Mengutuhkan Diri Kepada Sastra
Setiap manusia mengutuhkan dirinya untuk memperkembangkan beribu kemungkinan melalui bidang apapun. Sastra, misalnya, suatu pengejawantahan nilai-nilai di dalam alam kewajaran kehidupan, kemungkinan terarah ke semesta pengembaraan kualitas hidup yang manusiawi, yang tipologinya terkembang jadi “aliran dan getaran”, yang sesekali juga mengalami kebekuan/krisis/pencapaian untuk sementara waktu, tapi kemudian selalu dicurigai oleh kemungkinan keindahan yang lain, yang lebih sesuai menurut permintaan zaman, dan lebih mutakhir.
Sastra terus bergerak seturut dengan perubahan kehidupan, karena sentrum utamanya ialah semesta manusia. Barangkali sastra itu semacam penempuhan inti batin, yang hijrah ke pelaminan ruh sunyi, menggali magi dan pesona, lekas atau sejati, di dalam diri manusia. Seperti halnya manusia mengemban tugas adalah tugas, bukan demi sorga atau neraka, tapi karena memang tugas manusia adalah menjadi manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia, jika mengelak dari sastra. Pun tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra.
Mengingat kata Emha Ainun Nadjib, “apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lubang gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem sosialitas, maka kebudayaaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.”
Pada hakikatnya, Tuhan menciptakan manusia itu bukan—hanya atau yang utama—fisik-jasad-materi, melainkan juga rohani. Manusia di dalamnya juga dilengkapi hati, jiwa, kalbu, batin, nyawa, nurani, dan sebangsanya. Bukan sekedar tubuh, apalagi panca-indera. Bukan cuma penumpukan harta benda keduniaannya. Bukan pula sekedar investasi hal ihwal yang sifatnya sementara. Manusia adalah getaran spiritualitas di dalam jiwanya, di mana pengalaman sastra bisa merangsang untuk berada mendekatinya, untuk menjala setiap murni getaran itu, dan untuk bergulat meski harus sedemikian nyeri. Manusia adalah resonansi gelombang yang langsung terhubung dengan Tuhan, yang hidup kebudayaannya sedang ditekan dan ditindih oleh segala macam materialisme, namun selalu bergairah membebaskan dengan menyuling tetes kelembutan jiwa sastra dan dimensi kehalusannya berdaya untuk mengembarai pandangan sejati manusia terhadap Tuhan.
Pengalaman sastra ialah barangkali ketika membaca atau melihat segala yang dilemahkan itu hatinya tak berdaya, dan yang tersisa hanyalah kehadiran sejati. Ketika peradaban seakan-akan menyerah kepada kebuntuan itu, justru kian tak jemu-jemu kita mengasah diri, meski iramanya begini sesak dalam hati dan jiwa. Demikianlah sastra, sebagaimana kesenian pada umumnya, barangkali tak kasat mata. Ia mungkin bagian dari yang seringkali disebut panggilan jiwa, mungkin bagaikan aliran, selaku getaran, laksana gelombang atau magnet—yang sama sekali tak tersentuh oleh panca-indera. Karena itulah para pelakunya memerlukan kata (dan lain sebagainya) untuk menyampaikannya. Sebagaimana sastra, komposisi penciptaannya menggunakan kata sebagai substansi sekaligus sarana.
“Ummat manusia tidak bisa mengelak dari pengalaman sastra, agar ia bertahan menjadi manusia. Maka ia membutuhkan karya-karya sastra. Namun demikian karya sastra bukan satu-satunya tempat di mana sastra bisa ditemukan dan dialami. Karya sastra bekerja mengantarkan manusia untuk memasuki dimensi sastra—yang letaknya ada di dalam dirinya sendiri, di kandungan alam semesta, serta dalam komunikasi dan interaksi dengan Tuhan yang merupakan asal-usul dan tujuan akhirnya,” ungkap Emha.
“Sastrawan Tidak Bisa Hidup Dari Sastra”
Begitulah headline harian “Kompas” pada Senin, 26 Mei 2025—yang sedang hangat dalam perbincangan. Seketika timbul pikiran saya bahwa mustahil sastrawan jadi kaya, malahan kekal melarat. Mungkin ada seorang atau beberapa nama, yang mujur, boleh dikata bisa dihidupi oleh karya sastra. Tetapi pada kenyataannya, kebanyakan pangayubagyo sastrawan justru lebih menghidupi sastra itu sendiri. Dan itulah sastra, “…kecil, aku memang makhluk kecil, tetapi kecil biarlah kecil. Aku bertolak pinggang di bawah matahari, bersama mereka aku berjalan, untuk masa depan bangsaku…” (Berkata Indonesia Dari Yogyakarta, Kelompok Kampungan).
