Gambar: Dok. halimunsalaka: Situs Percandian Batujaya
Dalam tulisan Sundapura: H-yang Redup-Senyap-Hilang, saya mengulang-bina atau katakanlah sebagai anak-cucu manusia-Sunda sedang belajar menyusuri jejak peninggalan Tarumanagara dengan mengais kerja dan kaca-mata sastra. Sebagian peninggalan prasasti itu sudah kita baca dan sudah kita ketahui bersama bertempat di Bogor: dari Prasasti Ciaruten, Prasasti Kebon Kopi (Tapak Gajah), Prasasti Muara Cianten, Prasasti Jambu, dan Prasasti Pasir Awi. Sebagian di luar Bogor terdapat Prasasti Tugu di Jakarta (Cakung-Bekasi) dan Prasasti Cidanghiang di Pandeglang (Banten).
Peninggalan berupa situs batuan-bertulis Tarumanagara tersebut masih terlampau sangat penuh misteri, sebab sumber lanjutan terkait itu masihlah rumit ditangkap-basah, atau saya melihat hal itu serupa permainan puzzle yang masih berantakan dan bahkan jauh dari utuh potongan-potongan gambar-ceritanya. Sebagian lenyap-hilang dan terkubur, menyebabkan sulit dicerna gambaran cerita lengkap kesejarahannya. Akhirnya, kita sebagai anak-cucunya mesti menuntaskan permainan menyusun-menggambar puzzle itu dalam pencarian yang tekun, penuh kesabaran, ketika hendak menyusuri kehidupan masa lampaunya.
Setelah mengunjungi beberapa situs peninggalan Tarumanagara yang bertempat di Bogor itu, sebagai seorang awam dan bahkan seorang yang tak mengerti kerja filologi-epigraf maupun arkeologi, situs-situs peninggalan Taruma itu dalam bayangan saya seperti potongan gambar-cerita yang belum sanggup para peneliti kita pecahkan secara utuh. Karena saya penyuka dunia sastra, maka saya membayangkan hal itu serupa roman yang hanya dapat kita baca sedikit kutipan-kutipan ceritanya saja, atau hanya dongengan Kakek dan Nenek di waktu petang, cerita lengkap isi keseluruhan yang ada di dalam isi bukunya telah lenyap-hilang ditelan zaman.
Berbekal fenomena itulah, saya penasaran untuk bisa berkunjung ke Situs Percandian Batujaya di Karawang, yang sebelumnya sudah banyak saya baca informasi tentang hasil kajian dari para peneliti, yang mana kajiannya itu mengacu pada masa Tarumanagara, atau Kerajaan Sunda umumnya. Rasa penasaran itu pula disebabkan tentang keingintahuan saya apakah benar ada hubungannya Candi-candi yang ditemukan di Karawang itu dengan Prasasti yang tersebar di Bogor. Lama berteman dengan waktu, dan selalu gagal menentukan hari serta kesiapan untuk berkunjung ke sana, sampai pada akhirnya rasa penasaran untuk berkunjung ke Situs Percandian Batujaya Karawang itu terwujud juga hari ini.
Berbeda dengan (nyukcruk) ziarah-ziarah sebelumnya yang selalu ditemanin kawan-seperduluran Halimun-Salaka, pada kesempatan kali ini saya melakukan penziarahan ke situs Batujaya Karawang seorang diri. Mulanya saya berangkat dari Bogor, lalu rehat dan bermalam di Bekasi. Dari Bekasi-lah titik keberangkatan saya ke Situs Batujaya Karawang itu pada pagi hari, pukul 07:00 WIB, lebih lengkapnya pada tanggal 6 januari 2024, dengan jarak tempuh kurang-lebih sekitar 2 – 3 jam perjalanan dengan mengendarai motor.
Di perjalanan dari Bekasi menuju Karawang itu, sialnya saya dibayang-bayangi sepotong puisi Chairil Anwar yang berjudul Karawang-Bekasi: Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. Potongan puisi itu terus menyelimuti pikiran saya dalam perjalanan. Dan pada saat itulah saya bergurau: Chairil saja melihat Indonesia masih mengatakan kerjanya belum selesai, belum apa-apa. Maka sangat wajar ketika kerja-kerja para peneliti kesejarahan Nusantara kita hari ini belum selesai juga, dan belum apa-apa bahkan jauh dari kata sempurna. Toh, Nusantara lebih silam dan gaib dibandingkan Indonesia. Begitulah gurauan saya yang mungkin sedikit aneh. Heihe!
