Semuanya resah: tiap komunitas yang hadir resah, orang-orangnya resah, dan harapan berikut impiannya hanya luapan keresahan.
Dan malam 31/05/2025 itu adalah malam 1001 keresahan. Saking resahnya, mereka yang berkumpul di Kopitography (Ciampea—Kabupaten Bogor) beramai-ramai melontarkan keresahannya tanpa ujung, keluar dari persembunyiannya masing-masing—serupa akar yang muncul ke permukaan—menampakkan dirinya. Tapi memang, keriuhan itu adalah mutlak dari akibat bagaimana tema diskusi itu dirancang, Silih-Wangian: Ngomongkeun Ekosistem Barudak di Bogor Barat.
Halimun Salaka melalui ruang konservasi Salakans itulah motif utama bagaimana terjalinnya pesta keresahan itu sendiri. Sebabnya, apa yang mulanya hendak dituju oleh Salakans dalam Diskusi Komunitas (Disko) itu—adalah tidak lain, pertama; membikin titik temu silaturahmi para pegiat/kelompok yang bermukim di Bogor bagian Barat. Kedua; dengan terjalinnya interaksi setiap pegiat/kelompok yang bermukim di Bogor bagian Barat itu—maka akan tergambar kerangka bagaimana baiknya kerja kolaborasi yang mesti dirajut plus ditempuh, mengingat kini telah semakin ramai-gencar berita Daerah Otonomi Baru Kabupaten Bogor Barat. Dan ketiga; apa yang menjadi puncak capaian Salakans dalam Disko itu sebenarnya tertuju kepada pembangunan kebudayaan: yang di dalamnya terhimpun kesenian, ekonomi kreatif, transformasi literatur sejarah, tinjauan ekologi, dan seterusnya mengarah pada pembangunan pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat.
Walaupun hasil diskusi pada malam itu belum sampai pada putusan bersama, belum sampai pada pembagian tugas kerja setelah ini mau mulai mengerjakan apa, setidaknya sudah tergambar bagaimana seharusnya komunitas berikut pegiat kreatif di Bogor Barat itu berkolaborasi, bagaimana prosesinya dan apa tangga capaiannya. Disebabkan cepat dan singkatnya waktu, pertemuan silaturahmi pada malam itu mesti dijeda. Maka seri ke-#2 silaturahmi akan dan mesti terselenggara kembali.
Padat cerita, apa yang nanti akan terus dikerjakan Salakans bersama pegiat dan komunitas di Bogor Barat adalah ketika mereka (pemerintah) akan sibuk membangun infrastruktur DOB Kabupaten Bogor Barat, Salakans berupaya untuk mengajak kolaborasi pegiat kreatif seni-budaya yang bermukim-berhuni di Bogor bagian Barat secara masif dalam membangun identitas kebudayaan Bogor Barat itu sendiri. Dengan demikian, gotong-royong dalam berbagai ahli, fungsi, dan tugasnya menyangkut pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat akan sama-sama sampai pada tujuan bersama. Begitulah secarik poin utama apa dan bagaimana capaian Disko yang coba diinisiasi oleh Salakans.
Di Antara Proyek Lahan Basah Pembangunan, Kami Hanya Ingin Membangun Kebudayaan
Dalam sejarah panjang pemekaran suatu wilayah di Indonesia, proyek lahan basah pembangunan infrastruktur merupakan pusat perlombaan atas perebutan kekuasaan: dari partai bahkan sampai ke tingkat ormas. Semua orang ingin mendapat bagian. Semua orang ingin ikut andil dalam pembangunan. Agar kelak, jika infrastruktur gedung pemerintah tuntas dibangun, kursi-kursi di setiap bidang pemerintahan baru itu bisa mereka raih-duduki bersama, sebagai upahnya dari hasil proses perjuangan membantu kerja pemekaran dan pembangunan. Hal tersebut memang lumrah terjadi dan tentu saja itu sah dalam lajur politik balas budi kita hari ini. Siapa yang berjuang pasti akan mendapatkan tempat. Siapa yang gigih menjadi relawan pasti akan dihadiahkan kedudukan—begitu seterusnya.
Dan kami, dengan sangat sadar diri tidak memiliki suatu tujuan politik praktis, apalagi mencoba masuk ke ranah basah tersebut, mengingat potensi dan bakat diri kami sendiri yang terlalu deudeuh terhadap kebudayaan, terhadap kesejarahan, dan terhadap kesenian. Kami menyadari bahwa tugas seseorang hidup pada dasarnya memiliki perbedaan berikut keahlian yang sejatinya—tugasnya itu saling melengkapi satu sama lain. Itulah mengapa, kami menyerahkan segala bentuk pembangunan materil kepada elite-praktisi politik yang berkedudukan ataupun yang masih di jalan. Namun dengan catatan, melalui kebudayaan itulah kami bisa menawarkan setidaknya bagaimana konsep pembangunan yang menekankan citra kebudayaan, kegunaan pembangunan yang ramah pada ruang hidup masyarakat, alam lingkungan, dan mengais dimensi kesejarahan.
Oleh sebab itu, serangkaian diskusi yang kami lakukan ini tidak sampai pada suatu tujuan politis. Jika pun memang harus dianggap politis, maka kiranya akan lebih tepat serangkaian ini kita sebut saja politik kebudayaan, yang mana kita mungkin akan langsung tertuju pada Gabriel A. Almond dan Sydney Verba dalam bukunya berjudul, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Tapi itu terlalu kaku dan terlalu teoritis. Sejujurnya apa yang dimaksud dengan politik kebudayaan di sini hanya usaha untuk mereimajinasi paradigma kebudayaan yang tidak hanya fokus pada nilai dan kepercayaan, tetapi juga mengais kerja dekonstruksi-transformasi kreatif pengkaryaan di dalam meninjau dan mewahanai kebudayaan itu sendiri.
Sebab, melalui kerja-kerja kebudayaan, kami percaya, olahan dan capaian hasil-muatan dalam sebuah karya di tiap kelompok/komunitas itu bisa membantu sekaligus dapat menjadi pedoman dalam kerangka pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat, baik untuk kebutuhan materil, citra dan guna, maupun yang estetika.
Residensi Karya Sebagai Peta Pembangunan
Dengan melakukan kerja residensi, proses kolaborasi ini selain inklusif juga representatif kegunaan dan capaiannya. Bayangkan saja, jika tiap komunitas maupun pegiat kreatif di Bogor Barat, dengan berbagai bidang-keahlian-fokusnya mengkaji ulang apa dan bagaimana ciri khas dari Bogor Barat itu sendiri, entah yang bersumber pada dimensi sejarah, ekologi, pertanian, gastronomi, musikologi, kesusasteraan, mitologi, benda budaya, dan sebagainya: diolah dalam bentuk pengarsipan literatur, transformasi media baru, dan pengkaryaan kreatif lainnya, untuk menjadikan itu sebuah tawaran kepada pihak pemerintah yang nanti berkedudukan di Kabupaten Bogor Barat. Bukankah menjadi warna baru dalam babak kebudayaan Bogor Barat, yang tentu saja dapat menjadi bahan acuan bagaimana pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat itu sendiri ke depannya?
Coba bayangkan saja hal itu secara liar sekaligus luas. Tapi ingat, pembayangan itu jangan sampai pada akhirnya menjadi khayalan belaka. Perlu gerak eksekusi yang walaupun perlahan prosesnya, setidaknya terintegrasi dan saling melengkapi kekurangan masing-masing kelompok itu sendiri dalam mengolah pengkaryaannya. Untuk itu, mari kita mulai dengan meninjau kecamatan mana saja yang nanti akan masuk ke Kabupaten Bogor Barat, sekaligus kita coba membuat road map potensi kebudayaan apa dan bagaimana yang dapat diolah dari tiap wilayah itu sendiri, agar kita dapat menentukan identitas mengenai Kabupaten Bogor Barat secara bersama-sama.