Sudah saya baca liputan kompas tersebut. Tak ada satupun muatan yang saya bantah, semuanya telah nyata dan terjadi, sejak dulu. Dan pasti saya tidak mampu merumuskan jalan keluar sastra dari silang sengkarut literasi, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan dari perspektif pendidikan untuk meningkatkan daya apresiatif sastra di tengah masyarakat, sebab hal demikian tergantung pada sistem yang berjalan.
Sistem yang terus memperlakukan sastra sebagai aktivitas membaca dan menulis belaka. Sistem yang membebani sastra dengan misi untuk menyelamatkan bangsa dari ketertinggalan literasi, pemiskinan berlarat-larat, dan korupsi berkepanjangan. Sistem yang tidak terutama berangkat dari persoalan mendasar bahwa kerja-kerja perbukuan itu melibatkan orang banyak: penulis, editor, layouter, desainer, ilustrator, penerbit, percetakan, pemasaran, distributor, reseller, toko buku, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, sistem yang kadung diciptakan juga tidak pernah dievaluasi dengan mempertimbangkan variabel lain yang mendukungnya yakni, ekonomi beserta pihak maupun bidang lainnya. Menjadi wajar apabila sistem inilah yang justru membelenggu sastra dengan kesempitan dan kedangkalan berpikir manusia ke tetek-bengek dalam kehidupan.
Lantas, kepada siapa atau apa “sastrawan tak bisa menggantungkan hidup pada sastra” itu ditujukan? Negara? Pemerintah? Pelakunya? Pembaca? Pengarang? Impresario? Maesenas? Penggiat literasi? Duta baca? Bookstagram? Book influencer? Meskipun saya tahu maksud implisitnya adalah berharap sastra bisa dijadikan sumber penghasilan bagi sastrawannya. Dan andaikan itu dapat terwujudkan, tak pernah terbayangkan oleh saya bagaimana sastra setelahnya dan kemudian.
Satu-satunya hal yang mungkin saya bayangkan ialah sastra tetap berdiri tegak martabatnya pada segala zaman, meski sebagian pelakunya semakin merasa asing, sebagian lain tak mengenalnya, sebagian lagi mengkritiknya habis-habisan, lainnya lagi sibuk mengolok-olok dan meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mulai meragukannya dan perlahan-lahan pergi meninggalkannya, atau mencampakkannya seolah tidak pernah ada di hidupnya.
Sastra lain dulu lain sekarang, dan memang sejarah telah menuliskan bahwa koran dan sastra Indonesia pernah saling menghidupi sastrawan selayaknya, sewajarnya dari segi honor. Sastra dan sastrawan seperti suami-istri, saling tolong menolong, dalam suka maupun duka. Keduanya hidup cukup mesra, akrab, dan sangat bersahabat. Sebelum pada akhirnya, para penyelingkuh kehidupan itu datang dan membangun realitas pahit. Teknologi memaksa majalah cetak adu lari dengan digitalisasi, lalu majalah sastra pun berguguran. Handphone mengubah media cetak lama menjadi media-online, lalu koran yang memuat kolom-kolom sastra tinggal nisan. Sehingga dalam perkembangan drastis media-online, kualitas karya kian tak menentu, dan bahkan seperti layangan putus secara finansial maupun honor.
Sementara itu, di hadapan generasi sastra milenial, sastra seolah-olah menjadi tren dan gaya hidup. Sejak awal, proses kepenulisan bukanlah profesi, dan mereka tak pernah berharap dihidupi oleh sastra. Kian kemari malah lebih banyak menghidupi sastra. Dan untuk mengatasi hidup atas sastra, pekerjaan mereka justru tak tergantung sastra. Kalaupun ternyata tetap bersastra, karena memang mereka membutuhkan sastra untuk mengungkapkan segala sesuatu dan menyatakan diri. Untuk kebutuhan berekspresi. Meskipun ada-kalanya juga sastra tidak selalu menagih dituliskan, tetapi juga dilakukan. Menjadi perbuatan sehari-hari. Menjadi suaka istirah dalam sepi, membukakan diri menikmati puisi. Atau bisa juga menjadi ruang-ruang sastrawi yang alternatif, yang bukan berdasarkan fobia, bukan momok, apalagi sentimentalitas atas penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang sebelumnya sudah ada, yang membedakan mungkin format atau formula sosialisasinya. Sehingga peristiwanya terasa sebagai keasyikan sastra yang lain dari generasi-generasi sebelumnya.
