ilustrasi cover lagu Kota Pemilik Hujan (Bowo Wijoyo)
Ada cinta yang tak terjemahkan/ Pada rindu yang ku-utarakan/ Angin yang membawa kencang/ Harap ku-tinggi menjulang/ Bersahajalah selama-lamanya
Mendengar lirik-bait pertama pada lagu terbarunya berjudul Kota Pemilik Hujan, Yudha Bhakti Permana (A Yud) dalam proyek Tunas Muda-nya (Feat. Lenggana) telah membikin saya terlempar jauh ke masa lalu—masa di mana segalanya bermula: ketika Bogor mulai menjadi tujuan atas penziarahan hidup saya. Tepatnya sewaktu lulus SMA, tahun 2017, sebagai remaja saya merasa tersesat—tak tahu ke mana arah hidup ini akan ditempuh. Kesesatan itu membawa saya bertemu kelompok mahasiswa yang bernama Lingkar Mahasiswa Bahtera (kini mereka saya sebut Lingkar Manusia Bahtera). Bertemu mereka, saya rasa, seperti bertemu dengan sebuah gambaran peta kehidupan yang tidak biasa-biasa saja, yang bertolak dari kelumrahan hidup yang teman-teman saya jalani.
Dalam asuhan mereka yang mengais pembelajaran kesenian dan kebudayaan, Bogor mulai menjadi fokus wahana penziarahan saya. Melalui merekalah saya mulai bertemu dengan berbagai karya-karya bertemakan Bogor, khususnya dari Kelompok Pasar Sastra Leuwiliang berjudul, Bogor Dalam Komposisi. Saya bertemu dengan buku yang kini masih jadi babon tentang kesejarahan Bogor yaitu: Sejarah Bogor olahan Saleh Danasasmita. Saya bertemu dengan kesenian musik khas Bogor, umumnya Sunda berikut literatur-mitologinya. Saya juga mulai bertemu dengan para pegiat seni-budaya di tanah Tunggul-Kawung—di Kota yang selalu Hujan ini.
Pada prosesi itu, dalam pembelajaran yang diasuh mereka, lambat-laun lalu membentuk diri saya ketika memandang Bogor yang hujan, Bogor yang berkabut, Bogor yang walaupun kadang buruk di pikiran dan baik di perasaan, tetap saja ia merupakan tempat lahir saya, ia adalah rumah bagi segala kisah atas perkembangan hidup saya, dan ia sangat mungkin akan menjadi tempat berakhirnya hidup saya, tempat di mana jasad ini dikebumikan.
Segalanya begitu cepat berlalu: waktu bagai kilatan petir di langit mendung-kelabu, dan ruang-ruang pembelajaran saya satu-persatu—yang akan cukup panjang jika saya sebutkan di sini—telah membentuk ke-diri-an saya sampai hari ini. Kerinduan saya atas kisah-kisah yang pernah terjadi dan terhimpun oleh Kota Hujan ini—di Bumi Tegar Beriman ini—baik hal-hal kecil atas perjalanan hidup pembelajaran saya maupun hal-hal besar perjalanan hidup Bogor ini mulai menyelimuti saya, perasaan-perasaan cinta yang bahkan sulit untuk diungkap-diterjemahkan mulai tumbuh sedemikian subur-berbunga.
Ada banyak sekali harapan yang menjadikan saya sedikit-banyaknya mulai mencintai Bogor. Ada banyak sekali impian yang menjadikan saya sedikit-banyaknya mulai mencintai Bogor. Ada banyak pula yang menghalau jalan kerinduan saya terhadap Bogor. Ada banyak pula yang mengelabui jalan kerinduan saya terhadap Bogor. Kini, dengan mengendarai waktu yang semakin cepat, saya telah sampai pada suatu catatan bahwa, Bogor bagi saya bukan hanya ruang pengembaraan saja, jauh sebelum itu ia (Bogor) sudah melebihi batas waktu persembunyian: kelahiran kisah masa depan dan kematian kisah masa silam. Maka, dalam menempuh kisah perjalanan masa depan inilah, menjadi peziarah atas kisah masa silam adalah jalan yang saya (atau mungkin kita) tempuh dalam memandang dan mengembarai Bogor ini.
Cukup! Lupakan kisah di atas yang tak penting dan biasa-biasa saja itu, kita kembali pada lagu Kota Pemilik Hujan-nya A Yud. Dalam bayangan saya, ketika mendengarkan lirik-lagu dalam larik-bait pertamanya itu, terasa ada guncangan batin yang akan membawa kita pada suatu citra dari Bogor: entah kenangannya, entah impiannya, bahkan sekelumit persoalan yang tengah di-hadapinya.
Lihatlah hari ini, Kota yang sedemikian panjang—yang telah memuat nama-nama, peristiwa-fenomena, dan kemegahan peradabannya yang kini telah gugur, lenyap, tenggelam-terkubur oleh arus gelombang zaman dan melahirkan peradaban baru bernama Kota dan Kabupaten Bogor ini, sedang kembali merayakan hari jadi-nya—hari ulang tahunnya: tertanggal 3 Juni 2025 yang ke-543 tahun, mengacu pada (kemungkinan penelitian atas) perayaan Ibukota Pakuan Pajajaran dan Penobatan Raja Sunda (dan Galuh) Prabu Jayadewata (Siliwangi).
Lihatlah yang terjadi pada Bogor hari ini: sebagian masyarakatnya tengah berkonflik soal tanah, soal ruang hidup, soal hak atas kotanya. Sebagian masyarakatnya tengah beramai-ramai mengeksploitasi lingkungan hidupnya sendiri, pegunungannya, lembahnya, sungainya, bahkan alih-fungsi lahan pertaniannya sendiri. Sebagian masyarakatnya memburu sejarah nenek-moyangnya, mengutuk masa kini, kecewa dengan masa depannya sendiri. Dan seterusnya—dan begitu pertunjukannya.
