: Catatan Kecil Refleksi Kuncen Redaksi
Sebagaimana Kuncen Redaksi ketahui bersama, ketika seseorang menghadapi pergantian tahun baru, sering sekali digunakan sebagai bahan merefleksikan perjalanan diri, apa yang belum dicapai, kegagalan apa saja yang menimpa, keberhasilan apa saja yang sudah tuntas, dan sebagainya, selalu dijadikan wahana perenungan bersama. Bagaimana Kuncen Redaksi memandang serta merefleksikan Media Halimun Salaka ini, atau pencapaian dan harapan seperti apa yang sudah terbayang dan tersusun untuk memulai tahun baru 2024 ini?
Kuncen Redaksi: Kami rasa, terlepas menyambut tahun baru atau tahun lahirnya seseorang, segala sesuatu memang tak bisa lepas dari perenungan hidup maupun kehidupan, kecuali seseorang itu sudah dijemput kematian. Dan kami sepakat, Halimun Salaka semacam kendaraan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan terhadap Kota kelahiran kami sendiri: Bogor Raya.
Terlepas siapa kita dan apa tugas kita dalam kehidupan di Kota ini, menurut kami sudah sewajarnya – bahkan sangat diperkenankan para penghuni, para pengembara, dan anak-cucunya sekalian memberikan kesaksian sendiri terhadap Kota kelahiran dan pengembaraannya, termasuk mendobrak segala sesuatu yang masih menjadi misteri tentang biografi-geografisnya. Itulah mengapa, Halimun Salaka bagi kami merupakan kendaraan untuk mencapai tujuan tersebut, mencoba sejajar dengan kehidupan masa silam dan masa depan, sebab kami hidup di masa kini.
Di tahun 2024 ini, kami berharap dan semoga itu terwujud sesuai proses tahapannya, Halimun Salaka menjadi media-alternatif yang benar-benar dapat berkolaborasi dengan para penulis, sejarawan, seniman-budayawan, akademisi, komunitas, para pelajar, serta masyarakat Bogor umumnya, dalam menuangkan semua apa yang mereka alami bersama Bogor, apa yang mereka tahu tentang Bogor, dan apa yang menjadi kenangan-impiannya bersama Bogor, dan seterusnya.
Namun, harapan tersebut tentulah merupakan bagian dari impian yang begitu panjang sekali, sebab jika ditinjau dari hari, bulan, dan tahun terbentuknya Halimun Salaka terhitung baru berumur 7 bulan sejak lahirnya 3 Juni 2023, bertepatan dengan hari peringatan jadi Bogor. Umur yang barulah setahap bayi ini, tentu baru mulai belajar ingin berdiri, ingin berjalan, dan ingin berbicara, lalu ingin belajar mengetahui lalu memahami untuk apa hidup dan siapa yang menghidupkan, dan akan ke mana setelah hidup ini selesai.
Singkatnya, kami sepakat mengandaikan Halimun Salaka sebagai bayi yang mulai tumbuh-berkembang dalam menyusuri pembelajaran kehidupan (Bogor). Sebagaimana panembrama yang sudah kami gaungkan, mungkin nanti ketika bayi ini (Halimun Salaka) mulai tumbuh dewasa, akan timbul-berkembang pembelajaran bersama manusia Bogor: dengan bahasa lain, baik yang lahir di Bogor, yang sedang mengembarai Bogor, atau yang tidak sengaja dan terpaksa tinggal-menetap di Bogor, bersama-sama belajar untuk ikut andil membaca, mencatat, menggambar serta memaknai kembali Bogor dalam putaran waktu dan perubahan ruangnya.
Dengan demikian, semua yang lahir, yang datang, yang menetap, atau yang hanya singgah sementara di Bogor, Halimun Salaka dapat menjadi ruang dan wahana menjelajah waktu ketika kita melakukan sudut, gerak, jarak-jangkauan pandangannya mengenai Bogor dari berbagai kerja kreatif dan proses-tujuannya masing-masing. Sebab kami membayangkan, Bogor kadang serupa buku-buku yang berisi memori masa-lalu, tak pernah selesai untuk dibaca dan diulas bersama.
Kadang-kadang Bogor serupa buku-buku yang kosong di masa depan, menunggu para penghuni atau pengembaranya mencatat dan menggambar kembali apa yang sedang dan akan terjadi. Dan lalu dari muatan kadang-kadang itulah, Bogor masih menjadi misteri sampai hari ini, sebagaimana Gunung Halimun Salaka yang selalu diselimuti kabut tebal (ingatan para penghuninya) dan hujan lebat (perasaan dan pikiran para penghuninya). Maka, sudah waktunya kita bersama menyusuri penggalian di rimba kenangan hidup dengan me-lintasi warna-warni waktu yang lalu meruang pencarian jalan sejarah yang hilang dalam naskah -naskah kemungkinan (Wisata Sajak di Bogor dan Puisi lainnya).
