang gagah-berani. 

Bukti-bukti tersebut telah cukup untuk menjelaskan peradaban Bogor yang pernah juga jaya dan mencapai titik keemasannya di luar (baca: sebelum) Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran. Walaupun belum terbukti bagaimana silsilah peradaban Tarumanagara, yang jika mengacu pada “Naskah kontroversi Wangsakerta” diinisiasi Raja Jayasinghawarman—cikal bakal dari keriuhan kerajaan bernama Salakanagara—nya Aki Tirem dan Dewawarman itu tidak sah dalam lajur sejarah, tetapi Tarumanagara pada masa Raja Purnawarman sudah sah di lajur sejarah karena jelas ditemukan peninggalan tertulis artefaknya. Bukankah diberitakan dalam prasasti masa Purnawarman itu juga sempat mencapai titik kejayaannya, dan bukankah sangat mungkin itu bisa menjadi alternatif pemilihan Hari Jadi Bogor jika merujuk pada suatu kejayaan peradaban di masa lalu. Kenapa tidak?

Bagaimana dengan Mulanya Berdirinya-Pembangunan Kerajaan Sunda?

Trarusbawa merupakan tokoh sentral dalam Kerajaan Sunda yang dikisahkan dalam naskah Carita Parahyangan (CP) dan Fragmen Carita Parahyangan (FCP) sebagai seorang raja yang memperbaiki sekaligus memindahkan lokasi keraton “Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati” dari sekitar Rancamaya ke sebuah perbukitan di hulu Cipakancilan atas saran Bujangga Sedamanah. Semenjak itu, Pakuan Pajajaran menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda di bawah Maharaja Trarusbawa. Secara singkat, teks naskah FCP[2] mengisahkan gambaran sistem pemerintahan Kerajaan Sunda yang berpusat di Sunda/Ibukota Pakuan Pajajaran. Dikisahkan juga tiga tokoh utama para penguasa Kerajaan Sunda, tiga orang pendahulu Maharaja Trarusbawa sebagai perintis berdirinya kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran, masing-masing adalah bernama Bagawat Angga Sunyia dari Windupepet, Bagawat Angga Mrewasa dari Hujung Galuh, dan Bagawat Angga Brama dari Pucung. Lalu Maharaja Trarusbawa penguasa Pakuan Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati”.

Lebih jelasnya, jika kita membaca hasil penelitian Budimansyah[3], berdasarkan hasil interpretasinya terhadap isi teks naskah Fragmen Carita Parahyangan lempir 29a-25a, ia menyimpulkan bahwa Kota Pakuan Pajajaran adalah produk urban-desain dengan tahapan proses perencanaan yang sangat matang oleh para arsitek dan ahli tata kota yang jenius. Dijelaskan bagaimana ketika saat bekas wilayah Kerajaan Tarumanagara sepakat dibagi dua oleh Prabu Trarusbawa dengan Prabu Wretikendayun, masing-masing membangun kerajaan baru yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Sebagai pendiri Kerajaan Sunda, Trarusbawa mencari lahan untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahannya. Bujangga Sedamanah lalu diutus oleh Prabu Trarusbawa untuk mencari dan menentukan lahan yang cocok untuk dibangun sebuah kota. Dalam pencarian tersebut Bujangga Sedamanah sampai di sebuah bukit yang didiami oleh Bagawat Sunda Mayajati. Kemudian Bujangga Sedamanah melaporkan keberadaan bukit tersebut kepada Prabu Trarusbawa.

Setelah prosesi itu, Prabu Trarusbawa bersama Bujangga Sedamanah menentukan bukit tersebut terpilih untuk dibangun sebuah kota, dan keputusan tersebut dipersilahkan oleh Bagawat Sunda Mayajati. Dan mulai berjalanlah pembangunan kota Sunda/Pakuan Pajajaran tersebut. Pada saat selesai pembangunannya, Trarusbawa membuat sebuah upacara pemberkatan untuk kota yang baru terbangun itu dengan pemberian namanya diserahkan kepada Bujangga Sedamanah. Bujangga Sedamanah pun akhirnya menamakannya sebagai Sri Kedatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah semuanya siap dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan, maka Prabu Trarusbawa memulai perannya sebagai raja Sunda dari tempat (Bogor) ini.

Jika HJB pada sidang paripurna DPRD 1971/1973 itu meninjau bagaimana menariknya masa Trarusbawa sebagai titik tolaknya berdasarkan gambaran kajian seperti yang dilakukan Budimansyah, bukankah masa Trarusbawa merupakan masa keemasan juga, karena selain membangun kota dan Kerajaan Sunda hasil peralihan masa Tarumanagara, Trarusbawa secara mutlak menjadi dasar peletak hunian Bogor hari ini lewat dibangunnya kota berikut keraton Sunda/Pakuan Pajajaran.