Perkara apa dan bagaimana sastra didekati, diperhatikan, dipahami, dimengerti, dituliskan, dipandang, dihayati, digagas, dialami, diamati, diilmukan, ataupun diteorikan. Pun bukanlah soal ketika sastra dilihat sebagai kata-katanya maupun rasanya, atau bahkan ruhnya, diputih atau dihitamkan, dipersempit atau diperluas, diabstraksikan atau dikonsepsikan, diformulasikan atau dimetedologikan, dibatasi atau dibebaskan, dikuduskan atau dilaknat, dianjurkan atau dilarang, dielaborasi atau dikolaborasikan, dihubungkan atau dipisahkan, diilmui atau dimaknai, tetapi yang utama ialah bahwa sastra dalam kondisi kayak apapun, tak mati-mati, meski manusianya mati.
Orang berkenalan dengan sastra yang saya sendiri sukar mengenalnya, begitupun sebaliknya: saya berkenalan dengan sastra yang bagi orang lain tak dikenal, tidak mengenalinya atau mempercayainya. Dan itu tidak masalah, justru di situlah keajaiban atau ke-hakiki-an sastra. Saya menikmati bersitegang sekeras pergulatan dengan sastra melalui karya-karyanya, bertatap pandang dengan beragam wajah manusia, di hidup bersama kawan-kawan yang senantiasa berproses, di kedalaman hati tiap pribadi, di suka-duka pergaulan antar sesama, di kehamparan alam semesta, di kitab puisi Al-Qur’an, di penderitaan rakyat dalam Negara, di kesepian orang-orang yang hidupnya sangat tertekan, di sela-sela demonstran yang tengah memperjuangkan tegaknya keadilan, di kerabat-teman-sahabat-saudara yang seringkali disalah-pahami banyak orang baik dalam pekerjaan maupun kehidupan, dan di segala jurusan kemungkinan antar hubungan antar persambungan dengan apapun dalam kehidupan.
Sastra Di Tengah Negara Yang Tak Mengenal Keindahan
Kita adalah bangsa yang besar, yang karena kebesarannya itu, tidak cukup buat menampung keindahan. Tapi kesan umum, keindahan itu penting di kehidupan berbangsa dan bernegara. Mustahil tak ditanggapi tiap sidang-diskusi-rapat infrastruktur pembangunan, meskipun keindahannya telah direduksi hingga yang tersisa hanya “materinya”. Keindahan harus dijinakkan agar patuh kepada benda dan bisnis. Sedangkan segala sesuatu yang indah secara rohani-batin-jiwa tidak pernah diperhatikan dan tidak mendapat tempat yang bersenyawa. Begitulah keindahan, bisa dipersempit atau diperluas pemahamannya ke apapun saja kemungkinan banyak hal dalam kehidupan.
Kita adalah bangsa yang besar, yang karena kebesarannya itupula, belum sungguh-sungguh menghormati-menghargai orang besar. Kita tidak serius pada nilai-nilai. Kita tidak mengerti manakah orang besar itu: orang kecil yang punya karya besar, orang kecil yang punya karya kecil, orang besar yang punya karya kecil, atau orang besar yang punya karya besar. Semuanya itu punya potensi sebagai orang besar, di wilayah kebersahajaan, atau kemuliaan hidup secara laku. Tetapi karena kita tidak pernah diajarkan itu, tidak diberi kesempatan untuk melihat dan belajar dari orang besar, maka sangat sulit untuk kita menentukan garis besar haluan atau parameter nilai-nilai mengenai orang besar.
Mafhumlah kenapa orang besar di sastra sendiri ternyata tidak terlalu dipedulikan. Orang besar ialah seorang yang tidak semata-mata karena telah banyak membaca literatur dunia, melainkan karena ia selalu membebaskan diri dari pengetahuan buku-buku dan berusaha menemukan keunikan sekaligus keotentikan dirinya dalam membaca gejala-gejala zaman. Menyigi apa relevansinya bagi hidup keseharian. Sekedar contoh, menurut Sutardji Calzoum Bachri, Rendra adalah penyair besar dengan karya besar. Banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak punya kepribadian besar. “Rendra mempertautkan orang besar dengan karya besar. Ia seniman yang punya integritas,” ujarnya.
