Ketika Memandang Pohon Aren: Terlintas Kebudayaan “eceuk” dan Kesejarahan “poek”

Ketika Memandang Pohon Aren: Terlintas Kebudayaan “eceuk” dan Kesejarahan “poek”

Dokumentasi Gambar Mitra-Bumi

Foto: Mitra-Bumi


: Catatan-cerita Menziarahi Bogor

Akhir-akhir ini beberapa kawan yang terhimpun dalam kelompok Mitra-Bumi — sedang melakukan penelitian-mandiri menyangkut kehidupan Pohon Aren: menilik sejarah, manfaat, pengolahan, dan kelindan-hubungan dengan biografis-geografis Bogor. Lalu terlintas dalam pikiran saya, ketika memandang pohon aren dari akar sampai ke pucuk itu, mengapa kita selalu dipertemukan dengan fenomena-peristiwa secara lisan dari masyarakat menyangkut kebudayaan yang berupa “ eceuk / katanya” dan kesejarahan yang sangat “poek / gelap” kebenaran mutlak jejak tertulis tentang Bogor?

Berhubungan dengan itu, pada suatu malam, sambil-lalu diselang-seling kopi bersama kawan-kawan Mitra-Bumi, terjadilah ngobrol-santai mengenai pohon aren, enau, atau katakanlah kawung, dengan menelisik isi Pantun Pa-cilong. Kami sepakat menerjemahkannya dalam bahasa indonesia (pantun tersebut tertera dalam buku “Sejarah Bogor” karya Saleh Danasasmita) menjadi, begini: Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota, lalu beri nama Bogor. Sebab bogor itu artinya pokok enau/aren. Pokok enau itu memang tak ada artinya, terutama bagi mereka yang tidak paham atau memahaminya. Lalu kenapa harus bernama Bogor? Sebab Bogor itu bila dibuat jadi kayu bakar tak mau menyala tapi tidak padam, lalu membara asapnya tak cukup untuk “muput” (semacam membuat api unggun besar untuk membakar sesuatu dalam jangka waktu yang cukup lama). Tapi, kalau dijadikan penyangga rumah mampu melampaui waktu, sanggup melintasi zaman (katakanlah kuat dan tahan lama). Kalau tersenggol bisa membuat koreng bagi yang menyenggolnya, dan koreng itu akan lama sembuhnya. Lalu kalau tertendang atau tersandung bisa melukai yang menendangnya, kakinya juga akan lama sembuhnya. Tapi, kalau dibuat keset? Semuanya harus tahu, besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran memberi pelajaran kepada yang tidak tahu sopan santun itu. Begitulah, olehmu diberilah nama kota tersebut, Bogor!

Dengan demikian timbul-berkembanglah pertanyaan, apakah cikal-bakal arti nama Bogor memang di-ambil dari kehidupan Pohon Aren/Kawung, atau sebenarnya kehidupan Pohon Aren/Kawung itulah yang merepresentasikan kehidupan Bogor pada masa silam, dan-lalu apakah masih relevan sampai hari ini, sebagaimana Pantun Pa-cilong urai-paparkan?

Tunggul Bogor yang Berakar Pajajaran

Tunggul Bogor

Saleh Danasasmita memaparkan tentang asal-usul nama Bogor menjadi 4 bagian pendapat: pendapat pertama, Buitenzorg. Praduga ini kentara sangat intelektual, sebab menduga-kira lidah orang Sunda itu demikian kakunya sehingga kata Buitenzorg akan diucapkannya menjadi Bogor, sebagaimana kata Batavia menjadi Betawi. Dugaan Bogor menjadi Buitenzorg itu tentu amat sangat terlalu dikira-kira ketika buah kolonialisme Belanda hinggap dan menetap di dataran Parahiyangan ini. Kedua, Baghar atau Baqar. Praduga ini dikaitkan dengan hadirnya pengaruh kebudayaan Arab bersamaan dengan cocokologi arca sapi di dalam Kebun Raya yang malahan tambah sangat tidak masuk akal. Sebabnya, ketidakmungkinan bunyi BA dari ejaan Arab disesatkan menjadi BO dalam lidah orang Sunda, dan-lalu kelemahan waktu mengenai arca sapi di Kebun Raya itu — bukankah nama Bogor sudah ada jauh sebelum Kebun Raya dibuat — sedangkan arca sapi itu baru dipindahkan dari Kota Batu ke-dalam Kebun Raya oleh Dr. Friderich sekitar pertengahan abad ke-19.

