Still Life with Pig’s Head, Pig’s Knuckles and Sausage (1600 – 1650)
3 hari lalu temanku menelpon. Ia mengajak berburu babi. Tentu saja awalnya aku tertawa terbahak-bahak, sebab pikiran macam apa yang sedang berputar-putar di kepalanya itu sehingga, dan dengan tiba-tiba pula, mengajakku berburu babi.
Belum sempat kujawab ajakannya, ia langsung menimpali dengan sangat tegas, “Hei! Ini serius. Kalau lo gamau juga gapapa.” Begitu kira-kira gaya bicaranya.
“Haha… oke tenang-tenang, santai. Emangnya lo mau berburu babi di mana sih?”
“Di Pulau Sanghyang. 100 kilometer jauhnya dari sini. Kata orang-orang, di sana banyak babi liar, dan gede-gede pula.”
Karena ia mengajak dengan penuh semangat, maka kuterima ajakannya yang random itu. Kami bersiap-siap, dan lalu berangkat.
***
100 kilometer sudah aku duduk di bus yang telah membuat pantatku terasa lembek dan panas. Sekarang aku sedang menunggu kapal datang. Matahari terus-menerus memuntahkan panasnya, mula-mula menusuk awan, kemudian burung-burung yang sedang berlalu-lalang di langit, sampai akhirnya terjun bebas ke ubun-ubun kepala manusia. Dan…ya! Matahari memang tidak pernah bersahabat dengan laut, sama halnya seperti angin, atau mungkin juga hujan, entahlah. Namun teman-temanku, yang berjumlah 4 orang itu, sedari tadi memapangkan muka ke hamparan laut seakan-akan tidak merasakan apapun, atau mungkin mereka sedang menantangnya? Entahlah.
Ya! Perjalanan laut memang selalu menyebalkan! Bukan saja tentang panas matahari, tetapi juga tentang menahan diri agar tidak muntah di kapal. Sebab ombak selalu menemukan caranya untuk mengganggu kenyamanan perut manusia. Dan jujur saja, aku teramat kikuk ketika melihat kapal mulai meninggalkan daratan untuk menuju daratan lainnya. Maka sepanjang mesin kapal berbunyi, aku memaksakan diri untuk tidur, begitupun dengan teman-temanku, sehingga terciptalah kesunyian di tengah gelombang ombak yang sedari tadi telah membenturkan dirinya ke sisi kiri kapal.
Ketika pertama kali menginjak kayu dermaga pulau Sanghyang, semerbak amis menemukan tempatnya di lubang hidungku. Teman-temanku masih sibuk mengecek ulang peralatan apa saja yang telah mereka bawa, tentu akan terang-repot jika ada yang tertinggal di kapal. Setelah semuanya dirasa aman, aku dan teman-teman segera mencari tempat ternyaman untuk mendirikan tenda.
Saat ini masih pukul 1 siang. Tenda sudah berdiri. Rencana berburu akan di mulai setelah isya, artinya masih ada waktu 6 jam lagi untuk bersantai-santai. Teman-temanku memilih tidur untuk menjaga staminanya agar bisa maksimal ketika nanti berburu. Sedangkan aku, untuk tidur siang yang panasnya lagi kebangetan seperti sekarang ini adalah suatu kemustahilan, walaupun dipaksakan, aku yakin, yang lahir hanyalah kekecewaan. Untuk itu, aku memilih menikmati pulau ini saja dengan melamun di gigir pantai.
Ombak mendebar-debur di sepanjang lamunan, mereka mendekat dan menjauh di waktu yang berdekatan. Dan saat itu pikiranku juga menjauh, menerobos awan agar menemukan kata-kata yang paling tepat untuk menerjemahkan lalu-lalang ombak itu. Tapi sia-sia saja, kata-kata sepertinya telah dibawa oleh angin sore; semakin aku mengejarnya, semakin tak terjangkau keberadaannya.
