A Eurasian eagle-owl with other birds in a landscape 1675 – 1721
Sungguh, saya takut menghadapi masa depan kesenian Bogor!
Ketakutan itu bukan pada kuantitas produksi kesenian–juga kebudayaan–masyarakat yang selama ini meletup-letup kecil di antara pembangunan sosial masyarakat.
Asalnya, jelas, dari berita-berita dan asupan informasi yang kian hari santar menakutkan, khususnya yang berkaitan dengan kesenian dan sarana-prasarananya di Bogor. Katakanlah isu-isu tentang Bogor Creative Center yang simsalabim jadi sarana prasarana perpajakan oleh pemerintah provinsi; Gedung Kesenian Kemuning Gading Kota Bogor yang dinonaktifkan karena menunggu revitalisasi oleh pemerintah kota; juga kebingungan saya sendiri ketika menjawab pertanyaan apakah Kabupaten Bogor memiliki gedung kesenian–Kabupaten Bogor sendiri memiliki fasilitas tersebut namun sering dianggap dalam kondisi ghosting.
Menyikapi bagaimana peran pemerintah terhadap kesenian hari ini seperti tiga hal di atas, saya rasa, siapa pun akan kebingungan. Dengan kenyataan bahwa kebijakan pemerintah terhadap kesenian sebagai bagian dari sektor kehidupan masyarakat yang diurusnya banyak dianggap suatu keanehan, masyarakat semakin bertanya-tanya terkait keseriusan perhatian pemerintah. Jangankan kontrak sosial kesenian yang berkaitan dengan program-program, fasilitas yang sangat jauh dari kata layak pun kini di-bredel habis-habisan. Masyarakat hanya dapat mengernyitkan dahi dan mengelus dada sambil berusaha bersuara dan meresponsnya.
Respons-respons itu bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari kalangan masyarakat seniman maupun masyarakat apresiator. Mereka berusaha untuk bersuara seadanya lewat pelbagai cara dan media. Perasaan mereka yang merasa “dikhianati” dan dikecewakan muncul dari hati yang kesal dan tak lagi sabar. Dampaknya, masyarakat seni akan menaruh kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintahnya, serta dendam yang mendalam karena selalu merasa dipinggirkan. Friksi antara masyarakat seni dan pemerintah ini, jelas akan menampakkan pertarungan antara “the minuto popolo” atau small people yang diwakili masyarakat seniman, dengan “the popolo grasso” atau “fat people” yang diwakili pemerintah. Alhasil, dengan kata lain akan ada dominasi dari yang berkuasa dengan orang-orang yang suaranya saja kadang tidak didengar. Dengan begitu, muncullah ketakutan dengan pertanyaan besar masihkah akan ada ruang kesenian itu di masa depan nanti?
Polemik Ruang Kesenian
Dalam kaitan kesenian sebagai suatu ruang, saya teringat dengan The Production of Space (1974) ala Henri Lefebvre. Pada intinya Lefebvre secara fenomenologi melihat ruang sebagai sesuatu yang harusnya lebih humanis, diantaranya bahwa setiap individu atau kelompok memiliki hak atas kota (right to the city) atau kedaulatan atas kota. Namun, acap kali hak-hak ini kemudian terabaikan dan tergerus oleh pengabstraksian ruang yang dilakukan kapitalis, juga oleh pengetahuan teknokratik pihak pemerintah itu sendiri. Alhasil, terjadilah kontestasi ruang antara ruang abstrak (abstract space)–yang dikonsepsikan oleh pemerintah dengan pertimbangan keuntungan yang didapat dari objektifikasi ruang, dengan ruang sosial (social space)–yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya secara bebas dan tanpa tendensi apapun, juga secara konkret.
Pada kasus kesenian di Bogor, friksi ini tengah dialami seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal. Kebijakan pemerintah terkait kesenian hari ini telah dilihat sebagai upaya-upaya abstraksi ruang yang tidak memikirkan konteks sosial masyarakat seni. Penyediaan ruang-ruang kesenian baik dalam bentuk sarana maupun prasarana, kemudian tidak dapat dibilang berpihak pada seni itu sendiri. Maka, kita bisa melihat peristiwa pengalihfungsian Bogor Creative Center, Revitalisasi Kemuning Gading, dan mati-suri-nya Gedung Kesenian Kabupaten Bogor menjadi beberapa contoh dominasi kekuasaan yang mendahulukan keuntungan-keuntungan tertentu yang jauh dari ruang praktis masyarakat, terutama masyarakat seni. Dengan kata lain, kesenian hari ini hanya merupakan ruang representasional (space of representations) yang menggambarkan benturan antara ruang praktis (spatial practice) masyarakat seni dengan representasi ruang (representations of space) yang menjadi wilayah pemerintah yang memiliki otoritas dalam mempresentasikan, mengelola, dan menentukan ruang kesenian.