Lalu, Bagaimana Peradaban Pasca Runtuhnya Pajajaran?

Sejarah Bogor[4] mencatat, ketika “Pakuan Pajajaran runtuh” sampai ditemukannya kembali oleh ekspedisi Scipio kira-kira berlangsung satu abad. Terhitung tanggal 1 September 1687 penduduk Kedung Halang dan Parung Angsana mengantarkan Scipio menjadi peziarah pertama di puing kabuyutan Pakuan Pajajaran yang mereka duga sebagai singgasana raja. Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck juga melihat adanya sesajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Maka, sejak ditemukan dan diberitakan secara luas oleh rombongan Scipio, semua orang merasa “bertemu kembali” dengan Pakuan Pajajaran yang telah lama hilang.

Kehadiran seorang bernama Tanujiwa, orang Sunda dari Sumedang, merupakan kunci bagaimana Pakuan Pajajaran ditemukan kembali, yang bermula atas perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat kelahiran dan cikal-bakal Bogor hari ini. Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa ada di Cipinang (Jatinagara) dan di Bogor. Hunian yang terletak di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, yang kini tempat itu bernama Tanah Baru.

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan Pajajaran bersama Scipio, Tanujiwa yang sudah menetap di Cipinang akhirnya memilih pindah ke Parung Angsana. la terdorong untuk mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung yang bernama Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar, semuanya didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya (kampung-kampung itulah menjadi cikal-bakal hunian Bogor).

Kampung Baru (Parung Angsana) tempat kedudukannya sudah merupakan semacam pusat pemerintahan bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. Tanujiwa juga yang mengambil prakarsa membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kompeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapai persetujuan antara Mataram dengan VOC dalam tahun 1677.

Diberitakan bahwa Tanujiwa merupakan orang senior di antara teman-temannya sesama letnan. la pula yang mengambil prakarsa membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kompeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapai persetujuan antara Mataram dengan VOC dalam tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I dalam tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan. rakit Mataram ketika mengepung benteng Batavia.

Rasa hormat Tanujiwa terhadap bekas ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikan pada sisi utara Ciliwung. la tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Tercatat dokumen tanggal 7 November 1701, menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu (Ciliwung). Tahun 1704 Tanujiwa menuntut agar orang-orang Banten membatalkan niat mereka menduduki Parung Banteng dan Tangkil lalu menetapkan bahwa Ciluwar dan Cikeas dijadikan perbatasan. Akhirnya diputuskan bahwa batas itu sejauh 400 roeden (1 roe = 3,75 m) dari tepi Ciliwung.

Dokumen yang dikutip Saleh dalam de Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum “koloni” di sebelah selatan Cikeas. Oleh karena itu de Haan memulai daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dari tokoh Tanujiwa ini, walaupun secara resmi penggabungan “distrik-distrik” Kabupaten Kampung Baru terjadi tahun 1745. Rupa-rupanya kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni yang ia sadari sepenuhnya bahwa mereka itu orang-orang asing. Dengan memberontaknya Tanujiwa si “anak emas” Kumpeni itulah, ia mulai menjadi sekutu sekaligus pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Tahun 1745, 9 buah distrik, yaitu: Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabungkan menjadi satu “pemerintahan” di bawah Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang. Gabungan 9 distrik inilah yang dahulu disebut “Regentschap Kampung Baru” atau “Regentschap Buitenzorg”. Atas dasar itulah kedua “sungai” (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 garis gelombang. Benar juga apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah “de bakermat” (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.

Data sumber tersebut dapat menjadi gambaran bahwa, setelah masa Pakuan Pajajaran, tokoh Tanujiwa berikut masa pembangunan kembali hunian bekas Pakuan Pajajaran adalah peristiwa yang sangat dapat ditinjau peristiwanya ketika Saleh dkk. menetapkan HJB. Sebab, Tanujiwa merupakan peletak dasar hunian Bogor yang menurut hemat kami dapat menjadi pertimbangan dalam geografis kesejarahan Bogor yang juga sah dalam sumber sejarah.