Lanjut pendapat ketiga, ialah Bokor. Praduga ini menarik perhatian: antara bokor dan bogor. Bokor dalam hal ini dikaitkan dengan bakul logam. Namun, tingkat kebenaran dan keberatan yang dapat diketengahkan dalam hal ini hanyalah kenyataan bahwa tidak ada orang Sunda yang mengartikan Bogor sama dengan Bokor, sebagaimana menyangkut pelesetan nama yang disebabkan terjadi perubahan bunyi atau menjadi perubahan makna. Dan pendapat keempat-lah diketemukan dalam pantun Bogor berjudul Ngadegna Dayeuh Pajajaran yang diturun-uraikan oleh Pa-Cilong, yang menurut hemat saya sangat relevan dengan kehidupan Bogor serta nilai filosofisnya. Dalam lakon tersebut, dikemukakan bahwa kata bogor berasal dari tunggul kawung. Keadaan yang sama, sesungguhnya dapat kita temukan di Jawa-Barat khususnya, banyak tempat yang bernama atau dinamai Bogor — menyebabkan masyarakat Bogor sendiri sulit menerima teori bahwa kata Bogor berasal dari 3 kata di atas: seperti Buitenzorg, Baghar, dan bokor.

Hal tersebut menimbulkan data-data kuat dan mendukung menyangkut Bogor berasal dari tunggul kawung, sebab tertera dalam bahasa Jawa: bogor berarti pohon enau, dan kata kerja dibogor berarti disadap. Dalam bahasa Jawa Kuno, pabogoran berarti kebun enau. Sedangkan dalam bahasa Sunda umumnya, kita meninjau ungkapan Coolsma, yang memaknai Bogor dengan “droogetapte kawoeng” (pohon enau yang telah habis disadap) atau bladerlooze en taklooze boom (pohon yang tak berdaun dan tak bercabang), tentu masih banyak sumber yang lainnya. Kendati demikian, hal tersebut sama dengan pengertian kata pugur atau pogor. Sedikit-banyaknya ini menunjukkan bahwa meski sudah tidak menghasilkan nira, pohon aren masih memiliki manfaat lain bagi kehidupan masyarakat dan tetap memiliki kekuatannya tersendiri. Lalu, sejalan dengan itu, apakah kehidupan Bogor masa lalu dan tentu sampai masa kini memiliki kaitannya dengan nilai filosofi Pohon Aren/Kawung tersebut?

Edisi ngobrol-santai malam itu selesai, katakanlah terjeda sampai di situ, dan saya bergegas pulang. Di malam berikutnya, tepat memasuki waktu di-sepertiga-malam, di dalam kamar kecil saya yang jendelanya menghadap tepat ke pemandangan Gunung Halimun Salak, ditemani tumpukan buku-buku yang lesuh, tiba-tiba saya bergurau dalam hati: apakah kelindan filosofi Aren dan Bogor itu disebabkan akar Kerajaan Pakuan Pajajaran di masa silam yang sangat dalam dan sangat kuat mengakar? Sebab proses kehidupan pohon aren/kawung dari bijinya sebelum bertunggul serta bertunas mengalami prosesi panjang, fokus menguatkan akarnya dahulu hingga menjalar dan sangat dalam berakar (berdasarkan sumber kawan-kawan Mitra-Bumi sekitar 5 bulanan berakar, baru timbul tunggul atau tunas) tidak seperti pohon-pohon lain — yang baru berakar sedikit langsung bertunggul-bertunas, membuat Bogor serupa dan sangat terikat dengan filosofi kehidupan Pohon Aren. Gurauan tersebut lalu saya padu-kaitkan dengan sedikit-cerita Pajajaran dalam putaran waktunya, tentu, catatan-cerita tersebut akan dan masih meninjau buku Sejarah Bogor karya Saleh Danasasmita, yang mana terus saya buka bolak-balik, saya bayangkan, saya selami-renungi, anehnya tanpa rasa bosan.

