Tiga Ditantang Waktu

Lucas Cranach the Elder, Melancholy, 1532

Peristiwa Yang Belum Sempat Diselesaikan

Luthfi Khoirul Umam

Ada yang perlu benar-benar diselesaikan, sebelum segala bentuk peristiwa lampau ikut serta di gerbong ingatan. Sebab, pada kenyataannya, pintu Doraemon atau Lorong Waktu yang bisa membawa Pak Haji dan Zidan pergi hilir-mudik melintasi ruang dan waktu sesuai pesanan enggak pernah benar-benar ada.

Barangkali, Sang Penulis skenario di atas, membahasakan penyesalan dalam bentuk penceritaan yang memungkinkan sesiapa saja bisa mundar-mandir dari masa lalu ke masa depan guna mengobati segala bentuk luka peristiwa yang ngebuat hidupnya enggak tenang? Dengan begitu mungkin saja dapat sedikit mereda atau mengobati segala yang akrab kita sebut sebagai trauma.

Tentu saja saya tidak berusaha menyediakan solusi atau penanganan bagi sesiapa saja yang masih mengikutsertakan ingatan-ingatan, luka-luka dan segala peristiwa yang belum sempat diselesaikan.

Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk sama-sama merenungkan lirik lagu Haji Rhoma Irama:

“Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga, sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia, sungguh berat aku rasa kehilangan dia…”

Pada suatu ketika di sela-sela saya membersihkan alat-alat sablon setelah menyelesaikan pesanan, tiba-tiba lirik itu muncul dari alam bawah sadar, kenapa kok menyesal? Apa ada yang belum selesai? Kenapa harus menunggu kehilangan baru penyesalan itu ada? Dan berbagai macam pertanyaan dari hadirnya lirik-lirik itu. Kenapa enggak diselesain dulu? Kenapa nunggu enggak ada? Emang yakin kalo besok bisa ketemu lagi?

Jangan-jangan Haji Rhoma coba ngingetin kita dari penyesalan yang udah pernah beliau alami sampe beliau gelisah. Cuma bedanya dia enggak lewat skenario terus dibuat film, tapi lewat iringan gitar dan gendangnya, dia mau bilang:

Coba deh lu kalo punya urusan sama orang, mau itu perasaan atau apapun coba diselesain hari itu juga, biar entar lu nggak nyesel kalo emangnya lu nggak bisa ketemu lagi sama ntu orang.”

Apa mungkin penyesalan itu juga yang membuat makan tak enak, tidurpun tak nyenyak? Siapa sanggup hidup memikul beban masa-lalu?

Wahai, para jama’ah sidang begadang yang berbahagia, mari selesaikan persoalan-persoalan yang perlu diselesaikan agar tidur kita nyenyak bangun pun enak. Tulisan ini dikhususkan bagi saya pribadi dan umumnya bagi jama’ah begadang sekalian.

Sebagai penutup, baiknya saya sertakan Firman Allah SWT:

Fajar (89:27)

يَـٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ ٢٧

 Wahai jiwa yang tenang,

Fajar (89:28)

ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةًۭ مَّرْضِيَّةًۭ ٢٨

Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.

Di Luar Musim

Handhyka Permana

Pada jalan yang berkabut itu,
aku menunggumu di persimpangan waktu
antara pagi yang tak sempat menjadi fajar
dan senja yang pergi tanpa pamit.

Kita pernah bicara tentang jarak,
tentang kata-kata yang kalah oleh waktu.
Kau memilih diam. Aku memilih menunggu.
Lalu malam turun perlahan,
seperti kelambu panjang
menutup wajah-wajah
yang tak selesai bicara.

Perihal jarak,
dan kata-kata yang tak sempat terucap,
biarlah malam yang memanggulnya:
Segala yang hidup
berangkat untuk pulang
tapi tak semuanya sempat kembali.

Aku tak menyimpanmu dalam ingatan,
melainkan dalam sepi
yang kupahat jadi gambar:
potret buram
yang kusuguhkan pada
apa yang orang sebut sebagai kenangan.

Kita adalah temu yang ditakdirkan sementara
awal tanpa rencana untuk akhir,
hidup yang mencoba memahami mati
sebagai pulang dalam rupa yang lain.

Dan kini, aku duduk di sini
bersandar pada tiang waktu
yang terus bergerak,
menyadari satu hal yang tak bisa dibantah:
bahwa sumber segala gelisah
adalah saat aku tak lagi bernapas
dalam irama yang sama
dengan detak semesta.

