Membaca Jejak Sang Pemula di Kota Hujan

Membaca Jejak Sang Pemula di Kota Hujan

arsip: halimunsalaka


Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memegang peran krusial agar negeri ini tetap berjalan semestinya. Masifnya perkembangan teknologi digital membikin informasi kian mudah diakses oleh siapa pun. Dampaknya, banyak orang muncul sebagai jurnalis tanpa afiliasi media—alias citizen journalist atau jurnalis warga. Selain karena kemajuan teknologi, saya curiga fenomena ini lahir dari rasa jenuh publik terhadap sebagian media arus utama yang kadang terkesan tutup mata terhadap dinamika di masyarakat.

Kehadiran jurnalis warga jelas memperkaya ragam informasi harian kita. Mereka kerap mengangkat isu-isu yang luput dari pantauan media besar. Nah, membicarakan dunia pers rasanya hambar kalau tidak menyinggung Tirto Adhi Soerjo—tokoh kelahiran Blora, 1850, yang wafat di Batavia (kini Jakarta) pada 7 Desember 1918. Tirto dihormati sebagai Bapak Pers Indonesia, dan namanya bahkan diabadikan jadi salah satu media massa ternama saat ini.

Nama Tirto sempat “terkubur” dalam lanskap historiografi bangsa. Contohnya, hingga kini belum jelas siapa ibu kandungnya, berbeda dengan pahlawan lain yang silsilahnya terang-benderang (Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan. Historia, 18 Agustus 2019). Sosoknya kembali terangkat berkat sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis biografi Sang Pemula dan menjadikan Tirto inspirasi karakter Minke dalam Tetralogi Buru, magnum opus-nya.

Tirto Adhi Soerjo: Antara Jurnalisme dan Perlawanan

Menurut Arief Hakim dalam Tirto Adhi Soerjo: Bapak Pers Indonesia, Tirto adalah pelopor nasionalisme dan perintis pers nasional. Ia berani menantang kezaliman dan ketidakadilan kolonial (Tirto Adhi Soerjo; Bapak Pers Indonesia. 2020), sebagaimana tergambar pesona perjuangannya apiknya dalam novel Jejak Langkah. Tulisan-tulisan Tirto ibarat rayap yang menggerogoti kokohnya kayu kekuasaan Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, bersama beberapa kolega, ia menerbitkan mingguan Medan Prijaji, yang tak lama berubah terbit menjadi harian. Muhidin dkk. menulis bahwa Tirto sadar koran penting tidak cuma untuk ekonomi, tapi juga politik. Pers, baginya, motor penggerak pergerakan. Melalui slogan Medan Prijaji, ia menegaskan pembeda antara “yang memerintah” dan “yang diperintah” (Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan. 2008).

Lewat Medan Prijaji, Tirto mempopulerkan istilah “Anak Hindia” dan menggugah kesadaran rakyat akan dampak buruk penjajahan. Sebelum 1904, perlawanan biasanya bersifat lokal dan bersenjata. Tirto menawarkan pola baru: perjuangan via pena. Akibat keberaniannya, ia dibuang dua kali, pertama ke Teluk Betung (1910) dan kedua ke Ambon (1913). Tekanan itu pula yang mengantar Medan Prijaji tutup pada 22 Agustus 1912.

Selain mendirikan Medan Prijaji, Tirto juga pernah mengelola Pembrita Betawi, Soenda Berita, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, dan Sarotama. Tulisan-tulisan Tirto menjamah nyaris dalam segala tema kehidupan, seperti politik, sosial, budaya, agama, pendidikan, hukum, ekonomi, juga kedokteran. Bidang terakhir tak lepas dari karir pendidikan Tirto yang sempat mengenyam bangku sekolah dokter Bumiputra terkemuka, yaitu STOVIA, kendati tak sampai lulus.

Tirto dan Bogor: Lebih dari Sekadar Persinggahan

Pada 25 Mei 2024 saya menyambangi Galeri Bumi Parawira di Gedung Perpustakaan Kota Bogor. Melihat lukisan T.A.S terpajang di sana, kecurigaan saya soal “hubungan spesial” Tirto-Bogor langsung menguat. Berselancar di internet, membaca beberapa buku nonfiksi, plus menuntaskan Tetralogi Buru, rasa penasaran saya akhirnya terbayar lunas.

Bogor bukan sekadar kota singgah Sang Pemula. Di sinilah sebagian perjuangannya bertolak. Seperti yang kita ketahui bersama, pada 27 Maret 1909, Tirto menggagas Syarikat Dagang Islamiah (SDI) bersama para pedagang Bumiputra. Organisasi ini diresmikan pada 5 April 1909 (Andika Yudhistira Pratama, BandungBergerak. 2023). SDI lahir sebagai wadah solidaritas pedagang Muslim yang diinjak sistem kolonial maupun kompetisi pedagang asing.

Meski SDI versi awal tak berumur panjang, benihnya tumbuh subur. Dua tahun berselang, Haji Samanhudi mengembangkannya di Solo, melahirkan Sarekat Dagang Islam, cikal-bakal organisasi massa modern Nusantara. Tapi, jangan lupa, bibit ide itu pertama kali disemai Tirto di Kota Hujan.

Bahkan hingga akhir hayat, Tirto masih melekat dengan Bogor. Ia dimakamkan di TPU Blender, Tanah Sareal. Sejak merintis mimpi hingga menutup usia, Bogor memang rumah perjuangan Sang Pemula. Sebagai penghormatan, namanya diabadikan untuk Jalan RM Tirto Adhi Soerjo—dulu bernama Jalan Kesehatan—tak jauh dari GOR Pajajaran.

Tirto Masa Kini

Dewasa ini, kerja pers marak lahir dari tangan jurnalis warga. Mereka merekam banjir di gang sempit, menyiarkan demo mahasiswa secara langsung, sampai membuka aib pejabat via threads panjang. Fenomena ini mengingatkan saya pada semangat Tirto: suara rakyat tak boleh tersumbat.

Tirto jelas hidup di era mesin cetak manual, bukan algoritma for you page. Namun sikap kritis, keberanian menulis, dan dorongan membela “Anak Hindia” sangat relevan untuk konteks digital kita hari ini. Di tengah gegap-gempita konten, kita—insan pers maupun warga sipil—perlu meneladani etika dan kegigihan T.A.S: cek, verifikasi, lalu suarakan yang terpinggirkan.

Jadi, kalau kamu merasa diri “biasa-biasa aja” di kota berkabut dan sering hujan ini, ingatlah perjuangan Tirto yang pernah memulai jejak langkahnya di Bogor dengan secarik kertas dan tekad baja. Ingatlah dan selami kembali ia si Jejak Sang Pemula: dengan membaca tulisan-tulisannya, menziarahi makamnya, atau sekadar mampir ke pamerannya di Galeri Bumi Parawira. Siapa tahu, dari situ lahir lagi keberanian baru untuk menulis, dan siapa tahu, menggerakkan diri kita.