Setelah cukup panjang polemik gedung kesenian Kamuning Gading berlangsung, kini akhirnya masyarakat seniman kembali mendapatkan respons dari pihak pemerintah Kota Bogor yang menyatakan akan merevitalisasi Kamuning Gading dengan rencana anggaran biaya sebesar Rp 9.323.186.411 memakai uang APBD 2026. Ditambah, pihak pemerintah sudah mengeluarkan desain bangunan berikut gambaran wujud hasil dari revitalisasinya ke beberapa kelompok/komunitas kesenian di Bogor. Maka dengan edaran dan pemberitaan tersebut, persoalan gedung kesenian katakanlah sudah mendapat suatu pencerahan, tapi tidak dengan persoalan siapa yang akan mengelola operasional Kamuning Gading, siapa yang bertanggung-jawab atas perputaran kegiatan dan pemakaian Kamuning Gading, dan kelompok/komunitas seni apa dan siapa saja yang mendapat ruang sekretariat di dalam Kamuning Gading itu sendiri.
Jika persoalan tata kelola tidak segera dirumuskan bersama, tentu saja akan timbul polemik selanjutnya yang tambah menggelikan di jagat seni Kota Bogor ini. Dan lagi jika persoalan yang selalu diributkan hanya terfokus pada persoalan gedung kesenian saja, bagaimana kita memandang persoalan pemupukan regenerasi para seniman, proses kreatif, apresiasi, dan sarana kritiknya dalam ekosistem kesenian di Bogor? Sebab, persoalan ini mengingatkan kami pada proses pembuatan-pembangunan Taman Ismail Marzuki, yang menjadi landasan utama ketika tempat berkumpul seniman di Senen terkena gusuran pembangunan. Walaupun konteks tersebut berbeda dengan persoalan di Bogor yang hanya merevitalisasi gedung kesenian yang sudah berdiri dan bukan membikin bangunan dan tempat yang baru, tapi kami rasa kelindan dan capaian persoalannya akan sama: seniman sulit diatur, dan diperlukan suatu badan-ruang-wadah yang dapat mengatasi kesulitan diaturnya seniman tersebut, dengan catatan masyarakat seniman sendiri yang memilih siapa yang akan mengakomodir dan mengurusi dirinya sendiri.
Sebagaimana jika kita membaca kesaksian Ajip Rosidi dalam otobiografi Hidup Tanpa Ijazah: yang Terekam dalam Kenangan (2008), dan menguraikan kembali dalam catatan ini, mengenai bagaimana pidato Ali Sadikin di hadapan masyarakat seniman Jakarta, yang secara terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak mengerti seni, tetapi sebagai gubernur dia berpendapat bahwa kota yang modern harus mempunyai kesenian yang maju. Karena seniman itu sulit diatur, maka untuk para seniman akan disediakan pusat kesenian yang harus dikelola oleh para seniman sendiri dalam sebuah badan konvensional, plus agar tidak diprotes struktur anggota badan itu dipersilakan masyarakat seniman sendirilah yang harus memilih dan merumuskannya. Pemda DKI hanya akan menyediakan dana yang diperlukan. Tapi kalau para seniman tidak becus mengelolanya, akan diminta pertanggungjawabannya oleh pihak pemerintah DKI. Pertemuan itu diadakan (di kediaman resmi Gubernur di Jalan Suropati tanggal 9 Mei 1968) untuk memberi kesempatan kepada para seniman memilih wakil-wakil yang tepat untuk duduk dalam badan itu (yang kelak menjadi Dewan Kesenian Jakarta, Akademi Jakarta, dan pusat keseniannya Taman Ismail Marzuki).
Kita lihat di Bogor dengan tidak bergunanya lembaga yang seharusnya menjadi pusat kajian-pengarsipan kesenian yakni Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor beberapa tahun ke belakang, adalah potret realitas ketiadaan ruang pengelolaan masyarakat seniman, tim pengarsipan proses kreatif dan karya dari masyarakat seniman, dan bahkan ketiadaan dialektika kritik-saran berikut kajian kesenian di Bogor itu secara bersama-sama. Kami rasa, belajar kepada persoalan Jakarta itu merupakan suatu cara yang mutlak untuk dicoba di Bogor. Itupun jikalau pemerintahan menyayangi warga senimannya. Dengan demikian, persoalan selanjutnya adalah masyarakat seniman mesti mereposisi Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor atas kehendaknya bersama-sama–memilih siapa yang akan duduk dan mengelola dirinya secara bersama-sama.
