Foto: halimunsalaka.com
Ada beberapa hal yang mengggangu, ketika saya membaca tiga tulisan menyoal Parung-Panjang yang terbit berdekatan di web halimunsalaka.com. Salah satunya adalah sadar bahwa betapa naifnya saya, ketika saya merasa bahwa persoalan tambang di Indonesia itu berjarak dengan hidup saya. Hanya lantaran saya tinggal di Bogor.
Dalam kepala saya, atau mungkin banyak warga Bogor lainnya, melihat kebrengsekan tambang—yang merugikan rakyat dengan merenggut nyawa sampai konflik-penggusuran tanah warga—itu jauh dari tempat tinggal kita. Sebab pada berita nasional atau sosial media yang viral, konflik tambang kebanyakan, jika tidak mau dibilang selalu diberitakan (ada) di luar Pulau Jawa.
Maka belakangan, ketika saya sadar bahwa kerusakan yang dihasilkan dari efek tambang—yang selalu beririsan dengan pembangunan—ada mengintai di sekitar kita. Saya jadi mulai mengikuti berita-beritanya. Dan berdekatan dengan kejadian kematian di Parung-Panjang kemarin, ada peristiwa pembakaran gubuk-gubuk tambang emas oleh warga Pangradin, Jasingsa, lantaran eksploitasi dan hasil limbah dari tambang-tambang emas itu mengotori sungai yang menjadi penghidupan warga.
Tapi dari ketiga tulisan mengenai Parung-panjang yang ada di Halimunsalaka, saya merasa ada yang tidak tertulis dengan jelas di sana, meski saya percaya, pasti para penulis sadar, tapi mungkin mereka masih ingin menulis secara ramah, maka mereka luput menuliskan, bahwa masalah lingkungan pada dasarnya bersifat sosial dan politik, dan berakar pada warisan dominasi dan hierarki sosial. Dan biang kerok dari masalah tambang di Parung-panjang, semua karena kapitalisme sialan yang mengangkang kokoh di Parung-Panjang.
Sebelumnya harap dipahami, saya tidak mau menjadikan tulisan ini terlihat mengkritisi tiga tulisan yang lebih dulu. Sebab tiga tulisan itu sudah sangat baik dalam melihat persoalan Parung-Panjang. Bahkan, membuka pandangan saya untuk mencoba membahas ini lebih dalam.
Selain itu, saya percaya dalam memperjuangkan perubahan-kebaikan dalam gerakan sosial, ideologi harus ada di bawah gerakan sosial. Tapi saya juga percaya untuk menganalisis satu fenomena di Parung-Panjang, kita harus menganalisisnya dengan teori berspektrum kiri. Kita harus menengahkan persoalan ini dalam basis idelogi atau basis kelas, atau dengan new gramer dunia internasional sekarang, yakni dalam kaca-mata environmental ethics.
Alam harus dilihat juga sebagai Nilai Tukar
So, dari tiga tulisan di halimunsalaka.com mengenai Parung-Panjang-lah, tulisan ini berangkat.
Jadi mari kita start dari tulisan Teguh Tri Fauzi yang berjudul Ketika Parung-Panjang Tertekan Tambang – Sastra Yang Membebaskan. Tulisan Teguh, mencoba menganalisis permasalahan dari pintu lain, dengan mencari titik terang lewat sastra. Berbekal satu penggalan puisi Mbah Nun, yang bilang “Kematian bukanlah tragedi, tetapi apa yang menyebabkan kematian itulah yang mesti diteliti”, membaca itu, saya jadi ingat—sebenarnya saya ragu ini—kata Stalin “kematian satu orang adalah tragedi, namun banyak kematian adalah statistika”.
Maka, saya sepakat dengan Teguh, Egi dan Aldy, soal di Parung-Panjang itu bukanlah tragedi yang diguratkan oleh takdir. Karena kecelakaan, kemacetan, jalanan rusak, polusi udara yang membikin banyak warga terbunuh dan menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah karena tambang batu andesit yang ada di Parung-Panjang.
Di titik ini, rasanya Parung-Panjang sedikit punya titik keberuntungan, sebab segala peristiwa yang membikin marah dan menderita warga Parung-Panjang, langsung ditujukan karena tambang dan kelalaian pemerintahnya, mulai dari kecamatan, daerah, sampai provinsi ikut juga menyadari serta membenarkan.