Melihat kondisi ini, jelas, ketidakadilan tengah terjadi di dalam interaksi masyarakat seni dengan pemerintahnya. Konflik ini barang tentu harus diselesaikan, serta perjuangan atas keadilan harus diupayakan. Pertanyaannya, siapa yang harus memperjuangkan hal ini? Tentu saja jawabannya adalah masyarakat seni, baik seniman itu sendiri atau para apresiator yang merasa hak atas apresiasi seninya terhilangkan. Semua ini demi menghindari adanya eksklusi sosial karena dianggap akses dan kesempatan masyarakat seni untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas dan tata kelolanya, dibatasi oleh pemerintah dengan kebijakannya.
Pada intinya, kebijakan pemerintah seharusnya mempertimbangkan resiko-resiko yang muncul kemudian di semua aspek kehidupan masyarakat. Sejatinya, masyarakat memiliki hak-hak tertentu yang berkaitan langsung dengan kehidupannya, semisal hak informasi, hak mendapatkan pelayanan, dan juga hak-hak bebas berpendapat serta melakukan aktivitas termasuk untuk mengakomodasi aktivitas tersebut. Aktivitas kesenian yang juga sedang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat malah akhirnya mengalami guncangan hebat, dibalik usahanya menyabarkan diri atas perhatian pemerintah terhadap seni yang begitu kecil.
Saya Takut!
Ternyata, menjadi masyarakat seni di Bogor tidak cukup dengan hanya memiliki kesabaran yang luas karena perhatian pemerintah yang terlampau kecil. Masyarakat seni di Bogor harus memiliki daya juang dan kesadaran yang tinggi atas hak-haknya. Dengan begitu, jika suatu hak seni mereka kemudian diusik, maka mereka akan melakukan pergerakan-pergerakan seni untuk menuntut balik haknya. Dengan begitu, akan terlihat bahwa masyarakat seni dapat berkesempatan terlibat aktif dalam mengelola kehidupan kesenian itu sendiri.
Selama ini, setidaknya sampai hari ini, masyarakat seni dipaksa untuk pasif dan menerima serta menjalankan saja kebijakan-kebijakan yang terkait kesenian. Pemerintah seakan terus mendominasi dalam pembentukan ruang-ruang kesenian, tanpa memberikan kesempatan pengelolaan bahkan keterlibatan dalam hal perencanaan pembangunan kesenian, terutama pada kasus yang dibahas dari awal. Bisa saja, pemerintah melibatkan masyarakat seni dalam diskusi-diskusi khusus untuk mendapatkan masukan terkait kebijakan-kebijakan yang nanti akan dikeluarkan. Seharusnya, pemerintah dapat meminimalisir adanya konflik kepentingan dengan mendengarkan langsung kebutuhan masyarakat.
Di sinilah fungsi dewan kesenian sangat dibutuhkan, sebagai jembatan antara aktivis seni dan masyarakat seni dengan pemerintah. Sementara, masyarakat seni yang kadung telah merasa kesal dan “memusuhi” pemerintah dibutakan dengan tidak adanya sosialisasi solid dalam upaya mendorong kebijakan yang berpihak pada seni. Dewan kesenian sebagai tombak utama yang menjaga hak-hak seni masyarakat seakan mati suri. Persoalannya karena juga para dewan kesenian terlampau tak acuh terhadap pemajuan kesenian secara umum, meskipun para dewan itu masih hidup–menghidupi kesenian. Akhirnya mungkin kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebagai mitranya, membekukan pergerakan dewan yang juga tak tahu arah dan tujuan pergerakannya sendiri adalah langkah yang dianggap tepat.
Seandainya saja dewan kesenian berfungsi dengan baik, fungsi legislasi dewan yang juga sudah diberikan mandat kemitraan terkait kesenian juga kebudayaan (terbukti bahwa SK pembentukannya langsung ditandatangani oleh pimpinan daerah) seharusnya jadi solusi efektif. Menghadapi hal ini, seharusnya jalan tengah inilah yang bisa menyelesaikan masalah lewat perundingan-perundingan, audiensi, juga pemberian saran-masukan dari dewan untuk pemerintah sebagai pemenuhan hak-hak kesenian. Kenyataannya, jangankan ketiga hal itu, dewan kesenian itu sendiri pun tidak diketahui keberadaannya. Alhasil, para seniman dan masyarakat seni pada umumnya, melakukan protes-protes kecil yang juga hanya bisa menggelitik pemerintahan yang keras kepala.
Maka dari itulah, jika polemik seperti ini: ketidakjelasan arah pemajuan kesenian dan kebudayaan yang seharusnya diprogramkan oleh dewan kesenian, ketidakjelasan pemenuhan hak-hak masyarakat seni atas kedaulatannya sebagai masyarakat oleh pemerintah, juga tidak adanya upaya islah di kondisi friksi ini, bagaimana nasib kesenian ke depannya? Wajar sekali bahwa saya mengatakan bahwa saya merasa ketakutan menghadapi masa depan kesenian, tanpa manajerial dan struktural yang jelas yang seharusnya bisa melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat seni, terutama untuk pemajuan kesenian dan kebudayaan itu sendiri di Bogor.***