Setelah melewati sungai (Gomati Candrabagha – kali Bekasi), dan tiba menyusuri sungai Citarum, ada keanehan lain yang menghampiri saya. Sungai Citarum itu seperti berbisik menggoda saya agar menjeda perjalanan untuk rehat dan sekedar melihatnya barang-sebentar. Sialnya saya malah memilih untuk rehat, lalu menyalakan rokok dan memutuskan untuk menghabiskan 1 batang itu. Anehnya lagi yang pertama ada di dalam pikiran saya ketika melihat sungai Citarum itu, selalu saja tertuju dengan cerita-peristiwa-silam tentang fenomena Tarumanagara dan Maharaja Purnawarman yang sudah saya baca di-pelbagai buku-buku sejarah Tatar Sunda. Padalah wujud Citarum hari ini sangatlah keruh dan mengais banyak sampah.
Prosesi tersebutlah yang membuat saya berpikiran liar, apa dan bagaimana sebenarnya wujud Bekasi dan Karawang pada masa peradaban Tarumanagara? Lalu apa dan bagaimana hubungan orang gunung (Bogor) dan orang pesisir (Bekasi menuju Karawang) dalam kehidupan silam Tarumanagara? Jika semua berhubungan, tempat seperti apa di masa silam tentang situs batuan-bertulis yang bertebaran di pegunungan Bogor dan bagaimana pula keadaan situs percandian yang tersebar di pesisir Karawang?
Sesampainya di Situs Percandian Batujaya, pertanyaan-pertanyaan itu bukannya lenyap-berkurang atau hilang, malahan timbul dan jauh berkembang. Apa dan bagaimana sebenarnya Kerajaan Tarumanagara ini? Apakah ia hadir setelah Kerajaan Kutai-Kuna sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang berjilid-jilid itu, atau Tarumanagara hadir dari anggapan setelah peralihan dari Kerajaan Salakanagara, sebagaimana diberitakan Naskah Wangsakerta dan masih sering dipegang-erat-percayai para sepuh Sunda Bagian Barat khususnya? Lalu, bagaimana dengan sosok Purnawarman yang diberitakan dalam situs-prasasti batuan-bertulis? Apakah ia benar-benar tunggal sebagai pemimpin atau Raja Tarumanagara? Atau apakah sebelum dan sesudah Purnawarman, sebagaimana diberitakan Naskah Wangsakerta masih ada Jayasingawarman sampai Linggawarman? Hoaiii!
Sampai saat ini, seperti dalam tulisan sebelumnya (Sundapura: H-yang Redup-Senyap-Hilang) pesta pertanyaan demikian masih seperti angin-lalu, belumlah bisa terungkap jawaban mutlak kesepakatan bersamanya, dan lebih mengacu pada pandangan subjektif personal dari setiap kepercayaan memandang sejarahnya masing-masing. Pertanyaan di atas pula sebagian oleh para peneliti sejarah kita sudah divonis telak bahwa Purnawarman masihlah Raja tunggal, sebab hanya ia yang sudah meninggalkan bukti serta ditemukan buktinya dalam situs-prasasti batu-bertulis.
Puzzle (Sundapura) di Situs Percandian Batujaya
Baiklah, agar kita bisa bersama-sama belajar pada apa yang telah dikerjakan sekaligus ditemukan para peneliti kita, ada baiknya kita telusuri apa dan bagaimana Situs Percandian Batujaya. Secara singkat, kawasan Situs Percandian Batujaya pertama-kali diteliti dan ditemukan oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984. Sedangkan secara geografis, Situs Batujaya terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
Pada awalnya masyarakat di Desa Segaran dan Desa Telagajaya itu menyebut tinggalan candi yang sebagian besar terletak di tengah sawah tersebut dengan istilah unur atau bukit kecil, tempat masyarakat untuk ngangon atau mengembala hewan ternaknya, seperti kambing. Nah, setelah dilakukan penggalian arkeologi oleh para peneliti, ternyata dalam unur-unur tersebut terdapat struktur bangunan bata dengan berbagai ukuran, dan peneliti langsung memastikan itu merupakan bentuk-struktur candi.
