Bahaya Kekuasaan Superstruktur, Sudah Waktunya Bibit Revolusi Kita Pupuk!

Bahaya Kekuasaan Superstruktur, Sudah Waktunya Bibit Revolusi Kita Pupuk!

Setelah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik, seperti tiada hari tanpa berita buruk mewarnai kehidupan Tanah-Air kita. Pernahkah kita merasa sekaligus mendapat kabar baik di rezim Prabowo-Gibran barang sehari saja sejak tahun 2025 dimulai?

Suara-suara rakyat di media sosial yang ditanggapi oleh Buzzer dan aksi demonstrasi yang dihalang ketat oleh aparat itu, seperti tiada arti bagi para penguasa. Mereka terus melanjutkan apa yang telah direncanakan meski desakan tuntutan penolakan terus mengalir baik dari darat dan udara, nyata maupun maya.

Tuntutan pencabutan Inpres nomor 1 tahun 2025, tuntutan efisiensi kabinet merah putih, tuntutan tentang pengeluaran Perppu Perampasan Aset, penolakan Revisi RUU TNI, hingga tuntutan menyangkut ekosistem agraris-maritim lainnya, ditabrak oleh penguasa.

Asas demokrasi di Indonesia seperti hanya ada di balik kotak suara. Setelah itu, suara rakyat seperti suara nyamuk yang mengganggu telinga mereka, yang hanya cukup diusir oleh aparat dengan tepukan kekerasan, juga dibantu-alihkan oleh influencer, dan kalau kita masih bandel bisa “dibinasakan” oleh tangan penguasa tanpa bekas dan jejak.

Rezim Orde Baru mungkin masih lebih baik dalam menanggapi kritikan rakyat. Suara auman rakyat yang bagai macan mengancam stabilitas kekuasaan, dengan terang-terangan langsung dicari oleh rezim, dan bekas-jejaknya pun masih ada. Sementara di era saat ini, kritik rakyat yang di depan mata dan telinga mereka saja, mereka acuhkan, pun jika ditanggap dengan bentuk kekerasan, anehnya sangat gaib bekas-jejaknya, baik nyata maupun maya.

Mungkin, bisa jadi, keacuhan mereka terhadap kritik rakyat telah dihitung bahwa kritik tersebut tidak akan menumbangkan rezim mereka. Sebab, kita hanya cukup mengaum di media sosial tanpa menerkam di dunia nyata secara kompak. Sementara di Era Orde Baru yang sangat minim media komunikasi digital, kritik dan ide itu langsung dieksekusi secara nyata dan berujung keberhasilan rakyat membawa sebentuk reformasi, yang walaupun kenyataanya belum benar-benar mereformasikan cara kerja seperti apa pemerintah yang menjadi pembantu rakyat dalam melayani raja rakyat.

Sepertinya, kita tidak bisa hanya menyerang rezim dengan kuota internet yang kita miliki. Keacuhan para penguasa itu harus juga kita tumbangkan dengan aksi nyata yang terstruktur dan masif.

Tidak semua masyarakat Indonesia, bahkan teman dekat kalian sekalipun, bisa melihat kolom komentar yang kau komentari dengan ide gemilang. Ide gemilang untuk kebaikan bangsa itu harus didengar oleh kawan dan orang-orang terdekat kamu. Sehingga, aksilah yang akan menjadi akhir dari saling tukar pendapat tersebut, sebagai ujung tombak perlawanan.

Bahaya Kekuasaan Superstruktur

Perlawanan sipil masyarakat Indonesia tidak sedikit dilemahkan oleh upaya-upaya propaganda para penguasa untuk melanggengkan kekuasannya. Fenomena mempropaganda dan memecah fokus rakyat pada satu isu, tidak sedikit terjadi di setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Masyarakat disusupi kabar bias bahkan tidak jarang informasi yang didapat masyarakat dan menjadi kebenaran umum, merupakan sejarah yang “dipelintir”, seperti halnya Film G30S PKI berikut kenyataannya.

Bahkan, terbaru ramai tangkapan layar pengadaan aplikasi Information Response System pada laman Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Uraian pada proyek yang diajukan oleh salah satu aparat keamanan negara itu, salah satu tujuannya adalah  untuk mengurangi kemunculan opini negatif.

“Dengan menyebarkan informasi positif melalui keterlibatan key opinion leader guna menggiring opini masyarakat ke arah opini yang positif dan kondusif,” demikian uraian tersebut. “…. metode seperti ini juga dikenal dengan sebutan buzzer.”

Meski sudah berganti pada Sirup LKPP, kegiatan itu cukup jelas untuk mengguguri opini publik pada hal-hal yang dinilai oleh mereka baik. Kita pasti tidak asing dengan para Buzzer yang masih berkeliaran meski pemilu sudah usai. Secara logis, eksisnya Buzzer itu karena memiliki pasar yang berpengaruh pada penggiringan opini publik demi mencapai apa yang diharapkan oleh orang yang membayar mereka. Rakyat sudah menyadari, tapi tidak sedikit juga rakyat yang tidak sadar mereka sedang digiring opininya pada hal yang para pemodal kuasai.

Propaganda yang terus ada khususnya di dunia maya, harus benar-benar diantisipasi oleh rakyat dengan cara melihat dari dua sisi dalam salah satu peristiwa. Misal, kejadian aksi demonstrasi yang baru terjadi di Kota Bogor pada Kamis, 23 Maret 2025, yang menangkap sejumlah mahasiswa dan pers mahasiswa, dinarasikan begitu menyudutkan para demonstran pada akun media sosial resmi mereka.

Bahkan, tidak sedikit juga media lokal arus utama di Kabupaten Bogor turut memperuncing kebencian kepada para demonstran dengan narasi-narasi khusus mereka. Merusak fasilitas umum pada setiap aksi demonstrasi menang sangat tidak baik. Namun, masyarakat alangkah baiknya melihat kejadian itu dari dua sisi berbeda alias Cover Bothside yang kemudian bisa menghasilkan informasi untuk memperjelas kenapa para mahasiswa dan Pers Kampus itu ditangkap, kenapa mahasiswa merusak fasilitas umum dan kenapa-kenapa lainnya, yang tentu saja kebenarannya bukan pada uraian mereka.

Sebab, propaganda yang dilakukan para penguasa maupun sebaliknya, tidak akan menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik. Propaganda itu malah akan menimbulkan perpecahan antara bangsa dan saling membenci satu sama lain. Penulis tidak berpihak pada siapapun, penulis hanya berpihak pada kebenaran. Hanya saja yang perlu kita pahami adalah “rakyat tidak akan pernah ikhlas jika suara yang mereka berikan pada pemilihan umum itu, malah menginjak kepala mereka sendiri pada kenyataan kekuasaannya”.

Mulai dari Bawah

Jika sekelompok orang atau masyarakat intelektual saja tidak mampu membatalkan pena Puan Maharani dan kroninya dalam mengesahkan RUU TNI, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah yang suaranya mendominasi namun tak cukup runcing secara status untuk melawannya?

Bangsa Indonesia telah melalui beberapa perubahan mulai dari revolusi atau kemerdekaan dari tangan Belanda dan reformasi dari tangan bangsanya sendiri. Keduanya sama-sama menyakitkan masyarakat, menghilangkan nyawa, dan melupakan rasa kemanusiaan.

Negara-negara yang telah melewati masa kesuraman revolusi itu, biasanya tidak lama akan menjadi negara yang maju, yang rakyatnya tidak lagi harus menumpahkan darah demi hidup di atas tanahnya sendiri. Namun, Indonesia masih belum sepenuhnya berhasil merealisasikan keinginan rakyat, malah mundur ke belakang dengan disahkannya RUU TNI jadi Undang-Undang. Betapa sakit perjuangan para reformis yang dulu memperjuangkan dengan darah mereka.

Kondisi yang kian hari kian mencekam ini, mengharuskan rakyat di seluruh lapisan untuk bergerak, bergandengan tangan, menguatkan satu tekad-wujud bersama dalam membentuk kekuatan besar dalam melawan segala bentuk penindasan, mencabut segala akar masalah yang membuat bangsa ini belum sampai pada kemerdekaan rakyat, kemerdekaan bersama: sejak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Kami ini bangsa yang capek/ Kami ini rakyat yang capek/ Berulang kali dibikin kapok/ Sampai bahkan kapok terhadap kapok// Tapi baiklah, Tuhan tersayang/ Doa-doa, kami ketatkan// Perkara lahirnya pemimpin yang tak menindas/ Kami tahu untuk tak memintanya bergegas/ Tapi tolong deh/ Kasih lampu teplok saja/ Dalam jiwa, Pikir dan sukma/ Pingin tahu kenapa gampang saja kami ditendang-tendang bagai bola// Demikian doa kami yang ala kadarnya/ Kabulkanlah: terima kasih sebelumnya! (Doa Selamatan: Emha Ainun Nadjib)