Beda halnya dengan DKI Jakarta, karena masalah polusi udara di Jakarta. Katanya, karena cuaca dan asap dari knalpot kendaraan. Bukan karena pabrik-pabrik, tambang-tambang dan PLTU batu bara yang membuang limbah dan mencemari udara Jakarta. Maka tidak mengherankan solusi yang digemborkan pemerintahnya, itu beraih ke kendaraan listrik, bukan pendisiplinan atau pemberhentian operasi pabrik-tambang-PLTU yang ada di sekitaran Jakarta.
Yang terjadi di Jakarta adalah satu contoh bagaimana lenturnya Kapitalisme dalam mengantisipasi krisis, dan memanfaatkan krisis itu menjadi lahan-lahan pengumpulan kapital yang baru. Tapi bukan Jakarta yang mau kita bahas. Saya hanya ingin menunjukkan satu contoh, bagaimana satu permasalahan jika dilihat secara keliru, akan menjadikan kekeliruan berikutnya.
Sama halnya di Parung-Panjang, Pemerintah, dalam hal ini semua aparatur negara, melihat banyaknya rakyat yang terbunuh karena tambang, dilihat hanya sebagai angka, sebagai konsekuensi kerja. Hal itu terlihat dengan sangat reaktif dan lambatnya pemerintah dalam melindungi nyawa rakyatnya. Dan tentu saja fenomena semacam ini, ditopang oleh kapitalisme yang melihat manusia hanya sebagai nilai guna dan bagian dari komoditasnya.
Lainnya bisa dilihat dari berbagai solusi yang diajukan. Mulai dari mitigasi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Kesemuanya adalah bentuk valorisasi kapitalisme dalam upaya mengamankan sumber daya alam yang menghasilkan cuan besar. Apalagi melihat solusi jangka panjangnya. Yakni, membuat jalur tol khusus untuk jalur tambang. Padahal kalo jangka panjang, seharusnya penyetopan tambang-lah solusinya.
Kendati solusi jangka panjang, adalah satu hal yang dituntut juga oleh warga, tapi ketika ada pembangunan tol, mengharuskan ada pembebasan lahan. Otomatis ada pula penggusuran rumah-rumah warga yang terencakanan menjadi jalurnya. Selain itu, selalu ada yang harus dibayar dalam pembangunan. Sebab gunung dan hutan, sebagai ruang hijau lagi-lagi akan dikorbankan, untuk ditanami beton.
Dan kita harus sadar, Perencanaan jalur khusus untuk tambang di Parung-Panjang akan mengikuti perubahan adanya UU Cipta Kerja Cilaka. Di mana, pembangunan mengacu sesuai Peraturan Pemerintah NO.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP/2021) berubah menjadi Kesesuain Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Kita bisa melihat bagaimana perubahan dari “Penataan Ruang” menjadi “Pemanfaatan Ruang”. Saya pikir tanpa harus menggunakan kaca mata kritis atau sastra, “Penataan” dan “Pemanfaatan” itu sudah kita tau akan mengarah kemana: Penghancuran.
Dari solusi itu, saya juga seperti melihat pemberian karpet merah untuk kapitalisme dalam meningkatkan produktivitas dan memperluas cara produk kapitalisnya. Sebab Pembangunan tol khusus, yang akan dibangun sepanjang 12-13 km, dan diperkirakan menghabiskan 204 miliar—di luar pembebasan lahan— pasti memanfaatkan pasokan berlimpah dan murah dari apa yang disebut Moore (2019) sebagai “Hukum Alam Murah” (cheap nature), seperti tenaga kerja, pangan, energi dan bahan mentah, yang semuanya tersedia di Parung-Panjang.
Karena semua bahan kontruksi dari pembuatan tol khusus itu pasti didapati dari hasil apresiasi gunung Maloko dan gunung Sudamanik yang secara administratif ada di jalur Rumpin, Cigudeg dan Parung-Panjang. Lalu hasil apresiasi itu dibeli oleh Pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang didapat dari pajak rakyat, lalu dibayarkan kepada pengusaha tambang untuk membeli bahan baku pembuatan tol, yang jalan tol-nya kemungkinan dibangun oleh swasta dan penghasilan tol itu masuk ke kas perusahaan swasta. Rakyat dapat apa? Ya! lagi dan lagi hanya debu, debu dan debu.