Maka dari itu, sudah saatnya masyarakat seniman di Bogor sadar akan ekosistemnya. Bahwa tidak akan ada kehidupan kesenian yang sehat jika seniman terus dikelola oleh pihak luar, entah itu pemerintah, yayasan, atau broker budaya yang datang mendadak lalu hilang entah ke mana. Sehebat dan semodern apapun bangunan Kamuning Gading itu nanti, ia tidak akan hidup tanpa tubuh yang menghidupinya—dan tubuh itu adalah masyarakat seniman itu sendiri, yang terorganisasi dalam satu badan yang berwujud ada, berfungsi, punya daya dorong plus mendobrak, dan sadar akan posisinya dalam ekosistem kesenian yang terintegrasi.
Di titik inilah urgensi keberadaan Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor menjadi mutlak diperlukan. Bukan sekadar formalitas atau stempel agar dapat dana hibah dari lembaga formal pemerintah. Melainkan mesti lahir dari sebuah badan kebudayaan dengan kehendak kolektif seniman Bogor sendiri. Bukan hasil lobi. Bukan titipan parpol. Bukan pula limpahan jatah dari penguasa dan keluarga. Jika Dewan Kesenian dan Kebudayaan hanya berperan sebagai semacam panitia musiman untuk festival tahunan dengan konsep yang itu-itu saja, maka keberadaanya tidak ada gunanya dan lebih baik dibubarkan sekalian. Tapi jika kita percaya bahwa seni adalah bagian integral dari kehidupan, dari cara warga kota berpikir, bermimpi, mengasah dan mengolah makna, maka Dewan Kesenian dan Kebudayaan harus menjadi ruang hidup pengkaryaan bersama. Tempat kita mengatur urusan kita sendiri dengan penuh tanggung jawab baik sebagai seniman, sebagai warga kota, dan sebagai manusia.
Lebih jauh lagi, bahkan negara pun, melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017, telah mengakui bahwa pemajuan kebudayaan harus melibatkan peran aktif masyarakat. Di situ dijelaskan bahwa para pelaku budaya punya hak dan kewajiban dalam pengelolaan ruang budaya, termasuk dalam merumuskan strategi kebudayaan lokal yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka sendiri. Oleh sebab itu, jika hingga saat ini Kota Bogor belum memiliki satupun dewan kesenian dan kebudayaan yang representatif, itu bukan hanya kelalaian kultural, tapi pembangkangan terhadap amanat undang-undang yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal itu sendiri.
Sekarang mari kita sadari bersama dengan mata terbuka, Kota Bogor sebenarnya tidak miskin seniman, tetapi yang menjadi masalah adalah miskinnya pengelolaan. Banyak seniman Bogor yang karyanya sudah dikenal di luar negeri, namun ketika mereka kembali ke tanah kelahirannya, mereka tak menemukan ruang yang memadai untuk berkarya, berdiskusi, mengarsipkan hasil karyanya, membina regenerasi, atau bahkan sekadar membanting ide dan menyusun kritik bersama. Hal ini bukan karena kemampuan senimannya yang kurang, melainkan karena tidak adanya badan bersama yang memayungi sekaligus mengorganisasi kesadaran kolektif tersebut. Nasib seniman Bogor ini membenarkan istilah lampau “berjaya di negeri orang, tapi merana di tanah kelahiran”.
Lihat Bandung. Lihat Yogyakarta. Lihat Tasikmalaya. Di sana, dewan kesenian bukan hanya ada, tapi hidup dengan daya kreatif uang mendobrak. Di Bandung, Dewan Keseniannya tumbuh dari rahim kolektif masyarakat seniman yang tak puas hanya menjadi pengisi acara, tapi ingin ikut menentukan arah kebudayaan kota. Di Yogjakarta, Dewan Keseniannya sudah memilik visi bahwa seni tidak hanya sekedar seni pertunjukkan, melainkan hidup sebagai perdebatan yang terus mengasah kesadaran bersama. Bahkan Tasikmalaya, yang barangkali jarang disebut dalam peta seni nasional, telah lebih dahulu memiliki dewan kesenian yang berakar pada kerja lintas komunitas dan tumbuh dari semangat untuk mengelola arah keseniannya sendiri.
Pertanyaannya sekarang tentu bagaimana dan mengapa kota-kota itu bisa, sedangkan Bogor tidak? Dan jawabannya sederhana, karena mereka dengan dewan kesenian di sana dibentuk bukan oleh birokrasi, tapi oleh pertarungan ide dan kerja kolektif dari masyarakat senimannya sendiri. Dan dari ketiganya kita sekarang bisa memetik satu hal: bahwa dewan kesenian yang hidup tidak pernah lahir dari tangan birokrasi, tetapi dari pertarungan ide-gagasan dan keberanian untuk menyusun kerja kolektif yang berdaya guna mengais kerja karya dan kritik berjangka panjang.
