dok. AI
Ketika membahas hubungan ekonomi dan budaya, kami menyadari betul dengan kompleksitas istilah, definisi, tinjauan-metode—dan sebagainya mengenai kelindan dua cabang ilmu tersebut—yang oleh para ahli di tiap bidang itu sendiri, entah itu para ekonom, sosiolog, antropolog, bahkan sejarawan-budayawan sendiri memiliki keyakinannya masing-masing dan meyakini pula pilihan muatan makna teori-praktiknya masing-masing. Kompleksitas itu yang akan membawa kita pada serangkaian prosesi bagaimana memanajemeni pikiran, akal budi, adat istiadat dan bahkan tradisi cara kita memandang sekaligus memaknai apa itu dimensi ekonomi, apa itu dimensi budaya, apa itu dimensi ekonomi kreatif yang bersumber pada sejarah-budaya akan berbeda puncak renungan-pencapaiannya, baik itu antar individu, kelompok, bahkan antar suatu wilayah. Perbedaan itulah yang menarik suatu kesimpulan bahwa, pandangan tentang ekonomi bersumber pada nilai kebudayaan, atau kebudayaan yang bersumber pada nilai ekonomi, pada dasarnya terintegrasi dari hasil kegiatan kebudayaan itu sendiri—melalui penciptaan-pengolahan batin: kepercayaan, rentetan sejarah, kesenian, dan adat istiadat yang kita amini—untuk disajikan dalam bentuk ekonomis, keindustrialisasian, kreatif-inovatif, edukatif-pelestarian—dan seterusnya.
Oleh sebab itu, pada bahasan edisi terakhir Mengintip Bogor Barat ini kami memilih dua sub cabang ilmu (keterkaitan) ekonomi dan budaya—yang kami rasa akan mampu mewakili tinjauan-tujuan tentang studi kasus sekaligus refleksi lalu menjadi sebentuk urun-saran pada calon DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya untuk mempertimbangkan kembali tradisi warisan budaya yang ada, mempertimbangkan kembali nilai historis yang ada, dan sekaligus mempertimbangkan kembali keduanya sebagai wahana ekonomi yang mampu menjadikan nilai, ciri khas, bahkan investasi yang memiliki nilai ekonomis tersendiri bagi Kabupaten Bogor Barat secara khusus, umumnya wilayah Bogor secara luas. Cara kerja itu bisa kita telusuri sekaligus mengkaji bersama bagaimana kerja-pandangan para ekonom, sosiolog, dan para antropolog, mengenai kesinambungan ekonomi dan budaya, baik soal duduk-perkaranya maupun dampak-potensinya.
Sebagaimana kami meninjau bahasan Prof. David Throsby AO, seorang ahli ekonomi berbasis kebudayaan dari Macquarie University di Australia, yang menguraikan adanya kesinambungan antara industri (ekonomi) dan budaya serta pembangunan manusia yang membawa manfaat kebudayaan dan pembangunan manusia itu dapat diukur melalui dua nilai, yakni dari segi ekonomi dan budayanya (diolah dari Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2019). Dari segi ekonomi, tersirat makna bagaimana industri kebudayaan (atau kebudayaan sebagai laku industri) selain menghasilkan barang dan jasa untuk pasar serta kepentingan publik, akan berdampak pula pada inovasi-kreatif pada industri lain. Sementara dari segi budaya, tersurat makna bagaimana kebudayaan dapat berkontribusi dengan menunjukan nilai ekonomis dari barang-jasa atau artistik—sekaligus nilai peran individu maupun kegiatan kreatif masyarakatnya, serta mewujudkan nilai sosial lintas budaya—dan mendukung peran seni secara luas dalam pendidikan yang menyeluruh.
Maka, untuk menempuh pertimbangan akan penelusuran ekonomi-budaya itu, dalam hal ini untuk wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat, kita mesti berangkat dan menelusuri kembali rentetan sejarah yang ada, baik secara luas di wilayah Bogor: Kota dan Kabupaten, atau secara khusus di wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat. Sebab, di dalam dimensi sejarah, terdapat muatan nilai ekonomi yang bersumber pada budaya—atau sebaliknya kebudayaan yang membuahkan nilai ekonomis yang dapat kita peroleh pemaknaannya sebagai bekal laku hidup dewasa ini dan merumuskan masa depan. Dengan melacak nilai historis di wilayah Bogor secara luas misalnya, kita akan ditawarkan bagaimana narasi cerita sejarah yang panjang, beragam, dan sangat kaya. Pelacakan nilai historis itu kami bayangkan serupa mencari makna pada kanvas bergambar peristiwa-kejadian (di sebuah pameran masa lalu) yang menunggu untuk dikaji dan dimaknai, dalam hal ini untuk kebutuhan bagaimana memaknai ekonomi dan budaya yang saling berkelindan—yang akan membentuk identitas (sekadar melepas dari kehingar-bingaran istilah hujan, kebun raya, angkot, tegar beriman, dan seterusnya) di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya.
Melalui kanvas sejarah yang memuat peristiwa-kejadian itu kita dapat melihat bagaimana gambar-lukisan bahkan potret dinamika interaksi antara manusia dan lingkungannya, antara tradisi dan modernitasnya, lalu antara nilai kelokalan dan capaian globalnya—yang sekali lagi akan membentuk lanskap ekonomi dan budaya yang unik-menarik di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat. Misalnya kita susuri periode panjang dan kurun-waktu kesejarahan yang menjadi bagian dari pembentukan Bogor—yang sudah pasti dimulai dari cerita masa Tarumanagara, Sunda (dan Galuh), dan Pakuan Pajajaran (dan hubungan bilateral dengan Portugis), masuk dan berkembangnya Agama Islam di Tatar Pasundan (sekaligus masa keruntuhan Kerajaan Sunda/Pajajaran), Perdagangan VOC di Tatar Pasundan, masa Kolonialisme Hindia-Belanda, invasi dan kependudukan Jepang, masa perjuangan dan pembentukan kemerdekaan—yang kesemuanya itu bermuara pada wujud Bogor dewasa ini: termasuk bagian wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat ini tentu saja ikut “menjadi bagian” dari jalan cerita hidup masyarakatnya. Gambaran-lukisan dari jejak masa lalu itu masih dapat ditemukan dalam peninggalan naskah kuno, prasasti, arca, arsitektur bangunan, catatan-catatan sejarah, dan nilai budaya masyarakat Bogor itu sendiri yang masih bertahan hari ini.
Dari kurun waktu kesejarahan yang sedikit dijelaskan tersebut, pertanyaannya apa yang dapat kita peroleh untuk mengembangkan nilai ekonomi dan budaya? Dalam konteks pemekaran Kabupaten Bogor Barat, kami rasa, refleksi terhadap sejarah ini akan menjadi sangat penting untuk perkembangan ekonomi kreatif: istilah yang kami amini sebagai penyatuan dari dimensi ekonomi dan budaya. Pemahaman yang mendalam tentang dinamika ekonomi dan budaya di masa lalu dapat membantu dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif ke depannya. Dengan memahami akar sejarah, kita dapat mendorong upaya pelestarian warisan budaya yang kaya dalam bentuk yang lebih ekonomis untuk menarik kebermanfaatnya hari ini. Pengembangan pariwisata berbasis budaya itu dapat menjadi sumber pendapatan baru (khususnya bagi Kabupaten Bogor Barat) dan sekaligus akan memperkuat serta melestarikan identitas kelokalan yang ada di wilayah Bogor Barat itu sendiri.