Menurut Hasan Djafar, data terakhir tentang bangunan yang terdapat di situs Telaga Jaya dan Segaran terdapat 31 situs, 11 situs berupa candi-candi bata, 6 situs berupa struktur bata yang belum pasti bentuknya, 10 situs masih berupa unur, dan sisanya berupa situs- situs kecil. Di antara 11 situs bangunan candi itu, terdapat 2 candi yang sudah dieskavasi, yaitu Candi Jiwa (Segaran 1), Candi Blandongan (Segaran V).
Candi Jiwa (Candi Segaran I) sendiri, sebagaimana diteliti dan sekarang membentuk rupa batur yang tersusun dari bata-bata, denah visama caturasra (bujur sangkar) berukuran 19 x 19 m, tinggi sisa bangunan yang ada 4,7 m. Anehnya tidak mempunyai tangga di keempat sisinya. Lanjut menurut penelitiannya, sudah dipastikan ketika Candi Jiwa masih berfungsi dahulu bukan merupakan bangunan suci yang dapat dinaiki atau bukan bangunan tempat pelaksanaan upacara di permukaannya, melainkan dilakukan di bawahnya.
Lalu di puncak batur Candi Jiwa terdapat susunan bata yang dibuat tidak datar merata, melainkan bergelombang baik-turun, mengesankan kelopak bunga padma (teratai) mekar. Di bagian tengah kelopak- kelopak tersebut terdapat bentuk dasar lingkaran, dan diduga sebagai bagian dasar dari stupa, hanya saja bagian atasnya sudah tidak bisa kita lihat wujudnya. Maka, dapat dikemukakan bahwa dahulu Candi Jiwa merupakan Stupa yang berdiri di permukaan batur berdenah bujur sangkar. Sedangkan di sekeliling lapik stupa yang berupa batur tersebut terdapat pradaksinapatha yang dibuat dari susunan bata, posisinya hampir sama dengan permukaan tanah sekitar bangunan.
Hal itu sejalan dengan tafsiran para peneliti yang mengatakan Candi Jiwa merupakan wahana upacara mengelilingi stupa di masa silam dan dilakukan di jalan setapak mengelilingi candi tersebut. Berbeda dengan Candi Jiwa, Candi Blandongan terletak sekitar 150m di arah barat laut dari Candi Jiwa. Denah Candi Blandongan berbentuk visama caturasra dengan ukuran 25 x 25 m untuk denah kaki candi, denah tubuh candi 10 x 10 m, tinggi yang tersisa sekarang sekitar 3,5 m. Terdapat penampil dengan tangga di keempat sısınya, jadi secara keseluruhan membentuk denah tapak dara atau kerapkali juga dinamakan dengan salib portugis.
Sayangnya, bangunan yang tersisa sekarang hanyalah kaki candi yang dilengkapi pagar langkar di seluruh tepi kakinya, lalu pradaksinapatha di sekitar tubuh, dan tubuh candi itu sendiri. Para peneliti kita menduga, Candi Blandongan dahulu mempunyai atap dari bahan yang mudah rusak (blandongan), karena di lantai pradaksinapatha masih dijumpai adanya sisa 12 batu umpak. Sangat mungkin batu-batu tersebut merupakan alas tiang penopang atapnya (baca: Buku Kompleks Situs Percandian Batujaya).
Ketika sudah omon-omon eh omong-omong dengan penjaga museum Situs Batujaya dan sudah mengelilingi situs percandiannya: dari Candi Jiwa, Candi Blandongan, Candi Serut, Sumur, dan candi lainnya yang belum di-eskavasi, ada peristiwa menarik yang mesti saya utarakan di sini. Saya tercengang dengan apa yang diketahui sekaligus dihafal dalam ingatan para juru-pelihara dan penjaga-museum Situs Percandian Batujaya. Mereka menjelaskan dengan detail pada saya sebagaimana penelitian yang dilakukan Hasan Djafar dan arekolog lainnya. Sebab, seingat saya, juru pelihara prasasti-museum di Bogor saja tak memiliki ingatan sebaik mereka yang ada di Situs Batujaya.
