Traktat Kemerdekaan Putu Wijaya: Kumpulan Sajak “Dadaku Adalah Perisai”

Traktat Kemerdekaan Putu Wijaya: Kumpulan Sajak “Dadaku Adalah Perisai”


mengapa diri menjadi musuh kita
karena kita rindu kepadanya

mengapa orang lain menjadi musuh kita
karena kita tak punya medan untuk memusuhi diri

-Putu Wijaya

Saya lupa kapan saya mulai memasuki belantara dokumentasi sastra. Pergumulan saya dengan buku-buku lawas plus majalah-majalah bekas membuat saya intens berhadapan dengan puisi dan bergulat di dalamnya. Hubungan saya dengan puisi menciptakan peristiwa dan pengalaman yang menggairahkan. Sejak itu saya bersikeras untuk menelusuri buku puisi debut pertama para penyair. Upaya saya menyicil “catatan” untuk mengingat apa yang dilupakan banyak orang dari para penyair di masa lalu agar tak terputus dan kemungkinan bisa bertemu pembaca lintas generasi di kemudian hari.

“Dadaku Adalah Perisai” merupakan debut kumpulan sajak Putu Wijaya, barangkali juga satu-satunya yang terbit menjadi buku. Diterbitkan oleh Lembaga Seniman Indonesia Bali dengan bantuan Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI di Denpasar pada tahun 1973.

Buku tipis berlapis-lapis makna itu pernah disimpan dan didokumentasikan oleh sastrawan Putu Arya Titrtawirya. Entah sampai berapa lama kemudian pindah tempat ke Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. Setelah Korrie meninggal, seluruh dokumentasi sastra itu terbengkalai, dan akhirnya, dialihkan ke pedagang buku bekas. Saya membeli buku itu dari seorang pedagang buku yang mujur karena telah mendapatkan lungsuran berbagai macam buku dan dokumentasi sastra.

Buku puisi itu menimbulkan rasa penasaran dan pemaknaan. Putu Wijaya yang “membenci” puisi, tak terduga melahirkan “puisi”, kata Danarto. Kehadiran buku itu-pun jadi sedemikian menegaskan Putu sangat terpikat dengan kata, pernah bergulat dengan nasib, “puisi”. Ketika pada 1967, Putu muda yang berumur 23 tahun itu mulai bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Dengan begitu ia aktif berteater, dan konon, awal mula ia mencipta puisi, barangkali akibat dari pengaruh kuat sajak-sajak Rendra, atau mungkin saja dipicu oleh kredo Rendra tentang “kegagahan dalam kemiskinan”. Hampir senada dengan judul buku puisinya “Dadaku Adalah Perisai” (DAP), kan? Kalau bukan berarti hanya perasaan-pembayangan saya saja.

“DAP” memuat sajak-sajak Putu yang dicipta sekitar tahun 1967-1969. Pada rentang tersebut, Putu telah terlibat dalam berbagai pementasan teater “Mini Kata” dan lain-lain yang disutradarai oleh Rendra. Terkadang Putu juga merangkap sebagai penulis naskah, sutradara sekaligus pemain, seperti saat ketika di Sanggarbambu ’59, ia memainkan lakon “Orang-Orang Malam” dan “Lautan Bernyanyi” 1968. Banyak dari sajak-sajaknya dicipta untuk teman-teman sependeritaannya sewaktu ia berproses suntuk latihan di Bengkel Teater.

Puisi-puisinya mengungkapkan kemerdekaan dalam kehidupan sehari-hari, kasih-sayang bernama persahabatan, pergaulan hidup sesama manusia, dan terus mempertanyakan dunia dalam diam: Apa kita akan diam saja? Apa kita akan pura-pura tidak tahu? Seperti dalam puisi “Diri” berikut.

kesangsian memperpendek kemerdekaanku
menjadi buronan yang sial
akhirnya kutinggalkan keselamatan diri
berdiri di sini menghadang segala yang datang
dadaku adalah perisai dari hati yang nekad
tetapi akhirnya juga tak ada apa-apa
dan aku jadi percaya bahwa
musuh yang terbesar adalah diri sendiri

Meski puisinya jauh dari kata puitis, setidaknya berhasil untuk tidak terjatuh pada prosais.  Tentu itu buah dari hasil menyerap persoalan-persoalan yang nyata, pergaulan hidup lintas kesenian, pengalaman seorang aktor yang menempa hidup dan kepribadian di Bengkel Teater. Gairah masa mudanya sangat disiplin tapi kreatif, seperti kerasukan “sesuatu” mengendarai “taksu”. Semacam kekuatan gaib tak terterka dari mana asalnya, bagaimana hadirnya menyelinap di aksi badan, pikir dan bayu hidup, yang tak selalu mudah dimengerti, kata sahabatnya Tapa Sudana—yang kemudian namanya itu diabadikan ke dalam dan jadi judul puisi.