Maka Bogor pun seharusnya bisa membayangkan punya ruang serupa. Sebuah dewan kesenian yang tidak hanya hadir sebagai nama dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tapi benar-benar bekerja, memikirkan ekosistem seni dan budaya kota secara menyeluruh. Dewan Kesenian yang bukan sekadar duduk menunggu proposal masuk, lalu memilih sanggar, komunitas, atau kolektif kesenian mana yang cocok (dan punya kedekatan personal) untuk diminta pentas menjelang akhir tahun atau huru-hara seremonial Hari Jadi Bogor untuk merepresentasikan kesenian kota, tapi dewan kesenian yang sanggup menyusun agenda kultural jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang, yang lahir dari pertemuan lintas disiplin sampai ke keresahan nyata dari kerja-kerja sehari-hari para pelaku seni itu sendiri. Dan dari semua itu, kita benar-benar membutuhkan Dewan Kesenian dan Kebudayaan yang berani menyatakan: inilah arah kesenian Bogor yang kami rancang dan inilah jalan kebudayaan yang kami pilih bersama dengan lantang-bergema.
Reposisi Kesenian – Reimajinasi Kebudayaan
Revitalisasi gedung Kamuning Gading hanya akan menjadi kosmetik semata jika tidak dibarengi dengan revitalisasi cara berpikir masyarakat seniman Bogor itu sendiri. Kita boleh saja mengagumi maket bangunan yang megah dengan rancangan arsitektur yang rapi, tetapi kita jangan sampai lupa untuk mengurus jantung yang akan menghidupkan bangunan itu. Sebab tanpa jantung yang memompa gagasan dan tenaga kerja kreatif-kolektif ke dalamnya, bangunan Kamuning Gading akan berakhir sama. Akan kosong dan akan menjadi museum yang sepi sebelum waktunya. Itu semua mestinya sebuah pola yang harusnya sudah disadari dan dirumuskan dari berbagai lintas kolektif di Bogor.
Karena itu, Dewan Kesenian Bogor harus segera direposisi, dan kebudayaannya harus di-reimajinasi. Dibangun ulang dari awal dan disusun lewat proses pemilihan yang terbuka, partisipatif, dan berbasis dedikasi. Bukan koneksi, bukan warisan politik kultural lama, tetapi harus lewat rekam jejak, kesediaan bekerja, dan kemampuan untuk menyusun daya ledak dan visi bersama yang menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalannya. Dan dalam kevakuman, sebelum Gedung Kemuning mulai dibangun ulang, jika kita tidak kerjakan sekarang, entah kapan kita akan punya kesempatan ini lagi. Dan jika bukan oleh kita yang hidup dan berkesenian di kota ini, maka siapa lagi?
Apa yang kami ajukan di sini bukan sekadar semata diskusi teknis tentang lembaga apalagi wacana kesenian di Bogor dalam beberapa waktu ke depan. Ini adalah seruan politik kebudayaan yang kami ajukan kepada berbagai lapisan masyarakat. Ini adalah tuntutan agar ruang-ruang kebudayaan yang selama ini terlalu lama dikelola dari luar oleh tangan-tangan yang tidak mengerti kerja kesenian, namun merasa berwenang karena memiliki kuasa atas anggaran dan kedekatan dengan para pemangku kebijakan.
Karena itu, dengan adanya tuntutan pembentukan ulang Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor yang representatif dan demokratis adalah bagian dari perjuangan politik kebudayaan. Politik yang tidak hanya berbicara tentang siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang boleh berbicara. Politik tentang siapa yang punya hak menentukan arah hidup keseniannya sendiri. Jika Kota Bogor sungguh ingin maju sebagai kota yang beradab, maka pembangunan fisik gedung harus disertai dengan keberanian membuka ruang demokrasi kultural. Di sanalah seniman tidak lagi menjadi objek program, melainkan subjek yang mengelola dirinya sendiri. Sebab hanya dalam pengelolaan diri yang otonom itulah sebuah kebudayaan bisa berkembang sehat, bermartabat, dan berdaulat. Betapa pentingnya hal-hal ini guna menjadi pondasi untuk merumuskan identitas kesenian dan kebudayaan Kota Bogor yang selama ini sudah absen dari kehidupan masyarakat Bogor.
Sekarang sudah saatnya, tidak ada waktu lagi, tidak ada kata nanti. Revitalisasi Gedung Kesenian Kamuning Gading harus dibarengi dengan mereposisi Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor, dan harus disertai simposium terbuka masyarakat seniman lintas disiplin: kita bicarakan semuanya, kita tentukan arah capaiannya secara bersama, dan dengan serangkaian dialektikanya secara bersama-sama.