Bagaimana tidak mencengangkan, mereka bisa mengatakan sesuai sumber yang saya tulisankan di atas, bahkan menyangkut kegiatan survei dan ekskavasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2006, mereka katakan pula dengan pernyataan sudah teridentifikasi 31 lokasi yang diduga mengandung bangunan candi. Ini sangat menarik tentunya. Dan hal itu persis-sejalan dengan apa yang diurakan Hasan Djafar dalam penelitiannya sendiri yang sudah saya baca. Mungkin, kalau tak berlebihan, para juru-pelihara di sana dalam setiap uraiannya merupakan gerak-gerik esai itu sendiri.
Penjelasan lebih lanjutnya menjelaskan bahwa survei yang dilakukan sejak 1984 dan penelitian sejak tahun 1985 itu teridentifikasi 30 situs yang belum sepenuhnya teridentifikasi tersebar di areal 5 km². Sedangkan dewasa ini total keseluruhan yang ditemukan terdapat 61 situs, 30 situs diduga merupakan bentuk-struktur candi. Pada lokasi tersebut terdapat berbagai jenis temuan yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori:
Pertama, bangunan yang meliputi candi, struktur tembok, dan bangunan profan. Kedua, Arca (arca batu) berupa stuko dan logam. Ketiga, Materai (votive tablet) terakota. Keempat, inskripsi pada meterai, bata, terakota, dan lempengan emas. Kelima, Gerabah, berupa gerabah Buni dan gerabah Arikamedu. Keenam, Alat bantu, Alat logam, dan Perhiasan berupa manik-manik dan gelang. Ketujuh, Keramik asing, Kaca, Kerangka manusia, Tulang hewan dan Serbuk sari (pollen) (baca: Buku Kompleks Situs Percandian Batujaya).
Sejalan pula dengan penelitian yang diungkapkan Agus Aris Munandar, berdasarkan pada kronologi situs antara abad ke-5-7 M itu, dapat dikatakan Situs Percandian Batujaya merupakan gugusan situs percandian terluas di awal peradaban klasik Indonesia. Tidak ada situs masa awal klasık lainnya di Indonesia yang menyisakan areal seluas Batujaya. Dengan demikian, maka Situs Percandian Batujaya merupakan situs percandian terluas di awal peradaban klasik Indonesia dan tertua di Pulau Jawa. Jika saja di Jawa bagian tengah juga ditemukan gugusan Candi Sewu, Prambanan, Plaosan Lor yang megah, maka bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah itu didirikan ketika peradaban Klasik telah berkembang pesat di Tanah Jawa.
Begitulah sedikit ringkasan cerita serta penelusuran saya ketika berkunjung ke Situs Percandian Batujaya. Tentu, uraian tersebut masihlah jauh dari kata sempurna dan utuh, sebab candi-candi di sana juga belumlah dieskavasi secara menyeluruh, dan hanya 2 candi (Jiwa dan Blandongan) yang sudah ditelusuri hal-ihwal kerangka dan sedikit ceritanya. Semoga pengantar di atas cukup untuk membuka pemandangan berkabut tentang bagaimana Situs Percandian Batujaya Karawang secara singkat. Maka, pertanyaan selanjutnya ialah, apa hubungan Situs Percandian Batujaya dengan Kerajaan Tarumanagara?
Secara umum, candi-candi di Batujaya oleh para peneliti kita diduga-eratkan hubungannya dengan masa Kerajaan Tarumanagara dalam persamaan tahun kejadian dan contoh ritual keagamaannya. Walaupun belum ditemukan bukti secara jelas dalam bentuk prasasti-bertulis bahwa candi-candi di Batujaya dijadikan hunian oleh Tarumanagara. Namun, sejarawan kita sepakat, bahwa bangunan candi Batujaya yang hari ini ramai dibincangkan sangat logis dipastikan terlibat dalam kehidupan masa Tarumanagara, ditambah lokasi tersebut menjadi hilir sungai Citarum, dan sangat dekat dengan sungai Candrabhaga dan Gomati atau kali Bekasi dewasa ini.
