Mempertimbangkan #KaburAjaDulu dari Perspektif Poskolonial dan Bagaimana Perlawanan Selalu Dimulai Oleh Sedikit Orang

Mempertimbangkan #KaburAjaDulu dari Perspektif Poskolonial dan Bagaimana Perlawanan Selalu Dimulai Oleh Sedikit Orang

dok. jcdelic


Setiap zaman memiliki gelombangnya sendiri. Ada yang memilih melawan arus. Ada yang memilih ikut terbawa. Dan ada juga yang, setelah menimbang-nimbang, lebih memilih meninggalkan arus itu sama sekali.

Hari ini, kita menyaksikan #KaburAjaDulu. Sebuah fenomena di-mana sebagian orang, terutama anak muda, memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia. Alasannya beragam. Ada yang demi pendidikan. Ada yang demi pekerjaan. Ada pula yang pergi sekadar untuk menghindari tekanan dari kebrengsekan negara yang memperkosanya setiap hari.

Dalam era Indonesia Gelap, negeri ini bak rumah yang sedang dalam keadaan terbakar. Dan bagi sebagian orang, pintu keluar yang terbaik, adalah lari sejauh mungkin, sebelum api melumat habis keseluruhan.

Dari Mana Semua Ini Bermulai

Fenomena ini, tentu bukan terjadi dalam semalam dan dalam ruang hampa. Semua ini lahir dari hasil akumulasi kelelahan kolektif melihat negara dan pemerintahan. Sebutlah semua kewajiban yang seharusnya mereka tunaikan—kesejahteraan, keadilan, kesempatan—dan niscaya anda pasti akan mendapat kecewa.

Bagaimana tidak, kebutuhan hidup makin tidak murah, beban pajak makin menimpah, dan lapangan kerja semakin susah. Dan pada saat bersamaan, kegelapan yang sudah ada di depan mata pada pemerintahan sekarang, memperparah semua. Tak heran tagar #KaburAjaDulu yang mulanya hanya ruang diskusi konstruktif antara para pengguna media untuk berbagi tips ke luar negeri, sekarang bertransformasi menjadi tempat kritik terhadap kegagalan negara.

Namun, fenomena #KaburAjaDulu bukanlah hal yang baru dan khas Indonesia. Sejarah mencatat, eksodus semacam ini terjadi di banyak negara, terutama di belahan dunia, yang sering disebut sebagai Global South.—-mulai dari Amerika Latin sampai Asia. Dan ketidakpastian ekonomi dan politik selalu jadi alasan klasik bagi orang-orang terdidik untuk angkat kaki.

Orang-orang Yunani di awal abad ke-20, dengan jumlah besar pernah meninggalkan tanah kelahiran mereka, lantaran krisis ekonomi yang berkepanjangan. Di Amerika Latin, para akademisi dan intelektual berbondong-bondong mengungsi ke tanah Eropa, karena represi rezim otoritarian. Bahkan di Indonesia sendiri, sejak 1965, kita telah mengenal apa yang diistilahkan sebagai eksil politik—mereka yang kewarganegaraanya dicabut dan dipaksa tinggal di luar negeri karena alasan ideologis. 

Namun bedanya yang terjadi hari bukanlah sekadar eksil politik. Yang kita lihat adalah eksodus karena kekecewaan sebab tanah airnya nihil menyediakan harapan.

Kena Mental Saban Hari Oleh Tingkah Negara

Dari sudut pandang psikologis, saat seseorang memutuskan pergi atau bertahan, itu tidak selalu soal logistik. Tetapi juga perihal kondisi mental. Dari kacamata eksistensialisme, keterikatan seseorang dengan tanah kelahirannya, biasanya juga tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional dan kultural. Sejarah, keluarga, dan komunitaslah yang memiliki andil besar dalam membentuk identitas seseorang. Yang kemudian menciptakan ikatan moral, yang membuatnya merasa memiliki tanggung jawab untuk tetap tinggal dan berjuang. 