Yang Berakar Pajajaran

Ngomong-ngomong soal Pajajaran, pastilah tidak bisa lepas dari beberapa sumber lisan yang berupa “katanya” dan sumber tertulis yang kadang “gelap”. Namun, melalui pembacaan buku karya Saleh Danasasmita berjudul Sejarah Bogor, agaknya memungkinkan kita untuk mendobrak persoalan eceuk dan poek tersebut. Saleh Danasasmita mengurai-padukan catatan-cerita lewat akar-sumber yang menarik dan sangat dalam tentunya menyangkut cikal-bakal Bogor.

Sebelum akar Pajajaran mengakar kuat, kita akan dipertemukan dengan sederet cerita Kerajaan Galuh, Galunggung, Saunggalah, Sunda-Galuh, Kawali, dan sampai-lah kepada Kerajaan Pajajaran (yang mana jika ditelusuri secara jauh-mendalam, sebelum prosesi Kerajaan tersebut akan diawali dari cerita Kerajaan Tarumanagara, bahkan mitos Salakanagara). Zaman Pajajaran diawali oleh Sri Baduga Maharaja yang memerintah 39 tahun (1482-1521), sebagaimana dalam Prasasti Batu-Tulis diberitakan bahwa ia dinobatkan dua-kali dengan gelar Prabu Dewataprana. Dan dalam Pustaka Nagara Kretabumi dijelaskan bahwa, ketika Raja Galuh Susuktunggal dan Raja Sunda Dewa Niskala didamaikan dari perselisihan dengan syarat keduanya mengundurkan diri dari tahta kerajaannya masing-masing, Sri Baduga Maharaja menjadi penguasa Sunda-Galuh berkat tahta kerajaan Galuh dari ayahnya dan Kerajaan Sunda dari mertuanya. Dengan begitu, sebagai penguasa Sunda-Galuh ia dinobatkan dengan gelari Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Sejalan dengan hal tersebut, diceritakan pula dalam naskah Carita Ratu Pakuan, konon yang menuliskan naskah itu bernama Kai Raga dari Gunung Sikuray/Cikurai. Yang menarik dari cerita itu ialah, tergambar proses perpindahan Sri Baduga dari Kawali ke Pakuan bersama para istrinya, setelah mengahadiri penobatan Sri Baduga menjadi penguasa Galuh, dan kemudian mereka pulang ke Pakuan karena suami mereka akan menerima penyerahan tahta juga dari Kerajaan Sunda sekaligus akan menetap di sana. Naskah tersebut bergaya pantun dan diperkirakan ditulis akhir abad 17 atau awal abad 18 dengan huruf dan bahasa sunda kuno. Berikut contoh sepenggal pantun yang sudah diterjemahkan: “tersebutlah ngabetkasih bersama madu-madunya, bergerak payung kebesaran melintas tugu, yang seia dan sekata, hendak pulang ke Pakuan kembali ke keraton di timur, halaman cahaya putih induk permata, tempat yang hening namanya, keraton berseri emas pertama, rumah berukir lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang, keraton penerang hidup.”

Zaman ketika Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata atau Prabu Siliwangi bertahta, merupakan zaman keemasan Pajajaran. Di mana pembinaan agama, pembuatan parit-pertahanan, geliat angkatan perang, dan lain sebagainya, menjadi masa-masa pemerintahannya yang gemilang. Walapun tidak lama kemudian dimulai-lah masa ke-islam-an, ketika Cirebon-Demak bersekutu. Persekutuan itu tentu mencemaskan perasaan dan pikiran Sri Baduga di Pakuan pada waktu itu, bahkan ia mengutus putera mahkotanya, Surawisesa untuk  pergi ke Malaka menemui Panglima Portugis, Alfonso d’Albuqerque yang berhasil merebut pelabuhan Pasai. Dan sebaliknya, upaya Pajajaran ini tercium dan juga ikut meresahkan pihak Cirebon-Demak.