Dengan menelisik uraian bagaimana masa transisi sejarah (yang menjadi cikal-bakal Bogor) di atas, DOB Kabupaten Bogor Barat sudah seharusnya meneroka makna cerita bagaimana perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya pada masa itu bisa berkembang pesat, untuk dapat menjadi cerminan sekaligus mendorong konsep bagaimana menempuh pertumbuhan ekonomi masa depan yang mengais kebermanfaatan dari kekayaan khazanah sejarah-budaya di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat. Bahkan interaksi dengan berbagai bangsa seperti Tionghoa pada masa Tarumanagara, dengan bangsa Portugis pada masa Pajajaran, dengan bangsa Arab dan Eropa pada masa Hindia-Belanda, dan dengan bangsa Jepang pada masa-masa perjuangan kemerdekaan itu dapat kita petik makna baiknya, sebagaimana banyak peninggalan artefak warisan yang kaya dalam bentuk seni, arsitektur, kuliner, dan seterusnya agar dapat kita maknai hari ini sebagai warisan pengetahuan—untuk diolah dalam karya kreatif-inovatif yang memiliki nilai ekonomis sebagai bekal masa depan.
Kita ambil contoh pada masa Pakuan Pajajaran misalnya, di masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, sejarah mencatat, Kerajaan Pajajaran sangat kaya akan hasil buminya. Diceritakan dalam kurun waktu satu tahun saja, jumlah merica yang dihasilkan rakyat Kerajaan Pajajaran pada masa itu bisa mencapai 1.000 bahar (1 bahar setara dengan 3 pikul) dan jumlah tamarin (buah asem) bisa memenuhi muatan 1.000 kapal angkut. Hasil-hasil bumi Kerajaan Pajajaran yang melimpah itu diperdagangkan ke berbagai daerah. Bahkan beberapa sumber mengemukakan bahwa jalur perdagangan Pajajaran mencapai wilayah kepulauan Maladewa. Setelah itu, kita tahu dunia perekonomian pun pada akhirnya mengalami perkembangannya dari yang mulanya sistem barter hingga sistem nilai tukar uang. Masa kolonialisme Belanda-lah yang dapat menuntun kita bagaimana gambaran wilayah Bogor secara luas mengalami perubahan signifikan dalam tatanan ekonomi dan sosial budayanya, yang bermula-bernuansa ekonomi-budaya (pelestarian-keseimbangan) sejak peralihan zaman Sunda dan Pakuan Pajajaran, menjadi ekonomi-industri pada perkembangannya—bahkan berdampak sampai hari ini. Perkebunan teh, kopi, dan kina misalnya, menjadi salah satu tulang punggung ekonomi (oleh Belanda) pada masa itu, walaupun juga sekaligus menimbulkan dampak sosial yang kompleks dalam perjalanannya: seperti pembentukan struktur sosial yang hierarkis dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran pada masa itu tentu saja meninggalkan bekas luka mendalam bagi para pendahulu kita.
Setelah meninjau sedikit cerita sejarah di atas, kita dapat memetik makna bagaimana keterhubungan ekonomi dan budaya berlangsung demikian, bagaimana sistem pertanian pada masa itu dijalani, bagaimana hubungan dan cara kerja petani dengan alamnya, bagaimana cara mengolah sumber daya alamnya, bagaimana menjalani hubungan perdagangan dengan tiap bangsa, bagaimana kerja-kerja keseniannya—yang kesemuanya itu dapat kita olah bersama untuk menjadikan konsep ketika Kabupaten Bogor Barat telah sah menjadi Daerah Otonomi Baru, menjadikan wahana pembelajaran ketika merumuskan aspek ekonomi dan ekowisata melalui dimensi sejarah-budaya—dan puncaknya untuk sampai pada potensi ekonomi yang kreatif, inovatif, serta berkelanjutan.
Sejalan dengan itu, pada dasarnya dan begitulah fitrahnya—sejarah akan selalu mengajarkan kita bahwa eksploitasi berlebihan tanpa eksplorasi sumber daya alam dapat berdampak negatif pada lingkungan dan masyarakat yang hidup di dalamnya, termasuk situasi yang terjadi hari ini merupakan dampak dari rentetan sejarah itu sendiri. Itulah mengapa, penting untuk mencari dan merumuskan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan budaya. Pembangunan ekonomi harus didasarkan pada prinsip keadilan sosial, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan (di Kabupaten Bogor Barat). Dengan memahami nilai sejarahnya, memaknai peristiwa-kejadiannya, Kabupaten Bogor Barat dapat membangun masa depan yang lebih baik dari jejak sejarah sebelum tercipta Kabupaten Bogor itu sendiri. Pemekaran wilayah ini merupakan sebuah peluang untuk menciptakan tatanan ekonomi, budaya, dan sosial yang lebih mandiri, adil, inklusif, berkelanjutan dengan meninjau ulang dimensi kesejarahannya.
Potret Sejarah-Budaya Sebagai Potensi Ekonomi Kreatif dan Pariwisata
Membahas budaya sebagai potensi ekonomi dan pariwisata tentu bukanlah hal baru. Banyak daerah di dunia ini, termasuk di Indonesia, berlomba-lomba menawarkan sampai “menjual” nilai-nilai budaya untuk menjadi salah satu komoditas ekonomi. Budaya, sedemikian rupa dan bentuknya, dieksplorasi (untuk tidak dikatakan sebagai eksploitasi?) demi menarik pundi-pundi pendapatan baik bagi masyarakat pelakunya maupun sebagai pendapatan daerah, tentu juga dengan dalih konservasi. Bagaimana tidak, bahwa Indonesia sendiri sedang begitu gencarnya meningkatkan potensi wisata sebagai salah satu roda besar perputaran ekonomi di hampir seluruh wilayahnya. Salah satu upaya untuk mencapai itu, kebudayaan yang begitu beragam dan berbeda-beda menjadi salah satu ujung tombak, selain potensi sumber daya alamnya. Sebelum berbicara potensi DOB Kabupaten Bogor Barat, pertanyaan mulanya adalah, bagaimana capaian Kabupaten Bogor sendiri dalam mencapai pengembangan sejarah-budaya sebagai potensi ekonomi kreatif dan pariwisata?