Akhirnya aku memilih untuk ke tenda. Dari jauh terlihat 4 temanku sedang memasak-masak, entah apa yang sedang mereka masak, namun harumnya sudah tercium sepanjang perjalanan ketika aku menuju tenda.
“Hei, makan dulu makan. Abis ini kita prepare, ya. Kayaknya cuaca cukup mendukung nih.” Ucap seorang teman yang sedang mengelap peralatan untuk berburu.
Cuaca memang cukup bagus, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Aku segera makan. Segera bersiap-siap. Segera menyiapkan alat-alat yang harus dibawa untuk menerjang sunyi-senyapnya hutan.
Dan… ya, malam pun tiba di Sanghyang. Bumi telah berotasi, bulan menampakkan keindahannya dengan mengguratkan pola tubuhnya di atas air, membentuk cahaya setengah melingkar yang kilaunya mengkilap-kilap layaknya fosfor. Dalam suasana itu, kami melingkar, berdoa untuk kelancaran perburuan malam ini.
Langkah demi langkah kami ayunkan hingga tiba di mulut hutan yang pohon-pohonnya persis rumah-rumah di perkotaan; dempet, berhimpitan! Pelan-pelan sekali kami memasuki hutan agar tidak mengeluarkan suara yang bisa membuat hewan buruan mengetahui keberadaan kami.
“Sssst…” Seru salah seorang temanku tiba-tiba, “Lihat. Kayaknya ada binatang di balik alang-alang itu.” Lanjutnya sambil menujuk alang-alang di sebelah kiri jalan yang terus bergerak-gerak.
“Oiya. Bentar. Gue cek dulu.” Jawab seorang teman yang lain.
“Pelan-pelan. Jangan sampe mereka mengetahui keberadaan kita.” Balasku.
Dengan langkah-langkah kecilnya, temanku lekas mengecek alang-alang itu. Aku dan teman lainnya bersiap menodongkan senjata ke arah alang-alang, siaga jika yang ada di baliknya memang benar-benar hewan buruan yang kami harapkan: Babi.
Dalam hitungan ketiga yang ditandai dengan bahasa jari akan mengungkap kehidupan apa yang tersemat di balik alang-alang tersebut.
Satu…..
Dua…..
Tiga…..
Kelinci melompat. Kami menghela napas. Babi masih merasa bebas!!!
“Yaelah ternyata cuman kelinci.” Gumam salah seorang teman dengan kesal.
Perburuan dilanjutkan. Malam masih panjang. Kesenyapan hutan membuat kami benar-benar harus berjalan dengan pelan. Semua indera ditajamkan, hidung, kuping, mata, mulut. Begitu juga dengan elemen-elemen tubuh, tangan, kaki, kepala, perut. Semuanya harus benar-benar seirama –bukan hanya kepada kelompok, tetapi juga diri kami sendiri. Itulah serunya berburu, bukan hanya memerhatikan apa yang ada di luar diri kita, tetapi yang di dalam juga harus menjadi fokus perhatian.
Yang namanya waktu memang selalu cepat berlalu, bulan setengah melingkar tak lagi terlihat kecuali jika kita mendongakkan kepala lurus menuju langit secara vertikal. Dan kami terus berjalan. Memasuki hutan senyap yang semakin senyap. Gelap yang semakin gelap. Kami melebur dengan semua yang ada di dalam hutan. Melihat, mendengar, mencium ke kiri dan kanan. Fokus!
“STOP!!!” Ujar temanku yang paling depan. “Kau melihatnya?” melirik ke arahku.
“Ya. Aku melihatnya. Siapin senjata masing-masing. Lo jalan duluan. Pelan-pelan.” Gumamku, sambil memberi perintah pada teman-teman yang berjaga di belakang.
Derap-derap langkah kecil kami lakukan. Babi itu kira-kira 30 meter jauhnya dari kami. Strategi kami susun. Senjata kami arahkan ke titik-titik yang memungkinkan babi itu akan kabur ketika mendengar derap kami. Langkah kecil, langkah kecil, langkah kecil, dan…..
