Ketika Parung-Panjang Tertekan Tambang – Sastra yang Membebaskan

Ketika Parung-Panjang Tertekan Tambang – Sastra yang Membebaskan

Foto: Peta Google Maps Parung-Panjang


Pada suatu malam, saya menerima kabar dari seperduluran Parung-Panjang. Telah terjadi kembali kecelakaan lalu-lintas yang nenimpa salah-seorang warga disebabkan kelalaian truk tambang yang melanggar jam operasionalnya. Hal tersebut sudah tersebar ke penjuru seluruh Bogor Raya, bahwa kematian atas kecelakaan lalu-lintas truk tambang (sejak lahirnya perusahaan tambang) di Parung Panjang sudah tak terhitung jumlahnya. Apakah dengan demikian, kita mesti merelakan bahwa kematian yang terjadi atas kelalaian perusahaan tambang, mesti disikapi biasa saja dan kita anggap sudah lumrah, karena sudah biasa terjadi? Entah, bagaimana sebenarnya kita memaknai semua fenomena-peristiwa ini, saudaraku.

Saya lalu ingat secercah sajak Emha Ainun Nadjib, yang berbunyi: kematian bukanlah tragedi, tetapi apa yang menyebabkan kematian itulah yang mesti diteliti. Dari muatan  secercah makna sajak tersebut, dapat kita telusuri bersama bahwa, walaupun kematian (kecelakaan oleh truk tambang) merupakan takdir dari Tuhan, sebab-sebab terjadinya (mengapa truk tambang bisa merebut nyawa seseorang dalam kematiannya) itulah yang merupakan pembelajaran bersama untuk diteliti, mengapa itu bisa terjadi, dan apakah jika sebab-sebab itu dipelajari, kematian  atas lalainya truk tambang demikian akan terulangi lagi?

Parung Panjang Tertekan Tambang

Sebelumnya, seorang Kawan dalam catatannya berjudul, baca: Parung Panjang Kasabaan, Pesan Panjang Kemudian, menjelaskan bahwa apa yang terjadi di kawasan sekitar pertambangan (Parung Panjang) selama berpuluh-puluh tahun itu seakan tak pernah habis untuk dibaca dari segala sudut, dikupas dari berbagai sisi. Masyarakat Parung-Panjang dan komunitas-komunitasnya yang terlibat dalam fenomena-peristiwa: badai debu pasir, kecelakaan maut, dan siklus pelbagai serangan penyakit (ISPA khususnya) di sana secara langsung atau tak langsung telah banyak menuangkan pengalaman-keresahannya menjadi karya: ada yang berupa tulisan, berupa lagu, berupa selebaran atau pamflet-pamflet, ada pula yang menghayati peristiwa di sana sebagai objek kajian untuk kemudian dibawa kepada dimensi (intelektual) yang lebih mendalam hingga sampai pada fase yang kritis dan komprehensif.

Sebenarnya, Parung-Panjang sudah lama sekali mengalami tekanan hidup dari tumbuh-kembangnya tambang, bahkan kalau boleh jujur-blakblakan, tingkat penderitaan atas penyakit dan kecelakaan lalu-lintas yang lagi-lagi sangat tak terhitung jumlahnya, karena kelalaian jam operasional tambang, karena tak ada usaha pemerintah dalam menangani keluhan masyarakatnya. Upaya Pemerintah Daerah (Kabupaten Bogor khususnya), sampai sejauh ini (bisa kita katakan dengan lantang) tidak sigap dalam menangani permasalahan itu. Padahal jika kita tinjau bersama, siklus atas kehidupan perusahaan tambang, yang lebih diuntungkan tentu perusahaan terkait dan pemerintah se-tempat yang mendapat pajak atas hasil dari tambang itu sendiri. Sedangkan masyarakat umumnya hanya mendapat lahan pekerjaan sebagai kuli tambang, dan itu tentu pada kenyataannya tak akan menyeluruh, sisa masyarakat lainnya hanya menjadi tumbal dari dampak tambang itu sendiri.

Nah, sejalan dengan itu, maka jelaslah, permasalahan yang menekan kehidupan Parung-Panjang berkutat dengan kenapa sampai sejauh ini jalur khusus tambang belum terealisasikan,  kenapa sampai sejauh ini penanganan dampak udara tercemar atas badai debu pasirnya juga belum menjadi fokus utama pemerintah, dan kenapa masih saja truk tambang melanggar jam opererasional yang sudah disepakati bersama. Walaupun kita sudah tahu bersama, pemerintah sudah menjanjikan itu semua, dan walaupun pada kenyataannya kita juga tahu bersama, janji hanyalah omong-kosong di alam mimpi jika tak dibuktikan, dan masih saja dilanggar.