Kabupaten Bogor, setiap weekend dan libur panjang selalu akan “mejeng” di televisi nasional (maupun di laman sosial media) dalam sebuah acara reportase langsung terkait pariwisata. Siapa pun akan melihat dan menonton bagaimana keriuhan, keruwetan, kemacetan—bagaimana menumpuknya para wisatawan menuju daerah Puncak, Cisarua. Orang Bogor sendiri kadang ada saja yang bertanya-tanya, apa yang dicari mereka di sana? Terlepas apa jawaban dari pertanyaan itu, BPS Kabupaten Bogor mencatat bahwa kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara ke daerah Cisarua sendiri mencapai lebih dari dua juta orang per-tahun (data: 2019). Yang mencengangkan adalah angka itu merupakan hampir 50% dari jumlah kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara ke Kabupaten Bogor. Sayangnya, seperti yang kita ketahui bersama, yang dijual di sana hanya iklim dingin (suhu?), cuaca hujan, wahana-wahana, camping-glamping, kuliner dan pemandangan alam saja. Dan, dua jutaan orang itu berebut hal-hal semacam itu setiap minggunya, juga setiap liburannya, dengan pulang hanya membawa rasa lelah dan “iming-iming” refreshing tanpa membawa “Bogor” dalam kacamata identitas nilai-nilai budayanya.
Upaya-upaya pemerintah Kabupaten Bogor di bidang kebudayaan dan pariwisata lainnya tentu bukan tidak ada! Jelas, pemerintah Kabupaten Bogor, melalui Disbudpar-nya, sangat rutin melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian kebudayaan, kesenian, dan penggalian potensi wisata serta ekonomi kreatif. Sebut saja misal kegiatan bimtek-bimtek/pelatihan bidang ekraf bagi masyarakat, Jambore Desa Wisata, bahkan Helaran menjadi tiga dari sekian banyak program yang dikerjakan pemerintah. Namun, yang amat sangat disayangkan adalah narasi-narasi yang diolah-kumpulkan Diarpus maupun Disparbud Kabupaten Bogor mengenai nilai sejarah, budaya, dan kesenian—hanya menjadi arsip statis, belum mencapai titik maksimal praktiknya—yang akhirnya bisa “menarik” minat wisata. Kolaborasi antara kerja sejarah-kebudayaan-kesenian-pariwisata (yang akan berdampak pada nilai ekonomi) belum mencapai titik yang bisa diharapkan, padahal jika melihat daerah-daerah lain telah jauh meninggalkan capaian-capaian yang ada terkait potensi ekonomi dan budayanya. Pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada potensi kolaborasi tersebut di Bogor, misal fondasi sejarah sebagai narasi besar pengembangan budaya-kesenian-pariwisata?
Sejauh ini, Kabupaten Bogor yang digadang hari lahirnya diserupakan dengan hari jadi Kerajaan Pajajaran (penobatan rajanya), memang belum bisa menggali potensi nilai kemegahan yang dimiliki kerajaan tersebut sebagai spirit kebudayaan (yang di dalamnya tersimpan nilai ekonomi kreatif). Sementara, saudara kembarnya yaitu Kota Bogor telah bisa menggali potensi-potensi sejarah-budaya sebagai nilai “pusaka” yang bisa menjadi daya tarik para wisatawan. Lihat saja keberadaan Galeri Bumiparawira misalnya, menjadi salah satu program unggulan di Perpustakaan dan Galeri Kota Bogor sudah melangkah dengan membikin galeri interaktif-tematik kesejarahan Bogor versi Kota Bogor—dari masa Pakuan Pajajaran sampai Kota Bogor dewasa ini. Di galeri dan perpustakaan itulah, setiap minggunya kini terdapat sebuah pertunjukan yang bertajuk “Penobatan Sang Maharaja” sebagai tindak-laku ekonomi kreatif bidang seni pertunjukan—sekaligus sebagai penyampai informasi pengakuan mereka terhadap nilai dan spirit budaya dan sejarah Kerajaan Pajajaran yang dibanggakan Bogor. Belum lagi, dibangunnya kawasan Situs Batu Tulis menjadi “Museum Pajajaran” yang cukup menarik polemik terkait arsitekturnya beberapa tahun lalu dari para budayawan Bogor, yang sampai kini walaupun sudah diresmikan—isinya (masih kosong?) belum jelas apa saja koleksi atau artefak (selain Situs Batu Tulis) yang hendak dipamerkan di dalam museumnya. Bahkan, sempat juga beberapa waktu lalu, Bima Arya selaku Walikota Bogor kala itu, mencanangkan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka atau Heritage City. Dengan branding ini, jelas membuktikan bahwa keseriusan Pemkot Bogor dalam menghargai dan (berani) menghargakan budaya, seni, dan sejarah cukup tak main-main. Nyatanya, itu cukup worth it sebagai upaya pelestarian juga pendapatan!
Kabupaten Bogor sebenarnya memiliki potensi yang sama untuk menjadi salah satu opsi pengembangan ekonomi kreatif, namun kiranya itu tidak dipilih sebagai “jalan ninja”-nya. Bayangkan saja, berapa aset sejarah dan potensi wisata sejarah yang dimiliki Kabupaten Bogor terkait informasi Kerajaan Pajajaran (Sunda)? Bahkan wilayah geografis Kabupaten Bogor erat kaitannya dengan cerita sejarah sebelum Pakuan Pajajaran, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Kesemuanya itu bahkan tidak (atau belum?) dimaksimalkan sebagai spirit dan nilai sejarahnya, apalagi potensi wisata sejarah-budayanya. Belum lagi, Kabupaten Bogor sebenarnya memiliki situs megalit yang sangat bisa menjadi daya tarik unggulan jika dikonsepkan secara menarik dibalut narasi yang unik: sebut saja misalnya kawasan situs Arcadomas, Prasasti Batu Dakon II, Museum Pasir Angin, dan sebagainya—bagi para wisatawan yang berniat rekreasi edukatif maupun bagi para peneliti itu sendiri. Sayang berjuta sayang, sampai sekarang aset-aset itu belum menjadi harapan potensi histori-wisata yang menarik bagi pemerintah, entah apa alasannya. Kemudian, pertanyaannya pastilah mengarah pada potensi apa yang bisa digali oleh pemerintah DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya?
Ini bertambah menarik. Sebab, di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat inilah kebanyakan peninggalan-peninggalan masa Megalit dan Tarumanagara itu bersemayam. Sebagaimana dijelaskan di atas, peninggalan itu terdapat di wilayah barat Kabupaten Bogor ini: Arcadomas ada di Tenjolaya, dan Museum Pasir Angin ada di Cibungbulang, lalu Prasasti Batu Dakon II di Ciampea. Ditambah, di barat Kabupaten Bogor ini digadang dan diamini pernah menjadi pusat peradaban Kerajaan Tarumanegara yang dibuktikan dengan beberapa peninggalan yang ada. Maka, DOB Kabupaten Bogor Barat ketika telah sah menjadi Kabupaten baru, akan memiliki empat peninggalan dari tujuh prasasti peninggalan Tarumanegara: dari Prasasti Batu Tulis Ciaruteun, Prasasti Tapak Gajah Kebon Kopi I, Prasasti Pasir Muara yang berada di sekitaran Ciampea, dan Prasasti Pasir Jambu di sekitaran Nanggung. Hal ini cukup membuktikan bahwa DOB Kabupaten Bogor Barat (nantinya) bisa saja mengambil spirit atas sejarah Tarumanagara ini sebagai potensi pengembangan nilai budaya, sejarah, sampai ke histori-wisata, melengkapi kesejarahan Pakuan Pajajaran yang sudah digali-telusuri potensinya oleh Kota Bogor.