Namun perselisihan di atas tidak sampai pada ketegangan yang menimbulkan peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang terhadap hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, dan bukan kepada kehadiran kejaraan Cirebon atau bukan pula terhadap kemunculan Islam. Sebab seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah wanita muslim, juga ketiga anaknya: Walangsungsang, Lara Santang, dan Raja Sangara diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya.  Demikianlah, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan: di mana sumber daya alam yang melimpah dan keadilannya tersebar luas ke penjuru Nusantara. Hal tersebut tertera dalam naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang, dan Pacakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon, dengan menyebut masa pemerintahan Sri Baduga dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan), dan hanya Sri Baduga yang diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Barulah pajajaran memasuki masa pemerintahan Surawisesa (1521-1535), putera dari Mayang Sunda dan cucu Prabu Susuktunggal. Dalam Carita Parahiyangan ia dipuji sebagai kasuran, kadiran, dan kuwenan (perwira, perkasa, pemberani), sebab selama 14 tahun memerintah ia telah melakukan 14 pertempuran.

Dari sumber Portugis maupun Nagara Kretabhumi 1/2, kedua-duanya mengisahkan Surawisesa yang pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuqerque di Malaka. Dalam sumber Portugis ia disebut Ratu Sangiang, sedangkan dalam Kretabhumi disebut sang kumara ratu sanghyang ya ta prabhu Shurawiesa. Surawisesa pergi ke Malaka terhitung dua kali, yaitu tahun 1512 dan 1521: yang mana hasil kunjungan pertama ialah penjajakan pihak Portugis dengan 4 buah kapal tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires. Dan hasil kunjungan kedua ialah kedatangan utusan Portugis ke ibukota Pakuan, yang dipimpin oleh Hendrik de Leme, ipar Alfonso. Dengan demikian, dalam kunjungan tersebut telah tercapai pula persetujuan antara Pajajaran dengan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan antara kedua belah-pihak.

Setelah Sri Baduga wafat, Cirebon dan Pajajaran sejajar sebagai generasi penerus, antara Surawisesa dan Syarif Hidayat yang dibantu Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang. Lalu berbekal dukungan Demak, akhirnya perang terjadi antara Cirebon dan Pajajaran, bahkan berlangsung kurang-lebih sampai 5 tahun lamanya. Bahkan Cirebon dan Demak mampu menjatuhkan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Talaga, yang mana merupakan benteng terakhir Kerajaan Galuh. Lalu Sumedang ikut masuk dalam lingkaran Cirebon ketika dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang 21 Oktober 1530, dan ternyata ia adalah cucu Pangeran dari kakak-ipar Syarif Hidayat itu sendiri.

Dengan kedudukan yang sama-sama kuat itu, melewati masa peperangan, akhirnya pada tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat dan masing-masing pihak berdiri sebagai  Nergara merdeka. Peristiwa tersebut itulah (tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sakakala: karya besar susuhunan pajajaran) Prasasti Batu-Tulis yang diletakkannya di tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga-batu ditanamkan. Melalui perenungan Surawisesa terhadap kebesaran Ayahandanya, sekaligus menunjukkan rasa hormat dan penyesalannya karena tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan, yang telah diambil sebagian oleh Cirebon dan Demak.

Surawisesa digantikan oleh Puteranya, Ratu Dewata (1535-1543). Masa Ratu Dewata merupakan masa yang sangat sulit bagi ekosistem Kerjaaan Pajajaran. Tidak seperti ayahnya, Surawisesa yang perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama, dan bahkan senang bertapa. Sikap tersebut sangat tidak mencerminkan seorang Raja, sebab pada masa itu, Tapabrata hanya boleh dilakukan oleh ia yang sudah turun dari tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya. Akibat dari kelalaian Ratu Dewata, menurut Carita Parahiyangan pada masa itu terjadi serangan mendadak dari pasukan khusus Banten ke ibukota Pakuan. Untungnya Ratu Dewata masih memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran, dan pertahanan gerbang Pakuan yang masih sangat kuat bentengnya, amandan tak terkalahkan dari serangan pasukan khusus Banten. Walaupun dua orang senapati Pajajaran gugur akibatnya, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.