Sebagaimana dalam Prasastu Tugu, dijelaskan bahwa, dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) Dia pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paruh gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paruh terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan.
Apakah hanya itu kemungkinan hubungan candi-candi Batujaya di Karawangan dengan masa Tarumanagara? Lalu bagaimana situs prasasti yang bertebaran di Bogor? Tentulah masih banyak yang lainnya, namun belumlah terbongkar lebih detail penelitian para peneliti kita. Ehemsss!
Puzzle Sundapura dalam Naskah Wangsakerta
Tabe-pun. Dengan ini saya mempersilakan terlebih-dahulu pada pembaca budiman, untuk memilih dan berpegang dengan buku Sejarah Nasional Indonesia atau mencoba membuka cakrawala dengan isi cerita Naskah Wangsakerta. Sebab dalam catatan ini, saya hendak menyetir apa yang terdapat dalam isi Naskah Wangsakerta dan kecurigaan saya yang sangat personal mengenai potongan puzzle masa lampau, lebih khusus apa dan bagaimana teka-teki Kerajaan Tarumanagara. Dengan sedikit catatan: tulisan ini ada baiknya kita sepakati bersama, bahwa ini bukan sumber sejarah primer maupun sekunder, kita tegaskan terlebih-dahulu persoalan demikian. Sebab tulisan ini merupakan kerja anak-cucu yang mengais wahana sastra dalam meninjau dan bermain-main dengan dunia kesejarahan. Dengan bahasa lain, saya hendak bermain dengan teka-teki pikiran dan perasaan.
Ketika di kompleks Percandian Batujaya Karawang itu, saya melontarkan pertanyaan pada penjaga museum: “Pak, apakah sudah ada penelitian lebih lanjut di mana letak Kota Sundapura yang merupakan Ibukota Tarumanagara itu? Apakah titiknya di Karawang, Bekasi, Banten, atau Bogor?.” Penjaga museum lama terdiam, akhirnya menjawab juga, “saya tak berani mengatakan atau membuat ungkapan untuk menjawab itu, sebab para peneliti belum menemukan secara pasti dan akurat di mana letaknya. Namun jika boleh menduga, dan sebagian para peneliti mengungkapkan dengan mengarahkan pada kemungkinan Kota Sundapura ada di pertemuan atau di tengah-tengah sungai Citarum dan sungai Candrabagha atau Gomati, dan praduga hari ini sepanjang kali Bekasi menuju ke Karawang atau menuju pantai pesisir utara. Nah, kalau kita merujuk ke situ, kemungkinan jalan Bekasi menuju Karawang yang lebih dekat dengan ungkapan itu.”
Maka, kalau kita mengamini Naskah Wangsakerta, cerita Tarumanagara akan dimulai dalam tahun 348, Maharesi Jayasinghawarman dari keluarga Salankayana (seri kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara), bersama dengan pengikutnya sebagai pengiring, tentara, dan penduduk laki-laki dan perempuan melarikan diri ke pulau-pulau di sebelah selatan karena selalu dikejar-kejar untuk ditangkap. Mereka tiba di pulau Jawa dan menetap di wilayah bagian barat. Di situ sang Maharesi mendirikan dusun di tepi Ci-Tarum, termasuk daerah kuasa sang Prabu Dewa-warman VIII dari Salakanagara. Jayasinghawarman kemudian menjadi menantu Dewawarman VIII.
Lalu sekitaran 10 tahun kemudian dusun itu berkembang karena banyak penduduk dari tempat lain menetap di situ. Beberapa tahun kemudian dusun itu pun telah menjadi nagara. Jaya- singhawarman terus berusaha memperluas negaranya itu sampai menjadi kerajaan yang lalu diberinya nama Tarumanagara. Ia kemudian menjadi rajadirajaguru dan bergelar Jayasinghawarman Gurudharmapurusa dan memerintah selama 24 tahun (358-82). Setelah meninggal ia dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati ‘Yang dipusarakan di Gomati’, dan digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Rajaresi Dharmayawarman-guru yang memerintah selama 13 tahun (382-95). Ia bergelar demikian karena selain sebagai raja Tarumanagara, juga menjadi pemimpin semua agama di negaranya. Setelah meninggal ia dikenal sebagai Sang Lumahing Candrabhaga yang dipusarakan di Candrabhaga.