Sejalan dengan itu, sejarah mencatat bahwa dahulu pernah ada peristiwa penting sejarah Perang Asia-Pasifik dalam rangkaian Perang Dunia II yang terjadi (salah satunya) di Leuwiliang-Cibungbulang. Sampai akhirnya, di masa perang pasca kemerdekaan pun, wilayah barat Kabupaten Bogor ini memiliki catatan perjuangan yang penting, yang akhirnya melahirkan pahlawan-pahlawan sekaliber KH Soleh Iskandar, Dasuki Bakri, Abdul Hamid, Ace Tabrani, dan M. Noh Nur yang sekarang telah diabadikan menjadi nama jalan. Bahkan, jika kita membaca dua buku sejarah “Bogor Zaman Jepang 1942-1945” karya Susanto Zuhdi dan “Bogor Masa Revolusi 1945-1950” karya Edi Sudrajat, hampir semua yang dikisahkan dan dicatat di sana berlatar di daerah barat Kabupaten Bogor itu sendiri. Bayangkan saja jika semua sejarah yang tercatat di wilayah barat ini dieksplorasi menjadi narasi-narasi program histori-wisata (entah dalam bentuk museum tematik-interaktif dan lain-lain), tentu akan menjadi salah satu hal yang luar biasa, baik secara nilai warisan sejarah-budaya maupun secara nilai ekonomis.
Kemudian, di luar jangkauan keriuhan sejarah di atas, potensi budaya juga bisa diperjuangkan bersama pemerintah DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya, seperti potensi kesenian dan nilai tatanan masyarakat yang masih ada. Sebut saja kesenian Angklung Gubrag, Pertunjukan Topeng Jigprak, dan Seni Reog Sunda—yang ketiganya bisa dikembangkan sebagai ciri khas penting. Belum lagi potensi pelestarian adat di Kampung Urug, Kampung Budaya Cisalada, Padepokan-pendopo Jasinga—yang jika menjadi salah satu perhatian penting akan menjadi nilai lebih bagi pemerintah dalam upaya menghargai kebudayaan masyarakat lokalnya. Dari kampung adat itulah nilai-nilai kebudayaan Sunda secara luas, dan secara khusus yang dijalani leluhur masyarakat Bogor pada masa silam masih bisa kita dapati kegiatannya, seperti upacara seren-taun, sedekah-bumi, sedekah-rowahan, dan sebagainya—memungkinkan untuk menjadi wisata budaya yang edukatif sekaligus rekreasi.
Harapannya, tentu saja semua itu berada di pundak pemerintahan DOB Kabupaten Bogor Barat. Pelestarian dan pengembangan potensi ini jangan sampai tidak mendapat perhatian penting. Banyak daerah yang sudah mengambil narasi kolaborasi kerja sejarah-budaya-kesenian-wisata dan menunjukan hasil yang sangat baik. Jelas itu di samping perhitungan potensi wisata alam yang juga sangat besar income-nya. Masyarakat tentunya berharap, ekonomi mereka bisa terdorong dan tertolong oleh besarnya angka perputaran finansial di sektor wisata. Semua tentu berawal dari prioritas program atau minimal perencanaan pembangunan daerah yang melibatkan sektor kolaborasi ini di dalamnya. Misal saja, jika nanti gedung-gedung pemerintahan memiliki arsitektur khas dari spirit kerajaan (Tarumanagara/Sunda/Pajajaran) dan kebudayaan lokalnya, pengarsipan sejarah secara utuh dalam bentuk museum khusus dan umum sebagai sarana edukasi—sekaligus penggaliannya dilakukan berkolaborasi dengan masyarakat—dan tentu saja pengembangan sektor kesenian dan kebudayaan juga menyentuh langsung pada komunitas-komunitas kreatif/masyarakat di dalamnya yang tersebar banyak di penjuru barat Kabupaten Bogor melalui pelatihan dan bimbingan, serta penyediaan fasilitas kesenian dan kebudayaan yang memadai. Rasanya hal eksplorasi-kolaborasi itu sangat mungkin untuk dapat menjadikan Kabupaten Bogor Barat lebih unggul dari perjalanan yang sudah dilakukan Kabupaten Bogor itu sendiri.
Fokus-fokus yang sudah diuraikan itu, kami rasa, dapat menjadi fondasi potensial untuk meningkatkan daya upaya menarik wisatawan, yang otomatis bisa mendongkrak angka kunjungan wisatawan yang hanya berjumlah 604.500 orang (Leuwiliang 211.733, Pamijahan 371.962, Ciampea 6.699, Tenjolaya 9.010, Rumpin 896, dan Cigudeg 4.200) pada tahun 2019, yang jelas kalah jauh meski hanya melawan jumlah wisatawan ke Cisarua di tahun yang sama. Dengan menyeimbangkan potensi khusus ekonomi, khusus pariwisata, khusus budaya, khusus sejarah, dan lain-lainnya itu dengan membikin semacam “distrik-distrik” potensial setiap wilayah, sesuai potensi-potensi yang dimilikinya, kami yakin wilayah yang menjadi bagian DOB Kabupaten Bogor Barat itu nantinya akan mampu memberikan sumbangsih pendapatan daerah yang besar. Namun, dengan catatan: kerja-kolaborasi dari pemerintahan, baik itu dinas, lembaga, kecamatan dan desa, sekaligus masyarakatnya merumuskan visi-misi yang sama, sesuai kesepakatan bersama, dan untuk kesejahteraan kelestarian yang juga bersama.
Potret Alam-Budaya Sebagai Potensi Ekonomi dan Ekowisata
Sebelum menelusuri lebih jauh ekonomi-ekowisata di alam-budaya DOB Kabupaten Bogor Barat, kami teringat kerja-kerja di dunia sastra, tentang persoalan gastronomi yang pernah hits beberapa tahun lalu. Kajian-kajian tentang bagaimana sastra bisa bermuatan kuliner itu menjadi harapan pengembangan sastra lokalitas yang unik. Sempat juga, bagaimana HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) wilayah Bali melakukan open call paper dalam rangka upaya melihat potret keterkaitan sastra dan pariwisata, ataupun sebaliknya. Intinya adalah potensi pariwisata dan segala bentuk yang terkait di dalamnya sangat mungkin dibahas bahkan dari segi literatur dan sastra, apalagi dalam hal ekonomi kreatif yang bersumber pada kebudayaan. Indonesia jelas membutuhkan lembaga sekelas kementerian yang khusus menangani hal ini, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Bukankah jelas bahwa hal itu membuktikan bahwa potensi ekonomi-ekowisata bukan main dan cukup serius untuk menjadi lumbung pendapatan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun jelas mendorong setiap daerah dan wilayah di seluruh penjuru tanah air untuk ikut membangun sektor ini secara masif.
