dok. surau.creative
Tahun lalu, pada bulan Oktober 2023, Gemaswara mementaskan musikalisasi puisi bertajuk: Negeri Sihir. Dan tahun lalu juga, saya sudah menuliskan bagaimana anak-anak Gemaswara tengah melaksanakan perjuangan kata-kata dalam pertunjukannya. Mereka telah melaksanakan pesan-kesan dari dunia puisi yang pada dasarnya senyap-sunyi dalam kertas-buku di rak-rak berdebu, disulap menjadi nyanyian-musikal di atas panggung yang megah dengan beratus penonton di-hadapannya.
Kini, di bulan Oktober 2024, mereka kembali mementaskan musikalisasi puisinya dengan tajuk: Oktovarium. Bedanya, kali ini mereka sekaligus merayakan atas launching album pertamanya, yang berisikan 4 lagu dari 4 judul puisi pilihannya di platform musik Spotify: Langit dan Laut (Agus Noor), Sia-sia (Chairil Anwar), Lagu Tanah Air (Ajip Rosidi), dan Kepada Waktu (Yopi Setia Umbara). Dan bedanya lagi, kini saya tak akan membahas kembali kerja alih-wahana atau pertunjukan musik yang ditampil-hidangkan Gemaswara, melainkan fokus kepada pembacaan puisi-puisi pada muatan makna album Oktovarium-nya.
Album dan Pertunjukan
Ketika membaca judul album yang mereka rumus-hidangkan dengan memilih kata Oktovarium, saya tiba-tiba teringat judul lagu sekaligus nama album dari grup musik Dream Theater: Octavarium. Saya juga teringat tentang bagaimana muatan tema tentang “…cerita ini berakhir di tempat dimulainya.. (sebuah cerita?)” yang disodorkan Dream Theater dalam nuansa musiknya. Berhubungan dengan itu, maka saya mengambil spirit Dream Theater dengan membikin judul: Album, Pertunjukan, dan Cerita Berakhir di Tempat Mulanya.
Saya membayangkan konsep ‘cerita berakhir di tempat mulanya’ Dream Theater itu berimbas pada geliat proses kreatif anak-anak Gemaswara dalam Oktovarium-nya, yang tentu tidak hanya sekadar perangkat kata, tapi juga memiliki makna simbolik yang mendalam. Walaupun secara definitif, kata Oktovarium sendiri sulit kita temukan bahkan menentukan makna-arti kata atau padanan kata apa sebenarnya yang ingin disampaikan Gemaswara dalam kata Oktovarium ini. Sebab, “Oktovarium” sendiri adalah kata yang jarang digunakan dan bahkan tidak kita temui dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, selain hubungannya dengan konsep linguistik yang memiliki akar dari “okta” (delapan). Apakah anak-anak Gemaswara memvariasikan Octavarium dengan penekanan pada konteks atau fungsi tertentu yang berbeda, misalnya merujuk pada pemaknaan kumpulan (delapan) elemen puisi dalam konteks musikalnya? Lebih khusus bertepatan dengan bulan Oktober launching dan pertunjukannya?
Jika meninjau Dream Theater dalam memanfaatkan konsep nuansa “Octavarium” dan struktur musiknya, kita akan dihadapkan dengan penggambaran perjalanan emosional, keseimbangan, dan makna siklus kehidupan yang berulang, yang secara filosofis, Octavarium sering ditafsirkan sebagai representasi dari perjalanan hidup siklikal manusia, penuh dengan tantangan yang terus berulang, hingga mencapai suatu bentuk penyelesaian. Itulah kecurigaan saya pada istilah oktovarium-nya anak-anak Gemaswara, yang membuat pelesetan atau bahkan mungkin secara sadar memakai spirit pemaknaan dari octavarium-nya Dream Theater, guna membawa kita pada makna siklus hidup yang terus berputar, penuh pertimbangan, antara peperangan dan perdamaian, baik di dalam diri maupun di luar diri, yang muaranya tetap kembali ke titik mulanya: keabadian.