Jadi, menurut kami, perenungan tentang keberhasilan atau kegagalan, harapan sekaligus impian, lebih khusus dalam memandang perjalanan Halimun Salaka, mustahil kami kemukakan hari ini secara terang-benderang, biarlah proses yang menguraikannya. Namun kami dapat membayangkan saja, sebagaimana kami andaikan Halimun Salaka sebagai bayi yang baru berumur 7 bulan ini, kami percaya (sebagaimana orang tua percaya pada anaknya) nanti setelah beranjak dewasa, semoga ia mampu menjadi ruang bersama dalam mengolah kreativitas hidup dalam menyusuri geografis-biografis Bogor ini.
Cukup! Sekarang kita kesampingkan terlebih-dahulu persoalan umur dan perenungan hidup dalam memandang Halimun Salaka. Fokus pembahasan selanjutnya mengenai isi-muatan tulisan yang sudah ditampung media Halimun Salaka. Menurut Kuncen Redaksi apa yang dapat diperoleh pembaca dari isi-muatan tulisan yang sudah terbit dan ditampung media Halimun Salaka?
Kuncen Redaksi: Kami rasa akan sangat subjektif jika persoalan makna apa saja yang dapat diambil dari tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan Halimun Salaka. Ditambah tulisan yang sudah diterbitkan Halimun Salaka ini amat sangat beragam, tak melulu soal kesejarahan Bogor. Namun, jika kami boleh menyarankan dan mencoba memberikan kesaksian tentang semua tulisan yang sudah terbit itu, mungkin kami dapat menghadirkan benang-merahnya: lebih khusus tentang persoalan kecil kesejarahan Bogor.
Secara singkat dan sederhananya, mungkin pembaca bisa mulai dengan membaca tulisan yang berjudul, Ketika Memandang Pohon Aren Terlintas Kebudayaan Eceuk dan Kesejarahan Poek. Dalam tulisan itu, kita akan dihidangkan bagaimana persoalan asal-usul nama Bogor ini hadir dan tercipta, persoalan siapa peletak dasar hunian Bogor, dan bagaimana Pakuan Pajajaran tenggelam dan melahirkan Kota Bogor ini. Tulisan itu pula menghadirkan buku rujukan yang ditulis oleh Saleh Danasasmita berjudul, Sejarah Bogor. Buku yang isinya bermuatan tentang peninggalan Pakuan Pajajaran yang berlokasi di Bogor, sekaligus bagaimana Kompeni Belanda masuk dan menduduki hunian Bogor. Sejalan dengan itu, pembaca bisa menyusuri tulisan yang berjudul, Batu-Tulis: Yang Lampau, Yang Kini dan Yang Akan Datang, untuk memaknai apa saja bukti peninggalan Pakuan Pajajaran (Batu-Tulis, catatan peringatan Prabu Siliwangi) yang sampai saat ini masih dirawat dan terus diulas oleh para sejarawan dan budayawan.
Setelah membaca kedua tulisan itu, barulah baca tulisan yang berjudul, Setapak Jalan Menuju Hutan lebat: Saleh Danasasmita, yang akan membawa kita lebih dalam tentang prosesi sejarah Bogor hasil penelitian Saleh Danasasmita, salah satu dari sedikit orang yang bisa menerjemahkan naskah-naskah Sunda Kuno. Seorang yang sejak kecil akrab dengan kesenian dan budaya Sunda. Mempelajari huruf palawa yang konon ia tempuh secara mandiri (otodidak), dan membaca bahasa kawi/sunda kuno yang kemudian menjadi bekalnya menebas jalan menuju hutan lebat kenangan bernama Bogor. Pembaca lalu bisa meneruskan pada penziarahan tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Dredet, di Jl. Pahlawan I No.1, RT.05/RW.08, Empang, Kec. Bogor Selatan, Kota Bogor.
Agaknya itu sudah cukup, untuk membuka cakrawala pembaca mengenai jalan panjang Bogor dalam kurun-waktu tertentu, sisanya pembaca bisa menyusuri tulisan yang berjudul, Perang Leuwiliang, untuk hinggap di masa pra-kemerdekaan, atau jika hendak pergi jauh ke masa silam sebelum Bogor tercipta, bisa kunjungi tulisan berjudul, Megalitikum Diri dan Sundapura: Hyang Redup-Senyap-Hilang. Dan seterusnya – dan sebagainya.