Dharmayawarman mempunyai dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Setelah meninggal ia digantikan oleh anak sulungnya, Purnawarman dengan nama Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati. Sebagai pemuja Batara India, ia dikenal dengan julukan Sang Purandara Saktipurusa Manusia sakti penghancur benteng musuh. Ia memerintah selama 39 tahun (395-434) dibantu oleh adiknya, Cakrawarman, sebagai panglima perang, dan pamannya, Nagawarman, sebagai panglima angkatan laut. Dari permaisurinya yang adalah anak salah seorang raja bawahannya, Purnawarman mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan.
Setelah meninggal dan dikenal dengan julukan Sang Lumahing Tarumanadi Yang dipusarakan di Ci-Tarum, ia digantikan oleh anak sulungnya, Wisnuwarman dengan nama nobat Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati Sang Purandarasutah yang berkuasa selama 21 tahun (434-55). la memperisteri Suklawatidewi, anak raja Wirabanyu dari negara bawahannya, Indraprahasta. Dari perkawinan itu lahir beberapa orang anak. Setelah meninggal ia digantikan oleh Indrawarman, anak sulungnya. Indrawarman yang bergelar Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramartha Sakti Mahaprabhawa Lingga Triwikrama Bhuawanatala itu berkuasa 60 tahun 455-515). Dan seusai dijemput kematian, ia lalu digantikan oleh anak sulungnya yang namanya dinobatkan dengan Sri Maharaja Candrawarman Sang Hariwangsa Purusasakti Suralagawagengparamartha dan berkuasa selama 20 tahun (515-35).
Anak sulungnya yang bernama Suryawarman kemudian menggantikannya menjadi raja, bergelar Sri Suryawarman Sang Mahapurusa Bhimaparakrama Hariwangsa Digwijaya dan memerintah selama 26 tahun (535-61). Dari permaisurinya ia mempunyai dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak sulungnya, Kertawarman naik takhta menggantikannya sebagai penguasa kedelapan Tarumanagara, bergelar Sri Maharaja Kertawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya Sakalabhumandala dan berkuasa selama 67 tahun (561-628).
Kertawarman mempunyai dua orang isteri: permaisurinya berasal dari keluarga Salankayana, sementara isterinya yang kedua berasal dari Suwarnabhumi. Karena mandul, ia tidak mempunyai anak dari kedua isterinya itu. Namun, isterinya yang kedua mempunyai anak angkat yang telah dianggap sebagai anak sendiri, bernama Brajagiri. Brajagiri kemudian diangkat menjadi senapati kerajaan sehingga menyebabkan keluarga kerajaan yang tersisih, kian mendendam.
Karena tidak mempunyai anak, setelah meninggal ia digantikan oleh adiknya, Sudawarman bergelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartharesi Hariwangsa. Sudawarman sebenarnya sudah menjadi brahmanaresi dan berdiam di India; penunjukannya sebagai raja merupakan kebetulan karena Kertawarman tidak mempunyai anak. la berkuasa selama 11 tahun (628-39) dan terkenal berwatak sabar dan berbudi luhur. Ketika berdiam di India, ia kawin dengan adik Mahendrawarman, raja Palawa ketika itu, dan mempunyai anak bernama Dewamurti.
Setelah Sudawarman meninggal, ia digantikan oleh anak- nya, Dewamurti sebagai raja kesepuluh Tarumanagara, bergelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman Digwijaya Bhimaparakrama. Berlainan dengan ayahnya, Dewamurti terkenal berperangai kasar dan tidak mengenal belas kasihan. Dalam pada itu ia sangat mencurigai Brajagiri yang diperkirakannya ingin merebut kekuasaan; dengan cara yang kasar ia mem- permalukan Brajagiri di depan umum sehingga Brajagiri merasa sangat sakit hati dan mendendam.