Pajajaran semakin terpuruk, ketika Ratu Sakti sebagai Raja Pajajaran keempat menggantikan Ratu Dewata (1543-1551) dan Raja Nilakendra sebagai Raja Pajajaran kelima menggantikan Ratu Sakti (1551-1567), sama-sama menjadi masa yang kian terpuruk dan mungkin amat sangat menyedihkan bagi cerita Pajajaran. Sewaktu masa Ratu Sakti, carita parahiyangan mengisahkan bahwa masa Ratu Sakti menjadi penerus Pajajaran, banyak rakyat yang dihukum mati tanpa diteliti salah-tidaknya, dan sering melakukan pelanggaran dengan mengawini wanita pengungsi yang sudah bertunangan. Sedangkan masa Raja Nilakendra, carita parahiyangan mengisahkan bahwa telah terjadi situasi yang meresahkan ke semua kalangan masyarakat. Karena setiap waktu terjadi serangan dari pihak musuh, dan para pembesarnya malah memperdalam aliran tantra, bahkan Nilakendra malah membangun rumah kemarat sebanyak 17 baris ditulis bermacam kisah dengan emas. Dan menyangkut musuh yang harus dihadapinya, ia malah membuat bendera keramat yang bermaksud agar bisa menakuti serta menolak musuh, berbekal penganut aliran tantra. Alhasil, laskar Banten tidak dapat ditakuti dengan hal itu.

Nilakendra sezaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten. Pada masa itu, Hasanudin memiliki putera mahkota bernama Yusuf, yang mana ketika penyerangan ke Pakuan dan tampil terdepan dalam serangan – tidak lain merupakan Yusuf, putera mahkotanya itu sendiri. Inilah gambaran kecil kekalahan Pakuan Pajajaran yang sudah berada di depan mata. Dan sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh Rajanya serta terlantarlah semua penduduk dan prajuritnya. Namun, menariknya, Pajajaran masih sanggup bertahan selama 12 tahun, sampai akhirnya Raga Mulya hadir dan naik tahta sebagai Raja terakhir Pajajaran (1567-1579).

Dalam carita parahiyangan disebut Nusya Mulya, sedangkan dalam naskah Wangsekerta disebut Prabu Suryakancana. Suryakancana tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang. Maka ia disebut Pucuk Umun (Panembahan Pulasari). Dan masa Suryakencana ini adalah masa terakhir kesejarahan Pakuan Pajajaran. Ketika setelah 12 tahun lamanya ditinggalkan oleh seorang Raja, pembobolan dan penghancuran gerbang Pakuan baru terjadi pada tahun 1579, sebagaimana menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi 1/2 “Pajajaran Sirna’ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa seu limangatus punjul siki ikang sckakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 saka) yang mana kira-kira jatuh pada tanggal 8 mei 1579 masehi.

Bagaimana proses keruntuhan Kerajaan Pajajaran itu? Dalam Sejarah Banten dikemukakan bahwa, keberangkatan penyerangan pasukan Banten ke Pakuan melalui Pupuh Kinanti, berikut terjemahannya: “Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam, tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif, inilah tahun sakanya satu lima kosong satu”. Sedikit kekeliruan dalam naskah Banten itu hanya persoalan hari, sebab dalam periode tersebut, tanggal 1 muharam tahun alif akan jatuh pada hari sabtu. Namun, itu bukan soal, yang terpenting dalam naskah Banten melalui Pupuh Kinanti itu, menceritakan benteng Pakuan Pajajaran baru (akhirnya) dapat dibobolkan setelah berkali-kali dan setelah sekian lama melakukan penyerangan terhadap Pakuan Pajajaran. Ajaib!

Akar Pajajaran yang bertunggul Bogor

Akar Pajajaran

Sedikit cuplikan cerita kesejarahan Pakuan Pajajaran dari pergantian Raja ke Raja di atas menyebabkan kabut ingatan serta kenangan masyarakat Bogor, seperti menjadi mitos dalam pikiran dan perasaannya masing-masing, lalu membuahkan pembayangan suasana-peristiwa yang saling berbeda pendapat satu-sama-lain. Ada yang membayangkan Pakuan Pajajaran bukanlah hancur atau dihancurkan, melainkan menghilang dan sengaja dihilangkan dari pandangan kasat-mata manusia umumnya. Ada yang berpendapat, akan ada waktunya jika “siloka” Pakuan Pajajaran terbuka dan terbongkar, maka akan ditemukan semua harta-benda peninggalannya, malah kemungkinan akan bangkit. Dan tentu masih banyak pendapat-pembayangan tersebut, terlepas siapa yang benar dan siapa yang salah.