ini awal tahun 69
hujan masih suka jatuh
membasah pangkuan yogya yang berdebu
aku menulis sebuah surat
halo, tapa, tapa sudana
di mana kau kini dan sedang apa?
halo, budi, budi satria
di mana kau kini dan sedang apa?

mereka tak menjawab
mereka sedang asyik menertawakan dunia

Saya baca sajak itu tahun 2025. Awan hitam berarak, Indonesia gelap. Pemerintah terus mengganggu kemiskinan kami. Mereka memberi orang harapan dan menghamburkan janji-janji. Kenyataan yang didapat ialah tak ada yang lebih buruk daripada memberi harapan kepada orang yang tak punya apa-apa. Karena itu lebih membahayakan. Pergolakan sosial yang besar mungkin saja terjadi. Rakyat telah sering kecewa dengan optimisme penguasa, dengan segala tindak tanduk kekuasaan yang bukan untuk rakyat.

Putu berjalan di garis dunia yang kacau-balau, mencipta sajak tentang mereka yang disepelekan dan tertindas. Seperti dalam sajaknya “Sisa”:

kata menjadi tua dan sederhana
nilai batin mencapai bentuknya dalam diri
hidup langsung terus dan peperangan pun abadi
menerima sebagian dunia untuk diderita
lalu menjadi pahlawan

sial dan runtuh bukan mimpi
namun ini tak mengganggu batin
tokoh-tokoh yang abadi berkelahi dengan nasib
inilah kebanggaan terakhir kita
reputasi manusia

Dengan mencipta sajak, Putu mulai mengolah “teror mental” di dalam dirinya, sebelum pada akhirnya, filsafat pemberontakannya itu mendobrak jiwa tiap pembaca maupun penonton. Seperti dalam kebanyakan pertunjukan dramanya yang mengganggu, meresahkan, dan bahkan menakutkan.

Dengan Rendra di Bengkel Teater, Putu menjalani disiplin latihan teater, latihan silat Persatuan Gerak Badan Bangau Putih, mengolah gerak nurani, dan aktivitas lainnya bersama sejumlah sahabat yang namanya tersebutkan dalam sajak-sajaknya antara lain: Tapa Sudana, Buddi Satria, dan Kusmibah. Seakan-akan Putu ingin mewartakan keadaan dunia kepada sahabat-sahabatnya, bertukar pandang dengan lepas, dan juga mengusik pembaca dari lamunan yang melenakan. Putu telah memberi magi dan pesona bagi sajak-sajaknya.

Buddi

ku tulis sajak ini
waktu buddy sedang tidur


kini kau tidur
tubuhmu seperti pohon asam yang tumbang
sangat lelah dan tragis
mimpi menemukan istirahat
yang tiada di tangan
karena hidupmu sangsi dan pupus


aku hidup seperempat abad
hatiku gelisah untuk sesuatu yang misterius
hidupku kosong ingin menggenggam sesuatu
yang tak pernah terucapkan
o, nasib terkutuk
ingin kutantang engkau
tetapi di mana dan kapan lagi
aku sudah lelah dan gondrong
jangan lupakan perjudian kita
perkelahian kita untuk memastikan
dengarlah dan jawablah
jangan lupa giliranku
namaku buddy satria

kini kau tidur
rinai hujan lewat di luar pintu
senja terkulai di daun pisang
tak dapat menyapamu seperti biasa
tak mengerti betapa kau perbuat
dalam mimpi sekali pun

Kusmibah

karena kau diam untuk merasakan makna
kau telah kaburkan dirimu
dalam dunia edan dan kebudayaan kata
tak seorang kan mengenalmu
sekali pun engkau adalah emas atau mutiara
tak ada yang melihatmu
karena itu mari hidup sahabat
mari berbicara ucapkan sebisanya
karena itu sudah ada mesti diterima
ucapkan dengan sederhana saja
agar jelas tutur batin mana yang tak bisa diucap
karena berkata adalah untuk mengetahui
apa yang tak mungkin dikatakan
kesadaran atas kekurangan itu
adalah kelebihan yang paling besar

Sahabatku Tapa Sudana

karena kau ingin menyelamatkan dunia
menganggap setiap orang adalah pengemis
kau pikul dosa dunia dipundakmu sendiri
dengan ketulusan yang bukan milikmu


sindiran itu adalah harta karun neraka
yang menghina kemanusiaan
dan mendorong dunia pada malapetaka

setiap ujung pena berdarah ke padamu
musuh terbesar dari peradaban
karena telah kau jebak isi hidup ini
dan menyulap satu orang baik menjadi pertapa