Beberapa cukup dipahami
sebagai bagian dari perjalanan:
seperti hujan yang turun
dan tak sempat dijemput,
seperti kabut yang datang
tanpa alasan,
seperti kita
yang mungkin hanya dipertemukan
untuk mengerti bahwa hidup,
pada akhirnya,
adalah belajar melepaskan

; dengan tenang.

Nafas Tidak Selaras Dengan Waktu

Syahruljud Maulana

Ada yang tertinggal, bahkan tenggelam di batin tanpa dasar, usai saya menonton film “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” goresan Hanung Bramantyo, ialah perihal “nafasmu tidak selaras dengan waktu.” Pertama, “nafas”, dan kedua, “waktu”. Antara nafas dan waktu, itu memantik gairah pengetahuan dalam diri saya, tiba-tiba saya ingin membuktikan (atau membenturkan atau mempertanyakan dan atau mempertimbangkan), suatu kalimat “karya seni tidak harus selalu dicipta dengan luka, karya seni juga bisa dicipta dengan gembira” ini pernah diucapkan seorang dosen (seni) di Instagram.

Saya tergoda kalimat itu. Saya ingin tahu karya seni seperti apa yang dihasilkan dengan gembira? Bagaimanakah karya seni yang dilahirkan tanpa luka-luka? Memangnya kenapa kalau karya seni diciptakan penuh secara menderita?

Meski sejak awal, saya mengerti betul bahwa kalimat itu pantas terucapkan dan diucapkan oleh seorang dosen kepada mahasiswa (sekalian calon mahasiswa), karena ia bisa menjadi iklan, semacam optimisme, seperti slogan, atau sebagai salah satu jalan meniti karir. Yang jelas itu kalimat yang pada suatu bakal membuat bangga dosen kalau ucapannya dapat terbukti dan mahasiswanya sendiri yang membuktikan. Sebuah kasih sayang akademis yang pamrih. Benar sih, tapi kurang baik dan minus indah. Meskipun pada faktanya, ada juga contoh yang nyata dan bukti yang hidup seperti itu di kalangan seniman.

Untuk urusan di atas, tidak pernah saya mempersoalkan karya seni luka, juga belum pernah membayangkan karya seni gembira. Jadi kenapa harus pilih salah satu, kalau bisa dua. Kenapa memisahkan kalau bisa menyatukan. Kenapa mengambil jarak kalau bisa mempertemukan. Kenapa menghindar kalau bisa berdampingan. Kenapa setengah kalau bisa menyeluruh. Kenapa timpang kalau bisa menyeimbangkan.

Bukankah hakikinya hidup itu sendiri memang banyak “luka” dan “gembira”. Luka bisa digembirakan. Gembira bisa membuat luka. Luka bisa berujung kegembiraan. Gembira bisa berawal dari luka. Luka dan gembira kemungkinan bisa sangat diperluas, juga bisa dipersempit oleh kedangkalan berpikir manusia dalam ini-itu kehidupan. Bergantung pada konteks kegunaan dan fungsinya. Hanya sunyi mengajari kita untuk tak mendua (Cak Nun), meski dua kata itu (luka dan gembira) senantiasa: beririsan, berkelindan, bertolak-belakang, berlainan, bertabrakan, berdampingan, beriringan, dan lain sebagainya.

Dan saya meyakini bahwa karya yang baik (seringkali) tercipta dari berdarah-darah dan tercabik-cabik. Itulah keindahan yang membuat saya menerima lebih banyak luka sekaligus gembira. Seperti getaran yang mengalir, aliran yang bergetar, dan tak mengapalah. Yang penting seni tidak tamat sampai di situ.

Awalnya, kami bertiga: saya, Umam, dan Acil menonton film tersebut. Ketika film berakhir, kami sempat berbincang dengan melibatkan beragam pemaknaan. Ada yang fokusnya cinta. Ada yang terarah waktu. Ada yang mempertimbangkan keduanya. Saya terlibat dalam percakapan seru (padahal hanya untuk dan demi menertawakan rasa lapar yang datang tengah malam). Dialog yang menggebu-gebu tapi berisik. Sedangkan kami sama tahu, malam ini kami hanya ingin diam. Tak ada kata paling nikmat selain diam. Kami mau sama-sama diam.