Apa yang diinginkan pemerintah pusat melalui kementerian tersebut jelas untuk memberlakukan segala hal yang dimiliki wilayah dan daerahnya sebagai potensi menarik minat wisatawan. Hal kecil sekalipun seperti perilaku masyarakat, kebiasaan-kebiasaan kebudayaan lokal, sampai kuliner tentu menjadi barang berharga yang bisa ditawarkan. Tentu saja itu di samping keindahan alam Indonesia yang memang sudah diakui sebagai salah satu surga di bumi. Garis pantai yang panjang, wilayah geografis yang beragam, dan potensi alam yang berlimpah menjadi modal yang besar. Berbicara hal tersebut tentu saja kita harus melirik dekat kepada sekitaran kita di Kabupaten Bogor, baik dari segi alam (konservasi dan sektor pengolahan-pemanfaatan) maupun bidang-bidang rekreasi. Kabupaten Bogor sendiri berada di wilayah geografis yang berbukit-bukit dan lereng gunung. Sangat potensial sekali untuk menawarkan wisata alam kepada wisatawan-wisatawan yang tidak mendapatkannya di tempat asal mereka.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kabupaten Bogor sendiri memiliki daya tarik wisatawan (misalnya masyarakat Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi) dengan Puncak di Cisarua-nya. Orang-orang itu rela berjibaku dengan kemacetan dan mengeluarkan banyak uang untuk sekadar menikmati keindahan alam yang ditawarkannya. Akibatnya, pertumbuhan infrastruktur wisata dan kuliner di sana begitu besar dan pesat. Mau tidak mau, perputaran ekonomi yang terjadi di sana menjadi salah satu andalan pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Dengan segala tawaran yang ada di sana seperti keindahan perkebunan teh, cuaca yang sejuk, dan pilihan tempat menginap camping-glamping, serta wahana rekreasi lainnya di sana kian menjadi ujung tombaknya. Sayangnya, potensi tersebut tidak dibarengi dengan pengembangan fasilitas umum (seperti akses jalan) dan tawaran rekreasi kebudayaan–sebagai pilihan menarik yang memadai (seperti yang sudah dijelaskan pula di bagian potret sejarah-budaya).
Selain Cisarua itu, sebenarnya Kabupaten Bogor bagian baratnya memiliki wilayah-wilayah konservasi alam semacam hutan yang sudah dimanfaatkan sebagai sarana wisata. Coba lihat misalnya Bumi Perkemahan Sukamantri di Tamansari, Pasir Reungit di Gunung Bunder, serta beberapa vila-glamping yang cukup banyak jumlahnya (salah satu contoh dari sekian banyaknya campground dan vila-glamping yang ada di bagian barat Kabupaten Bogor), curug-curug yang juga tersebar di banyak titik di kaki Gunung Salak, wisata rafting susur sungai di Cisadane, pendakian Kawah Ratu dan Puncak Manik Gunung Salak, konservasi fauna, penyebaran sumber-sumber air panas, juga banyaknya restoran dan cafe seperti Kopi Tubing, Bukit Stroberi, dan sebagainya—yang menjual view keindahan alam di balik panganan. Beberapa contoh tersebut merupakan sedikit “cara” yang sudah dilakukan Kabupaten Bogor pada wilayah bagian baratnya terkait pengembangan yang memadukan wisata-kuliner dengan nilai-nilai ekonomi yang digali dari alam. Permasalahan ini tentu dilematis dan kadang bertolak belakang dengan visi konservasi itu sendiri. Tak sedikit orang-orang yang protes karena eksploitasi alam yang berlebihan dengan hadirnya wisata-wisata semacam itu yang terkesan “arogan” dan tak ramah lingkungan. Misal saja, kita juga menyadari bahwa hadirnya manusia tentu kadang bukan hal baik bagi alam itu sendiri, apa lagi dengan kenyataan mereka akan mengganggu keseimbangan alam, setidaknya membawa polusi sampah, suara bising, atau pun dampak alih fungsi lahan.
Jika berkaca pada pegangan masyarakat Sunda Kuna, dalam hal ini kami meninjau bagaimana tradisi masyarakat Sunda Kuna yang kini masih dapat ditemukan di kampung adat, kasepuhan, dan sejenisnya—sudah membagi tata ruangnya menjadi leuweung kolot (hutan tua/lindung), leuweung titipan (hutan titipan/penyangga), leuweung lembur (hutan garapan/produksi), dan seterusnya—untuk membedakan mana lahan yang layak sekaligus hak untuk digarap-dikelola dan mana yang mesti dijaga. Proses tata kelola itu sangat seimbang selaras dengan ekosistem alam-lingkungan, bagaimana konsep Leuweung Kolot dapat diartikan sebagai hutan lindung yang sama sekali tidak boleh kita masuki oleh siapa pun manusia (yang sangat mungkin untuk diarti-maknakan sebagai penghargaan untuk tidak mengusik hunian para hewan dan dimensi spiritual atas kehidupan alam itu sendiri), Leuweung Larangan dapat diartikan sebagai hutan penyangga (pagar-gerbang)—yang hutannya dilarang digarap atau diproduksi, tetapi masih boleh dimasuki dengan pelbagai syarat dan seizin para ketua adat/sesepuh setempat, semisal untuk beribadah dan memperdalam dimensi spiritualnya.
Contoh itu bisa kita temui di banyak kasepuhan, misalnya saja seperti yang lekat dijalani masyarakat Kanekes-Baduy, persoalan Leuweung Larangan itu digunakan hanya sebagai lokasi (edukatif) spiritual-pemahaman para pu’un atau ketua adat sebagai penjaga gerbang—sehingga anggota masyarakat adat tidak akan berani masuk hutan larangan karena sangat menghargai pu’un sekaligus aturan yang telah disepakati tersebut. Hanya di Leuweung Lembur-lah yang menjadi hutan produksi untuk dimanfaatkan oleh penduduk dalam mengolah-menanam berbagai buah buahan dan sumber pangan lainnya. Pertanyaannya, apakah tradisi masyarakat Sunda Kuna itu masih relevan di tengah eksploitasi alam yang dewasa ini sudah berlangsung berlebihan—untuk tidak dikatakan merusak ekosistem keseimbangan?
Kami rasa, upaya-upaya untuk bisa menerapkan kembali warisan budaya nenek moyang yang sangat menghargai alam itu, sudah seharusnya bisa terealisasi ketika pemerintahan DOB Kabupaten Bogor Barat benar-benar berkuasa atas eksplorasi alam di wilayahnya, dan tentu saja tak ada kata terlambat di dalam kamus pelestarian. Maksudnya tidak lain agar konsep-konsep ini bisa dijalankan beriringan tanpa irisan negatif dengan pengembangan sektor wisata yang benar-benar menjanjikan. Tak ada lagi cara untuk menjalankan upaya konservasi namun tetap tidak menghambat wisata alam selain adanya pembahasan peraturan-peraturan yang mampu menyeimbangkan keduanya. Dari sanalah, program-program akan bermula dan kembali bermuara. Pemerintah bersama para pengusaha pengembang sektor wisata harus bisa menyadari pentingnya hal ini. Tata kelola yang baik tentu akan menghasilkan buah yang manis pula, namun bukan hanya untuk manusia sendiri, tapi juga untuk alam dan bumi yang mereka pijak.