Pakuan Pajajaran sampai pada waktu keruntuhannya itu pun masih menjadi misteri, menyebabkan Bogor terpaksa masuk dalam permainan labirin-sejarah yang mencari jalan keluar dari kerumitan masa lalu sejarahnya itu sendiri: mencari data, mengumpulkan sumber, menggali fakta, dan-lalu mesti terus diolah dalam pemaknaannya secara penziarahan bersama. Berpijak pada akar-akar pencarian itulah, menurut hemat saya, Pa-Cilong dengan perenungannya membuahkan mahakarya pantun Ngadegna Dayeuh Pajajaran, sebagai cikal-bakal arti nama Bogor yang sangat tepat sebagai tunggul-kawung/aren, dan bukan Buitenzorg, Baqar, ataupun Bokor.

Sebab akar Pajajaran mengakar kuat dalam geografis yang hari ini bernama Bogor, akibatnya akar Pajajaran mengakar dan menjalarkan banyak rahasia dalam biografis yang hari ini bernama Bogor, dan jika dipadu-kait-adukan dengan kehidupan pohon aren/kawung, sebelum biji aren/kawung bertunggul-bertunas (Bogor), akar biji kawung itu (Pajajaran) mengalami proses panjang dan sangat lama mengakar bersama ruang dan waktu, lalu kehadiran Pa-Cilong bersama pantunnya sebagai pertahanan sekaligus menjadi pembayangan bagaimana prosesi menerjang kabut-labirin-sejarah. Keberhasilan Pa-Cilong dalam pantun Ngadegna Dayeuh Pajajaran itu adalah keberhasilan membiaskan makna, ketika Bogor tengah terjerumus masuk dalam kabut-labirin-sejarah, apakah pantun tersebut bermaksud sebagai peta menyusuri masa silam, atau peta yang bermaksud sebagai bekal menempuh masa depan?

Jika memang yang dimaksudkan Pa-Cilong dalam pantunnya adalah peta menyusuri masa silam, maka jelaslah, kehidupan pohon aren/kawung dari akar sampai ke pucuknya merupakan semiotika/tanda kebesaran cerita Pakuan Pajajaran. Sebab, kesejarahan Pajajaran sangat berguna bagi anak-cucunya sebagai pewaris geografis-biografis yang hari ini bernama Bogor: dengan cara menggali peninggalannya, meninjau cara tata-kelola sumber dayanya, atau bisa membaca segi cara pemerintahan pada masanya, dan tentu masih banyak nilai-nilai lainnya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan Bogor hari ini.

Hal tersebut tentu sejalan dengan kehidupan pohon aren/kawung, yang mana dalam satu pohon tersebut, semua dapat berguna dan bisa diperoleh manfaatnya. Kawan-kawan Mitra-Bumi dalam penelitiannya menjelaskan pada saya, ternyata tak ada yang terbuang dari pohon aren, sebab dari biji, akar, batang, pelepah, daun, buah, bunga, dan lainnya sama-sama berkesinambungan serta memiliki manfaat satu-sama-lain. Sebagai contoh, selain untuk dikonsumsi, pohon aren bisa menjadi obat-obatan lewat akarnya, kultur pohon aren juga merupakan penguat tanah dan bisa menjadi bahan reforestasi, bahkan batang atau pelepahnya pernah dan sering dijadikan alat musik: sebagaimana alat musik Karinding khas Jawa-Barat yang terbuat dari aren/kawung.

Lalu, jika pantun tersebut merupakan bekal menempuh masa depan, maka jelas pula, persoalan tertutupnya warisan nenek-moyang atau para leluhur Bogor terhadap anak-cucunya menyangkut sejarah-budayanya sendiri, disebabkan akar permasalahannya yang rumit. Entah karena filosofi aren yang prosesi akarnya berdamai dengan waktu dan sangat lama itu, atau Nenek-moyang Bogor sengaja membikin kehidupan Bogor serupa kehidupan pohon aren, agar anak-cucunya bisa belajar bertahan dan bersabar dengan waktu (jika hendak menelusuri kesejarahan-kebudayaan masa-lalunya itu sendiri). Namun, yang lebih terasa jelas, agaknya kerumitan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang masih menjadi mitos di dalam pikiran dan perasaan masyarakat Bogor, lalu mengakibatkan perjalanan panjang untuk anak-cucunya menelusuri kehidupan Nenek-moyangnya sendiri, sebagaimana Pantun Pa-cilong tegaskan, “Sebab bogor itu artinya pokok enau/aren. Pokok enau itu memang tak ada artinya, terutama bagi mereka yang tidak paham atau memahaminya.” Akhirnya, yang ditekankan ialah pencarian makna, penelusuran peristiwa, dan pengumpulan akar-sumber secara bersama-sama.