Brajagiri akhirnya berhasil membunuh Dewamurti yang hanya sempat berkuasa selama satu tahun (639-40) dan bersembunyi di hutan. Namun ia ditangkap oleh Nagajaya, raja daerah Cupunagara dan menantu Dewamurti. Oleh karena itu, Nagajaya kemudian menjadi raja kesebelas Tarumanagara, bergelar Sri Maharaja Nagajayawarman Dharmasatya Cupujayasatru. la memerintah selama 26 tahun (640-66).
Setelah meninggal, Nagajayawarman digantikan oleh anak sulungnya dengan nama nobat Si Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabhumi dan memerintah selama tiga tahun (666-9). Dari perkawinannya dengan Ganggasari, anak Prabhu Wisnumurti dari Indraprahasta (636-61), ia mempunyai dua orang anak perempuan. Anak sulung bernama Dewi Manasih yang diperisteri oleh Tarusbawa, dan anak kedua yang bernama Sobakancana diperisteri oleh Sri Jayanasa dari Sriwijaya.
Tak lama, setelah meninggal Linggawarman digantikan oleh menantunya, Tarusbawa yang berkuasa atas nama isterinya. Karena pamor Tarumanagara sudah sangat pudar, Tarusbawa bercita cita mengembalikan kebesaran negaranya sendiri, Sundasambawa, seperti pada masa pemerintahan Purnawarman yang bersemayam di ibukota Sundapura. Karena itulah, setahun setelah penobatannya (670) Maharaja Tarusbawa mengubah nama kerajaan dari Tarumanagara menjadi Sunda. Penggantian nama itu berarti mengakhiri riwayat kerajaan Tarumanagara selama 311 tahun (358-669).
Itulah sedikit transformasi dari embaran yang tercantum dalam naskah Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 1 karya “Panitia Wangsakerta” dari Cirebon (1686), transkripsi dan terjemahan oleh Ayatrohaedi dan sejarawan Sunda lainnya.
Teka-teki Puzzle Masa Lampau
Benarkah Kerajaan Tarumanagara merupakan lanjutan dari Kerajaan Salakanagara? Dalam Naskah Wangsakerta, Salakanagara merupakan kerajaan yang pertama kali muncul di Tanah Sunda, didirikan oleh Dewawarman yang nama gelarnya Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara pada tahun 52 Saka (= 130/131 Masehi). la berasal dari India yang datang bersama pengikutnya ke pesisir barat Tanah Sunda (pantai timur Selat Sunda) karena menjadi duta wangsa Pallawa sambil berdagang, la lalu menjalin persahabatan dengan pemimpin masyarakat pesisir yang bernama Aki Tirem atau nama gelarnya Sang Aki Luhur-mulya, bahkan kemudian ia menikah dengan puteri pemimpin tersebut yang bernama Pwahaci Larasati.
Berbekal cerita itu, Dewawarman menggantikan kedudukan mertuanya yang meninggal dunia serta meningkatkan status wilayahnya menjadi kerajaan dengan nama Salakanagara. Ibukotanya Rajatapura yang terletak di sekitar kota kecil Labuan sekarang. Sampai dengan Kerajaan Tarumarnagara bangkit, Salakanagara diperintah oleh delapan orang raja yang semuanya keturunan Dewawarman dari pernikahannya dengan Pwahaci Larasati. Semua raja Salakanagara bergelar Dewawarman. Kerajaan ini berhasil mengembangkan diri, karena dapat menguasai perairan Selat Sunda yang menjadi pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dengan India, Cina, dan wilayah lain di Nusantara.
Dewawarman ke-7 mempunyai hubungan erat dengan Kerajaan Bakulapura (Kutai) karena terjadi pernikahan antara dua keluarga istana itu. Dewawarman ke-8 sebagai raja Salakanagara terakhir memerintah tahun 340-363 Masehi. Maka, menurut Pangeran Wangsakerta, kerajaan pertama di Tanah Sunda mengacu pada kerajaan Salakanagara, bukan Tarumanagara. Kalau informasi ini benar dan ditemukan bukti lanjutan, sudah sangat logis kerjaan tertua di Indonesia merupakan Salakanagara. Hal yang tidak mustahil, sebagaimana dijelaskan Edi, Ayat dkk, jika dikaitkan dengan letak geografis kerajaan ini dengan anak benua India yang berpengaruh besar dalam mengangkat masa sejarah di Indonesia.