Sebuah Refleksi

Sepanjang pembahasan ini tentu kita bisa menyadari bahwa berbagai peradaban lain pernah mengisi perjalanan hiruk-pikuk Bogor sebagai suatu wilayah. Misal saja, beberapa bukti peradaban Tarumanagara juga mencapai titik kejayaannya, dan membawa daerah Bogor sebagai wilayahnya. Jika bertolak pada masa kejayaan peradaban sebagai titik tolak HJB, bisa saja Bogor mengambil pada masa Tarumanagara ini. Sayangnya, catatan sejarah seperti yang tertuang pada Prasasti Tugu, jelas mengabarkan bahwa masa kejayaan Tarumanagara itu bukan berpusat hanya di Bogor. Lebih jelas lagi Tarumanagara sebagai kerajaan yang maju, memilih sekitaran Bekasi-Karawang sebagai pusat kerajaannya. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan Bogor tidak menjadikan Tarumanagara sebagai titik tolak kelahirannya. Atau sangat mungkin ada kecenderungan bahwa Saleh dkk memandang Tarumanagara lebih mengedepankan kebudayaan India, yang lalu menjadi alasan lainnya tidak dipilihnya sebagai titik tolak hari jadi Bogor.

Persoalan menyangkut dibangunnya Kota dan Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran masa Trarusbawa pasca runtuhnya Tarumanagara, kami rasa sulit untuk mencari kemungkinan mengapa masa itu tidak dipilih. Padahal jelas, masa Trarusbawa adalah masa titik pembangunan Kerajaan Sunda yang terletak di Bogor hari ini. Masa di mana telah terjadi geliat ilmu pengetahuan dalam bidang arsitektur: menata, merancang, membangun dimensi struktur, estetika, citra dan guna sebuah bangunan kota berikut ekologi huniannya—adalah mutlak potret kemajuan-kejayaan yang sangat monumental. Entah mengapa peristiwa itu tidak dipilih. Hanya merekalah yang ada di dalam sidang paripurna yang tahu jawabannya.

Kemudian, pada masa pasca runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, seorang Tanujiwa yang dipercaya peletak batu peradaban Bogor “modern” juga akhirnya tidak dipilih sebagai “kelahiran” baru Bogor. Seperti yang kita tahu juga, selalu ada patahan-patahan peradaban dalam sejarah kita. Misal saja ketika masa Tarumanagara yang jaya, pada akhirnya terkikis peradabannya, baik dari segi spiritualitas, tatanan masyarakat, sampai bentuk kebudayaannya. Akhirnya, di tangan Trarusbawa yang mengembalikan nama berikut adat istiadat Sunda dalam bentuk kerajaan pun terpatahkan peradabannya ketika Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran runtuh. Dan akhirnya, Bogor yang sempat menjadi “hutan kosong” itulah yang akhirnya dikembalikan peradabannya oleh Tanujiwa.

Peradaban baru yang dibawa Tanujiwa yang juga sempat dipengaruhi oleh masa-masa kolonial, jelas masih bertahan sampai hari ini: tak ada perang atau penghancuran yang dialami serupa masa Taruma atau Sunda. Bahkan masa Tanujiwa berikut kolonial itulah masa-masa pembangunan yang kini masih tampak terlihat wujud warisannya. Namun, peletakan peradaban baru yang dibawanya sekiranya bukan dianggap sebagai masa kejayaan atau keemasan. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan tidak dipilihnya peradaban Tanujiwa sebagai kelahiran Bogor. Sebabnya menurut kami jelas, masa paripurna Saleh dkk dan DPRD Kota dan Kabupaten Bogor itu—sangat berbau politis kebudayaan—dan seakan hasil dari lirik kanan dan kiri ke daerah lain di Indonesia yang kebanyakan mengambil masa kejayaan dan keemasan kerajaan agungnya sebagai titik tolak kelahiran Bogor ini.

Sayang seribu sayang, arsip notulensi pembahasan dan hasil perundingan sidang paripurna HJB itu tidak pernah bisa kita temukan, yang pada akhirnya menimbulkan asumsi-asumsi liar bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Sebagaimana kemungkinan-kemungkinan yang kami tempuh dalam catatan ini. Semoga saja, dengan propaganda catatan kecil ini, Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor bersama-sama mencari arsip sidang paripurna itu jika memang arsip itu hilang. Atau semoga saja berkenan dipublikasikan secara terbuka jika memang arsip itu ada dan masih disimpan-rahasiakan di lemari arsipnya. Dan lalu jika memang arsip itu akhirnya memang lenyap, hancur, dan tak bisa dicari lagi wujud keberadaannya, sudah seharusnya informasi tersebut diberitakan pula secara terbuka.


[1]  Cerita “Panji Segala Raja” menurut penuturan Ayatrohaedi sebagai penulis, diangkat dari sejarah Tarumanagara berdasarkan sumber-sumber yang ada. Terbit 1975 oleh Penerbit Pustaka Jaya

[2]  Edi S. Ekadjati: Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran: 1995

[3]  dalam jurnal berjudul Tata Ruang Kompleks Keraton Sunda; Interpretasi Terhadap Naskah Bujangga Manik & Materi Seminar Panca Prasaddha: Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati dan Kesan Bujangga Manik Juni 2025

[4]  Saleh Danasasmita: 1983