Sahabatku

bud & tapa,
kutulis sajak ini
dengan air mata yang
tak kutahu dari mana asalnya
tetapi aku bertahan.

sedang kalian berdua tidur dan lena
aku terjaga dan membawa mimpiku di dunia
dengan kesakitan rohani yang membiru tubuh
yang tak pernah kubiarkan tertangkap oleh pandangmu
yang pengasih
sengsaramu yang tiada tempat di dadaku
hukum daku dalam keperkasaan yang palsu
tapi kusuka dan terima dengan cinta
karena kuingin mengabdi nestapaku dan
menjadikannya kegembiraan hidup
untuk bahagiamu, damai dunia yang sedikit
istirahatlah dalam mengasomu yang sempit
dunia selalu terbuka lagi dan menyekapmu
dalam dukanya

Empat sajak beruntun di atas memuat gelisah yang makin sarat. Bagai seorang pejuang, Putu merasa punya tugas untuk memperbuatkan kata-kata, melawan tanpa kekerasan, melawan dengan sajak-sajak ahimsanya. “DAP” membangkitkan ingatan kolektif kita pada mimpi buruk kekacauan masa silam akibat tiadanya kemerdekaan. Tanpa kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, sajak-sajak tentang isu sosial makin berdaya hidup: mengena di hati, menyulut di pikir. Rasa kegelisahan inilah yang mengeluarkan pemberontakan dan pendobrakan dalam dirinya.

Putu pakai sajak sebagai permulaan teror (atau formulasi teror mental) yang kemunculannya selalu tak terduga tak terkira dalam diri setiap manusia maupun dalam alam bawah sadarnya. Merasa jauh dari sahabat, pun hidup sudah kepalang di sisi kenyataan yang tak punya harapan dan kelaparan. Maka, dengan mengabdi kepada penderitaan, Putu menjadi lebih belajar memahami kegembiraan hidup. Lebih merdeka dalam mengolah ilham yang muncul di kediaman dan kedalaman hati. Ilham itu, menurut sahabatnya Tapa Sudana, ialah olah diri (olah raga, bayu, dan rohani).

Pikir

kepada siapa kutanyakan pikirku
karena ia tak ada di sini
di bahu kita dan tangan yang miskin
malam tempat letih bertindih
menopang pada sepi
tak berkata apa-apa


dengan bagaimana kuucapkan pikirku
kan hilang pada ucapan pertama
tiada kudapatkan makna lagi
ingatan tak jujur sedang kata berkhianat

kepada apa kulambangkan pikirku
karena pikir tak terucapkan
tiada bahasa mewakili kesempurnaan
jadi baiklah berdiam
diam beramai-ramai seperti waktu
pada diam hati menumpuk perbuatannya

“DAP” seperti buku panduan mengemudi, mencerna, dan mengolah kesehatan emosional. Kenangan sekaligus pengalaman masa muda di Bengkel Teater itu diabadikan dalam dan dengan sajak-sajak pendapat pikiran serta pendalaman seorang aktor yang intens. Putu melakukan apa yang tidak disukai, bahkan mungkin “dibenci” karena harus mengemban amanat puisi: yang menjunjung sesuatu yang lebih esensial, lebih substansial, lebih subtil, lebih sublim, lebih transendental, lebih esoteris, lebih penting, lebih berharga, lebih mulia, lebih agung, lebih bernilai dari diri (kemelekatan dirinya) sendiri, demi kewajaran hidup dan keindahan hidup yang manusiawi.

Perbuatan Putu mencipta sajak memang tak berjalan mulus, karena kepenyairan bukanlah profesi. Peristiwa mencipta sajak, sebisa-bisanya kala itu, barangkali diniati sebagai “dokumentasi puitis” semata-mata ia pernah menulis sajak. Mungkin juga karena sejak lama ia telah menyadari anjuran kritikus kepada penyair muda untuk menuliskan hal-hal yang baru (itulah arti “mencipta” yang mempunyai nilai yang sesungguhnya). Jadi, tak ada alasan baginya untuk tak jemu-jemu pada sajak, meski kata telah memikatnya. Tetapi, sastralah yang membuat dirinya betah untuk sesekali bertahan, karena drama-dramanya menyanggupi permintaannya untuk mulai mencipta kata-kata baru yang mengganggu, yang mengusik, yang tak mungkin dicipta lewat sajak.

23-24 Februari 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos