MEMBACA PERANG LEUWILIANG #1: Jepang Sang Cahaya, Pelindung, dan Pemimpin Asia

MEMBACA PERANG LEUWILIANG #1: Jepang Sang Cahaya, Pelindung, dan Pemimpin Asia

(Tugu Jepang: perbatasan Cibungbulang-Leuwiliang) Foto: Kang Zanu


Pada suatu hari, seorang teman mem-posting diri dan anaknya di sebuah tugu bertuliskan aksara Jepang, pada suatu platform media sosial. Saya kemudian menanyakan, di mana letak tugu tersebut? Dia membalas bahwa tugu itu ada di sekitaran Leuwiliang, tepatnya di pinggir sungai Cianten, di Desa Cemplang, Kecamatan Cibungbulang. Dia, yang kemudian saya tanya soal tugu peringatan apakah itu, tidak bisa menjawab lebih detail karena dia hanya berkunjung saja. Dia hanya menjawab tugu “perang Jepang”. Perang? Karena penasaran saya melakukan pencarian di Google. Ternyata banyak beritanya tentang tugu dan persoalan perang Jepang di daerah tersebut.

Beberapa yang saya baca yaitu artikel berita yang bertajuk Mengenang Pertempuran Leuwiliang di Situs Purbakala Pasundan dan Mengenang 76 Tahun Pertempuran Leuwiliang di laman Kompas.id dan artikel bertajuk Pertempuran Leuwiliang di Jembatan Tjianten di laman Kumparan.com. Saya kaget bukan main, karena saya lahir dan besar di daerah tersebut namun baru-baru itulah saya tahu bahwa di tempat tinggal saya ini pernah terjadi sebuah peristiwa besar dalam rangkaian Perang Pasifik (Perang Dunia II). Bukan kaleng-kaleng, perang tersebut melibatkan pasukan sekutu (Australia, Inggris, Amerika Serikat) dan Jepang yang pada masa-masa itu memang sedang dalam kondisi “panas”. Hal tersebut membuat saya semakin penasaran untuk menggali informasi lebih tentang peristiwa tersebut.

Setelah lama melakukan pencarian, mulai dari membaca artikel-artikel, hasil kajian penelitian, buku-buku, dan bertanya ke sana kemari—yang walau pun kebanyakan bahkan tidak mengetahuinya, akhirnya saya menuliskan hasil pencarian itu di tulisan ini. Mungkin tulisan saya tidak lengkap karena hanya berdasarkan referensi-referensi yang saya temukan. Namun, tidak menutup-kemungkinan ada pengetahuan baru yang bisa diambil dari tulisan saya ini.

Ada apa dengan Jepang?

Sejak dari tahun 1930-an, situasi geopolitik dunia memang sudah dalam keadaan sedang mencekam. Seperti banyak yang diketahui orang-orang bahwa pada tahun itu, dunia memang sedang ditegangkan oleh perseteruan dua kubu kekuatan besar dunia yaitu Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia, Australia, Amerika, dan mungkin China) dan Axis (Kelompok fasis Nazi Jerman, Italia, dan Jepang). Jepang yang memang sudah kuat sejak Perang Dunia I—bahkan pernah mengalahkan China dan Rusia, menjadi salah satu sekutu Inggris dalam Perang Dunia I. Pasca-Perang Dunia I, Jepang menjelma sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan semua militer di dunia. Semua negara bermiliter kuat akhirnya masing-masing merasa khawatir, bahkan terhadap sesama sekutunya. Terjadilah perlombaan antara militer-militer dunia, terutama pada dalam hal armada perang.

Pada akhirnya, tahun 1921/1922, konferensi militer dunia (terutama angkatan laut) di Washington menghasilkan suatu perjanjian bagi militer dunia, dan bagi Jepang, perjanjian itu telah “mengerdilkan” kekuatan militernya dengan pembatasan-pembatasan yang tak menguntungkan bahkan cenderung membahayakan Jepang. Coba saja bayangkan olehmu, Jepang dipaksa harus mengakhiri persekutuannya dengan Inggris karena Amerika Serikat takut “dikeroyok” oleh dua negara yang sejatinya sekutunya sendiri. Alhasil, Jepang mengalami masa-masa kacau dengan kondisi militernya yang terpecah-pecah – terbagi beberapa faksi yang dikuasai perwira-perwira militer, dengan pendapat masing-masing dalam menyikapi perjanjian Washington tersebut.

Kekacauan dalam internal Jepang tersebut kemudian memunculkan dominasi militer dalam pemerintahan Jepang. Dominasi militer ini pun yang mengakibatkan Jepang menjadi sangat haus kekuasaan. Jepang sangat ingin menyerang Eropa, dan karena itu, militer Jepang beranggapan bahwa meraka harus memiliki banyak wilayah jajahan yang dapat menghasilkan banyak sumber daya alam demi menyokong logistik armada militernya.

Setelah tentara Kwantung (tentara Jepang di Korea) melakukan sabotase terhadap suatu kereta di Manchuria, dari sana mulai perang terbuka antara Jepang dengan China. Perang terbuka yang terjadi itu seharusnya mengakibatkan tentara-tentara dan para perwiranya di hukum oleh pemerintah karena tentara mereka bergerak di luar perintah, namun hal terjadi sebaliknya. Setelah kejadian itu, PM Jepang Wakatsuki Reijiro mengundurkan diri dan digantikan oleh Inukai Tsuyoshi. PM baru tersebut sebetulnya sempat mencoba untuk melakukan upaya perdamaian dengan China, namun dia dan jajaran menterinya malah menjadi target pembunuhan militer Jepang. Militer Jepang semakin mengerikan. Setelah itu, Manchuria dapat dikuasai Jepang dan dijadikan sebuah negara boneka pada tahuan 1932.

Puncak kekacauan di kubu militer Jepang terjadi pada tahun 1936 ketika salah satu faksi militer mengirim ribuan prajurit untuk menyerang rumah para pejabat kekaisaran dan berupaya melakukan kudeta. Namun, Kaisar Hirohito yang berkuasa saat itu memutuskan dengan tegas untuk melibas orang-orang yang berupaya meng-kudeta tersebut. Meski pun upaya kudeta tersebut akhirnya gagal, namun kendali sipil terhadap militer malah semakin lemah dan hilang. Militer Jepang semakin ditakuti rakyatnya, mereka semakin berkuasa dan bernafsu untuk mengeruk sumber daya alam di berbagai wilayah: utara (yang disarankan angkatan darat karena akan menguntungkannya karena di daratan) atau selatan (yang diusung angakatan laut yang menguntungkannya karena pasti menggunakan armada laut menuju Filipina dan Hindia Belanda).

Pada tahun 1940, secara mengejutkan Jepang bersekutu dengan Jerman dan melakukan pertemuan yang menghasilkan “Pakta Berlin”. Amerika yang sudah kesal dengan tingkah Jepang sebelumnya yang sangat keji terhadap China, jelas memutuskan untuk mengakhiri ekspor minyak bumi ke Jepang. Sebenarnya, perundingan-perundingan telah dilakukan oleh pihak Jepang dan Amerika terkait pergerakan Jepang di Indo-china dan perdagangan minyak bumi. Namun, kenyataannya tidak sesuai ekspektasi. Jepang yang khawatir tentang sokongan peperangan, mencoba cara lain untuk terus berusaha mencari persediaan logistik tersebut.

Jepang yang memang sejak akhir tahun 1930an telah melakukan banyak pencarian sumber daya alam—petinggi militer Jepang menganggap bahwa Jerman kalah dalam Perang Dunia I karena kekurangan sumber daya alam, memiliki dua cara untuk memperolehnya yaitu diplomasi dan invasi. Demikian yang dilakukan Jepang kepada Indonesia (Hindia Belanda). Pada tahun 1940, Kobayashi Ichiro diutus sebagai pimpinan delegasi Jepang untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Hindia Belanda yang diwaliki oleh Dr. van Mook. Belanda sangat mencium gelagat Jepang dalam perundingan itu bahwa Jepang menuntut untuk mendapatkan kekayaan alam di Indonesia. Mereka pun mengakui bahwa Jepang sedang berupaya untuk melakukan lebensraum atau melebarkan wilayahnya. Alhasil, Belanda tidak bisa menerima permintaan itu.

Setahun kemudian, Jepang kembali mengirimkan delegasinya yang dipimpin oleh Yoshizawa. Namun, hasil perundingan itu semakin kabur dan tak ada arah yang jelas. Hal tersebut malah membuat Jepang semakin yakin dan merasa tepat jika kemudian menggunakan cara kedua dengan menggerakkan kekuatan militernya.

Kecerdikan Jepang ketika akan menyerang Hindia Belanda belum hilang. Jauh-jauh hari, bertahun-tahun sebelum Jepang datang dengan militernya, Jepang memang sudah melancarkan serangan psikologis, yaitu dengan menyiarkan propaganda melalui Radio Tokyo yang dapat juga diperdengarkan di Indonesia, khususnya wilayah Jawa. Setiap akhir siaran tersebut, diputarkan lagu “Indonesia Raya” yang memang sudah diciptakan dan sudah pernah dinyanyikan pada sumpah pemuda 1928. Tujuan dari hal tersebut dilakukan mungkin untuk memikat masyarakat Indonesia yang semakin menderita di bawah pemerintahan De Jonge yang digadang-gadang sebagai pemerintahan terburuk selama Belanda menududuki Indonesia. Dengan demikian, Jepang dianggap bisa menjadi penolong dan pembebas masyarakat dari penjajahan Belanda, sesuai dengan propaganda Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia.

Langkah Awal Menuju Indonesia

Jika kita menonton film Pearl Harbour (2001) mungkin sedikit ada penjelasan tentang kondisi geopolitik dunia yang melibatkan Inggris, Jerman, dan tentu Jepang serta Amerika. Di film itu, dijelaskan bahwa tahun 1941, di Inggris sedang terjadi penyerangan oleh kekuatan udara Nazi Jerman, dan Amerika mengirimkan tentara sukarelawan ke Inggris untuk membantu melakukan perlawanan. Di sisi lain, dijelaskan bahwa awalnya Jepang sendiri tidak memiliki urusan dengan Amerika, bahkan Amerika tidak terlibat langsung dalam Perang Dunia II. Malah dijelaskan bahwa Jepang sebenarnya sempat punya hubungan perdagangan yang baik dengan Amerika terutama pada bidang perdagangan minyak bumi. Namun, kandaslah hubungan baik itu ketika “Pakta Berlin” ditanda-tangani oleh Jepang sendiri. Hal itu semakin memaksa Jepang untuk mencari sumber daya alam khususnya minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan negara dan militernya.

Ambisi Jepang yang ingin melancarkan serangan ke wilayah Asia Tenggara memang agak harus dipikirkan karena adanya kekuatan militer Amerika di sepanjang jalur Pasifik. Jepang berpikir bahwa Amerika tidak akan diam saja ketika mengetahui pergerakan militernya ke Asia Tenggara, sama halnya ketika Amerika secara diam-diam terus mendukung China untuk lepas dari pengaruh militer Jepang yang terus menggempurnya.

Pada dasaranya, Jepang sendiri memiliki kesadaran bahwa dia tak mungkin menang melawan Amerika dengan berbagai armada perang yang dimilikinya. Maka, selama itu pula Jepang mengalami situasi dilematis yang mengakibatkan Kaisar Hirohito bimbang dengan pendapat dari Perdana Menterinya yaitu Fumimaro Konoe yang diminta untuk membuat proposal perdamaian dengan Amerika yang sebetulnya disambut baik Amerika. Konoe selama diperintahkan oleh Kaisar Hirohito ternyata tidak membuat proposal tersebut dan malah staf menteri yang membuatnya. Terang saja, proposal yang dibuat sangat berbeda dengan maksud dan tujuan yang diinginkan Kaisar dan Konoe. Proposal itu merupakan proposal yang sama dengan proposal yang pernah diajukan dan telah ditolak oleh Amerika.