Sedangkan, kita berada di satu kurun “ketidakberadaban”, di mana pohon yang mencari alam, di mana rakyat yang mencari pemerintah, di mana negara yang mencari materialisme-kapitalisme-industrialisme, serta di mana-mana semakin banyak ketidakberadaban manusia. Kalau orang miskin lapar mencari nasi. Kalau orang kaya lapar mencari korupsi. Semua ini gaya hidup dari peradaban “benda” yang sungsang. Ini juga termasuk mata pencaharian yang nyata di dalam kultur sistemik perusakan yang diprakarsai antar golongan.
Negara telah diwakili oleh tiga raksasa dari materialisme-kapitalisme-industrialisme yang mendukung dan mendominasi kekuasaan. Tiga raksasa itu menyerang, menyerbu, menghisap, yang puncak pencapaiannya tergambarkan seperti sajak Chairil, “aku hilang bentuk, remuk.” Hingga lebih Chairil lagi, “yang tinggal tulang diliputi debu.” Manusia telah menjadi korban mutilasi yang tinggal tulang berkeping-keping, itupun masih dianggap sebagai benda, yang kemungkinan bisa laku di pasar. Kalaupun ada faktor-faktor sastrawi yang diambil dari manusia, seperti intelektualitas, kelembutan, kepekaan, ketajaman, kreativitas, penghayatan, permenungan, pembatinan, perasaan, sensitivitas, bahkan berbagai hal yang mengandung “rohani”—pun mesti dikomoditaskan sebagai benda agar bisa mengeruk laba dan keuntungan di pasaran.
Ajaibnya lagi akan selalu ada di mana manusia yang mencari sastra. Manusia membutuhkan sastra untuk mengutuhkan kembali kemanusiaan yang tercerai-berai itu. Setidak-tidaknya berdaya “vaksin” untuk menjaga diri agar tidak tertular oleh penyakit ketidakberadaban, dan terus mencoba semampu-mampunya untuk tidak menjadi bagian dari lingkungan ketidakberadaban itu. Seakan-akan sastra menggerakkan ke wilayah mana yang bisa kita tinggali dan pekerjaan apa yang bisa kita lakukan-jalani, asalkan itu berada di luar area penghisapan itu. Sastra, sebagaimana mengukir pandangan Emha, “memang tidak menjadi ‘fosil’ sejarah di tengah peradaban sosial di mana kemanusiaan ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah. Sastra tidak musnah oleh riuh rendah Negara, Industri, dan Kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada manusia. Negara yang hanya mampu memandang kehidupan manusia pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan indera.”
Sastra tidak hancur lebur di tengah situasi dan gerak-gerik peradaban yang dibangun oleh tiga raksasa itu—yang segala sesuatunya bisa dikapitalkan, dinominalkan, dan dikomoditaskan. Malahan kalau pakai sepenggal sajak “Kun” dari Allah itu bisa membuat segala sesuatu menjadi sia-sia.
Sebab bukan sastra yang mencari manusia, melainkan memang manusia membutuhkan sastra untuk kemanusiaannya. Manusia memerlukan sastra demi membela kehidupan sebagai esensi dan disiplin artistik yang diyakininya. Manusia sangat butuh sastra untuk mengolah proses perohanian-penghayatan-pembatinan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama, maka dengan begitu, punya kemungkinan mencapai keberadaban peradaban yang lebih manusiawi, lebih baik, lebih tepat, lebih indah di dalam kewajaran kemanusiaan. Karena seluruh wacana peta nilai manusianya tak bisa menghindari sastra. Meskipun bagi Emha lebih dari itu, alur sebab-akibatnya bukan bahwa sastra membutuhkan peran Negara untuk memberadabkan bangsa. Melainkan Negara membutuhkan sastra, kalau memang para pelaku Negara mengetahui bahwa tak ada masa depan Negara jika rakyatnya tidak dipertahankan sebagai bangsa manusia dengan keberadaban rohani kemanusiaannya.
Dengan kata lain, kemungkinan Negara yang tidak mengenali sastra akan terombang-ambing. Manusia yang tidak berakar sastra akan goyang kemanusiaannya. Itupun seandainya kita jujur pada diri sendiri bahwa hari ini dan ke depan rohani tak kalah penting ketimbang politik kekuasaan.