Semakin menarik dan semakin sambung-menyambung menjadi satu rupanya, Heuheu!. Dari Pohon Aren, Bogor, Pantun Pa-cilong, sampai Pajajaran. Agar semakin menarik dan terus terikat dan lalieur, agaknya kita mesti melanjutkan dengan pertanyaan lainnya, agar jawaban-jawaban liar dari angin saja yang menjawabnya: O, ya, ketika kekalahan Pajajaran oleh pasukan atau Kesultanan Banten, dan situasi hunian bekas Pajajaran itu runtuh tak tersisa (yang mana masyarakat Bogor lebih mempercayai bahwa Pakuan Pajajaran “sangaja dileungitkeun” atau sengaja dihilangkan secara gaib itu), bagaimana proses (cerita) putaran waktunya bisa menjadikan Bogor sebagai hunian pengganti masa Pajajaran? Anyingsss ripuh!

Yang Bertunggul Bogor

Apakah kita pernah mendengar atau membaca, catatan-cerita tentang tokoh Tanujiwa sebagai (katanya) peletak hunian Bogor? Karena hal ini memungkinkan banyak perdebatan, sebab catatan berikut hendak menguraikan dalam pencarian, siapa peletak dan orang yang pertama kali mem-bogor-kan bekas Pajajaran berdasarkan beberapa sumber yang saya temukan. Maka, biarkanlah catatan ini menjadi tumbal, agar tereaksi oleh pembaca sebagai dialektika-kritik-saran.

Ketika “Pajajaran sirna”, setelah sekian lama hilang dari biografis-historis selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu bertunas kembali dan menunjukkan ciri-ciri kehidupannya. Reruntuhan huniannya mulai tumbuh kembali (layaknya pohon aren, sebagaimana ulasan sebelumnya) berkat ekspedisi yang ditelusuri oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu akar dan sumber suatu wilayah tersebut. Penelitian akar dan sumber dilakukan pada ekspedisi tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi, dan Letnan Tanujiwa (seorang Sunda trah Sumedang, yang konon menurut sumber Belanda, sebagai peletak hunian Bogor), seperti menjadi peziarah pertama di hunian yang tersisa dari puing-puing kehidupan bekas Pakuan Pajajaran. Semenjak rombongan Scipio itu menemukan sisa puing-puingnya, orang-orang seperti merasa bertemu kembali dengan Pajajaran yang telah hilang. Benarkah demikian?

Walaupun pada ekspedisi mereka, tidak ditemukannya pemukiman di bekas ibukota kerajaan Pakuan Pajajaran, kecuali di beberapa tempat: seperti Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana. Lalu pada tahun 1687, Tanujiwa yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka dan menelusuri rimbunnya hutan Pajajaran. Berbekal perintah itulah, akhirnya Tanujiwa berhasil mendirikan sebuah perkampungan di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal tempat hunian Kabupaten Bogor. Kemudian, kampung-kampung lain yang didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya, antara lain: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar-Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dengan adanya Kampung Baru, Tanujiwa menjadikannya sebagai pusat pemerintahan bagi kampung-kampung lainnya.

Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, menurut De Haan yang memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745. Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus, sekarang bernama dan bertempat di Kebun Raya Bogor. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamai Pasar Bogor, dan pasar itu masih berduru dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.

Pakuan Pajajaran terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai, sebagaimana orang tua dahulu yang menghibur diri dengan kata-kata “Pajajaran henteu sirna, tapi ngawun-ngawun”. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni Belanda. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan, hanya karena ser­san itu seorang Belanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekua­saan VOC. Namun hasilnya mereka kalah, Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika dan Haji Perwatasari tertangkap dan dibunuh di Cilacap.