Berbekal terjadinya kecelakaan lalu-lintas (kemarin-lalu) yang entah keberapa-kalinya ini terjadi di Parung-Panjang, seorang kawan meliput kejadian itu (baca: Apakah hanya Rp80 Juta untuk Menjaga Nyawa Warga Parung-Panjang?), akhirnya pemerintah, sebagaimana tugasnya, merembukan fenomena-peristiwa itu dengan membikin portal (hanya satu portal saja memakan uang 80juta?) khusus truk tambang sebagai mitigasi jangka pendek pemerintah daerah dalam mengatasi maraknya truk tambang yang meresahkan masyarakat dan melanggar waktu operasional. Jangka menengah pemerintah Kabupaten Bogor berencana membuat kantong parkir khusus untuk truk tambang, agar truk tambang tidak parkir sembarangan di pinggir jalan yang tentu menganggu aktivitas masyarakat. Sedangkan jangka panjangnya pemerintah akan membuat tol atau jalur khusus tambang, sehingga kecelakaan maut lalu-lintas karena truk tambang tak terulang kembali.

Namun persoalan jangka pendek, tengah, panjang itu jika hanya berupa janji manis, tentu pengulangan-pengulangan tuntutan masyarakat akan seperti angin-lalu yang hilang diterkam waktu. Hal tersebut bisa kita tinjau bersama, ketika masyarakat dan komunitas di Parung-Panjang sudah banyak melakukan berbagai upaya-usaha agar (pemerintah mengamini) tak terjadi lagi kecelakaan lalu-lintas karena kelalaian jam operasional truk tambang, efek debu dan udara yang tercemar menjadi penyakit, dan seterusnya, dan sebagainya, sebagai tuntutan dari tuan-rakyat (masyarakat) kepada para pembantu rakyat (pemerintah), anehnya masih saja tak menemui kenyamanan hidup di Parung-Panjang sebagai jawabannya, sampai dewasa ini.

Dengan demikian akan timbul pesta pertanyaan: ketika aksi-demonstrasi kekerasan sudah bukan jalan tepat untuk ditempuh masyarakat Parung-Panjang, ketika aksi-perenungan damai sudah bukan jalan terbaik untuk ditempuh masyarakat Parung-Panjang, lalu jalan seperti apa lagi yang mesti dilakukannya agar perusahaan tambang dan pemerintah mengerti penderitaan masyarakat Parung-Panjang dan sekitarnya? Bukankah Bogor tempat tidak perlu khawatir, jika mengamini istilah si Kebo Bule? Bukankah Bogor terlampau indah, sejuk, nyaman jika mengamini Mars Tegar Beriman?

Sastra yang Membebaskan

Dengan karya, lebih khusus dengan sastra yang membebaskan! Karya apapun itu, dalam hal ini sastra, kita ketahui bersama, bukan hanya persoalan wahana imajinasi yang tak berujung dan bias dalam pandangan. Sastra, lebih luasnya dunia kesusastraan bisa sampai pada nilai makna alam pikiran sejarah, kajian budaya, bahkan dekat dengan antropologi-psikologi-sosiologi manusia. Eits! Bukankah perusahaan tambang dan pemerintah banyak dan bahkan katakanlah hampir semua tak menyukai sastra, bagaimana bisa sastra membebaskan Parung-Panjang yang tertekan kehidupan tambang?

Inilah letak permasalahannya. Ketika kerja sastra (cerpen, puisi, dan kerja karya lainnya itu), jika di dalamnya pengkarya hanya menyimpan muatan kritik pada pemerintah, dan pemerintah sebagai tujuan pembaca utama, tentu hal tersebut akan sulit untuk tersampaikan pesannya. Sastra yang membebaskan yang saya maksud ialah, bertumpu pada sastra yang lekat dengan kehidupan pemerintah itu sendiri. Oits, memangnya ada kehidupan pemerintah yang mengais kerja sastra?