Pendidikan dan Jiwa Sastra
Pendidikan kita melulu soal ilmu. Sastra diajarkan ulang-alik sebagai ilmu maupun secara ilmu, maka kampus-kampus tidak pernah menghasilkan manusia rohani. Malahan kesibukan akademis sendiri tidak akrab kalau menyigi inti batin, sehingga sangat sedikit—kalaupun nyatanya tidak ada—yang menawarkan dan memperkenalkan rohani sebagai jiwa sastra. Mungkin karena kebanyakan dari kita enggan, tak acuh, tak tahu, atau bahkan menampik keras tatkala diri sewaktu-waktu merayu ingin kencan dengan batin. Ingin mengalami perohanian diri. Ingin merintis jalan khusus sastra untuk memulangkan diri.
Barangkali akan berbeda hasilnya apabila dunia kampus, atau pendidikan pada umumnya, merevolusi cara belajar ilmu secara sastra. Alangkah indahnya pula kalau para pengampu mata kuliah sastra rela membukakan diri untuk senantiasa berpikir, meramu dan menyusun skema pengajaran sastra dengan proses perohanian atau pelembutan secara rohani sastra. Misalnya, buka hati lalu menikmati puisi seorang penyair dari Peru yang menulis dengan kelaparan, Cesar Vallejo “Bicara Harapan”:
Aku tidak menderita sakit seperti Cesar Vallejo, aku tidak menderita sakit sebagai seniman, sebagai manusia atau bahkan hanya sebagai makhluk hidup.
Aku tidak menderita sakit ini sebagai seorang Katolik, sebagai seorang Muslim, atau sebagai Atheis. Hari ini aku hanya menderita. Jika namaku bukan Cesar Vallejo, aku masih akan merasakan sakit yang sama. Jika aku bukan seniman, aku masih akan merasakannya.
Jika aku bukan Katolik, Atheis atau seorang Muslim, aku masih akan menderita. Hari ini aku menderita jauh lebih dalam.
Hari ini aku hanya menderita.
Sesudah membaca atau mendengar sajak itu, cobalah ditelaah dengan seperangkat urusan ilmu atau sepercik pengalaman sastra yang terangkai oleh kemungkinan. Silakan pakai keruwetan akademis atau kegiatan kehidupan. Kemudian bandingkan dan rasakanlah sendiri bagaimana perbedaan antara menyelam secara ilmu dan secara sastra.
Seandainya sajak di atas kita amati secara sastra, dengan perlengkapan imajinasi dan daya kreatif—yang semesta pengembaraannya dibimbing oleh kegaiban, maka yang mungkin kita lakukan ialah menilik pengalaman atas lelaku atau laku hidup, menyibak penghayatan, mengungkai pembatinan, lalu melakukan pembayangan, menyigi secara meluas-mendalam-menyeluruh, agar mustahak pada posisi relevansinya bagi hidup kesehari dan sahih saat mengucapkan “hari ini aku hanya menderita”.
Tetapi cetakan sarjana sastra kita nyaris, atau bahkan seolah-olah, mengubah manusia menjadi robot sekaligus mesin. Sarjana sastra masih didominasi oleh cetakan pekerja yang sudah sedemikian laris di pasar, karena terbukti sangat berguna sebagai “alat” perjuangan industrialisme plus kapitalisme yang dasar perencanaannya megalomaniak dan programnya serba materialistik. Padahal, tidak ada mata kuliah sastra yang mengajari manusia untuk melupakan dirinya sebagai manusia, kecuali kalau pendidikan kita tidak menemukan kembali ruh sastra-inti batin dalam infrastruktur rohani, dalam bangunan megah sastra yang pondasi utamanya menderita.
“Kalau kau merasakan sakit, artinya kau hidup. Tapi kalau kau merasakan sakit orang lain, itu artinya kau seorang manusia,” petuah Leo Tolstoy.
Bukankah seharusnya pendidikan sastra ialah semata-mata tidak karena ilmu, melainkan untuk memasuki jiwa sastra, membebaskan manusia dari ini-itu kehidupan, mengembarai kedalaman diri yang hakikatnya aneh bin ajaib, memahami manusia sebagai manusia yang ada di hati dan jiwa kita semua. Sastra mengajari kita untuk tidak bisa tidak menjadi manusia. Sastra mengukuhkan kita semua masih manusia, karena denyutnya sastra ialah suatu rangka dan formula untuk memanusiakan manusia, kemudian ini pulalah yang menandai masih adanya manusia.