Berkebalikan dengan itu, mereka yang memutuskan pergi, biasanya dipengaruhi oleh kelelahan mental, ketidakberdayaan, atau trauma akibat ketidakadilan, yang mereka alami atau saksikan. Martin Seligman dalam konsep learned helplessness (1975), menerangkan bahwa seseorang yang terus-menerus menghadapi kegagalan, akhirnya akan merasa tak berdaya dan berujung pada mati rasa. Maka, #KaburAjaDulu bagi sebagian orang, bukan hanya soal mencari kesempatan baru, tapi juga upaya menyelamatkan diri dari jebakan frustasi kronis.

Tapi mari kita bicara jujur. Tidak semua orang punya privilese untuk kabur. Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979), Pierre Bourdieu menjelaskan, bahwa akses terhadap mobilitas sosial, sangat ditentukan oleh kapital yang dipunyai seseorang. Baik dalam bentuk keterampilan bahasa dan pendidikan (kapital budaya), kapital ekonomi (biaya untuk pindah dan studi), maupun jejaring internasional (kapital sosial)—lebih mungkin angkat kaki meninggalkan Indonesia. Dibandingkan mereka yang tidak memiliki kapital..

Data dari World Bank pada tahun 2023, mendukung tren ini, dengan menunjukkan bahwa tingkat migrasi dari Indonesia, terutama di kalangan tenaga kerja terdidik, melonjak dalam sepuluh tahun terakhir. Bersamaan dengan itu, laporan OECD International Migration Outlook (2023), mencatat bahwa jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, meningkat sebesar 40% dalam seperiode terakhir. Dengan kebanyakan memilih Amerika Serikat, Jepang, dan Australia sebagai tujuan. 

Namun, ada satu dimensi lain yang mesti diperhatikan, jika kita membicarakan fenomena ini. Yakni pada bagaimana perbedaan generasi memandang harapan. Jika generasi 1998 melihat reformasi sebagai jalan untuk memperbaiki sistem dari dalam. Generasi sekarang melihat harapan itu semakin pudar. Dari #ReformasiDikorupsi, Peringatan Darurat hingga Indonesia Gelap, mereka menyaksikan bagaimana setiap peluang perubahan, selalu berakhir dengan kekecewaan. Maka, bagi mereka, #KaburAjaDulu bukan sekadar eskapisme. Ini adalah strategi bertahan yang paling rasional.

@kevinpramudya

Yang Tersisa Dari Suatu Hegemoni Pikiran

Namun, ada hal lain yang lebih dalam dari sekadar kekecewaan generasi. Jika kita melihat ini dari kacamata poskolonialisme, sebab #KaburAjaDulu kemudian bisa kita pahami sebagai dampak dari kolonialisme internal. Di mana struktur sosial dan politik yang dibangun sejak masa penjajahan, kekal bertahan dalam bentuk ketidakadilan dan ketimpangan, meski sudah meraih kemerdekaan. 

Sejak era kolonial, masyarakat Indonesia dicekoki mitos, bahwa mobilitas sosial adalah bukti kemajuan. Bahwa dengan bekerja keras, siapa pun bisa meraih kesuksesan. Mitos ini berlanjut hingga era pasca-kemerdekaan. Dan diperkuat oleh wacana pembangunan, yang menjanjikan kesejahteraan bagi mereka yang berusaha mengupayakan.

Namun, kenyataannya adalah sesuatu yang sudah diprediksi Karl Marx sejak 1848. Bahwa kapitalisme, tidak akan pernah memungkinkan mobilitas sosial massal. Yang ada hanyalah sirkulasi elite. Dan #KaburAjaDulu bisa dilihat sebagai perpanjangan dari pengkondisian ini. Mereka yang punya modal, lebih gampang pergi dan mencari peluang. Sementara yang lain, akan tetap terjebak dalam lubang ketidakberdayaan. Dengan  tidak ada pilihan, selain bertahan.

Dan Frantz Fanon (1961) benar, saat mengatakan bahwa penguasa pascakolonial sering kali meniru penjajahnya. Di Indonesia, kolonialisme memang pergi, tapi mentalitasnya tetap membara. Jika dulu Belanda menghisap kekayaan negeri ini, kini pemerintahan sendirilah yang melanjutkan estafetnya: korup, inkompeten, dan represif. 