Tanpa bisa saya baca hati mereka, seketika saya menawarkan tantangan menulis soal atau tentang waktu:

“Kayaknya ini malam akan menjadi lebih nikmat kalau di antara kita (bertiga) sama-sama menuliskan ‘waktu’ menurut pengalaman dan pemakanaan tiap pribadi. Ya, anggaplah ini cara kita menghabiskan waktu malam ini. Siapkan laptop masing-masing. Cari tempat dan posisinya. Dan ingat, tak ada dialog. Tak ada percakapan selain minta rokok dan nanya korek,” kata saya.

“Saya terima tantangannya,” sergah Umam. Dan Acil pun “mengiyakan dengan bahasa tubuh” tanpa ucapan.

Sekelebat, keadaan menjadi hening. Ning. Sepi pol. Kami bertiga diam-diaman. Aneh tapi lucu, sih. Boleh ketawa asal serius, yah. Karena ini bukan ulasan, juga bukan resensi film. Seluruh pembahasan saya justru di luar film.

Aimak, saya ingin memanjangkan malam ini agar cukup dihabiskan. Kepada malam, saya ingin berkata, jangan cepat pergi, tunggulah sebentar. Saya harus menemui laptop, dan pada akhirnya, diam. Saya tidak tahu harus menulis apa. Ada banyak hal yang berbincang dalam kepala saya ketimbang yang bisa saya tuliskan mengenai waktu, seperti ingatan berebut tempat, pengetahuan saling jegal, memori tumpang tindih, dan sebangsanya. Saya bingung sekaligus gembira pada apa yang mungkin saya omongkan dalam tulisan ini, nanti.

Dalam membisu seperti ini, saya ingin baca pikiran mereka, kira-kira apa yang mereka rasakan ketika menerima tantangan menulis serampangan ini. Saya melihat mereka tekun menatap sepinya. Selang kemudian berkeluh-kesah kayak orang monolog. Saya merasa peristiwa (atau kegiatan bersama-sama) ini seperti latihan akting—yang terkadang saya masih sadar akan dirinya—bukan perannya. Saya merasa aneh kalau memainkan “peran” di luar panggung. Seolah-olah sebuah peran hanya tercipta dan lahir di atas panggung. Padahal, seseorang mati di atas panggung, lalu hidup kembali di luar panggung.

Ini satu pertunjukan yang sedang kami cipta-mainkan bersama, berkat spontanitas dan improvisasi belaka. Pertunjukan bisu. Pertunjukan saling menatap diam seribu bahasa. Pertunjukan bahasa tubuh. Tak ada durasinya, padahal besok kerja. Ajaibnya lagi, tak ada satupun yang mempertanyakan “diam-diaman membisu begini” kapan kelarnya?

Kalau saling diam kami sudah biasa, tetapi kami membisu begini dikonsep, lho (sebagai tantangan bersama), kayak pertunjukan yang menggambarkan situasi panggung di mana ada tiga tokoh sedang lomba menulis di tempat. Peran saya cuma duduk menunggu untuk memberi jawaban kalau-kalau ada salah satu di antara mereka yang protes terhadap situasi. Protes terhadap keadaan. Protes terhadap kamu. Protes terhadap apa maksudnya semua ini. Protes kenapa kita mesti melakukan bisu semacam ini.

Hingga berselang hampir dua jam, salah satu dari mereka berani berbicara mempertanyakan syarat “kepenulisan”, lalu setelah mendapat jawaban yang melegakan hati, mendadak ia tertawa, dan kembali ke laptop. Menulis dengan sebrengseknya elu. Menulis semau-maunya elu deh. Menulis kayak apapun saja yang penting mengenai waktu. Nanti kita jadiin satu tulisan yang tercerai-berai menguak utuh.

“Duh, sedih, sedih,” kata seorang mengeluh.

Saya tersenyum sambil ketawa diam-diam. Ya Allah, semoga kegembiraan semacam ini yang Engkau senangi. Saya kok senang melihat keduanya sibuk menemui sepi. Saya ingin masuk ke dalam pikiran mereka. Apa, ya, yang kira-kira mereka pikirkan dan rasakan malam ini. Sampai seorang yang lain lagi malah membaca puisi sambil mendengarkan pianis Polandia kesukaan kami, Hania Rani. Sampai hampir 3 jam kami memainkan pertunjukan diam-diaman, membisu. Mereka tidak tahan ingin bicara: ada yang mengajak makan, dan ada yang ngantuk berat.

“Ini batasnya kapan, mas?” tanya seorang.