Bukan berarti bahwa apa yang terjadi kemarin dan dijalani hari ini (oleh pemerintahan Kabupaten Bogor) tentang wisata alam di sekitar kita—semuanya tidak mengindahkan persoalan lingkungan dan hanya menguntungkan sebagian manusia, bukan itu yang kami maksud, walaupun kita tentu tak bisa menutup mata atau berbohong bahwa semua itu tidak benar adanya. Peraturan dan regulasi yang baik melalui perjanjian antara pemodal dan pihak pemerintah, sudah tentu akan mengarah pada pertimbangan keseimbangan alam ini. Namun, kenyataannya memang kadang masih terjadi penyelewengan dan “kenakalan” di lapangan yang akhirnya berdampak buruk, bahkan bukan hanya bagi alam tapi juga bagi manusianya. Harapannya, tentu yang terjadi besok di DOB Kabupaten Bogor Barat pada sektor ini harus lebih baik dan lebih matang dengan bersama-sama membangun kesadaran kolektif.
Kita ambil contoh kecil misalnya, ketimbang harus membuka (mengizinkan pembukaan) lahan baru dan mencaplok kawasan-kawasan konservasi, pengembangan ekowisata pertanian dan perkebunan bisa menjadi pilihan, agar menjadi penyeimbang sekaligus perbandingan bagaimana ekonomi dan ekowisata pada kenyataannya bisa berdampingan. Banyak wilayah yang sudah mengembangkan potensi ini bahkan dari berpuluh-puluh tahun lalu dan berhasil, meskipun ada juga yang akhirnya terkendala satu dan lain hal. Maksudnya, jika wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat memiliki potensi pengembangan yang sama, patut dicoba dan dikembangkan dengan tujuan kemaslahatan baik bagi alam, khususnya bagi manusianya. Pemerintah bersama masyarakat jangan sampai hanya membangun wisata ke-alam-an yang hanya menjual keindahan dan kesejukan saja, perlu dan sangat wajib membangun ekowisata model pertanian terintegrasi, dalam istilah lain disebut permakultur, bagaimana nanti masyarakat lokal dapat memberi contoh bagaimana proses menanam yang baik bagi wisatawan: entah dengan mengadakan kelas edukatif—misalnya bertani alami, membuat kompos, membuat pupuk organik, memberi makan ikan, kambing, sapi, atau apapun itu bentuknya, yang pasti tanpa harus merubah kebiasaan hidup masyarakat lokal itu sendiri.
Seperti yang sudah dibangun dan dijalani masyarakat Desa Cisalada, Kecamatan Pamijahan, yang memanfaatkan konstruksi view terasering persawahannya sebagai wisata (salah satu contoh dari sekian banyak desa yang memanfaatkan view perbukitan di Bogor Barat). Namun hal itu tentu bukan tanpa kekurangan, perlu diperluas dan diperdalam lagi edukasi budayanya agar jangan sampai pertanian hanya menjadi objek penjualan view perbukitan atau teraseringnya saja, tapi bagaimana wisatawan selain mendapat pemandangan mesti dibarengi edukasi pelestarian, seperti yang sudah dijelaskan tentang edukasi cara menanam, pengolahannya, dan sebagainya. Wilayah-wilayah di Kecamatan Pamijahan, khususnya di Desa Cisalada dan Gunung Bunder, seharusnya bisa menjadi contoh sederhana sebagai salah satu desa yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar jika dikembangkan dengan penataan dan pengelolaan yang terintegrasi, baik secara ekonomis maupun kelestarian budaya. Semoga saja, dengan hadirnya Kabupaten Bogor Barat yang mandiri dapat membangun harapan itu agar terealisasi. Dengan begitu, kemakmuran masyarakat sekitar juga bisa terintegrasi melalui hasil buminya tumbuh-berbuah dengan baik, nilai ekonomisnya berkembang secara berkelanjutan: kuliner dan wisata tentu berada di dalamnya.
Selain pertanian, juga patut dicoba pengembangan ekowisata-ekowisata lainnya seperti perkebunan, bekas pertambangan, hutan wisata, dan wisata air seperti susur sungai dan pemandian air panas. Hari ini, kesemua hal tersebut di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat tentu sudah ada, kok! Kadang perlu ada tambahan-tambahan muatan di dalamnya untuk menjadi pembeda dengan daerah-daerah lain yang juga menjadi pesaing. Program-program seperti wisata menanam pohon, edukasi lingkungan, promosi kuliner lokal, dan lainnya mesti dinyatakan dan bukan hanya berupa pajangan dan pajanan atau bahkan hanya tertulis pada markah (plang-plang) yang kadang tak dibaca. Bisa saja, di tengah-tengah wisata tersebut muncul aksi-aksi nyata yang benar-benar menyentuh wisatawan dengan cara memberikan kenyataan-kenyataan dalam wahana pertunjukan atau aksi nyata.
Sebagaimana kini persoalan Geopark Pongkor yang mulai beralih menjadi Geopark Halimun Salak dalam usaha strategis pembangunan geopark nasional cukup menggembirakan. Bappeda Litbang dalam kajiannya menguraikan bahwa, Geopark Pongkor yang terletak di wilayah Barat Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah sekitar 130.157,47 Ha, dan mencakup (lima belas) 15 Kecamatan. Nama Geopark Pongkor telah ditetapkan melalui SK Bupati Nomor: 556/177/ Kpts/Per-UU/2018 tanggal 26 Maret 2018 (Lampiran-9) dengan meliputi di 15 Kecamatan yaitu: Kecamatan Tamansari, Tenjolaya, Tenjo, Leuwiliang, Leuwisadeng, Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Cigudeg, Cibungbulang, Ciampea, Ciseeng dan Parung. Peralihan nama Geopark Pongkor menjadi Geopark Halimun Salak mengacu pada Keputusan Bupati Nomor: 000.9/207/Kpts/per-UU/2024 tentang Penetapan Perubahan Nama Kawasan Geopark Nasional Pongkor menjadi “Kawasan Geopark Nasional Bogor Halimun Salak, dengan tinjauan nama Bogor sebagai nama kota/kabupaten di Jawa Barat, sebagai identitas wilayah sekaligus mewakili keragaman geologi yang berada di cekungan busur belakang, yang memberikan warisan kekayaan geologi berupa warisan laut purba. Sedangkan Halimun Salak merupakan deretan pegunungan ikonik di Kabupaten Bogor bagian barat yang kaya akan sumber daya alamnya. Maka, Geologi Gunung Halimun dan Salak mewakili keragaman geologi jalur busur magmatik pada gunung api, yang memberikan warisan kekayaan geologi berupa emas-perak tipe Pongkor, dinilai sangat luar biasa itu menjadi tinjauan atas perubahan namanya (Isu Strategis Pengembangan Geopark Nasional Bogor Halimun Salak Kabupaten Bogor. 2024).