Pohon rimbun meneduhkan/ Sikap santun menyejukan/ Tertanam di jiwa tegar beriman/ Selamat ulang tahun ku-ucapkan/ Di mana ku-dilahirkan
A Yud, dalam lagu Kota Pemilik Hujan mengingatkan kita bahwa, betapa pun yang terjadi pada kehidupan Bogor saat ini, sejatinya ia masih cukup meneduhkan. Kebudayaan yang mengais sikap dan tingkah laku santunnya juga kini masih cukup pula menyejukkan. Sebab Bogor terlahir dari warisan atas jiwa nenek-moyangnya yang tegar, yang beriman kepada asah, asih, asuh, yang walaupun kadang-kadang heuras genggerong, heuras mastaka, namun itu adalah cara lain dari apa yang menjadi capaian silih-wangian, saling mengingatkan atas apa-apa yang tepat tapi belum tentu benar, yang benar belum tentu atas kebenaran, yang salah belum tentu mutlak adalah kesalahan.
Dan kini, Bogor, tepat di hari jadi-nya, saya rasa akan menjadi wahana penziarahan semua orang yang lahir, yang bermukim, bahkan yang sedang mengembarainya: untuk merenungkan kampungnya, desanya, kecamatannya, kabupatennya, kotanya, atau bahkan hidup manusianya sendiri sebagai insan yang hidup di tanah Bogor ini—dengan berbagai cara pandang dan tinjauannya masing-masing. Mereka, manusia Bogor, baik yang bermukim di Timur, Barat, Selatan, Utara, bahkan sekalipun Bogor Tengah, suka tidak-suka mereka terhadap Bogor, cinta atau benci mereka terhadap Bogor, saya rasa akan tetap mengucapkan selamat ulang tahun ku-ucapkan, di mana ku-dilahirkan, jauh di kedalaman hatinya masing-masing.
Sebagaimana A Yud dalam lagu Kota Pemilik Hujan—yang ia tulis sekaligus ia nyanyikan, saya rasa adalah muatan dari jalan panjang kerinduan—yang jika dimetaforakan sebagai air, kiranya A Yud sedang menuangkan air tampungan kerinduannya terhadap Bogor sebagai tempat lahir dan tumbuh-berkembangnya, mengingat kembali masa lalu atas jalan hidupnya, dan berpuncak tepat pada hari ulang tahun Bogor tahun ini. Bahkan, saya rasa, tawaran kisah yang terhimpun di dalam lagunya itu akan terus bergandengan dengan jalannya zaman, mendobrak putaran waktu, akan menjadi semacam refleksi-panduan ketika kita menginjak kembali hari ulang tahun Bogor di tahun mendatang atau setiap tahunnya—menjadi pengingat sekaligus mampu menampung segala harapan dan impian semua manusia Bogor yang mendengarkan lagunya.
Walaupun di dalam serangkaian historical, penetapan Hari Jadi Bogor yang kini bertanggal 3 Juni masih menjadi polemik sekaligus dapat menjadi celah untuk ditinjau kekeliruannya, itu lain soal dan bahkan bukan persoalan. Sebab, Bogor tetap milik masyarakatnya sendiri. Harapan dan impian di dalam segala kisah yang terhimpun atas nama Bogor telah dan akan menjadi rumah bagi setiap insan penghuninya, bagi masyarakatnya sendiri. Itulah mengapa, ketika kita membicarakan Bogor pada suatu hari nanti, sesuatu yang akan dan mungkin telah terjadi, adalah membicarakan jalan hidup kita sendiri. Segalanya yang menyangkut masa depan kita akan berdampak pada tempat kelahiran kita sendiri, dan tempat kelahiran kita sendiri itu pulalah yang akan memberi dampak pada masa depan kita sendiri.
Suatu hari nanti/ Kita kan menghuni/ Rumah sederhana/ Denganmu yang istimewa/ Pada kota yang sedikit ku-cinta
Atau, jika secara heuristik membaca sekaligus mendengarkan dengan saksama, bagaimana kisah di dalam lagu Kota Pemilik Hujan itu bercerita, dan jika tokoh di dalam lagunya itu adalah saya sendiri, mungkin akan begini muatan ceritanya: tepat di hari jadi Bogor—di hari ulang tahun Bogor ini, saya mengalami guncangan batin, entah mengapa. Perasaan cinta yang tak bisa diterjemahkan ini, kerinduan yang saya utarakan melalui catatan kecil ini, serupa angin yang mengais badai—yang dengan sedia menerbangkan harapan berisi doa-doa panjang saya ke langit Bogor ini. Walaupun pada akhirnya—segalanya akan berubah wujud dan suasananya, semoga rohnya masih serupa pohon rimbun yang meneduhkan, sikap santun-nya yang juga menyejukan, dan selalu tertanam di dalam setiap jiwa penghuninya yang tegar beriman kepada nilai asah, asih, asuh.
Karena kelak, betapa pun tragisnya kota ini nanti, saya akan tetap menghuni Bogor ini sebagai rumah, sebagai kemah pengembaraan hidup. Dan betapa pun tragisnya kota ini nanti, saya akan tetap membawa kekasih saya yang teramat istimewa itu tinggal di rumah sederhana, membangun pohon keluarga, menata hari baru, makna baru, dan narasi baru tentang kesejarahan Bogor ini.
Jika tidak hari ini/ Doamu jangan berhenti/ ku kan upayakan hari nanti// Selamat ulang tahun ku-ucapkan/ Kota Pemilik Hujan.
Sebab, jauh sebelum itu, segala kisah telah menjadi rumah, dan Bogor adalah salah-satunya.