Kepenyairan itu Waktu, Puisi itu Teguh, Tuhan itu?

Kepenyairan itu Waktu, Puisi itu Teguh, Tuhan itu?

ilustrasi: bowo wijoyo


Beberapa tahun terakhir ini, melewati transisi rezim sustainable (berkelanjutan) dari Jokowi ke Prabowo, dari puisi pada umumnya hingga Tuhan pada khususnya, tidak pernah benar-benar bisa ditemukan dalam policy pemerintahan, tidak pernah sungguh-sungguh tercermin implikasi etiknya dalam jaringan kekuasaan maupun mekanisme perpolitikan. Sudah lebih dari sedasawarsa, Tuhan dan puisi merupakan dua hal yang senantiasa tersisihkan dalam pemerintahan kita, sekaligus masih terpinggirkan dalam masyarakat kita.

Tuhan dianggap sosok samar-samar, bahkan tidak ada, menurut sebagian politikus atau ternyata seluruh perilaku elit politik kita, kalau diterjemahkan mengandung ungkapan, bahwa segala laku kejahatan, ketidakadilan, kekejaman, kekejian, kelaliman, kezaliman, kemunafikan, perampokan, perampasan, perusakan, dan dengan segala kebusukan era pemerintahan yang menyusahkan rakyat, adalah halal. Buktinya aman-aman saja. Tidak ada hukuman apa-apa dari Tuhan, kecuali 6,5 tahun penjara bagi orang yang merampok duit rakyat dan menyebabkan kerugian negara sebesar 300 triliun. Hal ini mencerminkan anggapan bahwa di Negara hukum, hukuman itu dongeng belaka.

Pada pemerintahan yang masih seperti bayi, yang belum genap 100 hari ini, konsep “Manunggaling Kawula Gusti” tidak pernah muncul dalam relasi sosial dan politik. Meski dalam Pancasila nama Tuhan seringkali disebutkan, tapi Tuhan yang muncul hanya simbolisme ikoniknya. Tuhan belum bisa dihadirkan dalam pengambilan setiap keputusan maupun kebijakan. Tuhan belum mendapat kedudukan “Yang Ada” dan “Yang Seharusnya”, baik dalam tingkah laku pejabat-pejabatnya maupun kerja-kerja pemerintahannya.

Tuhan itu seperti angin, ada di mana-mana, sedangkan para pemangku kekuasaan—laiknya bayi—belum bisa merasakan kehadirannya. Tuhan masih antara tiada dan buram. Hanya dibutuhkan sewaktu-waktu apabila dapat memastikan keuntungan demi kepentingan segolongan. Tuhan masih dilantik sebagai pengurus tata kostum yang memperindah para pengobral seribu janji. Tuhan telah direkrut sebagai paspampres yang tak kasat mata, diperintah melalui jargon plus omong-kosong tertentu demi melanggengkan kekuasaan dan mewajarkan setiap kepentingan subjektif kelompoknya.

Lantas, di manakah posisi dan peran Tuhan dalam/pada pemerintahan yang baru seumur bayi yang memang belum memiliki kelengkapan dan keutuhan manusia? Tuhan belum menjadi naluri dan perasaannya. Juga Tuhan belum ada di dalam kesadarannya.

Sehingga belum bisa menemukan mana Tuhan? Mana keadilan yang merusak alam? Mana uang Negara yang dikorupsi? Mana pancasila yang katanya dasar Negara? Mana rakyat bagi kekuasaan? Mana bergizi dalam kelaparan? Mana kaya dalam kemiskinan? Mana kemanusiaan yang digusur-diusir-dirampas tanah hidupnya? Mana HAM dalam kesewenang-wenangan? Mana dari seluruh pertanyaan ini—yang mungkin masih banyak lagi, faktanya memang tidak pernah mampu diwujudkan secara nasional, karena yang mungkin dan yang harus dilakukan oleh pemimpin, presiden, atau penguasa adalah perjuangan yang mengatasnamakan bagian-bagian, golongan-golongan, dan kelompok-kelompok saja.

Kalaupun ada penghormatan, sebutlah penghargaan yang mungkin diberikan pemerintahan kepada Tuhan adalah sebentuk rasa syukur—yang tak lain tak bukan—hanya sebagai modus bersilat lidah, iming-iming agar mendapat permakluman dari seluruh rakyat dan dihindarkan dari berbagai kecurigaan. Sementara itu, Tuhan tetap bukan saja terabaikan, melainkan di satu pihak diperalat, di lain pihak tak dikenalinya.