Dari wilayah yang terhimpun dalam Kabupaten Bogor, wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat-lah yang memiliki kategori nilai geologi luar biasa dibanding wilayah Kabupaten Bogor lainnya, di antaranya dijelaskan oleh Bappeda Litbang mengenai keadaan geologi di kawasan tambang emas Gunung Pongkor dan sisa Gunung Api Purba Dahu. Dengan begitu, Kabupaten Bogor bagian Barat yang ditempati oleh wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, sangat mungkin untuk menambang pendapatannya melalui geo-wisata. Ditambah, Geopark Halimun Salak tengah berkolaborasi dengan Geopark Ciletuh dan Geopark Bayah Dome sebagai proyek Twin Geopark untuk mewujudkan potensi strategis nasional dalam bidang Geologi di masing-masing wilayahnya. Dengan adanya tinjauan geowisata ini, maka DOB Kabupaten Bogor barat dapat mengkolaborasikan peninggalan kecagarbudayaan, dimensi sejarah-budaya yang sudah dibahas pada sub-bab pertama akan dapat dinaungi oleh geowisata ini sebagai promotor potensi ekonomi-budaya-sejarah dan sumber daya alamnya dalam bentuk pariwisata kreatif-edukatif.
Tentunya semua itu tidak bisa berjalan sendiri, pemerintah membutuhkan kolaborasi multisektor bersama kelompok-kelompok masyarakat berbagai bidang untuk bisa merealisasikan ini. Seperti pada hakikat-dasarnya, pariwisata tentu memiliki tujuan untuk menghibur dan menyenangkan, namun akan lebih berarti jika hal-hal tersebut dibarengi dengan edukreasi tentang pertanian, lingkungan, dan kecintaan alam sebagai kesan oleh-oleh dari setiap tempat wisata. Pada akhirnya, para wisatawan tidak hanya merasa kenyang dengan suguhan mata dan perut, namun juga hati dan pikiran yang tetap sadar bahwa hidup manusia/masyarakat DOB Kabupaten Bogor Barat juga berdampingan dengan alamnya yang lestari, yang harus dijaga bersama-sama.
Refleksi Pembacaan Halimun Salaka
Pada pembacaan Halimun Salaka, yang juga telah pembaca susuri-nikmati uraiannya di sub-bab pembahasan, DOB Kabupaten Bogor Barat sangat berpotensi besar untuk mengembangkan sektor sejarah-kebudayaan-kesenian-pariwisata untuk menjadi sumber pendapatan daerah. Sebagai daerah yang memiliki artefak peninggalan yang cukup banyak dan sumber data sejarah yang cukup baik, DOB Kabupaten Bogor sebenarnya memiliki banyak keuntungan. Wilayah-wilayah yang nantinya menjadi bagian dari DOB Kabupaten Bogor Barat ini, menurut sumber sejarah dan sudah banyak diamini, bahwa dahulu pernah menjadi kekuasaan beberapa peradaban kerajaan seperti Tarumanegara dan Pajajaran. Juga, wilayah-wilayah ini melahirkan banyak pahlawan di masa pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan. Hal itu tidak lain karena memang wilayah-wilayah ini merupakan medan perang yang sangat penting di masanya, seperti Perang Asia-Pasifik antara pasukan Jepang dengan ABDACOM (konon sekarang bernama NATO) yang terjadi di jembatan Leuwiliang-Cibungbulang. Kisah-kisah masa lalu selalu bisa dijadikan narasi-narasi baru untuk sekadar mengingatkan muasal dan nenek moyang atau bahkan menggali potensi informasi baru sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki manusianya. Kenapa tidak, hal-hal tersebut dijadikan suatu kekayaan intelektual yang bisa menjadi bahan-bahan dasar program pariwisata sejarah dan edukasi budaya dalam bentuk ekonomis.
Selain itu, DOB Kabupaten Bogor Barat juga memiliki kekayaan alam; keanekaragaman hayati yang masih sangat mungkin dieksplorasi dengan catatan tanpa adanya eksploitasi. Wilayah berbukit-bukit, lereng gunung, persawahan, perkebunan, wilayah tambang, dan sungai-sungai yang mengalir di badan wilayahnya—bisa menjadi sumber lain untuk mengembangkan potensi ekonomi di sektor pariwisata. DOB Kabupaten Bogor Barat, nantinya, akan berdampingan langsung dengan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) sebagai wilayah konservasi penting bagi keseimbangan alam dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemudian, wilayah yang berada di sekitaran TNGHS dipercaya sebagai wilayah yang subur. Namun, karena belum maksimal edukasi kepada masyarakat untuk mengembangkan wilayahnya dan tanah garapnya sebagai ekowisata yang sangat potensial, kesuburan itu belum memberikan banyak kemakmuran bagi masyarakatnya. Bahayanya, kesan semakin “gunung” tempat pemukimannya, semakin merendah tingkat kemakmurannya terus tertanam di benak masyarakat umum. Padahal, dengan adanya program-program yang sangat mendukung akan pengembangan ekowisata–berbasis ramah lingkungan, edukasi pertanian, tentunya sangat mungkin bisa menaikan taraf hidup masyarakatnya. Minimal, pembangunan akses dan pelayanan masyarakat akan ikut tumbuh seperti ke wilayah selatan Kabupaten Bogor.
Maka dari itu, pembacaan kami tentu menginginkan adanya perubahan signifikan dengan kemandirian DOB Kabupaten Bogor Barat sebagai “pribadi” yang bisa mengurusi dirinya sendiri. Kesan-kesan pemekaran yang juga dirasakan masyarakat, kadang berawal dari bagaimana masyarakat merasa mereka tidak “terurus” dengan baik, meskipun tidak semua masyarakat merasakan hal yang sama. Kami sendiri, dengan sangat rendah hati dan sadar diri, bukanlah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memberikan solusi, bahkan sekadar memiliki secuil hak untuk menilai demikian ini. Namun, sebagai manusia yang nantinya menjadi bagian dari masyarakat DOB Kabupaten Bogor Barat tentu memiliki mimpi dan angan yang tinggi, juga harapan besar yang dititipkan kepada pemerintahan yang mengelola nantinya. Terkait tentang pembahasan kami kali ini, jelas bahwa kami memiliki keinginan bahwa nantinya akan ada program-program baik dari pemerintah maupun swasta, bahkan swadaya masyarakat terkait potensi ekonomi-budaya, konservasi alam-lingkungan, yang berkaitan erat dengan dimensi sejarah.
Di berbagai daerah tentu bukan hal baru, bahwa suatu program dijalankan untuk mencapai cita-cita di atas. Misalkan saja, tetangga DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya—selain Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, yaitu Kabupaten Lebak. Sejauh ini, mereka telah “melek” tentang apa yang telah kami jabarkan pada tulisan ini. Lihat saja Festival Multatuli yang telah berjalan beberapa tahun belakangan. Konsep sejarah yang terjadi di wilayahnya dikembangkan sedemikian rupa hingga hari ini dapat dikenali di tingkat nasional. Di awal kemunculannya, mereka memberikan kesempatan kepada semua orang untuk menyaksikan seminar, diskusi, pertunjukan, adat istiadat dan warisan lokal, menulis, berbicara, dan melakukan eksplorasi terkait peristiwa kolonialisme dari buku yang ditulis Douwes Dekker dan sejarah kebudayaan masyarakat Kabupaten Lebak pada umumnya. Tentu saja sudut pandang yang digunakan sangat beragam dari mulai studi pascakolonialisme, filsafat, seni dan sastra, sejarah, antropologi, juga konservasi yang dilakukan di Museum Multatuli sebagai sasaran utamanya. Namun, dibalik itu semua, pemerintah maupun lembaga yang mengelola kegiatan tersebut tentu juga menyasar segi pariwisata yang bisa menarik minat orang-orang dari mulai intelektual-intelektual sampai orang yang butuh informasi dan sekadar pelesiran.