Sebagaimana sudah dibahas pada Ebook Mengintip Bogor Barat, kami telah menyusun sumber 14 wilayah/kecamatan yang terpilih masuk ke DOB Kabupaten Bogor Barat (bersumber pada: SK DPRD Kab. Bogor no.12 Tahun 2007), yaitu: Kec. Leuwiliang, Kec. Leuwisadeng, Kec. Nanggung, Kec. Pamijahan, Kec. Parung Panjang, Kec. Dramaga, Kec. Rumpin, Kec. Sukajaya, Kec. Tenjo, Kec. Tenjolaya, Kec. Ciampea, Kec. Cibungbulang, Kec. Cigudeg, dan Kec. Jasinga. Calon Daerah Otonom Baru (DOB) Bogor Barat memiliki total 166 Desa, dan dengan jumlah penduduk -+1.606.619 jiwa (baca: Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2024-2026)—tersebar di Leuwiliang (125.552 jiwa), Leuwisadeng (77.871 jiwa), Nanggung (99.812 jiwa), Pamijahan (159.236 jiwa), Parungpanjang (118.727 jiwa), Dramaga (111.112 jiwa), Rumpin (147.432 jiwa), Sukajaya (67.988 jiwa), Tenjo (73.845 jiwa), Tenjolaya (64.428 jiwa), Ciampea (170.206 jiwa), Cibungbulang (147.544 jiwa), Cigudeg (135.373 jiwa), dan Jasinga (107.493 jiwa).
Dengan meninjau ke-14 kecamatan tersebut, sejauh penelusuran kami, yang sangat mungkin dapat diolah menjadi identitas kebudayaan berikut literatur sejarah Kabupaten Bogor Barat adalah, pertama, melalui kesenian kita bisa mengolah Angklung Gubrag, Topeng Jiprak, Reog Sunda. Kedua, melalui dimensi kesejarahan kita bisa mengolah benda kepurbakalaan-megalit, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara, serpihan literatur Kerajaan Sunda/Pakuan Pajajaran, Perang Asia-Pasifik, masa-masa perjuangan Kemerdekaan berikut masa Ipik Gandamana. Ketiga, melalui lingkungan hidup dan ekologi kita bisa mengolah Kampung Budaya dan Desa Adat Jasinga, Urug, Rumpin, Cilasada, dan tentu saja masih banyak yang lainnya.
Untuk mengolah itu, maka kolaborasi lintas bidang, lintas disiplin komunitas adalah mutlak diperlukan. Koalisi komunitas yang berhuni di Bogor bagian Barat-lah yang mesti merumuskannya secara bersama-sama bagaimana capaiannya. Namun, jika boleh kami menawarkan prosesinya, langkah residensi-lah salah-satu yang bisa kita rumuskan. Kita dapat memulai dengan melakukan penelitian dan pengumpulan data tentang kebudayaan dan kesejarahan yang terhimpun di Kabupaten Bogor Barat, sebagaimana telah dibuka kerangkanya di atas. Penelitian dan pengumpulan data-sumber itu dapat dilakukan melalui studi literatur, wawancara dengan masyarakat setempat, dan pengamatan langsung terhadap situs-situs kebudayaan dan kesejarahan yang sudah dirumuskan.
Setelah data-sumber terkumpul, langkah selanjutnya kita mesti melakukan analisis dan interpretasi data untuk mengidentifikasi potensi-potensi kebudayaan dan kesejarahan yang dapat diolah menjadi identitas bersama sekaligus menjadikan itu wahana pengkaryaan media baru. Lalu, sesudah potensi-potensi kebudayaan dan kesejarahan teridentifikasi, maka selanjutnya adalah melakukan pengembangan konsep dan desain pengkaryaan dengan mendekonstruksi-transformasi kebudayaan dan kesejarahan yang dimiliki Kabupaten Bogor Barat secara masif publikasi-beritanya.