Itulah mengapa, pertunjukan musikalisasi puisi Gemaswara, khususnya pada 4 judul puisi yang terhimpun dalam album Oktovarium, memang terasa seperti mengajak penonton dan pendengar untuk merenungkan perjalanan batin para penyair dalam puisi—sebagai bagian dari kehidupan—yang penuh putaran serta perubahan makna yang dihadapinya, segalanya melebur menjadi satu dalam lingkaran hidup. Ketika seorang penyair memulai kerja pengkaryaannya dari suatu kondisi atau perasaan tertentu, misalnya tentang cinta, kehilangan, rindu, pencarian makna hidup, yang akhirnya mencapai penerimaan dan pemahaman atas puisinya sendiri, maka anak-anak Gemaswara menempuh perjalanan lain dari batin penyair itu sendiri, berjalan dalam lingkaran kemungkinan-kemungkinan, yang pada akhir pencapaiannya membawa puisi kembali ke perasaan awal, kepada batin penyair dalam bentuk yang lebih kaya dan bijaksana.
Cerita Berakhir di Tempat Mulanya
“Anak-(anak) adalah maha-guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya,” (Romo Mangun: dikutip dari Sanggar Anak Alam).
Meminjam ungkapan Romo Mangun di atas, maka anak-anak Gemaswara bukan hanya maha-guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya saja, melainkan sumber pembelajaran bagi para pendengar dan bahkan para guru-pengasuhnya, lebih khusus baik itu guru pengampu di sekolahnya maupun pelatih musikalnya. Apa dan bagaimana maksudnya?
Secara mendasar, kerja musikalisasi puisi menurut hemat saya adalah kerja lain dari mendeklamasikan kesan-pesan dalam puisi. Melalui kesan-pesan dalam puisi, anak-anak Gemaswara secara sadar hendak menggapai nilai dari seorang penyair ketika membacakan sajak/puisinya. Sebagaimana dalam puisi Langit dan Laut (karya Agus Noor), yang dilantun-nyanyikan dengan sendu dan bergairah oleh anak-anak Gemaswara, mengingatkan kita bahwa, …kita langit dan laut yang dipertemukan/ bukan untuk berbagi kebahagiaan/ tapi untuk saling menguatkan/ oleh laut dan langit kita dipersatukan/ hanya untuk memahami kehilangan.
Kutipan puisi Agus Noor yang dinyanyikan anak-anak Gemaswara itu, jika kita dengarkan dengan perasaan dan gambaran antara sepasang kekasih yang membersamai asmara-cinta, akan memberikan pesan bahwa, bukan kebahagiaanlah yang menjadi pedoman cinta, melainkan usaha untuk menguatkan, memahami, dan merelakan kehilangan-kehilangan yang sangat mungkin datang menghampiri: kematian, atau bahkan perpisahan misalnya, yang oleh kutipan puisi Sia-sia Chairil Anwar, yang juga dinyanyikan anak-anak Gemaswara, dijelaskan secara tersirat kesan apa yang mungkin akan kita temui dalam cinta, ..sehari kita bersama/ Tak hampir-menghampiri// Ah! Hatiku yang tak mau memberi/ Mampus kau dikoyak-koyak sepi//.
Persoalan itu ditambah pula dalam puisi Ajip Rosidi yang berjudul: Tanah Air, yang memberikan pesan lain tentang, …rumah musnah jalan terbuka// Bunga merah bunga biru/ Kembang wĕra kembang Jayanti/ Tanah yang kujejak rindu/ Kan kurangkum dalam mati.// Dan …bila tiba malam/ bayangan itu menelan kita/ tak sisa sedikit pun/ lalu kita meraba-raba/ di mana ruang paling pantas/ untuk sembunyi dari hasrat hidup/ yang terus memburu./ sebagai kesan penutup dari puisi Kepada Waktu-nya Yopi Setia Umbara.
Syahdan! Kiranya sedikit catatan saya pada kesempatan kali ini mengenai album Oktovarium-nya Gemaswara, akan saya cukupkan dan akan saya kerucutkan muatan ceritanya: Oktovarium olahan Gemaswara di lain sisi tengah menceritakan bagaimana cerita (cinta) akan berakhir di tempat mulanya (dari cinta itu sendiri): keabadian, kesunyian, dan kematian hidup. Begitu.***
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.