Jangan ditanya tentang dampak apa yang didapat Kabupaten lebak ketika menyelenggarakan dan mengais kegiatan Festival Multatuli maupun Museum Multatuli! Yang menjadi pertanyaaan mestinya, apakah sekelas wilayah DOB yang minim anggaran karena masa-masa pembangunan infrastruktur bisa melakukannya? Apakah tidak akan mengganggu pembangunan dan pelayanan publik atau hal-hal penting lainnya?
Jawabannya bisa kita tanyakan kepada Kabupaten Tulang Bawang Barat, di Lampung. Wilayah yang relatif masih muda (berdiri tahun 2008) ini pernah dilaporkan sebagai wilayah yang minim tempat wisata. Bahkan beberapa kabar yang kami baca-telusuri—menyebutkan bahwa Kabupaten Tubaba ini tak memiliki potensi alam seperti air terjun dan pantai untuk dikembangkan sebagai tujuan pariwisata (baca: Fakta Unik Kabupaten Tulang Bawang Barat Lampung, Curi Perhatian, IDN Times Lampung). Namun, seiring waktu menyadari kekurangan potensinya, pemerintah dan masyarakat Tubaba mengambil jalan lain, mereka bisa menarik minat wisatawan sebagai upaya memperkenalkan daerahnya dan tentu menambah pendapatan daerah sekaligus mendongkrak ekonomi masyarakat, upaya-upaya pembangunan monumen, taman dan program eksplorasi alam terus digalakan. Hal tersebut tentu akan memberikan pengalaman yang menarik bagi wisatawan yang berkunjung ke sana dengan suguhan lokasi wisata yang kaya dengan sejarah, kebudayaan, arsitektur, pesona alam dan warisan adat istiadat masyarakat lokal di sana. Sejauh ini, Kabupaten Tubaba masih tetap mempertahankan suatu program yang bernama Tubaba Art Festival (TAF) sampai ke edisi 8 pada tahun 2024 ini. Apa yang disuguhkan pada kegiatan yang tentu akan menarik minat wisatawan dan pasti bisa memutar roda ekonomi itu? Mereka menghadirkan berbagai suguhan kegiatan dari mulai seni pertunjukan tari, musik, teater, film, rupa, pameran keramik, kain tradisional, land art, land mark, arsitektur, art healing, sastra, sejarah, lokakarya, juga bazar industri kreatif warga. Jelas alasan mereka untuk mempertahankan program tersebut karena worth it bagi pembangunan daerah dan masyarakatnya.
Dua contoh di atas merupakan secuil contoh dari banyaknya program-program sejenis yang bisa menjadi ciri khas dari setiap daerahnya. Bisa saja kita membahas program unggulan lainnya seperti Festival Danau Toba, Festival 7 Sungai Subang, sampai Jember Fashion Carnaval yang sempat hits sedunia sejak beberapa tahun lalu. Berbagai program tersebut—juga yang lainnya yang tidak dibahas di sini—bisa menjadi program percontohan dan bisa ditiru dengan muatan yang berbeda sesuai potensi yang dimiliki DOB Kabupaten Bogor Barat. Menariknya, selain hal-hal di atas, bisa juga nantinya eksplorasi alam dilakukan di wilayah-wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat ini, seperti yang bisa dikembangkan oleh masyarakat di berbagai daerah seperti wisata Dieng, wisata terasering di Ubud Bali, juga Merapi Lava Tour yang memanfaatkan narasi bencana meletus gunung Merapi di Yogyakarta sebagai wisata edukasi dan menjadi pengalaman menarik bagi wisatawan. Tentu saja hal itu di luar pengembangan potensi alam seperti rafting, climbing, camping ground, dan kuliner yang sudah dilakukan oleh daerah lain dan sangat bisa digarap oleh DOB Kabupaten Bogor Barat dengan potensi alamnya. Bahkan sampai beberapa lokasi wisata yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia selalu memiliki narasi-narasi unik yang membedakan mereka dengan wisata sejenis di daerah lain, semisal camping di bibir sungai, forest art camp, restoran tengah danau, atau wisata religi, dan tentu saja masih banyak contoh lainnya.
DOB Kabupaten Bogor Barat sendiri memiliki potensi-potensi yang dirasa bisa dikembangkan yang berlandaskan dari bukti sejarah, peristiwa sejarah, adat istiadat, kondisi alam, dan bahkan kulinernya. Misal saja, dengan bekal tersebut bisa terbayang bagaimana nantinya akan ada semacam museum (Tarumanagara misalnya), galeri sejarah (tematik seperti Bumiparawira versi Kabupaten Bogor Barat), atau program lainnya yang bisa bernilai informasi dan edukasi. Program-program itu bisa menampilkan bagaimana kemegahan timeline kesejarahan Bogor secara luas dengan menghadirkan cerita Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda/Pajajaran, sampai peristiwa sejarah kemerdekaan Indonesia dalam bentuk biorama, audio-visual interaktif, pertunjukan, atau galeri seni lainnya. Narasi-narasi ini juga pasti akan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daya tarik, dan sangat bisa diterapkan dalam rencana pembangunan wilayah yang termasuk di DOB Kabupaten Bogor Barat.
Seumpamanya, pemerintahan nantinya pasti mencanangkan wilayah-wilayah khusus atau tertentu untuk pengembangan sektor-sektor ini. Sebagai upaya menyeimbangkan pembangunan dan konservasi tentunya kebijakan yang dibuat melalui perda, perbup, atau bentuk peraturan lainnya harus berpihak baik pada kedua hal tersebut, termasuk pada sektor yang telah dibahas pada tulisan ini. Bisa saja nantinya DOB Kabupaten Bogor Barat memiliki wilayah ekonomi khusus ekowisata, ekonomi khusus ekonomi-kreatif, ekonomi khusus industri, ekonomi khusus perdagangan, juga jenis lainnya yang terus terintegrasi dengan tujuan agar tidak saling berbenturan. Melalui refleksi ini juga kami membayangkan soal bagaimana masyarakat—mungkin kami termasuk di dalamnya—bisa memiliki regulasi dan program yang bisa mengayomi semua potensi ini dengan baik. Misal saja nanti akan ada Bogor Barat Culture and Nature Festival yang berisi tentang identitas sejarah budaya dan edukasi alam sebagai bentuk tanggung jawab pengembangan ekonomi dan pariwisata kepada dunia, kepada Indonesia, khususnya kepada diri kita sendiri.
Sekali lagi, hal-hal yang sudah dijelaskan di muka itu sangat bisa Kabupaten Bogor Barat capai sebagai program unggulan dengan mengais ekonomi-budaya—yang di dalamnya terkait dimensi sejarah, kesenian, wisata, kuliner dan seterusnya—untuk mencapai pendapatan daerah dan mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Bagaimana?
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!