***

Begitupun, puisi belum menjadi ikhtiar bersama untuk memelihara keindahan nilai-nilai hidup manusia. Kehadiran puisi di tengah Negara yang besar tetapi masih sangat minim apresiasi, dan kegiatan yang dikerahkan untuknya, sangatlah terbatas, atau juga bisa dibilang kurang dibanding dengan hal lain dalam kehidupan masyarakat, misalnya bidang pariwisata, bidang ilmu dan teknologi, bidang sosial-ekonomi dan sosial-politik. Para penyair pun sebagai bagian dari masyarakat ditanggap seolah kompensasi manusia gagal, yang oleh sebagian masyarakat lainnya dihadapi dengan ketidakmengertian, dibiarkan dengan kesalahpahaman, diterima dengan wajar dan atau terkadang dicurigai.

Cobalah perhatikan sajak Ragil Suwarna Pragolapati: “Adakah angka statistika: setahun berapa banyak puisi dibaca, bagaimana frekuensinya? Setahun berapa kali puisi jadi simposium-diskusi-seminar, berapa kali jadi lomba tulis dan baca, apa ada diagram biayanya, daftar penikmat dan sponsor? Ah, komputer belum memberi angka, dokumentasi tiada memberi fakta. Tapi kesan umum, puisi itu penting di forum. Mustahil disetop seminar-diskusi-simposium. Puisi terkuliahkan tiap semester. Jadi ujian akhir, skripsi dan disertasi. Ajaib, tiap periode selalu saja ada penyair lahir, dari rahim situasi-kondisi. Sebenarnya, berapakah nilai puisi, apa relevensinya bagi hidup keseharian?”

Nasib puisi seperti itu sudah sedemikian lumrah, tapi bukan semata-mata merugikan puisi, melainkan sebenarnya merugikan masyarakat sendiri secara keseluruhan. Barangkali seperti ilmu pengetahuan lainnya, puisi merupakan jalan menuju kemanusiaan yang dimuliakan dalam kewajaran masyarakat yang manusiawi. Kewajaran bahwa dalam menjalani kehidupan dan mengatasi masalah-masalahnya belumlah cukup ajeg apabila hanya dilengkapi dengan nalar logis-rasional, melainkan harus pula didukung dengan nalar imajinatif-emosional. Nalar yang terakhir ini dapat diolah-diasah melalui puisi dengan ketulusan demi kejernihan jiwa, pendalaman batin, melatih kepekaan, mengasah perasaan, dan mempertajam penghayatan. Dengan demikian, kemungkinan untuk mencapai kewajaran suatu masyarakat yang manusiawi, adalah masyarakat yang menghargai keseniannya, termasuk puisi. Begitupun sebaliknya, masyarakat yang tidak manusiawi adalah masyarakat yang enggan memelihara keindahan hidup (memberi makna), tidak punya perhatian terhadap kualitas hidup, dan yang mengesampingkan kesenian sama sekali.

Puisi, bahkan jauh sebelum kini, memang kurang dihargai dan terpinggirkan. Lagipula di tengah budaya instan yang mendominasi, di antara begitu banyak pola berpikir sepenggal-sepenggal, di sekitar pemerintahan yang hanya memedulikan bidang ekonomi dan teknologi saja, dapatlah dipahami bahwa puisi bukan saja tidak dipedulikan, melainkan dalam perkembangan-perjalanan panjang kehilangan marwahnya pula dalam masyarakat. Karena transisi rezim ini masih berkelanjutan dari ekonomisme menjadi ekonomi sentralistik demi swasembada pangan dan energi.

Kedudukan puisi yang timpang seperti itu dalam masyarakat, niscaya akan menimbulkan efek yang tidak wajar dalam apresiasi, yaitu daya memahami, menikmati, dan memaknai puisi akan pula menukik tajam ke titik nadir. Puisi tak bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain, menjadi hal yang mungkin asing dalam masyarakat. Alih-alih membina pendidikan seni untuk meningkatkan apresiasi, pemerintah justru cenderung merancukan seni sebagai hiburan semata. Sehingga di dalam ketidakmenentuan apresiasi ini, agaknya tak mengherankan apabila dunia seni menjadi lahan basah dan rentan dimasuki oleh orang-orang yang berkepentingan finansial. Seni berada di bawah arahan program dan dimanfaatkan oleh pemburu yang lebih mengutamakan nilai ekonomis ketimbang kualitas karya.

Puisi adalah apa yang esensial-substansial dalam kehidupan kita. Sedangkan, kepenyairan itu seperti dikatakan Rendra bahwa penyair dari kehidupan sehari-hari, orang yang bermula dari kata, kata yang bermula dari kehidupan, pikir dan rasa. Dengan segala pergaulan kreatif dan apresiatif, puisi dapat berarti apapun bagi kita secara pribadi, dan juga merupakan hal yang berharga bagi masyarakat secara keseluruhan.