Dorrrrrr…..
Babi itu menguik-nguik dengan hebat. Peluru tepat menancap di perutnya. Babi telah merebah tanpa daya, namun napasnya masih menghembus dengan sangat pelan, pelan, dan pelan. Tak lama setelahnya, babi itu mati juga.
“Akhirnya…” Ucap seorang teman yang telah berhasil menghunuskan pelurunya ke perut babi.
Kami mengelilingi babi itu, melihat kematiannya yang ironi. Sekejap kami melongo, sebab babi itu memanglah besar adanya. Kira-kira jika diasosiasikan, maka besarnya hampir sama dengan rusa dewasa.
“Gila! Gede juga ini babi.” Ucapku dengan heran sekaligus senang karena telah berhasil memburunya.
“Iya, ya. Baru kali ini gue lihat babi segede ini.” Balas seorang teman yang lain.
“Siluman kali, ya?” yang lainnya malah bertanya.
“Bisa jadi juga.” Yang lain ikut membalas.
Setelah mengheningkan cipta untuk kematian si babi. Kami memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon besar. Salah seorang teman membuka tasnya dan mengeluarkan kompor untuk memanaskan air, membuat kopi. Si babi disandarkan di pohon seberang dengan posisi mulut moncongnya menghadap kami, sehingga dapat menegaskan bahwa pada dasarnya kematian dan kehidupan selalu saling menatap, bersebelahan, hanya berjarak satu meter.
Kami berbincang-bincang, tertawa-tawa, dan mengejek si babi yang sudah tidak berdaya itu. Namun tiba-tiba angin menggeleparkan pepohonan, suaranya begitu nyaring, membuat daun-daun dan ranting-ranting berjatuhan. Mula-mula kami tak menghiraukan, sebab wajar saja kalau ada angin kencang di pulau, namanya juga angin laut. Tetapi angin itu terus bertiup semakin kencang, semakin kencang, dan semakin kencang.
Aku mulai heran, kenapa ada angin sekencang itu di sebuah pulau? Dan setelah pertanyaan itu dikeluarkan dari mulut, salah seorang teman, yang sedari tadi mematung di ujung akar pohon, matanya mulai memerah, merah yang tak seperti orang kekurangan atau belum sama sekali tidur, tetapi merah menyeluruh, tanpa ada noktah putih yang menetap di antara bola matanya.
“Heiii!! Dengar, ia menguik-nguik seperti babi.” Ucap seorang teman yang duduknya persis di dekat temanku yang matanya memerah itu.
Mula-mula suara itu pelan, sampai akhirnya mengencang, mengencang, dan mengencang seperti ada yang mengatur ritme suaranya. Kami bergeming. Saling tatap satu sama lain.
Masa iya arwah babi bisa merasuki manusia? Pertanyaan tolol itu keluar dari mulutku.
Sementara angin masih menggelepar dengan hebat. Temanku yang matanya memerah itu membungkuk, membentuk postur babi dan matanya menyalak hebat.
Astagaaa! Apalagi ini.
“Hei manusia! kenapa kalian membunuhku?” Ucap si mata memerah dengan marah.
“A..aa…nu. Kami hanya sedang berburu.” Balas seorang teman yang sedari tadi tubuhnya telah gemetaran.
“Apa kalian pikir aku pantas diburu oleh kalian?” Balas si mata memerah lagi yang sedang kerasukan arwah babi.
“Ka…kaa…mi minta maaf. Kami tidak tahu kalau akhirnya akan seperti ini.” Ucapku yang gemetaran juga sebab si mata memerah terus memelototiku.
“Ya!!! Memang kalian ini makhluk sembarangan. Makhluk yang tak pernah ingin mengetahui sebab-akibat keberadaan makhluk-makhluk di sini! Kalian benar-benar manusia yang egois!!!” Kali ini, si babi yang menjelma manusia dengan mata merah terlihat sangat marah.