Menarik. Lalu, apakah akan ada fokus isi tulisan yang hendak dicapai Halimun Salaka nanti? Atau hanya memusatkan pada penelitian dan penelusuran sejarah, budaya, seni, fenomena sikologi-sosial, dan sebagainya, seperti gambaran pengantar isi rubrik yang sudah ditentukan itu?
Kuncen Redaksi: Tentu, akan ada fokus utama kami dalam menyusuri jalan panjang Bogor ini. Kami tengah merumuskan fokus mulai 2024 dengan memulai mendata nama jalan di Bogor yang diambil dari nama seorang tokoh. Lalu, tokoh-tokoh itulah yang akan kami susun biografinya, mengapa namanya diabadikan pada jalan tersebut itu, tentulah ada kaitan historis di dalamnya. Kami juga hendak memfokuskan pendataan tokoh-tokoh yang ada di makam pahlawan, guna mengidentifikasi siapa tokoh itu, apa jasa-jasanya terkait jalan panjang Bogor, dan seterusnya, masih bersifat penyusunan biografis. Berbeda dengan yang sudah diabadikan menjadi nama jalan, tokoh-tokoh yang kami susun nanti, jika memang belum diabadikan pada nama jalan, akan kami usahakan untuk diabadikan, dengan syarat-prasyarat yang kami ajukan pada pemerintah terkait.
Sebab, kami melihat hal tersebut sangatlah penting. Tokoh-tokoh tersebut, jika terus sekedar cerita rakyat, akan hilang ditelan zaman jika tak diarsipkan melalui tulisan. Dan kita ketahui pula bersama, kehadiran tokoh pahlawan, khususnya di Bogor, pastilah akan membuka cakrawala kita tentang cerita lanjutan dari perjalanan panjang kesejarahan Bogor ini. Begitulah, untuk sementara dan sampai tuntasnya, kami hendak memfokuskan hal itu terlebih-dahulu, sembari melanjuti pembacaan arsip-catatan lama terkait Bogor itu sendiri.
Wah. Sepenting itu juga ya ternyata persoalan hubungan tokoh dan rentetan jalan sejarah. Baiklah, rasanya ini sudah cukup sebagai refleksi kecil. Sebagai penutup obrolan ini, silakan Kuncen Redaksi sampaikan sesuatu pada pembaca, penulis, dan komunitas yang sudah membantu atau yang belum membantu sekalipun mengenai harapan dan impian Halimun Salaka ini. Silakan.
Kuncen Redaksi: Kami menyadari betul, bayi yang baru belajar berjalan ini pastilah akan bertemu banyak aral-melintang yang menuntut lebih banyak suatu kesiapan dan tanggung-jawab. Tentu menghadapi realitas yang lebih besar itu memerlukan dukungan dari kawan-kawan pembaca dan komunitas sebagai tonggak dialektika kritik-saran.
Dan tentu kami menyadari perlunya aksi-reaksi mengenai kerja-kerja sudut, gerak, jarak-jangkauan pandangan dari seperduluran Bogor sekalian dalam memandang Bogor dalam kerja kreatifnya masing-masing. Kami berharap pula seperduluran Bogor berkenan untuk ikut andil membantu kami menemukan tokoh, menyusuri tokoh, dan bertahap mencatat biografinya bersama-sama, sebagaimana sudah dijelaskan di muka guna mengidentifikasi siapa tokoh itu, apa jasa-jasanya terkait jalan panjang Bogor, dan lalu kita apresiasi selayaknya seorang tokoh, tidak hanya dikenang dalam cerita lisan saja, melainkan diarsip-bagikan dalam kerja penulisan.
Semoga hal demikian menjadi semangat yang menjelma energi bagi kami dalam mempertahankan suatu sikap yang masih seperti di awal: Halimun Salaka menjadi sarana memandang Bogor dari sudut yang berbeda, yang semoga memberi dampak pada kehidupan para penghuninya. Hal tersebut berangkat dari pesan sang-mahapandita-kontemporer yang jauh di alam mimpi kami berkata dengan berbisik: akhir dari segala sesuatu adalah awal dari sesuatu yang baru.
Sekian dan terimakasih pada semua seperduluran, kawan, dan semua yang sudah ikut membantu bayi (Halimun Salaka) yang baru mulai tumbuh-berkembang ini. Sekali lagi, Hatur-nuhun!***