“Sampai besok masih ada 24 Jam. Amanlah tinggal tidur,” jawab saya.

Tulisan pun dijeda. Pagi hampir menyapa. Waktunya saya juga tidur. Saya endapkan dalam-dalam. Dan kalau esok saya masih terbangun, maka saya akan ambil kesempatan hidupi hari ini dengan melanjutkan uraian waktu.

Sering saya mengalami nafas tidak selaras dengan waktu. Nafasnya di sini, waktunya di sana. Nafasnya kini, waktunya lalu. Nafasnya cepat, waktunya lambat. Nafasnya ini, waktunya itu. Sehingga kalau pakai rumus Allah: “Apa yang tidak kamu senangi barangkali baik bagimu, begitupun yang kamu senangi mungkin tidak baik bagimu.” Artinya, yang terbaik menurutmu belum tentu baik menurut-Nya. Terserah-serah Allah kapan indah waktunya, menurut-Nya, bukan menurutmu.

Barangkali banyak orang bernafas tidak selaras dengan waktu. Kenapa? Antara nafas dan waktu, ia terlalu kencang. Terlalu cepat. Terlalu instan. Terlalu terburu-buru. Memang kecepatan di lain hal bisa berarti bagus, tapi juga bisa berbahaya di satu sisi.

Dan untuk menyelaraskan nafas dengan waktu, biasanya saya harus fokus pada pelatihan. Latihan apapun asalkan fokus. Fokus adalah kapanpun dan di manapun saja kita bisa mengambil kesempatan yang ada. Kesempatan itulah yang membuat kita menikmati hidup. Itu latihannya. Itu fokusnya. Seni memberi kita cara untuk menghubungkan nafas dengan perjalanan waktu. Seperti kata Jabo, “hidup bukan sekedar bernafas, langkah hidup haruslah jelas.” Mumpung kita masih diberi waktu, maka susunlah langkah-langkah hidup. Supaya pernapasan kita tidak dikacaukan oleh waktu.

Alangkah mengerikannya kalau waktu mulai melumatkan dan meluluhlantahkan kita, sebagaimana menurut Wiji Thukul, “waktu akan memberimu kutukan.” Yang bernafas tidak sinkron dengan waktu akan mengalami keguncangan yang dahsyat. Waktu bisa tidak kau nikmati. Waktu bisa kau bikin seolah cepat atau lambat. Waktu bisa kau sia-siakan dengan melewatkan kesempatan. Waktu memberimu luka-luka dan kegembiraan. Tetapi kita tak mungkin bisa menghindari waktu. Barangkali wajah waktu laiknya pembunuh berdarah dingin atau serupa sahabat yang kentel.

Tapi mengapa para penentu kebijakan pemerintahan ini hanya melihat waktu dari sekadar bernafas tanpa batas? Melihat waktu sebagai keuntungan, balik modal, laba, kekayaan, dan segala penumpukan materi lainnya. Waktu telah dibendakan, telah dimaterikan. Bukankah sudah jelas kalau sewaktu-waktu siapa yang berbuat buruk, cepat atau lambat, waktu akan menuntut-menggugat-menghukumnya. Karena begitulah balasan dari Yang Mengetahui Waktu.

Sedangkan bagi orang Jawa, urip mung mampir ngombe. Hidup cuma singgah untuk minum. Ungkapan yang senada nafas selaras dengan waktu ini seperti ajakan untuk kita nikmatilah perjalanan yang luwes dari kehidupan menuju kesejatian hidup, kelak. Teruslah mencoba ambil kesempatan, pergunakan sewajar-wajarnya, lalu nikmatilah seindah-indahnya. Dengan tetap dibutuhkan sikap yang rileks atas hibriditas nafas-waktu, lintasan-lintasan itu lebih berdaya proses yang menghidupi setiap ada kesempatan, ketimbang buru-buru mengurai kompleksitas maupun menyederhanakannya.

Apa yang hidup berikan kepada kita sudah cukup membantu kita menyelaraskannya? Bagaimana jika setelah bergulat dengan waktu ini kita ditantang oleh seratus dewa?

Rumah Tumbuh Muthmainah, 19 Juni 2025


*Tulisan ini merupakan antologi pemaknaan yang dihimpun menjadi sebuah catatan bersama. Ditulis pada tanggal, waktu, dan tempat yang sama-sama pula. Terdiri dari tiga kontributor: Lutfi Khoirul Umam, Handhyka Permana, dan Syahruljud Maulana.