Dok.halimunsalaka
Pada kegiatan BOS atau Beinnale Of Sydney (16 Maret – 11 Juni 2018) yang di sana Akira Takayama menghadirkan pertunjukan bertajuk Our Songs–Sydney Kabuki Project, Akira membahas hal yang menarik pada pertunjukannya itu. Konsep tentang “pengembalian” seni tradisi Jepang, Kabuki, pada ruh awal pembentukan tradisi itu! Akira Takayama bermaksud mengambil ruh Kabuki tentang persoalan imigran Korea pada perselishian kedua negara pada abad 16 di bawah pemerintahan Toyotomi Hideyoshi ke dalam bentuk baru di Sydney. Dalam sejarahnya, Akira menjelaskan bahwa orang-orang Korea yang dibawa oleh pasukan Jepang menjadi frustrasi dan marah. Kemudian, orang-orang yang terlahir dari keluarga petani miskin (yang juga sudah muak dengan perang yang tak dapat dimenangi), bersama orang-orang Korea itu membuat sebuah tarian dan lagu yang dianggap dapat menghubungkan mereka dengan kehidupan mereka yang hilang. Mereka berparade di jalan dengan riasan yang kemudian disebut Kabuki.
Di Sydney, Akira tidak menghadirkan itu pada suatu yang gamblang. Namun ruhnya, menurut Akira, yang berbicara tentang kehidupan dan suara-suara migran menjadi titik tolak persamaan yang dia rasakan di Sydney. Akira mengundang orang-orang di Sydney untuk dapat terlibat dalam suatu proses pertunjukan. Akira menghadirkan lagu-lagu, serta video yang dianggap dapat membangkitkan ingatan-ingatan yang hilang, yang memuat sejarah dan identitas para penontonnya. Harapannya tentu sejalan dengan pegangan teguhnya terhadap konsep teater yang selalu dianutnya, Lehrstucke ala Brecht.
Konsep itu merupakan suatu rancangan ide yang mungkin saja membuat orang untuk belajar, mengerti, bahkan membuat situasi, tentang politik atau apapun, juga menempatkan dirinya sebagai orang lain dalam situasi tersebut. Tujuannya tentu untuk memberikan kesan tertentu pada penonton dalam keterlibatan pertunjukan secara mendalam. Akira juga sebetulnya seorang seniman yang sangat percaya bahwa teater berasal dari suatu ide yang mengutamakan tindakan “menonton” dari pada pertunjukan itu sendiri.
Ingatan tentang hal di atas tetiba kembali muncul dalam ingatan saya ketika suatu pertunjukan outdoor disajikan di pelosok kota, menghadirkan para penonton yang sebagian besarnya “awam” dengan teater. Teater Gandrung dengan cukup apik dan berani menyajikan suatu pertunjukan eksploratif tentang kisah petani dalam projeknya kali ini. Yang juga menjadi menarik adalah bagaimana hubungan konsep pertunjukan dengan penoton pertunjukan. Bukankah itu sangat penting?
Tibuat: Situasi Apa Sebenarnya?
Apa dan bagaimana sebenarnya persoalan “Tibuat” itu — bisa kita temukan jika kita memahami proses menanam padi pada tradisi masyarakat Sunda. Jika tidak memahaminya coba bayangkan saja bahwa “Tibuat” ini adalah proses menuai padi hingga tata cara menuainya. Dalam proses tertentu ada sebagaian masyarakat yang menggunakan tahapan doa-doa dalam suatu ritual tertentu pada prosesnya. Intinya, seperti mipit pare, ngarit, ngagiser, dan lain sebagainya. “Tibuat” ini merupakan salah satu rangkaian proses menanam dan memanen padi dalam tradisi kebudayaan Sunda.