Di sini akan saya hadirkan contoh yang semoga dapat menarik perhatian pembaca budiman, sebagai aksi-reaksi bersama, dalam menembus batas kemacetan kelalaian kinerja pemerintah. Kerja sastra yang sangat dekat dengan pemerintah, yang menjadi pegangan hidup pemerintah, dalam hal ini Kabupaten Bogor, ialah Mars Tegar Beriman, selanjutnya akan disebut MTB. Di dalam MTB, olahan kreatif Mbah Tedja Sukmana dan Ase Rukmantara, adalah kerja kreatif dari sastra, yang mana dapat dikatakan lahir dalam bentuk sajak, yang lalu dialih-wahanakan menjadi lagu, dan pemerintah sepakat menjadikannya Mars Kabupaten Bogor.

Melalui MTB-lah, maksud saya kerja sastra yang membebaskan, sekaligus menjadi wahana refleksi serta kritik jitu agar bisa menembus kemacetan dan kelalaian pemerintah. Melalui MTB, kita akan melakukan kerja sastra dalam gerak-esai, merefleksikan muatan makna dari MTB yang setiap waktu selalu menjadi nyanyian upacara pemerintah, perayaan di acara pemerintah, dan sebagainya menghubung-kaitkan dengan kinerja pemerintah yang terjadi dewasa ini.

Maka selanjutnya, isi di dalam MTB dengan jelas sangat mendeskripsikan nuansa kehidupan Bogor (yang harusnya dijaga-dipelihara), dengan bait awal berbunyi: Di antara Gunung Salak dan Pangrango/ Terbentang kawasan luas menghijau/ Dihias Ciliwung sungai termahsyur/ Kabupaten Bogor indah dan subur. Dari bait awal ini saja sebenarnya sudah bisa kita tinjau bersama sebagai kritik — ketika pemerintah macet dan merusak keindah-nyamanan Bogor dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba-rakyat. Sebab, dalam bait pertama MTB, kita sebagai tuan-rakyat perlu menuangkan pertanyaan, apakah masih relevan mars itu dengan hidup masyarakat Bogor hari ini? Ketika Parung-Panjang dihantam badai debu pasir dan kematian-ketakutan lalu-lintas, apakah larik terbentang kawasan luas menghijau, dihias ciliwung sungai termahsyur, dan larik Kabupaten Bogor indah dan subur, bisa menjadi pegangan hidup mereka? Tentulah itu akan bertolak belakang dengan kenyataan Bogor hari ini, apalagi jika dikhususkan pada kehidupan di Parung-Panjang.

Isi di dalam MTB bait kedua menjelaskan bahwa, Semboyan prayoga tohaga sayaga/ Tertanam di dada setiap warga/ Dengan Pancasila membangun praja/ Tekad padjajaran warisan purwa. Jika kita maknai bait kedua dengan peristiwa-fenomena Bogor hari ini, lebih khusus kehidupan di Parung-Panjang, semakin bertambah pula ketidak-sinambungan mars dengan kehidupan dewasa ini. ketika memaknai Semboyan prayoga/utama, tohaga/kokoh dan kuat dan sayaga/sedia atau siap siaga, sangat tak mencerminkan kinerja pemerintah dalam menangani kehidupan di Parung-Panjang (ini juga berlaku bagi Kecamatan lainnya) sebagai salah-satu Kecamatan yang dinaungi Kabupaten Bogor. Bertambah keanehan pula ketika tertera larik tekad pajajaran warisan purwa, yang mana pemerintah sendiri sangat acuh pada nilai kehidupan leluhur, dapat dibuktikan dengan tak adanya peran budayawan dan sejarawan dalam pembangunan Tugu Pancakarsa dan nilai masa lampaunya (baca: Mahkota “Mungil” Tugu Pancakarsa Tidak Mewakili Nilai Luhur Peninggalan Masa Lampau).

Dengan begitu, maka bait ketiga MTB dengan lantang merumuskan bahwa, Tegar Beriman/ Tegar Beriman/ Motto juang kita/ Tertib rakyatnya, Segar lingkungan/ Bersih serta indah, hanya ada di masa lampau, hari ini mungkin ada, namun di alam mimpi kita masing-masing. Sedangkan bait keempat, sebagai penutup dijelaskan, Mandiri cipta, aman, dan nyaman/ Bakti dan amalkan/ Tanah tercinta Kabupatenku/ Bogor tetap jaya, juga merupakan citra-suasana masa lampau, yang mana hari ini seluruh isi MTB sangat tidak relevan untuk Bogor yang mengkhawatirkan, yang kotor dan gersang, yang begitu banyak penderitaan, dan sudah tak indah dan bahkan tak sebersih dahulu.

