Menziarahi Tan Malaka, Si Idealis yang Sampai Mati Kesepian

Menziarahi Tan Malaka, Si Idealis yang Sampai Mati Kesepian

Dok. Tenu Permana


Butuh waktu lebih dari tiga bulan untuk saya bisa sadar, bahwa makam dari junjungan saya ternyata ada di kota yang sedang saya jadikan tempat belajar.

Tiga bulan. Waktu yang lumayan lama untuk mengingat ulang. Kesadaran itu pun bukan sekonyong-konyong datang, tapi datang ketika saya sedang membuat skrip konten tentang sang junjungan, dan seketika itu juga saya tersadar, bahwa beliau, si idealis kiri yang pantang untuk berdiplomasi, di tembak mati di tempat ini, di Kediri. Wilayah yang ia sangka aman untuk memulai gerilya bangun ulang perlawanan.

Setelah tersadar, saya langsung mengontak teman saya yang punya kendaraan, untuk temani saya menziarahi si empunya makam. Jauh sebelum ini, menziarahi makam-makam tokoh-tokoh yang saya kagumi memang sudah menjadi bucket list saya. Maka punya kesempatan bisa menziarahi makam dari seorang kiri mentoks yang namanya beberapa kali saya kutip dalam paper kuliah dan diskusi, jelas adalah kebahagiaan yang harus segera saya penuhi.

Maka, besok sorenya, tepat pada minggu yang mendung di bulan November, kami memulai perjalanan untuk menziarahi makam Tan. Untuk tahu lokasi tepatnya di mana, Gmaps sudah clear memberitahukan alamat makam beserta nama sangarnya: Makam Tan Malaka.

Makamnya ada di lereng Gunung Wilis, di desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Meski pemakamannya ada di desa jauh di perbukitan, tanpa ada kesulitan dan kesasar, kami pun sampai dengan tidak ada satu jam perjalanan. Lebih cepat 13 menit dari yang diprediksikan G-maps.

Tepat saat kami membuka helm, mendung yang dari tadi seperti tertahan tumpah menjadi gerimis-gerimis panjang. Kami dengan segera menuruni tangga ke arah pemakaman untuk meneduh. Beruntungnya ada tempat peneduhan yang mana di sana juga tertulis, “Makam Ibrahim Datuk Tan Malaka”. Barangkali ini penegasan bahwa di sinilah tempat seorang pemikir besar yang sudah memikirkan konsep Indonesia jauh sebelum Bung Karno dan Hatta, dikebumikan.

Di peneduhan ada keranda, dan entah kenapa ada di sana. Apa nisan-nisan dan pohon kamboja kurang untuk menunjukkan bahwa tempat ini adalah pekuburan, atau mungkin ada maksud lain. Entahlah. Tapi fenomena itu jika saya pikir sekarang, membikin saya semakin tenang, karena setelah hiruk pikuk perpolitikan yang memuakkan, keranda dan orang mati terlihat seperti teman yang lebih menenangkan.

Tentu saja ketenangan yang saya alami ini sebentuk tragis. Sebab saat di pemakaman tentu yang langsung saya ingat adalah kematian. Namun saya seperti punya keyakinan bahwa dengan mengingat kematian, itu membantu saya untuk menempatkan segala sesuatu dalam perspektif yang benar.

Mengingat kematian juga, membantu saya untuk menikmati pengalaman yang membuat hidup saya untuk kembali terlihat berharga. Begitulah yang saya rasakan, dan ini jugalah yang menjadi alasan saya pergi menziarahi makam Tan.

Sejauh apa kau berdialog dengan kesendirian, Tan?

Satu hal yang langsung ada di benak saya setelah melihat sekitar pekuburan Tan adalah: untuk seorang idealis yang begitu terobsesi dengan kemerdekaan, makamnya memang tidak jauh seperti kehidupan pemiliknya: sepi, terasing dan jauh dari pusat perhatian.

Pekuburannya benar-benar pekuburan biasa. Ada beberapa pohon khas kuburan yang turut menghiasi pekuburan di sana. Pohon kamboja yang cukup rimbun bertengger bak gerbang, beberapa pohon andong dan beberapa tumbuhan melati pun ada di sana. Ada banyak kuburan warga yang berdempetan di sana, dengan beragam nama pada nisan. Di pekuburan ini juga ada tokoh pendiri desa, Mbah Selopanggung yang berdekatan dengan makam Tan.

Untuk menghormati Tan, tentu saya dengan dipimpin oleh teman saya, membaca yasin dan doa-doa yang kami haturkan kepada Tan. Toh kapan lagi membaca yasin kepada tokoh yang dikenal sebagai abang-abangan kiri-kiminis.

Di hadapan makam Tan yang sederhana dengan ingatan ketragisan dan kesepian yang dihadapi semasam hidup Tan, saya juga entah bagaimana jadi teringat Sartre, atau saya jadi membandingkan kepada Sartre, tokoh yang juga kontroversial, namun diakhir hidupnya ditangisi oleh lebih dari lima puluh ribu pelayat yang mengagumiya.