Dari dasar pemahaman itu, Teater Gandrung menggaetnya menjadi suatu konsep dasar pertunjukan yang menarik untuk disaksikan. Dari sana sebenarnya kita bisa mengetahui sejauh mana interpretasi proses nyata “Tibuat” dalam tradisi petani Sunda, yang dihadirkan oleh sejumlah mahasiswa itu. Kemegahan-kemegahan medan artistik yang ditawarkan memang benar-benar membawa penonton pada situasi masa dahulu ketika penonton kecil, ketika mengetahui bahwa sawah, ladang, dan bebegig menjadi tempat main yang menyenangkan. Elemen-elemen artistik yang nyata dan begitu penuh sejauh mata memandang tempat pertunjukan membuat siapa pun akan merasa kagum tentang keseriusan kelompok teater ini mengirimkan semacam “hypno-visual” dari sejak awal. Sihir itu membangun kesadaran-ingatan tentang apa-apa yang sudah tak banyak orang dapatkan, seperti di zaman dahulu.
Sihir-sihir artistik itu juga kemudian menjadi pemanis yang baik untuk para pelaku teater di medan pertunjukannya. Adegan diawali dengan para pemain perempuan yang berlenggak-lenggok membawa semacam simbol “benih” padi yang kemudian nanti di-tandur. Jampe-jampe yang dihadirkan salah satu sosok “Aki” mengiringi proses tersebut. Namun, situasi hanya berubah ke arah hal magis dan membuat merinding, bukan mengarah pada pengembalian memori ingatan yang akhirnya menimbulkan situasi kerinduan seperti awal tadi. Penggambaran ini hanya semacam penginformasian bahwa saat menanam padi, biasanya orang-orang menggunakan jampe, doa, dan ritual tertentu yang mungkin tidak semua pernah dialami penonton.
Kemudian, pertunjukan berdurasi kurang lebih satu jam itu menawarkan hiburan-hiburan permainan masa kecil secara tiba-tiba. Jauh dari konsep awal tentang pertanian dan padi, namun tetap menampilkan situasi kenangan-kenangan masa lalu yang mungkin pernah dialami oleh penonton. Permainan kolecer, oray-orayan, layangan, dan lain-lain dimunculkan oleh peran-peran anak yang mengisi keseharian sawah. Mungkin, adegan ini ingin menunjukan bahwa dalam perjalanannya, padi tumbuh diiringi riang tawa anak-anak yang bermain di sana, walaupun tidak cukup menggambarkan situasi itu dengan lebih jelas.
Adegan berlalu menuju arah kritik-kritik pembangunan. Dengan simbol kolecer besar yang dipampang di sana, kemudian pembicaraan-pembicaraan tentang distorsi pembangunan terhadap perkembangan agraria juga hadir. Semua adegan itu dibungkus dengan apik dengan balutan nyanyian dan tarian para pemain yang luar biasa menghibur dan penuh pesan kritis.
Semua adegan ini akhirnya ditutup dengan perayaan panen padi selayaknya persembahan kepada Tuhan sebagai rasa syukur. Secara simbolik, tokoh “Aki” hadir diakhir untuk kembali melakukan pengadeganan semiotika membakar sejumlah bebegig dan mencoret-coret semacam dongdang perayaan panen.
Kesan situasi yang serupa part of part ingatan pesawahan dan pertanian pada pertunjukan ini ditawarkan kepada penonton sehingga beberapa di antarnya mengaku sangat relate dengan segala ingatan yang dimilikinya. Hal-hal lain juga berupa kritik simbolik dan verbal yang ditawarkan pada akhirnya dapat membawa pemikiran betapa kenyataan di negara ini persoalan agraria belum selesai, meskipun upaya-upaya dilakukan dan segala pembangunan dilaksanakan. Namun, Teater Gandrung belum berupaya untuk berhati-hati dalam merajut setiap adegan agar sedikitnya, memiliki tangga dramatik yang asyik. Meskipun dapat dilihat juga dibagian manakah titik puncak persoalan pada pertunjukannya, setidaknya bagi sebagian penonton, untuk dibawa pulang menjadi pengalaman berkesan dan dipikirkan sebagai ingatan yang baru.
Kemana Teater Gandrung?