Dengan kebingungan dan kemarahan, Kaisar dan Konoe memanggil perwira militer untuk menjelaskan rencana perang yang juga memang disusun bersamaan dengan upaya diplomasi. Sekali lagi, walaupun mereka sadar bahwa mereka tak akan pernah menang lawan Amerika, namun di depan Kaisar mereka dengan percaya diri dan tak mau terlihat mengecewakan. Mendengar penjelasan militer, Kaisar malah semakin tak jelas. Dia tidak memberikan keputusan yang jelas kepada bangsanya tentang permasalahan ini. Proposal yang tak jelas dan pasti ditolak Amerika, kesiapan mereka untuk perang, malah ditimpali dengan puisi yang ditulis kakeknya – yang kemudian dia bacakan dihadapan cabinet, jenderal, dan Perdana Menteri Konoe. Tak lama, Konoe mengundurkan diri dan digantikan oleh Jenderal Hideki Tojo.

Di tangan Tojo, Kaisar ingin mengembalikan kondisi secara cepat dan meredam ambisi perang. Sebaliknya, Tojo pun menyerahkan keputusan kepada sang Kaisar untuk menegaskan tentang peperangan ini akan dimulai atau dihentikan di titik ambisi. Akhirnya tak ada yang mengakhiri ambisi perang sampai kemudian ide perang Jepang dengan Amerika yang memang membara di kalangan militer kelas menengah, diamini oleh Laksamana Isoroku Yamamoto dan Laksamana Chuichi Nagumo yang memimpin penyerangan diam-diam terhadap Pearl Harbour (7 Desember 1941).

Jepang sebenarnya menyadari bahwa mereka telah membangunkan “raksasa” yang tertidur. Laksamana Yamomoto sendiri bukan malah merasa senang ketika mereka berhasil menghancurkan Pearl Harbour. Dia malah merasa kebingungan. Bahkan, ketika dirinya banyak dipuji sebagai orang yang “brilliant” oleh rekannya seperti Nagumo, dia malah mengatakan bahwa orang brilliant tidak akan mengambil langkah perang. Dengan begitu, Yamamoto sendiri merasa jalan yang dipilihnya bukan yang terbaik. Namun, perang semakin nyata bagi Jepang, dan prinsip bahwa perang akan dimenangkan dengan SDA yang melimpah semakin membuat Jepang terus melakukan invasi ke arah Selatan dan kemudian ke Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

Sepanjang awal tahun 1942 Jepang melancarkan kekuatan militernya terus semakin mengarah ke selatan bumi, ke Asia Tenggara. Mulai dari Filipina, Kamboja, Malaysia, Singapura, hingga sebagian pulau Kalimantan dan Sulawesi sudah mulai bisa dikuasai. Kota-kota penghasil sumber daya alam berupa minyak bumi yang pada awalnya menjadi sasaran Jepang. Hingga akhirnya Jepang pula bisa menguasai kota Palembang di Sumatera, dan kemudian bergerak menuju ke pulau Jawa.

Daftar Bacaan dan Referensi

Ardhana, I Ketut, et al. 2011. The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: In cooperation wuth the Netherlands Institute for War Documentation. Hal 231-235. Leiden and Boston.

Goldstein, Donald M. and K.V. Dillon. 2004. The Pacific War Papers: Japanese Documents of World War II.  Virginia: Potomac Books, Inc.

Ham, Ong Hok. 2018. Waktu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Japanese Monograph. 1958. The Invasion of The Netherlands East Indies. Headquarters, USAFFE, and Eight U.S. Army.

Oktorino, Nino. 2016. Di Bawah Matahari Terbit. Jakarta: Elex Media Komputindo

Remmelink, Willem, Ed. 2015. The Invasion of the Dutch East Indies. Leiden University Press.

Zuhdi, Susanto. 2017. Bogor Zaman Jepang 1942 -1945. Tangerang Selatan: Komunitas Bambu.

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/11/03/mengenang-pertempuran-leuwiliang-di-situs-purbakala-pasundan
https://www.kompas.id/baca/utama/2018/03/03/mengenang-76-tahun-pertempuran-leuwiliang
https://www.zenius.net/blog/perang-dunia-ii-jepang

Pearl Harbour. 2001. Film by Michael Bay. Trilogi Human Condition. 1959-1961. Film by Masaki Kobayashi