The cave Francois Vivares (French, 1709 – 1780)
di sini kok ada goa, bagaikan kuburan raya
betapa cocok untuk latihan, hidup mati berulang kali
Sekitar setengah jam dari tempat saya tinggal, ada sebuah goa yang amat indah. Lokasinya terpencil, namun semua yang mengelilinginya terasa permai. Kali pertama saya ke sana, saya lewati kuburan Cina yang megah. Di samping kuburan itu ada sungai coklat yang kotor. Dan di seberang sungai itu telah berdiri sederetan rumah KPR yang seragam warna dan bentuknya. Sehamparan sekelilingnya masih tampak asri dan selalu saja perhatian saya terpukau sebentar.

Semuanya mengingatkan saya pada puisi-puisi Ragil Suwarna Pragolapati yang ajaib komposisinya. Mirip panorama stalaktit dan stalagmit yang tenang dan damai, namun menyimpan semacam misteri tak tepermanai. Goa, melalui puisi-puisinya, seperti dunia di dalam diri. Ia bukan sekedar ruang fisik yang gelap, bukan semata gelanggang kontemplatif, bukan cuma arena ujian meditatif, melainkan juga medan pergulatan untuk menggali permasalahan “manusia asing”, yaitu manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri atau teralienasi dari lingkungannya.
Pada suatu pagi kegembiraan hati saya seperti lengkap. Film-film Indiana Jones sibuk membayangi permenungan saya, ketika saya makin jauh masuk ke dalam goa dan terkesan mengganggu kelelawar yang sedang tidur. Perjalanan ke tempat-tempat asing seperti ini membuat saya merasa diri laiknya Indiana Jones, ia seringkali menunjukkan petualangan goa yang penuh aksi, bahaya, dan kejutan. Sehingga terkadang saya merasa tertantang pula untuk menjelajahi ruang yang gelap, asing, dan tidak terlalu terjamah ini.
Dua film lain yang mengenalkan saya tentang goa ialah “127 Hours” (2010) dan “Sanctum” (2011). Keduanya sama-sama menampilkan tentang goa dari sisi bahaya dan cara bertahan hidup dalam kondisi maupun keadaan ekstrem. Darinyalah saya mendapatkan kesan dan perasaan tentang bagaimana petualangan di dalam goa, film-film survival itu jelas memantulkan resiko, menagih persiapan matang, dan menuntut kewaspadaan tingkat tinggi.
Plus setiap kali saya membaca kisah goa itu menyeramkan. Seseorang harus mati atau terbunuh demi oksigen bagi orang lainnya. Karena musuh sebenarnya di dalam goa adalah sesak napas, selain tragedi atau kecelakaan yang mungkin terjadi di dalam goa. Meskipun adapula kisah lain yang sudah tidak asing kedengarannya tentang “manusia goa” yang mampu bertahan hidup dan tinggal di goa selama belasan hingga puluhan tahun. Ada yang singgah untuk bertapa selama waktu yang ia tentukan sendiri. Ada yang menjelajah untuk menggali peninggalan barang dari masa lalu atau mengungkap rahasia peradaban masa silam.
Goa adalah kombinasi sempurna antara misteri, gelap, sunyi, gaib, aliran sungai bawah tanah, bentuk-bentuk yang aneh, keheningan yang mendalam, dan setiap sudutnya terasa ada sesuatu yang tak terucapkan. Pembelajaran saya selama menyusuri goa yang paling berkesan ialah bahwa kita semua dikepung oleh sesuatu yang gaib. Semakin menjelajahi ke dalam goa, semakin saya percaya bahwa kegaiban selalu mengintai kita dan kita harus mengaktivasi kecerdasan (ekstra-intelektual) untuk mengerti yang gaib itu apa saja.
Karena kegaiban selama ini yang kita kenal masih sebatas Gusti Allah, Jin, Malaikat, Setan, dan sebangsanya. Padahal semuanya itu gaib. Setiap hari kita habis-habisan ditubir oleh kegaiban. Kita tidak tahu besok sarapan apa, Ibu kita sedang batin apa, jodoh kita besok-besok siapa, kita jualan laku berapa, dan ini semua ialah contoh gaib yang nyata.