Dan yang menarik adalah, babad Bogor (1925) tidak berani mencantumkan Tanujiwa sebagai “Bupati Pertama”, sebaliknya, penulis dokumentasi dari Belanda menyebut Tanu­jiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar hunian Bogor. Dalam daftar silsilah tradisional “bupati” pertama biasanya dicantumkan nama Mentengkara atau Merta-kara, yang merupakan Kepala Kampung Baru ketiga (1706-1718), sebagaimana arsip Belanda dan menurut De Haan, Mentengkara mungkin merupakan putera dari Tanujiwa.

Memasuki cerita bekas Kota Pakuan, pastilah diawali dengan dibangunnya istana di Kebun Raya Bogor, ketika Gubernur Jendral Van Imhoff dengan latar belakang penganut setia paham romantisme ajaran Rosseau membayangkan untuk membikin semacam vila mungil yang serasi dengan alam sekitar, tempat untuk menghening, nyepi dan menyatu dengannya. Mode tempat itu dinamai sans-souci, sebuah kata Perancis yang berarti tanpa kesibukan atau tanpa urusan, yang mana orang Belanda menerjemahkannya menjadi Buitenzorg. Dengan demikian, bangunan sederhana yang dibangun pada lokasi Istana Bogor diberinya nama Buitenzorg, bersebrangan dengan Benteng Batavia yang semakin sibuk dan penuh sesak orang-orang.

Terciptalah batas-batas tanah di sekitar Buitenzorg, ketika politik teritorial mulai berjalan antara Van Imhoff , Mossel, dan Daendels, antara batas teritorial Buitenzorg: dari puncak Gunung Gede, Puncak, Talaga Warna, Mega Mendung, Ciliwung, Muara Cihideung, Puncak Gunung Salak. Dokumen Belanda menunjukan bahwa pada tahun 1752 sudah ada Kampung Bogor di bawah kekuasaan Kampung Baru. Jadi, penduduk yang tidak jauh dari Buitenzorg itu tidak termasukrakyat Gubernur Jendral, melainkan Bupati Kampung Baru. Sejak saat itulah tahun 1754 Bupati Kampung Baru mengajukan permohonan kepada Mossel, agar diizinkan menyewa tanah Sukahati untuk kediamannya. Hal tersebut terarsip dalam dokumen tanggal 29 desember 1761 nomor 9092, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara) sudah berkedudukan di Sukahati, yang mana pada dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi menggantikan nama Sukahati menjadi “Empang” sampai sekarang. Dan seterusnya, menjamah tempat-tempat lainnya. Dan-lalu, terciptalah Bogor dengan wajah yang baru di mata kita hari ini: antara Kota dan Kabupaten.

Tabe pun. Jika terus dituruti, agaknya tidak pernah ada ujungnya. Maka demikianlah catatan-cerita menziarahi Bogor ini, yang mana saya bayangkan seperti kehidupan itu sendiri – membutuhkan jeda-istirahat. Ketika ruang dan waktu dihadirkan oleh kejadian, perjalanan senantiasa bergerak dan berubah, meninggalkan masa silamnya masing-masing. Sejarah akan lewat. Budaya akan terus berkembang. Dan kita akan melampaui badai kehidupan itu sendiri. Menciptakan sejarah baru. Mewarisi budaya yang juga baru. Dengan begitu, jauh di masa depan nanti, Bogor akan menjadi apa dan bagaimana, tergantung apa yang kita tanam-jalani hari ini. Jika kita tetap menanam nilai kehidupan Pohon Aren, masih meneruskan jejak tunggul-kawung (Bogor), kemungkinan terbesar kebermanfaatan dahan, daun, buah, bunga, yang kita harapkan hadir di masa kini, jauh di masa depan nanti akan dipanen oleh anak-cucu kita nanti.

Sebagaimana orang tua dahulu berpesan, “sejarah hanya sekelumit upaya manusia mengenal dirinya melalui tangga waktu. Maka, menciptakan ruang baru mesti memerlukan pengalaman seribu-langkah ke belakang, untuk satu langkah ke depan.”

Kepustakaan

Sundakala (2005), Ayatrohaedi.

Manusia Sunda (1984), Ajip Rosidi.

Sejarah Bogor (1983), Saleh Danasasmita.