Hakikinya sastra, barangkali selaras dengan menyitir apa kata Emha, bahwa nyawa manusia terletak pada rohaninya, sebagaimana nyawa ibadat ada pada khusyuknya, atau nyawa rumah-tangga dan keluarga ada pada cintanya, atau nyawa Negara ada pada Tanah Air yang dicintai oleh penghuninya, serta Ibu Pertiwi yang dijunjung oleh manusia-manusianya. Intinya kalau masih ada sastra, maka itu berarti masih ada manusia. Maka itu berarti juga banyak kemungkinan manusia “menyandang sastra” untuk menyibak zaman dan menggoreskan warna-warni peradaban.
Meniti Man Of All Seasons Dengan Sastra
Setelah Chairil mencoba “tembus jelajah dunia ini dan balikkan”. Sastra membentang peta fantasi dan alam pembayangan. Akhirnya tidak ke semesta pengembaraan manapun saya pergi. Saya terjun menyelam ke kedalaman inti batin. Membenamkan diri dalam samudera luas jiwa sendiri. Saya terbenam sampai ke palung terdalam ruh sejati kehidupan yang berpusat dan bersumber pada-Nya.
Baru sesampainya di permukaan laut derita nan sepi, saya sudah menggigil keraguan atas pembahasan sastra ini akan ke manakah? Tidak ada kemustahakan pada saya untuk mengerahkan pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Dan jelas saya tidak mampu merumuskan sastra dari paradigma transendental atas sastra. Tadinya saya merasa dengan mengupayakan pengutuhan diri kepada sastra, maka otomatis langsung meniti “man of all seasons” dengan sastra. Tapi semua ini belum apa-apa, karena memang panjang perjalanan, dan perjalanannya itulah sastra.
Tinggal dikit lagi saya merampungkan pembacaan, seketika lamunan saya itu tersentak oleh beberapa mahasiswa pencinta alam (Mapala) yang datang. Keheningan saya pun terusik olehnya. Sepanjang saya menulis, saya mendengar dan sesekali melihat tingkah laku mereka. Seolah tak ada kecintaan atas segala sesuatu pada dirinya. Mereka datang membawa program bingung dan gerak yang serba rancu. Kesibukan kampusnya cuma untuk menggugurkan kewajiban dan tanggung-jawab mahasiswa, bukan sebagai kegiatan kehidupan yang berkelanjutan seperti alam.
Barangkali seluruh omong-kosong yang mereka bicarakan itu, bagi saya, adalah pembelajaran sastra. Waktu luang mereka dipenuhi dengan mengisi smartphone: main game, menyukai ini-itu, dan lain-lain. Ketika mereka sampai di puncak berisik, rasanya ingin sekali saya menegurnya, tapi syukurlah saya menahan diri dengan banyak pertimbangan. Sehingga saya tak perlu mengeluarkan kata-kata boyak—laiknya aktor—di bawah ini:
Tahu nggak apa yang terjadi di dunia yang kalian tinggali? Kalian kira kumpulan foto atau “scroll medsos” di layar kalian ada hubungannya dengan dunia itu? Dunia yang kalian tinggali perlahan-lahan menyusut. Ada sekelompok penguasa yang merampasnya, membelinya, menelanjanginya, dan menjual hasil kekayaan alamnya. Mereka memerkosa alam dan menjual apa yang mereka ambil. Mereka menjual air yang kalian minum, udara yang kalian hirup, dan kalian berbaris seperti bebek. Dan kalian tak akan pernah sadar karena terhipnotis oleh “dunia” yang sebetulnya tidak ada. Sungguh tidak ada di hidupmu. Tidak menjadi pengalaman sehari-hari. Tidak terpancar bagi pencinta alam seperti kalian.
Kemudian sayup-sayup terdengar bunyi sajak Umbu: “baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara di luar sana. sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.” Terbayangkan lagi oleh saya, sastra membawa langkah ke mana saja, membawa sastra ke mana-mana, dan semoga langkah sastra kemudian seperti kita menjejaki tanah yang belum dirusak manusia, di mana kita tak beli makanan tetapi kita perlu mencarinya, di mana kita tak perlu pergi ke dokter saat sakit tetapi meraciknya, di mana kita tak membeli pakaian tetapi membuatnya, di mana kita tak membangun rumah tetapi mendirikan perlindungan, dan kita hidup dengan tanahnya, bukan di atasnya. Betapa sastranya itu kalau kita semua meniti lelaku sastra.
30 Mei 2025