Akira pernah berkata cukup panjang pada tulisannya Theatron: What Connects Society and Theater. Pada inti pembicaraanya, Akira selalu mengaitkan bagaimana fungsi pertunjukan itu sendiri dengan masyarakat, khususnya para penontonnya. Pada tahun 2017 suatu konsep pertunjukan bertajuk McD and Radio pernah digarapnya dengan semacam membeli “pengalaman” dan “ingatan”. Pada pertunjukannya, penonton akan membeli suatu menu makanan yang juga dihadirkan ke hadapan para penonton tersebut sebuah radio berisi cerita-cerita migran, yang sebelumnya telah direkam. Setidaknya, itu yang bisa saya pahami dari penjelasan artikel-artikel yang membahas karyanya itu. Saya sendiri tidak mengalami pertunjukannya.
Di Indonesia sendiri pernah dilakukan konsep yang mirip oleh Taufik Darwis dengan pementasan Teater Arsip “Membeli Ingatan”. Intinya, keduanya benar-benar menawarkan hal yang menarik secara konsep dan pengalaman menonton bagi “pelanggan” teaternya. Sebetulnya, tidak ada sangkut pautnya Akira maupun Taufik Darwis dengan Teater Gandrung. Sama sekali tidak ada. Namun, saya sendiri melihat upaya menghadirkan pengalaman menonton teater pasti diinginkan. Dan, upaya itu ada pada Teater Gandrung.
Yang menarik adalah ketika salah satu pemain “Tibuat” menarik salah satu penonton ke dalam pertunjukan. Mereka berupaya melakukan pendekatan dan menghancurkan tembok batas antara penonton dan panggung yang di-marking oleh cahaya dan jerami. Penonton itu diminta untuk masuk dalam pembicaraan mereka tentang pengertian IKN. Saya yakin bahwa itu menjadi pengalaman tersendiri bagi penonton itu dalam menonton teater. Tetiba dia harus ikut dalam dialog dan pembiacaraan mereka. Apakah konsep ini adalah hal baru? Tentu tidak!
Sudah banyak kelompok-kelompok teater yang melakukannya. Bahkan, teater tradisional Indonesia telah melakukannya sejak dulu. Katakanlah Longser, Ketoprak, Ludruk, dan Lenong yang sering kita saksikan dahulu. Teater Gandrung memiliki potensi untuk menjadi kelompok teater yang memegang teguh salah satu tradisi pertunjukan sebagai dasarannya. Eksplorasi-eksplorasi bisa lebih dilakukan oleh Teater Gandrung sebagai usaha mereka memberikan warna teater di Bogor. Dahulu mungkin kita pernah mengenal kelompok teater dari Unida yang bercorak yang sama. Namun, tidak ada salahnya, Gandrung mengikuti jejak itu dengan alih-alih juga ikut berusaha menjadi agen tradisi.
Sebagaimana yang dilakukan Akira Takayama dalam projek Kabuki-nya. Bagaimana spirit dari sejarah Kabuki diambil dalam produk yang berbeda bahkan di negara yang jauh dari kaitannya dengan tradisi Jepang maupun Korea. Apakah Gandrung pada akhirnya dapat mengambil spirit tradisi untuk kemudian menjadi bahan dasar kajian-kajiannya untuk produksi sebuah pertunjukan? Tentu saja!
Kita bayangkan bahwa di hadapan nanti, Teater Gandrung memiliki eksplorasi yang menarik dari dasar tradisi yang terus memberikan kesan-kesan situasi yang menarik bagi penonton. Pengalaman dan ingatan yang dimiliki oleh penonton, didiskusikan bersama Gandrung dalam pertunjukannya, menimbulkan situasi berkesan dan kemudian menjadi pengalaman baru yang related bagi masyarakat. Dengan demikian, teater bisa menjawab tentang pertanyaan besar Akira: what connects society and theater, setidaknya bagi pelaku teater dan teman-teman di Teater Gandrung.
seorang Guru Bahasa Indonesia. Pernah bermimpi menjadi Ikan Koi.