Kami sangat ketakutan dan bingung harus melakukan apa. Jika kami lari, maka teman kami yang kerasukan babi tidak akan selamat, dan jika kami hanya diam di tempat tanpa melakukan apapun maka kami akan dijadikan objek yang terus-menerus dituduh negatif oleh si babi itu. Sial, gara-gara si babi ini.
“Kalau kalian saja ingin memperjuangkan hidup, aku pun demikian. Tak ada makhluk manapun yang ingin mati, apalagi dengan cara tragis seperti ini. Kalian hanya menyepakati kebenaran yang hanya kalian mengerti tanpa mempertimbangkan makhluk-makhluk lainnya.” Lanjut si babi.
Kami hanya diam. Sebab kami tertekan juga dengan ocehan si babi. Suasana di hutan semakin menyeramkan. Angin tak henti-hentinya menabrakkan diri ke pohon.
Sial! Babi! Situasi macam apa ini!
“Biar kuberi tahu kalian semua! Aku di sini bukan atas keinginanku sendiri. Aku dikirim oleh seseorang yang rakus, yang ingin menguasai seluruh tanah yang ada di pulau ini. Mereka –orang-orang rakus ini— telah berupaya untuk mengusir sisa-sisa manusia yang ada di sini, mereka telah mengupayakan pengusiran dari yang persuasif sampai diskriminatif, dari yang halus sampai kekerasan. Semua cara telah mereka upayakan, namun semuanya gagal. Manusia yang sekarang masih bertahan di pulau ini benar-benar sulit untuk diusir, mereka mencintai tanah ini, mencintai apa yang dikandungnya…” Si babi menjeda ocehannya, ia cukup melankolis mengutarakan kata-katanya. Tak lama ia melanjutkan, “Sampai akhirnya aku dan beberapa jenis hewan lainnya dikirim ke sini untuk merusak tanaman-tanaman, membuat manusia yang masih bertahan di sini tidak betah dan pergi secara sukarela. Kalian pasti paham betapa sulitnya hidup di antara dua perasaan seperti itu. Di satu sisi aku harus memperjuangkan hidup, dan di sisi lain ada manusia yang hidupnya bergantung pada tanaman-tanaman yang mereka semai di sini. Aku telah hidup 30 tahun di sini, telah beranak-pinak. Jadi, kalian jangan seenaknya membunuh makhluk yang ada di sini, dan bukan hanya babi, tetapi semua makhluk! Aku, dan beberapa makhluk yang ada dan yang masih hidup di pulau ini, telah berupaya untuk membagi makanan, membagi lahan, supaya kami bisa sama-sama hidup.”
Sejujurnya, aku, dan bahkan kami semua memikirkan betapa absurdnya semua ini. Ada babi merasuki manusia dan menjelaskan tentang sejarah keberadaannya di pulau ini. Sialnya, kami hanya bisa bergeming, mendengarkan cerita si babi yang ironi itu.
“Aku harap ini kali terakhir kalian membunuh makhluk-makhluk yang ada di sini. Makhluk-makhluk di sini bukanlah musuh kalian. Musuh kalian adalah diri kalian sendiri dan manusia-manusia rakus yang menggunakan makhluk lain sebagai alat untuk merebut keinginan liciknya.”
Setelah mengoceh itu, babi yang merasuki temanku terdiam, mulai lunglai dan kehilangan kesadaran. Suasana hening seketika. Si arwah babi telah keluar dari tubuhnya. Ia pingsan, merebah di antara dua akar pepohonan yang menjuntai. Dengan tergesa-gesa, kami lalu membopongnya keluar dari hutan.
Sementara itu, di langit bulan sudah berotasi, digantikan matahari yang perlahan-lahan naik, seakan-akan ia keluar dari dasar laut.
Pulau Sangiang, 24 Agustus 2025