Syukurlah, Allah telah menyampaikan dan meyakinkan diri kita untuk percaya saja. Supaya kita tidak celaka, tidak hancur, dan tidak frustrasi oleh kegaiban di sekitar kita serta di dalam diri sendiri. Adapun caranya untuk menangani problem ini semua ialah cukup dengan bertakwa dan bertawakal kepada Allah.
Karena memang saya tidak tahu apa-apa tentang goa. Saya bukan peneliti. Bukan pertapa modern. Bukan petualang seperti Indiana Jones. Bukan seorang yogi seperti Ragil Suwarna. Saya cuma pengunjung goa yang ingin mengerti kembali apa yang kita sudah tidak tahu dan mengerti apapun saja yang kita sama sekali tidak tahu.
Tempo lalu Simbah (Cak Nun) telah mewanti-wanti bahwa kita sedang berada pada suatu abad hilangnya karakter, hilangnya kepribadian diri. Kita semua tengah mengalami degradasi peradaban yang luar biasa. Disorientasi kemakhlukan kita telah mencapai di titik nadirnya. Sekarang ini dari segi kekaryaan pun tak ada lagi kepribadian yang khas, amat berbeda dengan era jauh sebelum-sebelumnya (sebutlah sendiri nama-namanya dalam hati). Pandangan ini kalau mau ditelusuri lebih lanjut mula-mula bisa digali melalui akar permasalahannya: ada atau tidak ada masalah sekitar pengkaryaan? Pada sekarang ini adakah yang hendak mengatasi tegangan antara konvensi dan hasrat pembaharuan, atau memberontaki tradisi para pendahulunya?
Begitulah goa, apa saja tiba-tiba berebut muncul dalam ingatan seperti hendak mencari, menjelajah, menemukan sesuatu yang tersembunyi, dan atau mengurai pertemuan antara mistik dan klenik yang sering dikaitkan dengan goa. Secara epistemologi, yang mistik dan klenik itu bedanya ialah, kalau mistik itu sebuah mekanisme-dimensi-frekuensi tertentu yang memang terjadi, dan untuk memahaminya harus menggunakan perangkat rohani. Sedangkan klenik itu, apa yang tidak ada diada-adakan, apa yang tidak besar dibesar-besarkan, dan apa yang tidak benar dibenar-benarkan. Tetapi ketika sesuatu yang tidak ada itu menjadi ada karena kepasrahan kita kepada Allah itu berarti menjadi mistik, dan bukan klenik.
Betapapun rules of the game (pola dari alam) goa itu sedemikian sustainable dan memiliki ekosistem yang sehat, ternyata ia juga mengandung semacam simbol dari jiwa yang gelap (selain simbol spiritual yang memicu refleksi mendalam) dan penuh rahasia. Goa itu seperti buku panduan penjelajahan, misteri, dan perjalanan memasuki lorong yang panjang ke dalam diri sendiri. Goa menjadi gelanggang kontemplatif-meditatif untuk kita menemukan kembali jati diri kita yang paling murni, sejati, atau otentik. Goa mengantarkan kita ke tuju makna terdalam dari keberadaan kita di tengah-tengah “kegelapan total” batin yang perlu dipantulkan oleh kesadaran.

Goa adalah pusat pembelajaran manusia untuk bisa lebih fokus pada suara batinnya sendiri yang selalu luput dari jangkauan hiruk-pikuk keseharian hidup. Goa adalah sasana perenungan untuk kita menjenguk ketakutan yang tengah terbaring dan bermukim di dalam diri kita. Goa adalah tempat di mana kita bisa menyalakan wifi sepuasnya agar kita senantiasa online dengan Allah seru sekalian alam.
Seperti yang sudah-sudah, niat saya menjelajahi goa ialah berkat didorong oleh keinginan luhur untuk menerapkan laku “terang dalam kegelapan” dan memupuk tenaga makna (kalau boleh dibilang gaib) demi melaksanakan kata-kata sajak Rendra: Aku pulang. Setelah mati di dalam hutan, dan hidup kembali. Goa membuat saya mengerti apa itu mati dari “beban duniawi” untuk mengalami semacam “kelahiran kembali” secara rohani. Goa mendidik saya agar senantiasa berani hidup mati berulang kali: mati setiap saat, hidup setiap waktu.
18-19 Agustus 2025