Tapi yang paling menyebalkan, alam masih dilihat hanya dari “nilai pakai”-nya. Seharusnya alam yang dibilang “saudara” oleh Aldy dalam tulisannya, yang berjudul Parung-Panjang ‘Kasabaan’, Pesan Panjang Kemudian, harus dinilai juga sebagai “nilai tukar”. Karena alam bekerja secara independen ketika alam menghasilkan bahan mentah (raw material) dalam hal ini, batu andesit yang memiliki cadangan 1,5 miliar ton, yang harus dilihat sebagai “nilai tukar”, bahan yang dibutuhkan oleh pembangunan. Nilai lebih itulah, atau bahasa Moore (2019) sebagai “pekerjaan tak berbayar”,—seperti buruh pabrik yang diekploitasi jam kerjanya—, yang dicuri oleh kapitalisme, dan menjadi laba ekstra dari alam Parung-Panjang.
Tambang di Parung-Panjang, jika dibiarkan terus beroperasi, kedepannya dalam bahasa Saito (2023) yang diambil dari Marx, akan menyebabkan Keretakan Metabolis (Metbolic Rift), dan seperti apa yang disampaikan juga oleh Saito (2023), dan menjelaskannya dalam tiga dimensi:
Pertama, Keretakan Metabolis (Metabolic Rift) yang terjadi di dua ranah: pada alam (ekologi) dan kerja (sosial) yang tereksploitasi oleh adanya ‘pencurian’ nilai material untuk memaksimalkan profit kapital. Kedua, keretakan spasial (spatial rift), yaitu perluasan sampah akibat produksi kapital (waste—pollution) yang berdampak pada pergeseran ruang (tanah). Ketiga, keretakan temporal (temporal rift), yaitu mesin mempercepat proses produksi secara cepat, efektif dan massif. Seefektif truk “transformer” membunuh warga Parung-Panjang.
Karena pembangunan jalur khusus tambang menjadi solusi jangka panjang, terlihat seperti kita memotong kuku, yang dengan sendirinya, kuku-kuku itu (baca: masalahnya) akan tumbuh lagi tumbuh lagi. Andaikan pemerintah berani menyetop operasi tambang, tidak ada ceritanya pemerintah kesusahan uang untuk membangunan tol khusus, tidak ada lagi suara ledakan untuk pemboran, tidak ada lagi bopeng-bopeng alam karena galian, tidak ada lagi aksi-saling lempar batu dalam konflik horizontal, tidak ada lagi warga yang harus menderita sebab polusi udara dan terkena ISPA, tidak ada lagi rumah yang tertabrak, dan tidak akan ada lagi kecelakaan yang membuat seisi rumah menangis ketika sang anak pulang dengan mengendarai keranda.
Soal Nyawa Saja Pemerintah Berani Saling Lempar Tanggungjawab, Sekarang Sebagai Rakyat Kita Harus Berani Juga Melempar Batu Andesit Ke Muka Mereka
Kita tau hal yang mustahal mengharapkan pemerintah untuk menyetop tambang yang merusak alam. Mengingat uang hasil aprosaisi pada alam Parung-Panjang ini berkontribusi besar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor, yakni menghasilkan 2,74 triliun dan mencatatkan paling tinggi dibanding kabupten lainnya di Jawa Barat.
Ini berbanding lurus saat Pemerintah sibuk membangun melalui proyek-proyek nasional, terkhusus proyek pembangunan yang ada di Jabodetabek, hampir semua bahan bakunya diambil dari kekayaan alam Parung-Panjang. Jadi masuk akal, semua mitigasi yang diberikan pemerintah itu bukan untuk melindung warga tapi agar warga tidak lagi menganggu jalur operasi tambang penopang pembangunan.
Kalau kalian tidak percaya silakan cek pembangunan Tol Jakarta-Cikampek II Selatan, Tol Jakarta Outer Ring Road, Tol Purbaleunyi, East Conecting Taxiway Bandara Soekarno-Hatta sampai Reklamasi Teluk Jakarta, yang menjadi kongkownya Chindo-Chindo kaya, atau silakan baca statement Camat Parung-Panjang yang banyak diliput media saat hari senin, pada moment Parung-Panjang Bersatu menggelar aksi mengepung kantornya:
Icang, selaku camat bilang: “Nanti untuk portal pun baru dibangun satu di depan lapangan bola dekat puskesmas, sedang diproses lubangnya, sudah digali dua hari ini, nanti kita pasang tiga termasuk di Caringin. Nanti untuk transporter pun silahkan patuhi Perbup kita supaya nanti bisa bareng masyarakat punya waktu menikmati jalan dan yang usaha tambang pun tidak terganggu saat malam hari”
Pemerintah seakan mau bilang, kalian rakyat silakan aksi terus saja, setiap tuntutan yang datang, kami bisa melihatnya sebagai peluang. Jadi saran saya, jika nanti terjadi lagi ada rumah warga memasang bendera kuning yang karena tambang. Terus Camat-Bupati-Gubernir-Presiden saling lempar tanggungjawab dan wewenang, sesekali kita harus berani untuk lempar batu-batu andesit juga ke kantor mereka.
Untuk itu, hal yang cerdas ketika Egi Abdul Mugni, dalam tulisannya berjudul Apakah hanya RP80 Juta untuk Menjaga Nyawa Warga Parung-Panjang, membuat satu ironi, yang mengatakan Pemda dalam menjaga nyawa warga Parung-Panjang hanya mau menganggarkan 80 Juta untuk pembuatan satu portal sedangkan untuk Tugu Pancakarasa, Pemda berani jor-joran menganggarkan 500 juta, itupun tugunya jelek dan anggarannya terkorupsi juga.
Memang itulah faktanya, ironi lainnya adalah ketika hasil aprosiasi batu andesit Parung-Panjang dicuri dan dibawa keluar untuk membangun tol-tol nasional, sampai Reklamasi Jakarta, eh jalanan sepanjang Rumpin-Parungpanjang-Cariu-Cigudeg itu selalu hancur berlobang.
Bukan hal yang baru, ketika pemerintah yang mengurus jalan, menjadikan pembangunan jalan umum sebagai mainan proyek “nyari sampingan”. Untuk bisa dikorupsi. Maka 4-6 bulan jalanan di sana selalu dibuat gampang rusak. Karena material bahan baku aspalnya diberikan yang sisaan, untuk tambalan. Sedangkan batu andesit Parung-panjang yang dipuji-puji sebagai jempolan.
Ini satu bukti dan ironi lain, menunjukkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan terjadi secara bersamaan. Kapitalisme akan senantiasa menciptakan kelangkaan dari pada kesejahteraan. Saito (2023) percaya bahwa produktivisme tidak selalu melahirkan kelimpahan (abundance) untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih pada menyirkulasikan modal atau uang semata untuk peningkatan produktivitas.
Jauhnya dalam kesemrawutan dan solusi yang dihadirkan di Parung-panjang, bagaimana kita bisa meliha,t kapitalisme mampu menggeser satu keretakan ke keretakan yang lainnya, dari metabolis, teknologis, spasial, dan temporal, yang mengubah daya produksi warga ke arah produksi kapital, alih-alih memenuhi kebutuhan hidup warga Parung-Panjang.
Kabupaten Bogor Itu Autopilot, Kita Rakyat Sendiri Yang Harus Saling Border
Saya tergugah ketika Teguh dalam tulisannya menganalisis Mars Tegar Beriman, satu kesastraan (yang tersisa) yang harusnya menjadi SOP Pemda Bogor dalam mengambil kebijakan-kebijakannya. Tapi seperti yang Teguh simpulkan Mars Tegar Beriman, jika dilihat sekarang, “Sangat tidak relevan untuk Bogor yang mengkhawatirkan, yang kotor dan gersang, yang begitu banyak penderitaan, dan sudah tak indah dan bahkan tak sebersih dulu.