Dalam proses pengembangan konsep, sangat diperlukan serangkaian dialektika, diskusi dan kolaborasi antara berbagai pihak untuk memastikan bahwa konsep yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan juga capaian bersama. Konsep ini juga perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat setempat sebagai titik tolak penghuninya. Sesudah konsep terwujud, tahap berikutnya kita melakukan implementasi pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan yang sudah dikerjakan. Maksud implementasi di sini dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, seperti pameran, festival, dan program di dunia pendidikan. Dalam kerja implementasi, perlu juga dilakukan evaluasi dan monitoring untuk memastikan bahwa pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan yang dihasilkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan bersama.
Dengan demikian, prosesi residensi lintas disiplin dalam mengolah pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan untuk peta pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat dapat mencapai kerangka tujuan yang diharapkan bersama. Atau secara ringkas, ketika kita telah sampai pada proses mengidentifikasi potensi-potensi kebudayaan dan kesejarahan Kabupaten Bogor Barat, ketika kita telah sampai pada proses mengembangkan konsep dan desain pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan yang relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan ketika kita telah sampai pada proses mengimplementasikan pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan yang berkelanjutan, berdampak positif terhadap masyarakat sekaligus mengevaluasi dan memantau dampaknya, maka kita telah sampai pada pembangunan kebudayaan itu sendiri.
Tawaran dan Catatan
Dari tawaran pembahasan di atas, dapat kita refleksikan bersama bahwa prosesi residensi lintas disiplin dapat menjadi salah-satu cara untuk mempromosikan dan mengarsipkan kebudayaan dan kesejarahan di Kabupaten Bogor Barat. Dengan kerja kolaborasi komunitas, pegiat kreatif, dan ahli sejarah-budaya, prosesi residensi ini dapat menghasilkan pengkaryaan kebudayaan dan kesejarahan yang relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara khusus, umumnya pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat itu sendiri. Prosesi residensi ini juga dapat menjadi contoh bagaimana metodologi pengembangan kebudayaan dan kesejarahan bisa dikerjakan melalui kerja kesenian, yang dampaknya bisa berguna sebagai peta pembangunan suatu daerah.
Namun, perlu diingat dan dengan catatan bahwa, prosesi residensi ini juga memiliki tantangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan monitoring yang terus-menerus untuk memastikan bahwa prosesi residensi ini dapat mencapai tujuan dan sasaran bersama, matang secara kajiannya, bahkan persoalan pembagian tugasnya. Dalam konteks yang lebih luas, prosesi residensi lintas disiplin ini dapat menjadi salah-satu contoh bagaimana kebudayaan dan kesejarahan sangat mutlak diperlukan sebagai bagian dari pembangunan daerah yang berkelanjutan. Dengan mempromosikan kebudayaan dan kesejarahan, kita dapat mempromosikan identitas dan kesadaran masyarakat lokal, serta memfasilitasi pembangunan daerah yang berbasis pada nilai-nilai kebudayaan dan kesejarahan, sebagai upaya mengolah pengkaryaan media baru yang ngindung ka waktu – mibapa ka jaman.
Pembahasan pada tulisan ini hanya gurauan sepintas-lalu: hanya tawaran dan hanya catatan. Selebihnya saudara-saudari sekalianlah yang menentukan mau seperti ini atau mau bagaimana kita membangun perwujudan Kabupaten Bogor Barat itu sendiri. Sebab, bagaimanapun hasilnya nanti, kami tetap akan belajar secara bersungguh-sungguh membangun identitas kebudayaan, ketika mereka (pemerintah) sibuk membangun infrastruktur Daerah Otonomi Baru Kabupaten Bogor Barat. Nyanggakeun!***