Bagaimana dengan Tan? Saya membayangkan bahwa saat kematiannya dalam selongsong senapan, tidak ada tangisan panjang, tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada berita sejudul pun dalam koran, yang mengiringi kematiannya. Karena toh memang tidak ada yang tahu kematiannya.

Tetapi setelah kematian Tan, seperti bukan rahasia umum, bahwa sepak terjang perjuangan Tan selama hidup dikaburkan oleh Soeharto dan Orde Baru. Bahkan nama Tan dimasukkan ke dalam kotak kaca sebagai figur terlarang dalam sejarah resmi negara.

Keprihatinan saya kepada Tan, membawa saya sekali lagi ke ingatan saya, dalam salah satu monolog di Puncak Bogor, di acara Kemah Seni Festival yang diadakan Cilebut Art Project disekitar tahun 2022-an, kalo saya tidak salah ingat. Di sana, saya ingat Joind Bayuwinanda yang memerankan Tan Malaka dalam monolognya yang berjudul “Tan Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah” berucap kesal:

“Saya merasa ditinggalkan. Berpuluh-puluh tahun saya mencarinya ke berbagai negeri dan penjara. Mungkin karena saya mencarinya sebagai orang buangan dan pelarian, sejarah selalu mengelak dari tubuh saya.”

Dan memang seperti itu adanya, sepanjang masa hidupnya, Tan yang banyak meledak di banyak tempat tetaplah pejuang yang selalu ditinggal sendirian. Ia ditinggal PKI, ia ditinggal Sukarno, ia ditinggal Sjahrir dan terakhir ia mati dalam kesendirian dalam pengeksekusian.

Cinta adalah soal perjuangan, bukan begitu, Tan?

Sekitar empat puluh menit atau lebih setelah kami berlama-lama di hadapan makam Tan, gerimis panjang pun balik datang. Terpaksa saya kembali ke tempat peneduhan. Dengan kondisi di hadapan saya ada keranda, saya juga langsung membayangkan bagaimana prosesi pengeksekusian Tan. Apa Tan di eksekusi mati di sini dan langsung dikubur di tanah ini. Atau setelah dieksekusi mati dengan tangan terikat di belakang, Tan baru diangkut ke tempat pemakaman ini dan baru dikuburkan.

Dibukunya Harry A. Poeze, yang berjudul “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949” kita menjadi tahu, bahwa Tan ditembak mati pada 21 Februari 1949 oleh Suradi Tekebek atas perintah dari Sukotjo, seorang letnan kedua dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya, Tentara Republik Indonesia yang kemudian hari menjadi walikota Surabaya.

Perintah yang dikeluarkan Sukotjo itu, menurut Poeze dalam bukunya jelas, bahwa itu tidak pernah datang dari atasan Sukotjo atau pimpinan tentara Indonesia. Maka dapat disimpulkan itu adalah aksi pribadi dari Sukotjo. Tak heran, setelah Tan dieksekusi mati, tidak ada laporan yang pernah dibuat. Pengeksekusiannya pun dirahasiakan selama bertahun-tahun kemudian.

Dari catatan-catatan riset yang dibukukan oleh Poeze itu pula lah, saya membayangkan ketragisan semacam apa yang terjadi di hari akhir-akhir kehidupan Tan. Meski sepanjang kehidupan Tan, dengan mudah bisa kita kategorikan sebagai suatu ketragisan. Tapi bersamaan dengan itu pula, Saya jadi teringat pengeksekusian Che Guevara yang memuntahkan kata-kata terakhirnya dengan pernyataan tegas: Tembak, Anda hanya akan membunuh seorang pria!.

Bagaimana dengan Tan? Apakah ia juga masih memiliki kekuataan untuk melontarkan kata-kata tajam kepada sang algojo, yang jelas masih tenggelam dalam logika mistika yang menancap kuat di rakyat Indonesia—terlebih tentara.

Jelas saya tidak bisa membayangkan kekecewaan yang dirasakan Tan. Mati ditangan bangsa yang diperjuangkannya dengan mati-matian. Tapi dengan mempelajari kisah hidup Tan tentu saya menjadi mengerti dengan apa yang dimaksud Erich Fromm kala dia bilang bahwa cinta membutuhkan disiplin, konsentrasi, kesabaran dan keyakinan.

Cinta juga, kata Fromm, bukan Cuma perasaan, tapi praktik penuh kegigihan. Dan dengan melihat riwayat hidup Tan yang hanya diisi dengan belajar, berjuang dan melawan, jelas hal itu adalah cinta yang ingin didefinisikan oleh Fromm, dan itu sepenuhnya bisa dan benar.

Hujan pun akhirnya reda, jam menunjukkan setengah lima sore, untuk memberi penghormatan terakhir, saya meninggalkan botol minum tentara saya di makamnya. Sepanjang tangga menuju ke jalan utama, saya mendapati diri saya bertanya-tanya, apakah suatu saat akan ada lagi seorang tokoh yang memiliki pemikiran yang dapat mempengaruhi banyak orang dan dengan sungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk mengorganisir, atau apakah masa-masa dengan orang-orang seperti itu telah berlalu menjadi sejarah yang hanya bisa saya baca dalam buku-buku. Entahlah.