Saya sepakat dengan Teguh, semua hal yang lahir dan didoktrinkan oleh negara itu hanya menjadi semboyan saja, tak pernah benar-benar dihayati dan diamalkan. Semua semboyan, aturan, kitab undang-undang tergeletak di selokan*
Kembali ke Mars Tegar Beriman, saya jadi ingat becandaan dosen saya, dan jika boleh mengutip becandaan dosen saya, beliau bilang “ Bogor itu masih terlihat hijau, coba aja lihat dari atas, Bogor bakal kelihatan hijau, tapi karena angkot-angkot dan lapangan golfnya” dan memang itu kasunyatannya.
Tapi apa yang bisa kita harapkan dari satu pemerintah daerah yang menjadi dinasti kecil dari keluarga Yasin, yang rekam jejaknya setelah menjadi Bupati terjerat korupsi. Brengseknya, anggota keluarga mereka terpilih lagi, dan terjerat korupsi lagi.
Apa karena Kabupten Bogor ini tidak memiliki politik will? Sebab ketika banyak jalan-jalan rusak, kemacetan terjadi di setiap pertigaan, menjadi daerah tertinggi dengan angka pengangguran, tidak ada oposisi yang menyuarakan atau menjadi suara politik saat pemilihan. Tidak ada hasrat untuk menenangkan hati rakyat.
Dalam hal Parung-Panjang saja, keruwetan masalah yang sudah bertahun-tahun tapi masih saja hanya menjadi isu lokal yang hanya diperjuangkan oleh warga dan aliansi yang ada di daerah Parung-Panjang, seperti Masyarakat Peduli Parungpanjang (MP3), Aliansi Gerakan Jalur Tambang (AGJT), Sentral Gerakan Rakyat (SEGRA), dan Perpuskita Parung-panjang. Di sana tidak ada mahasiswa-mahasiswa yang ikut menuyuarakan, tidak ada kolektif-kolektif lain yang memberikan tangannya untuk turut menjadikan masalah Parung-panjang masalah daerah.
Masalah di Parung-Panjang tidak menjadi krisis kehidupan, padahal warga di sana setiap harus bertaruh nyawa saat berangkat ke sekolah, ke tempat kerja, atau sekadar nongkrong dan pacaran. Sebab seperti dituliskan banyak penelitian, menunjukan:
“kandungan debu di wilayah Parung-panjang berada diatas baku mutu kualitas udara dalam Peraturan Pemerintah No .41 Tahun 1999 hingga menyebabkan tingginya angka penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)”
Selain itu, “Hasil pengujian kualitas udara menunjukkan kandungan partikel debu (TSP) tertinggi sebesar 417,77 g/Nm3, melebihi baku mutu yang ditentukan sebesar 230 g/Nm3 (PPRI No.41/1999), tergolong berbahaya bagi kesehatan seluruh populasi”, dan digambarkan dengan baik oleh Aldy dalam tulisannnya, “bahwa di Parung-Panjang tidak pernah seharipun melihat kualitas udara di sana menyentuih angka aman”.
Lalu saya kembli naif bertanya, kenapa Bogor yang daerahnya terhitung kecil ini tidak seperti, sebutlah Bandung yang kolektif kebersamaannya terbangun, padahal hampir semua yang menggerakan Bogor di berbagai lini skena, baik aktivisme, sastra, musik, teater, bahkan gangster sekalipun— itu saling tau dan saling kenal.
Apa ini karena pengotakan yang inheren dengan rasa kedekatan (inner circle) yang menjadikan “Eh eta mah masalah manehnna, lain masalah kita nyaho”. Tapi kenapa ketika nyebut kata “kita” selalu ada kata “mereka, dalam hemat saya ini soal besar yang menyebabkan tidak adanya a sense of belonging.
Di luar tidak adanya historisitas, dan disibukan dengan masalah sehari-hari kita masing-masing yang dibajak oleh masyarakat kapitalisme (industrial), yang membuat kita menerima begitu saja (taken for granted), tapi saya mengamini apa yang Aldy sampaikan dalam tulisannya “saya paham mengapa yang terjadi sedemikian kompleksnya, saya cuman tak mau mewajarkan”.
Bacaan Lanjutan:
Moore, Jason W. 2019. ‘Capitalocene and Planetary Justice’. Maize 6 (July): 49–54.
Saito, Kohei. 2023. Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism. Cambridge University Press.
*Satu Penggalan dari Puisi W.S Rendra berjudul “Sajak Bulan Mei 1998”.
Penanam kesan.