ilustrasi: bowo wijoyo
Beberapa tahun lalu, Korrie Layun Rampan pernah menerbitkan sebuah buku bertajuk 80 Sajak Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia (Penerbit Narasi, 2014). Di dalamnya terdapat delapan puluh sajak yang berasal dari delapan puluh sastrawan lintas zaman, lintas generasi. Pada bagian sepatah kata pengarang, Korrie menjelaskan bahwa persiapan membuat buku tersebut tidaklah sebentar. Bukan hanya untuk mencari sajak yang pas, Korrie beranggapan bahwa justru banyaknya pilihan sajak dari berbagai kalangan penulis yang membuatnya harus melakukan semacam “seleksi secara ketat” agar terpilih seratus puisi dari seratus penyair, pada awalnya. Namun, karena alasan non-sastra, yaitu ketebalan buku, maka dipilihlah delapan puluh sajak yang dianggap dapat mewakili “Puncak dalam Sejarah Sastra Indonesia” dalam kurun tahun 1908-2011.
Tidak seperti buku sebelumnya: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, yang ramai diperbincangkan dan mendapat predikat tak berterima dari berbagai kalangan penulis dan akademisi, buku 80 sajak puncak ini tidak banyak diberitakan memperoleh tanggapan negatif dari kalangan penulis. Mungkin ada yang memprotes dan mengkritik habis-habisan buku Korrie tersebut, namun tidak seramai perbincangan buku Angkatan 2000 dan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk., 2014) yang kemudian muncul. Upaya kanonisasi karya sastra, khususnya puisi, di dalam sastra Indonesia memang bukan hal baru dikenal bagi pembelajar sastra. Namun, banyak yang akhirnya menilai negatif upaya kanonisasi karena hanya akan menunjukan potensi eksklusi atas berbagai kalangan kelompok penulis dari representasi dalam kanon sastra.
Selain itu, menurut Esha Tegar Putra, pada Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) pernah mempertanyakan: Pertama, kepada siapa kanon tersebut hendak diperuntukan? Kedua, sudah siapkah publik Indonesia menerima kehadiran kanon sastra dalam keragaman khazanah sastra Indonesia dengan segala beban tanggungan kontestasinya? Intinya, mungkin, adakah kepentingan politisasi sastra dalam upaya pembuatan kanon sastra tersebut? Meskipun demikian, adanya hal ini sedikit banyak menjadi pembelajaran bagi siapapun tentang sejarah dan khazanah sastra Indonesia dengan berbagai mutu karya yang pastinya tidak bisa diragukan lagi. Seperti halnya Esha yang mengambil hikmah sebagai orang yang bergelut di kesusastraan Indonesia, dia bisa melihat kemungkinan lain dari keluasan dan keragaman khazanah sastra Indonesia, juga kita bisa mengambil hikmah-hikmah lainnya.
Seorang pembelajar sastra bisa belajar menggeluti sastra dengan bantuan buku-buku kanon sastra (selain kajian sastra yang dilakukan dan pembacaan buku-buku karya) sebagai suplemen tambahan. Kita bisa mempelajari kritik-kritik atas kualitas/mutu karya dari para kritikus sebagai masukan dalam pembelajaran menulis sastra, dan memberikan sedikit-banyak pengetahuan tentang mutu karya (karya bermutu?) serta sejarah sastra itu sendiri. Sebagai manusia yang tidak ikut serta dalam polemik kanonisasi sastra Indonesia, amatir, awam, dan kelas bawah, kita mesti bisa mendapatkan hal-hal positif seperti itu di balik “gunungan kritik negatif” yang ditawarkan para kritikus sastra dalam memandang kanon sastra.
Awal dan Akhir
Bagi seorang penulis muda, polemik kanon sastra seperti lautan penuh ombak yang mengombang-ambing perasaan serta keyakinannya untuk memproduksi karya sastra. Perasaan ragu dan takut tentang: apakah saya sudah bisa menulis seperti Rendra, Sapardi, Isma Sawitri, Marhalim Zaini, Gus TF, atau Radhar Panca Dahana dari karya-karya yang telah saya buat? Kok, karya saya jelek sekali, tidak seperti Sutardji, Wiji Thukul, Joko Pinurbo, Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, yang memiliki gaya dan khas serta kualitas yang tinggi? Bagaimana pun, pertanyaan-pertanyaan itu kerap muncul dan menghantui! Meskipun secara sadar, jika pertanyaan itu hadir, cukup tidak adil membandingkan karya “jemaah sastra” dari seorang pembelajar, dengan karya para “priyayi sastra” sekaliber orang bergelar sastrawan. Alhasil, itu membuat sebuah jarak antara “yang lembah” dan “yang puncak” semakin jauh dan sulit tercapai. Kemudian, kepercayaan diri seorang penulislah yang bisa terus memangkas perasaan-perasaan itu sambil terus meng-upgrade diri di dunia kepenulisannya.
Teguh Tri Fauzi dengan Tuhan dan Rahasia: Aku Sendiri di Balik Jendela Dunia (Sehimpun Perjalanan Puisi) hadir di belantara puisi dan sastra (di) Indonesia yang sedemikian padat dan rimba. Tawaran ini (sebagai buku) bukanlah jalan pertama Teguh, bukan awal pembuka karir kepuisiannya di dunia sastra. Selama ini, Teguh memang sering kali menulis puisi dan diterbitkan di berbagai media/platform cetak dan digital. Sesuai dengan puisi-puisi yang termaktub pada buku ini, Teguh sering kali mengambil ranah diri dan kedalaman jiwanya dalam memandang sesuatu termasuk dirinya sendiri. Sebagaimana dia mempertanyakan yang “ada” dengan berbagai cara dan sudut pandang untuk memperoleh suatu gambaran jelas secara konsep diri, menjadi tema yang menarik.