Pergaulan hidup dengan puisi adalah kesempatan untuk merenungi kehidupan. Kesempatan bagi siapa pun yang karena kesediaan, dan kerelaan waktunya, tak jemu-jemu melatih penghayatan plus kepekaan—yang lebih meluas dan lebih mendalam—terhadap kenyataan yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat dicapainya di dalam berbagai modus kreatif kebudayaan. Membaca atau mencipta puisi berarti melakukan petualangan bahasa dengan perangkat puitika, mengerahkan segala makna, gairah menjelajahi intelektual, imajinatif dan emosional ke wilayah-wilayah pengalaman yang akrab dengan hidupnya sendiri, hingga ke hal-ihwal yang biasanya kurang diperhatikan, atau tidak terkatakan di dalam masyarakat.

Kerja penyair ialah mengungkap apa yang dilupakan atau diabaikan dari wilayah-wilayah pengalaman yang sebenarnya dekat dan layak kita jelajahi. Terus ke wilayah-wilayah kemungkinan pengalaman lain, seperti ketuhanan, kelahiran, kematian, kegelisahan, kesunyian, kesepian, kesendirian; yang mengantarkan kita sampai pada mulanya hubungan kita dengan sesama manusia, dengan alam, dengan Yang Maha Memberi Kehidupan, dan dengan apapun saja.

Sehingga proses kepenyairan, seperti dikatakan Saini KM pula, yaitu kecintaan kepada bahasa dan gairah serta kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap daya ungkap bahasa itu. Hal demikian akan tercermin dalam pemanfaatan musikalitas bahasa yang merupakan sentrum bagi daya magi dan pesona puisi.

***

Dengan penuh kegembiraan, catatan ini ditulis untuk menyertai kumpulan puisi Tuhan dan Rahasia karya Teguh Tri Fauzi. Pesan agar saya menulis epilog untuk debut perdana puisinya, bukan saja karena saya ikut serta menemani plus memperhatikan kepenyairan Teguh sejak awal, melainkan juga karena Teguh adalah salah seorang di antara penyair yang teruji. Maksudnya bukan seolah-olah Teguh telah melewati ujian waktu, tetapi dalam menjalani misi kepenyairannya akan dan, terutama dapat diuji oleh waktu. Waktu akan menguji apakah kepenyairan Teguh itu tulus? Meskipun memang ketulusan saja belum cukup, ia pun harus dilengkapi tugas seorang penyair yang menggeluti, bergumul dengan intens, serta bersukacita dalam mengemban takdirnya bahasa sebagai puisi. Dan berpuisi adalah suatu upaya yang bersungguh-sungguh menerjemahkan apa yang tak terucapkan, mengungkap rahasia yang membutuhkan pemberdayaan kata, menggerakkan fungsi estetis bahasa di dalam melakukan pengembaraan-penghayatan dan petualangan-memaknai rohani.

Seorang penyair, sebagaimana tiap pribadi, ialah yang mengalami kehidupan jasmani maupun rohani. Lalu lintas pengalaman puitiknya senantiasa ulang-alik memaknai antara dirinya sendiri dan lingkungan, baik lingkungan hidup, lingkungan manusia, lingkungan alam, dan lingkungan spiritualnya. Teguh merambahi apa-apa yang menyublim agar sampai sublim, apa-apa yang transenden agar menjangkau transendental, dan apa-apa yang kontemplatif agar membangkitkan kontemplasi. Begitulah dapat kita terima sajian pengalaman vertikal maupun horizontal Teguh dalam puisi-puisi yang diintegralkan melalui Tuhan dan Rahasia ini.

Tak bisa dipungkiri, bahwa dorongan kuat untuk berkomunikasi dengan Tuhan seru sekalian alam, dengan manusia lain, dengan banyak hal di sekililingnya itu, membuat kita merasa seperti sedang memasuki pengalaman puitik di dalam puisi-puisi Teguh. Tampaknya, ia telah bergumul dengan suntuk dalam menjejaki setiap tema yang dihadapinya, tapi bukan untuk merasa diri tunai sebagai penyair, bukan pula hasrat untuk terkenal, popularitas beserta kekenesannya, melainkan untuk memperkaya jiwa kita dengan gaya ungkap yang ditawarkan, yang karena baktinya kemudian ia akan menemukan cara yang khas dalam memandang kehidupan.

Uraian tersebut sebenarnya dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa Teguh membutuhkan puisi, begitu juga puisi membutuhkan Teguh. Buku puisi Tuhan dan Rahasia ini adalah upaya menanam di alam perpuisian, membenamkan diri dalam suasana yang damai, karena memang menikmati puisi harus penuh dengan kecintaan dan kegairahan. Juga harus dengan kewajaran yang penuh hikmah akan apa yang dapat dipetik, sebab kalau tanpa puisi, hidup alangkah kering-kerontang makna. Itulah mengapa Teguh terus mencoba mengendapkan hati dan terarah pada sesuatu yang berharga, yang berarti dari puisi yang kita perlukan sehari-hari agar hidup kita lebih manusiawi, lebih arif, lebih bijaksana.

Kebayoran-Pamulang, 12 Januari 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos