Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku #3

Suatu Hari Ketika Matahari Tak Menyambangiku #3

Gerimis seharian ini belum habis dan sepertinya akan membesar lalu segera menghardik angkot-angkot tua–yang bukan main banyaknya; seakan menyaingi serbuan air langit yang hampir setiap hari dikirim ke kota ini. Tapi betapa pun air-air yang meruncing itu tak lekas menghapuskan partitur kisah antara aku dan Mentari. 

Ya benar. Mentarilah yang selalu berkelebat dalam kepalaku sebelum aku memutuskan untuk melangkah keluar dari ruangan kantor ini, berharap akan menemukan perlindungan dari badai rasa tak karuan setelah membaca pesan-pesannya. Atau barangkali ada warna lain di luar sana yang menyambangi retina mataku selain Mentari beserta pesannya yang belum dapat kubalas. 

Kulihat keluar jendela, tak ada penguin melintas barang seekor, atau kambing, atau kijang, atau orang-orang yang berjalan di trotoar. Mungkin mereka memilih tinggal di dalam sarangnya ketimbang keluar di bawah langit yang benar-benar gelap. Aku jadi membayangkan bila gumpalan hitam di atas sana merupakan barak-barak dari pasukan langit yang hanya membuat dunia di bawahnya jadi gelap dan membuat siapa pun akan berlindung dari kemungkinan terkena tembakan. Sebetulnya mereka pasukan besar yang disiapkan sebagai penawar rasa gersang, tetapi lebih sering peluru-pelurunya menampar kami yang kecil dan tak berdaya, terlebih di-hadapan cinta seperti diriku. Maka setelah terbebas dari lamunan itu, segera kukenakan rompi anti peluru serupa mantel, membuka pintu dan menutupnya begitu perlahan, lalu memulai perjalanan sore yang tanpa matahari. 

Jalanan lengang. Kulihat orang-orang memarkir motornya lalu menepi di bawah fly-over, sebagian di bawah lindungan rumah-rumah toko, lainnya lagi menyelinap ke tenda-tenda warung makan sebelum membuka tudung-tudung saji dan menjajakan jualannya. Serbuan air langit ini segera membebaskan jalan raya dari kemacetan dan merubahnya menjadi parade patung di pinggir jalan. Dan aku masih melangkah di bawah guyurannya, seolah di langkah berikutnya akan bertemu genangan yang bergoyang habis diinjak Mentari. Tetapi aku tahu, ia tak melangkah di sampingku hari ini, di bawah langit yang kencing dan gelap, dan dingin, dan aku tetap berjalan sepanjang pedestrian dengan mentari yang hanya melintas di kepalaku, sampai aku terdampar di sebuah kedai kopi seberang taman tanpa matahari, dengan langit yang masih kencing dan membuat selokan-selokan meluap dalam banjir, layar ponselku masih menampilkan pesan Mentari.

“Sejauh ini aku belum dan bahkan tidak memberikan hatiku pada siapa pun laki-laki selain dirimu, Mas. Selama dua tahun ini, tentu banyak laki-laki yang mendekatiku. Sungguh, dengan segala kejujuran ini, aku tidak memberikan hatiku pada mereka. Sebab, aku masih menunggumu!”

Aku mengalihkan pandangan dari pesan itu. Kulihat jarum jam di dinding kedai menunjuk angka 6 lewat beberapa menit, beberapa anak muda duduk berpasangan. Tapi percayalah, mereka lebih mirip kumpulan atlet catur yang sedang bertarung di meja penuh ketegangan. Aku berpikir, tak cukupkah dingin di luar sana mencairkan suasana tegang atlet-atlet catur itu? Ataukah ini hanya akibat dari kesepian dingin yang hanya kurasakan seorang dan akulah yang memang lebih membutuhkan kehangatan itu. Barangkali minuman hangat akan sedikit mengobatinya, merelaksasi pikiranku yang sudah begitu kuyup oleh Mentari. “Tenang sebentar”, ucapku dalam hati. Lalu lagu Santai Saja Nona Ria mengalun sampai ke telingaku, bersamaan dengan seseorang membawakan makanan ke salah satu pasangan di samping meja. Ia perempuan, pramusaji di kedai ini.

Aku baca lagi pesan Mentari. Tiap paragraf yang ia lontarkan itu seperti pancaran pendirian akan sesuatu hal yang jauh lebih keras dari yang kusangka; bulat seperti batu yang sulit dipecahkan. Aku penuh belur dan melunak di hadapan pesan Mentari. Tak pernah kubayangkan bila ternyata ia masih menungguku setelah lebih dari 2 tahun dalam keterbatasan sapa, bahkan jumpa. Pun saling sapa, hanya terjadi di pesan Email, bukan dengan kecanggihan teknologi informasi dengan segala tetek-bengeknya atau platform sosial media lain yang lebih populer. “Mentariiii, Mentari. Apakah kekerasanmu itu kau pakai hanya untuk melunakkanku. Kau menyapa kembali lewat Email”. Aku melambaikan tangan pada pesan itu dan tersenyum pada Mentari, aku senyum pada diri sendiri. Tak tahu ini senyum kerinduan atau justru lebih dari itu, perasaan yang belum pernah ada sebutannya.

“Maaf mas, saya memang menyapa Mas, tapi saya cuma ingin memastikan lambaian mas tadi untuk memesan salah satu menu di kedai ini”. Celetuk pramusaji yang telah lama berdiri di depanku.

“Lagipula saya bukan mentari”. Sambil menutup mulut dengan jari-jarinya seolah menyembunyikan senyum, pelayan itu melanjutkan, “kalau mau pesen bisa langsung kok mas, gak usah pake Email”.

Kudengar seseorang di samping meja mendadak diserang batuk dan kumpulan atlet catur itu seolah punya perhatian baru untuk lepas dari ketegangan, mereka mencuri pandang dan menahan tawa. Aku cuma mampu melirik, tak kuasa mendongak lantaran gugup telah meracaukan Mentari di hadapan pramusaji itu dan membuatnya mematung sekejap. Ia sudah membalik badan lalu melangkah menuju tempatnya kembali sebelum sempat kujawab.

Aku bisa memastikan perempuan itu adalah karyawan baru. Dan ucapan itu mengingatkan pada ucapan Mentari saat aku belum mengenalnya dulu. Mentari yang tanpa ragu mengatakan kejujuran ketika berhadapan dengan siapa pun terbang dari bibir pelayan berusia sekitar 25 tahun itu. Kini perempuan itu di samping temannya yang kasir. Aku menghampirinya.

“Permisi, tadi saya belum sempat memesan sesuatu”, aku memulai percakapan dengan canggung. “Bisa pesan Lahang?”, kataku kemudian.

“Lahang?” Dua perempuan itu saling memandang, seolah berhadapan dengan sesuatu yang baru pertama kali didengarnya. Dan aku melihat kejujuran lain dari perempuan itu. Mereka memang belum tahu Lahang!

Aku bisa saja melihat daftar menu yang ditunjukan pramusaji tadi dan segera mengetahui bahwa tak ada daftar makanan atau minuman bernama Lahang. Tetapi spontan saja kutanyakan Lahang setelah perempuan itu mengusik racauanku.

“Iya betul. Lahang. Mentari yang kamu dengar dari ucapan saya tadi adalah perempuan yang mengenalkan minuman itu pada saya”. 

Kupikir ucapan itu tak akan menjelaskan apa pun pada mereka, apalagi untuk dapat menutupi peristiwa memalukan tadi. Tak mungkin. Malah itu cuma menambah ketololan dari seseorang yang tengah digempur rasa tak karuan. Mereka segera menjawab, “tak ada Lahang di sini”. Dan kupilih kopi panas dari sekian pilihan menu dan duduk di hadapan mereka. Ingatanku kembali pada Mentari.

***

“Sebetulnya kota ini bisa saja lima langkah lebih maju dari tetangganya kalau punya satu karya sastra yang mengikat. Dan tempat-tempat di pelosok yang jauh dari kota bisa berdaya dengan karya itu. Kau percaya pantun salah satu yang bisa diangkat lagi, mas?” Tiba-tiba mentari berkata demikian ketika kami melangkah pulang selepas dari kebun raya.

“Masak aer”. Jawabku mengagetkannya.

Mentari tertawa, begitu pun aku tertawa mendengar mentari yang melepas tawa begitu bebas.

“Hahaha, bukan. Bukan itu maksudku. Kamu masih ingat Tangkal Kawung bijil Sirung, mas?”

Hmmm. “Tapi, apa yang bisa dilakukan orang-orang dengan sebuah pohon Kawung dan sepotong pantun?” Tanyaku kemudian.

“Tapi aku serius, mas. Bahkan asal usul nama kota ini berkaitan erat dengan pantun, dengan Kawung yang Bijil Sirung. Masa sih lupa, kan kamu sendiri yang dulu pernah bilang, mas!”. 

Tawa lepas tadi perlahan meredup. Aku tahu bila nada bicaranya naik beberapa oktaf, Mentari sedang terik, dan itulah berarti ia dalam mode serius. Aku memang pernah bercerita menyoal pantun, menyoal kota ini. Tetapi bukan itu yang aku maksud, aku terkejut mendengar ia begitu pasti ketika berbicara Pantun akan bisa membawa sebuah kota lebih maju. Aku ingat ia pernah menceritakan “Pasar”, salah satu novel dari seorang profesor. Ya, Kuntowijoyo. Tapi, apakah kota yang sudah sedemikian maju ini tak pernah sesuai dengan yang ia pikirkan.

“Aku ingat. Tapi aku tak yakin bila sepotong pantun itu bisa menjadi cerita yang mengikat”. Aku menegaskannya kembali: “cuma sepotong!”.

“Nah, kamu bakal tau nanti kalau kamu sedia kuajak berkunjung ke tempat di mana orang-orang mengolah sesuatu dari pohon kawung. Bukan cuma masak aer!”. Katanya merayu, sambil tersenyum ia kemudian melanjutkan, “Minggu besok kau punya waktu kan, mas? Heuheu.”

Aku bisa memastikan bila itu hanya salah satu siasatnya untuk bisa melanjutkan kemesraan bersamaku seperti yang terjadi di Kebun Raya itu. Pada saat-saat seperti itulah kami seperti sepasang anak angsa yang melumat habis waktu penuh kesan, dan pasti hal demikian yang tak bisa ia dapatkan dengan orang lain. Begitulah percakapan kami sepulangnya dari mengunjungi Kebun Raya yang penuh kesan itu. Mentari menarik laci ingatanku dan mengambil memori tentang Pantun dan Pohon Kawung. Pohon penuh keajaiban yang menjadi landasan sejarah dari sebuah kota. Dan kini ia mengajakku ke tempat di mana pohon-pohon sejarah itu banyak tumbuh. Ia mengajak aku ke tempat pengolahan gula aren.

Hingga sampailah pada suatu siang dengan terik yang tidak terlalu, kami melejit menunggang sepeda motor seperti anak panah yang dilepas dewi Amor menuju Cisalada, tempat di mana para penyadap nira bermukim. Sebetulnya tempat itu akan lebih mudah diakses dengan Tank baja, sebab mesti melewati jalan kerikil lagi menanjak. Tetapi aku tak yakin bila Tank bisa menciptakan keharmonisan lebih dari yang aku rasakan dengan tungganganku saat ini. Terlebih bersama Mentari. Lagi pula kami bukan tentara, dan setengah perjalanan telah dilalui tanpa keluhan dengan tanpa pengawalan yang biasa dipakai pejabat demi melibas kemacetan kota. 

Kami masuk ke Jalan KH. Abdul Hamid. Mentari yang bertindak sebagai navigator menyuruhku agar belok ke jalan setapak. Aku menuruti titahnya, padahal bisa saja aku mengambil jalan lurus dan tancap gas sesuai titah anak-anak teknologi serupa G-maps. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh lelaki di hadapan perempuan penguasa mutlak jalan raya. Mentari membuka kaca helmnya seraya mendekatkan mulut ke telingaku lalu bicara setengah teriak, “inilah Desa Cipeundeuy, desa di mana para kompeni menghabisi KH. Abdul Hamid saat membela tanah airmu di masa revolusi. Ingin sebetulnya kujawab dengan teriakan supaya alam Desa Cipeundeuy bisa juga mendengar jeritan kisahku, “Hati orang tuamu tak lebih baik dari kompeni-kompeni itu”. Tetapi tak sampai, teriakan itu cuma terjadi dalam hati.

Jalanan makin menanjak, bukit-bukit semakin terbuka. Jari-jari lentik Mentari makin mencengkram pinggangku ketika melewati sebuah jembatan yang habis diserang banjir akibat longsor 2 tahun silam. Di kejauhan terlihat seorang pria bertudung turun dari bebukit. Semakin mendekat, semakin jelas terlihat, ia seorang pria berusia senja yang menggembol bambu serupa wadah. “Itu penyadap nira“, kata Mentari. “Kaulihat, Mas. semesta begitu mendukung. Kita jadi tak usah repot-repot bertanya di mana para penyadap itu tinggal”.

“Benar sekali sayangku. Yang tak mendukung cuma orang tuamu!”. Kali ini kusampaikan langsung lewat mulut, tak lagi mengendap di hati. Setelah kata-kata itu terlontar, cengkraman Mentari bertambah kuat di pinggangku sebelum sampai ke pak tua yang selanjutnya kami kenal dengan nama Dadang. Kami menyapanya, bercakap sebentar dan Pak Dadang segera menuntun kami ke kediamannya.

Kulihat di kejauhan asap mengepul dari sebuah rumah. Semakin kami mendekat, semakin tercium aroma olahan dari sebuah pohon Kawung. Kayu bakar bertumpuk-tumpuk terlihat di sebalik dapur berdampingan dengan wadah-wadah bambu penampung hasil sadapan sesampainya kami di rumah Pak Dadang. Aku memarkir motor penuh lumpur dan masih di depan Rumah. Kami masih memandang sawah-sawah menguning-menghijau, biru bebukitan, menikmati suara binatang dan kejernihan alam di sudut Bogor Barat ini. Betapa terkesimanya kami dengan pemandangan di bawah sana yang menampilkan terasering dilingkupi bukit-bukit. “Kaulihat dunia begitu lapang”, kataku pada mentari. Ia menoleh, pandangannya beralih padaku, kemudian menjawab, “Sayang sekali bila kelapangan yang indah itu tak mampu kulewati bersamamu”. Aku menoleh, dan kami saling berpandangan untuk beberapa saat sebelum Bi Entin datang mengajak kami ke dapur. Istri pak Dadang itu kemudian menjelaskan bagaimana proses pembuatan Gula Aren. Dari mulai penyadapan hingga jadi sebentuk gula.

Setidaknya ada beberapa sebutan dari hasil sadapan pohon Kawung ini sebelum jadi gula. Dan tahulah aku kemudian bila Lahang ini adalah air nira hasil sadapan dari pohon kawung yang belum diolah. Air tersebut bila didiamkan dengan proses fermentasi tertentu bisa jadi arak. Masyarakat setempat biasa minum Lahang untuk mengobati batuk, demam, sakit badan, dan lain-lain. Bi Entin melanjutkan, “kalo lagi demam terus minum paramex bukannya sembuh malah tambah ngehek. Akhirnya lahang juga yang jadi penyembuhnya.” Kami tertawa, lalu ia melanjutkan sambil menyodorkan segelas Lahang. “Segelas berdua aja ya, jangan banyak-banyak, takut ngageledag”. Suara tawa kami di dapur makin bergumul dengan asap-asap kayu bakar. 

Lahang ini warnanya putih kekuningan, setelah dimasak sebentar dengan api sedang warnanya berubah kecoklatan, mirip teh. “Nah. Air nira yang sudah diolah ini bukan lahang lagi. Masyarakat kami menyebutnya wedang kawung”. Sambil menyodorkan lagi gelas berisi wedang, bi Entin melanjutkan, “Ada pantangan kalo kerabat atau siapa pun yang pengen nyoba Lahang atau Wedang ini gak boleh di jalan. Air yang sudah disadap harus dibawa ke rumah dulu, baru bisa diminum.” Dan itulah sebabnya mengapa Pak Dadang tak memperkenankan kami mencicip Lahang di jalan ketika bertemu tadi dan langsung membawa kami ke rumah ini. 

“Lalu setelah itu, masih ada sebutan lain gak Bi?”, tanyaku pada bi Entin sambil menunjuk satu wajan penuh berisi air yang kecoklatan.

“Nah itu setelah jadi wedang, air nira yang setengah jadi sebelum jadi gula ini disebut Peueut. Teksturnya kental mirip madu.” Ia menyodorkan kembali gelas berisi Peueut. Kemudian melanjutkan, “Peueut ini cuma bisa dinikmati di sini. Itu juga kenapa Peueut ini gak ada di warung-warung. Sebab ada satu pantangan, Peueut ini gak boleh dibawa melintasi sungai, masyarakat penyadap masih pegang warisan kepercayaan bahwa Lahang yang sudah diolah dan jadi Peueut, kalo dibawa melintasi sungai bakal berdampak sama pohon aren itu sendiri. Pohon aren bakal kering dan gak bisa disadap lagi airnya.” Ia melanjutkan dalam bahasa Sunda, “Peueut mah ulah dibawa ngalewat wahangan, sok saat kawungna”. Tutup bi Entin sambil tersenyum dan tak memberi kami kesempatan untuk bertanya mengapa hal itu tak boleh. Aku mengangguk.

“Terus buat jadi sebentuk gula ini perlu berapa lama, Bi?”, tanya Mentari. 

“Kalo lahang udah jadi Peueut, artinya udah setengah jadi”, sambil menunjuk wajan besar yang mengepul-ngepul, ia melanjutkan, “Tinggal aduk beberapa jam lagi buat jadi gula aren. Nah gula itu yang biasanya dijual sama penyadap aren, bukan lahang, wedang, atau Peueut-nya.” Tutup bi Entin sambil pamit undur diri memanggil Dadang. Tinggal tersisa aku dan Mentari di Dapur bi Entin dengan perkakas keseniannya sebagai penonton.

Aku begitu menikmati perjalanan ini. Saat aku berpikir sudah tak ada celah bagi kehangatan sapa di kota-kota, Mentari mengajak aku pergi ke pelosok desa, membangkitkan harapan tentang cinta. Bertemu dengan Pa Dadang dan Bi Entin di sebuah Gubuk yang mengolah dan meramunya jadi aneka ragam cinta. Aku beruntung bisa menikmati sesuatu yang belum pernah aku coba sebelumnya. Dan itu kurasakan bersama Mentari.

“Tinggal setengah”, Mentari membebaskan lamunanku yang masih menyerap cerita dari penyadap Kawung. Kemudian ia menyodorkan gelas berisi Lahang itu. 

Aku menghabiskan Lahang di gelas yang menyisakan bibir Mentari. Demikianlah kurasakan romansa penuh kehangatan sore itu. Mentari yang kulumat habis dalam segelas Lahang membebaskanku dari ketakutan-ketakutan terhadap dunia yang terlampau angkuh. Ia merasuk ke inti dadaku, lekas jadi tetumbuhan liar dalam jiwaku.

***

Tak ada Lahang di sini. Di hadapanku kini cuma ada 2 gelas kopi. Satu gelas telah kuteguk sampai tandas, satu lagi masih berisi setengah kopi panas yang perlahan mendingin. Teguk demi teguk selesai kutunaikan, tapi tak ada Mentari, tak mampu kutemui jejak-jejaknya dalam segelas kopi.

Jam di kedai hampir menunjuk angka 8. Jarum-jarum itu seperti bekerja lebih cepat dari biasanya, dan atlet-atlet catur yang duduk penuh ketegangan tadi perlahan lepas dari meja pertarungan. Aku berpikir untuk segera pamit dari kedai ini sebab bila terlalu lama, hari akan bertambah gelap gempita, dan aku bisa saja semaput di tengah para atlet catur yang bertambah banyak dan membuat pramusaji di hadapanku sibuk dalam lembur tak masuk akal. Aku melangkah keluar kedai setelah membayar kopi, sementara kedua perempuan ini sedikit pun tak peduli tentang Lahang, tentang Mentari.

Aku menepi sebentar ke alun-alun kota di samping stasiun, bernaung di bawah lindungan akasia, melihat beberapa orang melenggang di lintasan lari sementara pasukan-pasukan langit tetap mengepungnya. Aku kembali melanjutkan langkah, sesekali mendongak ke arah langit, serbuan pasukan air langit masih sangat jelas bisa kurasakan. Dan memang begitulah kenyataanya, rompi anti peluru mutlak diperlukan di kota ini sebab siapa pun akan terlampau kesulitan untuk bisa mengembalikan tentara-tentara itu kembali ke baraknya.

Tinggal selemparan tombak lagi untuk sampai ke tempat tinggalku. Tapi langkahku kian mengecil, perjalanan sore ini begitu menguras tenaga terlebih menguras pikiran. Tiba-tiba kembali terlintas di kepalaku, ingatan tentang cerita seorang “laki-laki yang keluar dari rumah” yang dulu belum sempat kuceritakan pada mentari ketika ia selesai membagi kisah orang-orang yang berhasil melewati pernikahan tanpa kehadiran orang tua dengan pemikiran kolot. Ketika itu Ia bilang padaku: “Marriage is a Private Affair!” dan ia menawarkan kawin lari denganku. Aku terkejut, dan bisa memahami bagaimana rasa cinta yang mengendap terlalu lama dalam diri Mentari telah bercampur dengan batu-batu keras di kepalanya. Aku sebetulnya ingin bilang pada Mentari bahwa tak pernah ada hubungannya pernikahan dengan cinta. Menikah ya menikah, cinta ya cinta. Cuma pasangan beruntung yang saling mencintai lalu menikah. Lagi pula kawin lari bukan salah satu caraku mencintai Mentari. Tapi aku cuma mematung, tak sanggup bilang hal itu pada mentari yang berkeras.

Mentari, ya Mentari. Terus berlari dalam kepalaku. Kadang kepalaku mirip lintasan lari di alun-alun kota. Dan mentari adalah salah satu dari ratusan napas ngos-ngosan yang keletihan di kepalaku, tapi ia tak tahu kapan harus berhenti. Yang pasti, ucapan-ucapan keras Mentari yang ia nyalakan sebagai penolakan terhadap ibunya tentang pernikahan terus saja terpacu. “Pesan terakhir yang kau kirimkan itu membuatku bisa menuding bahwa ibumu tak pernah mengira rahimnya bisa melahirkan kepala batu berbentuk kau”. Ucapku pada sendiri, sambil membayangkan bagaimana tekad kerasnya untuk kawin denganku, meskipun Ibunya Mentari berkeras untuk tak mengabulkan keinginannya. “Satu hal yang luput dari kesadaran ibumu adalah tekadmu sendiri. Kamu yang terus-terusan melempar perasaan cinta padaku itu akhirnya telah jadi sesuatu yang siapa pun sulit untuk mencegahnya.” Ucapku di depan pintu gerbang, membuka gembok dan lekas masuk ke kamar.