Jika ditanyakan soal: apakah itu yang menarik dari puisi-puisi Teguh? Tentu konsep seperti ini bukanlah hal baru. Banyak penulis yang memang mengambil jalan itu untuk menjadi dasar kepenulisannya, untuk memperoleh kedalaman makna puisi. Katakanlah Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sutardji, Rendra, Sapardi, sampai Aan Mansyur yang memiliki kekhasan dalam melihat fenomena yang terjadi. Chairil sampai Aan tersebut sangat khas penyampaian puisinya beserta sudut pandangnya pada pendalaman makna hidup, cinta, dan hubungannya dengan sang khalik. Kemudian, spirit pandangan tersebut kerap kali bisa kita temukan serpihan-serpihannya pada puisi-puisi Teguh di buku ini. Dari kelima bagian kelompok-kelompok puisi yang digolongkan oleh Teguh di bukunya ini, sangat kental dengan aroma-aroma vertikal yang sejatinya dia bahas sendiri dengan dirinya. Intinya, Teguh berusaha menanyakan yang vertikal pada kenyataan-kenyataan horizontal, yang dialami, diamati, dan dirasa-padukan dalam renung-ruang-kontemplasi. Teguh berusaha bersusah payah membagikan pengalaman di dalam dirinya kepada pembaca dengan cara yang retoris, namun gemuk dengan tamparan-tamparan.
Namun, sekali lagi, tak elok untuk kemudian membandingkan Teguh dengan siapa pun sastrawan yang tercium bau spiritnya di dalam karya-karyanya. Kemudian akhirnya nama-nama sastrawan tersebut akhirnya dituliskan di sini, hal itu karena mereka itulah yang terlihat pada diri Teguh, menjadi semacam bayang-bayang influence yang banyak mempengaruhi proses kreatifnya. Sejatinya, Teguh adalah Teguh yang mencoba sedang mencari jati dirinya lewat karya secara bentuk pengkaryaan puisinya maupun kedalaman pemikirannya di setiap karya yang dilahirkannya.
Justru itulah yang menarik. Adalah bahwa buku ini menjadi suatu kontemplasi Teguh dalam memandang dunia kepenyairannya, dan sastra Indonesia yang sepertinya selalu didiskusikan olehnya dengan dirinya sendiri di kepalanya. Ini menjadi awal baik dari sisi keberaniannya untuk memasuki dunia sastra secara lebih serius, bertanggung jawab dengan karyanya sendiri, juga menjadi titik tolak yang bukan “lembah” dari perjalanan kepenyairannya. Puisi-puisi yang termaktub menjadi bukti bahwa kelasnya sebagai penyair/penulis puisi bukanlah orang yang baru kemarin sore belajar sastra, tapi telah menempuh pahit-busuknya dan manis-matangnya diskusi puisi dalam kontemplasinya menyusun serampai puisi yang akhirnya menjadi buku ini. Sejatinya, buku ini bukti bahwa Teguh tidak mulai dari bawah, tapi dari tengah secara kerja proses kreatifnya.
Yap! Bagi Teguh, buku ini jelas pasti bukanlah akhir proses kreatifnya dalam karir kepenulisannya di dunia puisi dan sastra, seperti yang dijelaskan bahwa ini pun bukan awal dari perjalanan kepenulisannya. Tapi, buku yang penuh dengan perenungan tentang bagaimana kita melihat diri kita dari kacamata “eksternal” diri kita dan alam semesta ini, menjadi salah satu puncak yang harus dilalui, sekaligus ditawarkan kepada pembaca oleh Teguh. Sangat harus jika suatu hari nanti, “puncak” lainnya dihadirkan Teguh sebagai capaian lainnya, atau capaian baru di masa yang akan datang.
Bagi Teguh, “puncak” harus menjadi hal yang direpresentasikan sebagai capaian tertinggi. Namun harus diingat juga bahwa “puncak” itu sendiri harus diperhatikan sebagai tempat melihat ke bawah belakang serta bawah di hadapan. Peribahasa bahwa setelah ada tanjakan pasti ada turunan memberitahukan kita bahwa jika setelah “puncak” bahwa akan ada penurunan, apa pun dan bagaimana pun itu. Kadang juga, “puncak” ini akan diibaratkan sebagai komplikasi/sesuatu yang berada di tingkat konflik tertinggi, alhasil orang-orang akan mencari bagaimana memecahkan hal tersebut untuk mencapai resolusi, suatu penyelesaian. Demikianlah gambaran bahwa “puncak” bukanlah ujung dari suatu kisah atau pencapaian. Sejatinya, setelah itu mesti akan ada suatu perjalanan berupa penurunan tensi, atau pun resolusi tertentu untuk kemudian ditutupnya dengan suatu perubahan yang terjadi dalam bagian akhir.
Dinamika di ataslah yang menarik bagi seorang penyair yang tengah bersyiar dengan perahu kecil di samudera, di tengah megah kapal-kapal megah. Berlayarlah dan jadilah orang ke-81 di puncak sajak menurut Korrie!