Jika kita menelusuri Naskah Wangsakerta dan mengait-adukan dengan penemuan Prasasti batu-bertulis Tarumanagara dengan Situs Percandian Batujaya, memang sangat logis jika Purnawarman bukan Raja tunggal Tarumanagara. Bahkan hal tersebut bisa kita tarik-ulur jauh tentang mitologi Kerajaan Salakanagara, yang diduga lokasi kerjaannya meliputi pesisir laut Banten dan pegunungan Sukabumi-Bogor hari ini.
Sederhananya, jika kita mengamini sebelum Tarumanagara ada Salakanagara, maka kelindannya ialah: ketika Salakanagara (Aki Tirem dan Dewawarman) berkuasa dari pesisir laut Banten sampai Bogor itu dan merupakan lokasi kerajaannya, lalu kelanjutan masanya setelah Salakanagara pada waktunya (pemerintahan Dewawarman VIII) mengganti nama dan beralih penerus tahtanya (oleh Jayasinghawarman) menjadi kerajaan Tarumanagara, tentu mengenai lokasi kerajaannya akan diperluas dan sedikit berpindah dari Banten-Bogor menuju Bekasi-Karawang. Dan kemungkinan itulah mengapa terdapat beberapa peninggalan candi di daerah Bekasi menuju pesisir Karawang itu ada, dan keduanya itu sudah dijelaskan di muka, diduga menjadi letak Ibukota Sundapura Tarumanagara.
Hal tesebut tentu hanya praduga-curiga dan pemaknaan saya sebagai anak-cucu, benar atau tidaknya itu lain soal, biarkan para peneliti dan sejarawan yang memutuskan dan terus menggali dan menindak-lanjuti hal-hal tersebut. Sebab, entah mengapa saya selalu terbayangi ke arah fenomena itu, selalu penasaran dengan mitologi teka-teki yang belum terpecahkan itu. Singkat ceritanya, setelah menziarahi prasasti batu-bertulis Tarumanagara, dan situs percandian Batujaya, entah mengapa saya mulai sedikit terbuka dengan kehadiran nama Raja-raja Tarumanagara yang sudah diberitakan Naskah Wangsakerta. Bahkan saya mulai jauh lebih terbuka dengan mitologi keberadaan Kerajaan Salakanagara.
Lagi-lagi persoalan demikian mesti kita garis-bawahi persoalan mutlak benar atau tidaknya. Hal tersebut mungkin dapat dan bisa benar-benar di-amini semua para peneliti dan sejarawan kita, mesti terbukti terlebih-dahulu sumber primer maupun sekundernya. Ketika misal ditemukannya situs-prasasti lanjutan Tarumanagara yang berkaitan dengan Salakanagara, atau naskah ceritanya dan aksara-aksaranya, dan sebagainya.
Kita tunggu saja bersama, kalau memang Naskah Wangsakerta merupakan cerita yang dapat kita percayai, pasti akan ditemukan sumber-sumber lanjutan dari situs-prasasti, atau naskah-naskah lainnya. Walau entah kapan waktunya itu terjadi, setidaknya kita mesti belajar husnudzon. Masih banyak kemungkinan dan teka-teki yang akan mengejutkan dan tidak pernah dibayangkan akan terjadi. Seperti kata Chairil: kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. Maka, kita tunggu dengan seksama dan sesekali membantu tugas-tugas peneliti-sejarawan kita, sampai pada akhir kerjanya selesai.***
Bogor-Bekasi-Karawang
6-20 Januari 2024
Sumber Bacaan:
Agus Aris Munandar. Beberapa Keistimewaan Kawasan Percandian Batujaya di Karawangan Utara: Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: “Ethnicity and Globalization”.
Ayatrohaedi. Sundakala: Cukpilkan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon. Pustaka Jaya: 2005.
Edi S. Ekadjati. Kebudayaan Sunda II: Suatu Pendekatan Sejarah. Pustaka Jaya:2009.
Hasan Djafar. Kompleks Percandian Batujaya; Rekonstruksi Sejarah. Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama: 2010.
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.