Aku jadi menaruh iba pada Mentari melebihi ibaku pada diri sendiri setibanya pulang dari perjalanan sore yang tanpa matahari. Ia pintar dan cantik, punya otak dan lekuk tubuh idaman perempuan zaman modern yang pandai merawat diri. Bukankah itu merupakan kombinasi sempurna seorang perempuan untuk bisa kawin dan beranak dengan pengusaha muda, yang bisa mengeruk 6 triliun uang sementara negara menanggung kerugian dan pengadilan tak mampu menjeratnya, misalnya. Atau mengawini politisi dengan pamor mentereng di sebuah partai dan disegani di parlemen. Tentu saja hal itu bakal membawa kemewahan dalam hidupnya, membawanya lari dengan gelimang materi jauh lebih baik ketimbang kawin dalam pelarian yang hanya membuatnya keletihan. Tapi tentu saja kemewahan serupa itu bukan selera Mentari. Lalu rentetan kata seperti terjaring dalam kepalaku, maka kususun kembali sebagai balasan pesan untuk Mentari. 

“Selamat malam, Mentari. Semoga kau sehat dan bahagia selalu. Mungkin ketika pesan ini sampai kepadamu, kau sudah lelap dalam tidur, dan jauh dari tempatmu berbaring malam ini, seseorang sedang mati-matian memberi tanggapan dengan cara yang tak kunjung ditemukan. Tentu orang itu adalah aku.”

Satu pesan telah terkirim. Sesuai permintaan Mentari, Jam 21:00 kutunaikan dengan penuh tenaga. Sebetulnya aku tak mau terlalu jadi lelaki melankolis di atas ranjang apek kamar ini; di hadapan pesan yang akan kukirim pada Mentari dan berniat menanggapi pesannya hanya sampai di sini. Tentu dalam rebahku yang tak kunjung memejam, Mentari selalu mampir ke dalam ingatan. Bahkan ingatan-ingatan kecil terlampau konyol ketika kami bersama, seperti kejadian Matcha yang mesti kutenggak padahal itu bukan seleraku, dan aku menghabiskannya sebab tahu itu adalah minuman kesukaan Ibu Mentari. Aku melanjutkan menanggapi pesannya.  

Selera, ya selera, kehidupan ini cuma kumpulan paradoks antar selera. Aku, kamu, Ibu beserta seluruh keluargamu bebas menentukan seleranya, menjadi Hayam Wuruk atau Bima, pilih Matcha atau jamu sidomampir buatan emak. Pilih aku sebagai menantunya atau si Fufa gantinya. Betapa pun keras jiwamu berusaha, di sisi lain kamu mesti berhadapan dengan selera orang lain yang bahkan sama sekali tak pernah menyesuaikan diri dengan seleramu.

Sepertinya aku memang bukan jodohmu. Sebagaimana minuman Matcha kesukaan ibumu, yang tak pernah berjodoh dengan lidahku. Percayalah, Mentari. Jika kau masih sempat melihat pesan ini, Aku menenggak Matcha hanya demi tampil sebagai lelaki yang tak mau mengecewakanmu. Walau hanya dengan sebatas menenggak minuman selera ibumu yang beraroma ramuan kuda itu. Betapa sesungguhnya semua kulakukan hanya karena aku tak mau berpisah denganmu.

Sebagai generasi yang diwarisi trauma masa lalu dan mitos-mitos, kehidupan kita sedemikian terpuruk. Bahkan cinta kita ini, mesti berhadapan dengan mitos-mitos di samping bergelut dengan misteri dari cinta itu sendiri. Aku tak yakin bisa mendulang emas di hari esok bersamamu, atau bila memang ada tahun yang banyak dijanjikan orang-orang bernama 2045, bila yang tergali hari ini masih kumpulan cerita usang yang tak membawa kita terlalu jauh.

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan trauma masa lalu yang diwariskan itu? Cinta keras kita setiap saat mesti berbenturan dengan semangat kolonial yang bercokol dalam benak ibumu. Apakah Jeratan mematikan di jari manismu nanti akan segera membunuh keangkuhan dalam diri ibumu?

Pesan telah terkirim sepenuhnya ke Email Mentari. Kuletakkan ponsel itu di ranjang. Jarum jam di kamarku menunjuk angka 10. Aku bangkit lalu melangkah ke arah jendela, kubuka perlahan lalu memandang keluar. Kulihat pintu masih terbuka dan seekor kucing mencoba masuk, tapi samar-samar sebab langit sudah begitu gelap, benar-benar gelap.