Sebagaimana sudah kita telusuri bersama uraian di atas, akan saya ulangi, apakah dengan menelusuri kerja sastra melalui refleksi pemaknaan isi Mars Tegar Beriman (Kabupaten Bogor) itu bisa membebaskan Parung-Panjang dari tekanan tambang? Jika benar, bagaimana prosesi pembebasannya? Apakah hanya dengan kerja sastra seperti itu kita bisa menembus pintu pemerintah? Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Membebaskan dan Dibebaskan

Tentu, sebenarnya masih banyak cara dan jalan menelusuri kerja sastra yang dekat serta lekat dengan kehidupan pemerintah. Namun, saya percaya, satu contoh di atas dapat menjadi jalan pembuka bagi kita bersama, untuk kembali menyusuri bahwa sastra bisa menjadi salah-satu metode-metodologi ketika dewasa ini kerja jurnalistik lebih berhasrat memberitakan kebohongan dan kepalsuan terhadap sebuah peristiwa-fenomena yang terjadi, dalam hal ini lagi-lagi terkhusus untuk kehidupan di Parung-Panjang.

Kalau kita berlebihan mengambil sikap, tentu persoalan MTB dan isinya itu seperti kemunafikan hidup yang mesti dibongkar dan bahkan mesti diubah isinya sesuai kenyataan dewasa ini. Namun itu bukan jalan terbaik, dan kerja sastra tak sekonyol itu untuk berterus-terang dengan semangat berapi-api tanpa prosesi berpikir panjang. Sebab, letak kekeliruannya bukan dari isi MTB itu sendiri, melainkan pemerintah kita yang sudah menghiraukan isi makna dari MTB, padahal setiap waktu mereka menyanyikan mars itu dengan lantang-semangat.

Oleh sebab itulah, dengan merefleksikan kerja sastra yang ada di tubuh pemerintah (Kabupaten Bogor), mereka tak bisa mengelak dan bahkan tak bisa lari-pergi dari persoalan yang kita hidangkan ini. Kalaupun mereka mengelak, mencoba lari-pergi, misal, dengan pernyataan bahwa MTB itu bukan sesuatu yang menjadi pegangan hidup dewasa ini, melainkan usaha untuk mengenang kemegahan masa lalu. Dengan senang hati dapatlah kita menjawab, jika itu bukan pegangan hidup dewasa ini, pegangan hidup seperti apa yang menjadi pegangan pemerintah dewasa ini. Bukankah dengan jelas logo Kabupaten Bogor erat dengan isi MTB itu sendiri.

Sampai di sini, akan sangat menarik bukan jika diteruskan, bahkan akan terjadi dialog intelektual-intertekstual secara keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, sebagaimana sila ke-5 yang kita pelajari, dan tentu sekaligus merangkul kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana sila ke-4 yang juga kita pelajari. Daripada tuan-rakyat dan hamba-pemerintah saling tumpang-tindih, tindas-menindas, dan sebagainya, yang tentu akan bertolak dari seluruh rumusan Pancasila. Bukankah metode-metodologi kita sebagai tuan-rakyat seperti ini lebih baik dibanding demonstrasi dan lalu memakan banyak korban, dan selalu saja yang menjadi kambing-hitam adalah pihak keamanan sebuah Negara sebagai tukang yang disuruh, lebih kecil sebuah Kota.

Berakhirlah sudah. Jika catatan ini dibaca dengan perasaan yang lapang, pikiran yang adem-ayem santai sambil menikmati secangkir kopi atau teh di beranda rumah, mungkin sudah tiba waktunya Parung-Panjang membebaskan dirinya dari gejolak tambang, dibebaskan oleh sastra, dan lalu hijau kembali seperti bait pertama isi Mars Tegar Beriman, lalu ditutup dengan bait akhir yang Tegar Beriman/ Tegar Beriman/ Motto juang kita/ Tertib rakyatnya, Segar lingkungan/ Bersih serta indah// Mandiri cipta, aman, dan nyaman/ Bakti dan amalkan/ Tanah tercinta Kabupatenku/ Bogor tetap jaya.

Sudah dulu, ya.***

Pamijahan-Bogor, 2023