Fenomena #KaburAjaDulu ini pun, kemudian bisa dipahami sebagai upaya mencari “tempat yang layak”. Di mana identitas yang terpecah, antara warisan kolonial, yang merendahkan dan potensi lokal yang belum terealisasi dapat bersinergi. Dengan memilih untuk pergi, sebagian individu mencoba meredefinisi diri mereka di ranah global. Di mana mereka, dapat mengakses modal ekonomi dan budaya, yang selama ini terhalang oleh struktur pasca-kolonial di tanah kelahiran.

Namun, di tengah narasi ini, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Di satu sisi, medsos memperbesar ruang kritik terhadap negara. Lihat saja bagaimana gerakan digital seperti Indonesia Darurat dan dilanjut dengan Indonesia Gelap terbukti bisa menenun perlawanan tepat sasaran. Tapi, di sisi lain, ia juga bisa menjadi ruang keputusasaan kolektif. Menciptakan efek echo chamber, yang membikin orang semakin yakin bahwa tidak ada harapan lagi di sini.

Dari kondisi itupun, banyak orang yang merasa khawatir, sebab disaat Indonesia sedang gelap total, dan terlalu banyak yang memilih untuk “kabur”, tentu dengan sendirinya, itu akan mengakibatkan perlawanan dapat tersumbat. Lebih-lebih akan menyebabkan drain brain jilid dua yang terjadi pasca-65.

Sejarah Selalu Hadir Menyediakan Pertimbangan

Perubahan, tidak perlu menunggu mayoritas sadar. Tidak perlu menunggu semua orang siap berjuang. Toh realitasnya, mayoritas orang memang cenderung ingin hidup nyaman, tentram dengan tidak mau mengambil risiko besar. Jika perubahan harus menunggu semua orang bergerak. Barangkali dunia ini tidak akan pernah bergerak ke arah perbaikan yang diinginkan.

Oleh karena itu, selalu ada segelintir orang, yang memilih tetap tinggal. Bukan karena tidak bisa pergi. Tetapi karena mereka sadar, bahwa jika semua orang pergi, tidak akan ada yang tersisa untuk melawan.

Tentu setiap orang berhak atas keputusannya. Pergi atau tinggal, keduanya adalah pilihan yang sama benar. Namun, bagi mereka yang memilih bertahan, ada satu kepercayaan tunggal: memastikan bahwa negeri ini, tidak boleh sepenuhnya jatuh ke tangan orang-orang yang serakah dan bebal, yang kerjanya hanya mengangkangi aturan dan mengacak-acak kehidupan sosial.

Dunia tidak berubah karena mayoritas. Dunia berubah karena mereka yang cukup peduli untuk tetap bertahan. Sejarah selalu menjadi cerminan bahwa perubahan, tidak pernah datang dari mayoritas yang memilih pergi atau diam. Semua perlawanan, selalu dimulai dari segelintir orang yang menolak tunduk pada status quo. Lalu mengambil inisiatif dan akhirnya membesar menghidupkan harapan.

Tetapi perlawanan juga, bukan hanya tentang turun ke jalan, dengan massa besar. Melainkan  tentang tetap tenang menjaga kewarasan di tengah kegilaan. Sebab sekecil apapun perlawanan tetaplah perlawanan. Lihatlah bagaimana revolusi-revolusi besar bisa tercipta. Revolusi Perancis, bukan hasil kerja rakyat kebanyakan. Tetapi karena segelintir orang yang berani membakar api perlawanan di jalanan Paris. Demikian juga dengan perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Bung Karno (muda), Hatta, Tan Malaka, dan beberapa angkatan muda lainnya bukanlah representasi suara bulat dari keseluruhan rakyat. Mereka hanya orang-orang yang cukup memiliki kepedulian, kecintaan, dan nafas panjang untuk melawan.

Dan sekarang, saat semua seperti tidak ada harapan, pertanyaan (tidak) sederhananya: di mana keputusan kita akan dijatuhkan, apakah akan memilih menjadi bagian dari segelintir yang melawan, atau hanya menjadi penonton yang melihat negeri ini hancur dari kejauhan?***