Membiarkan Gedung Kamuning Gading Musnah Adalah Kejahatan Kultural

Membiarkan Gedung Kamuning Gading Musnah Adalah Kejahatan Kultural

dok. halimunsalaka


Di tengah denyut Kota Bogor yang makin diseragamkan oleh beton, lampu LED, dan papan-papan reklame bernada digitalisasi, berdirilah sebuah bangunan renta yang mulai kehilangan suaranya. Ia tidak roboh. Tapi perlahan dijatuhkan. Ia bukan ditinggalkan. Tapi sengaja ditelantarkan. Dan guess what, gedung apa itu? Yaps. Gedung itu bernama Kamuning Gading.

Gedung yang didesain oleh Arsitek F. Silaban1, kini tinggal puing-puing makna. Padahal di tempat itulah kita-kita, belajar berteriak lewat puisi. Memukul genderang dalam gerak tari. Meracik cahaya dan suara dalam pertunjukan teater. Di sanalah “ruh kota” pernah tinggal. Bahkan tumbuh. Tapi hari ini, ia tak lebih dari bangkai arsitektural yang menyimpan nostalgia—seperti makam yang saban malam dipeluk romantisasi dan kerinduan.

Pemerentah Kota Bogor yang dulu berbangga memberi ruang untuk seni, kini secara sistematis justru menghapusnya. Tidak frontal, tentu, karena kekuasaan zaman ini bekerja dalam senyap. Tapi senyap yang mematikan. Kamuning Gading dibiarkan lapuk. Gentengnya bocor. Lantainya retak. Dindingnya berlumut. Mereka bukan tak tahu kondisi ini. Tapi mereka memilih tidak peduli. Di dalamnya, hanya sesekali ada suara, dan itu pun suara-suara terakhir dari komunitas yang gigih menolak lupa.

Kita-kita, para seniman, bukan sekadar penghibur. Kita adalah penutur sejarah. Penjaga ingatan. Bahkan penafsir masa depan. Tapi sekarang kita sedang dilucuti. Satu per-satu ruang yang memberi napas pada kehidupan budaya ditutup. Dialih fungsi. Atau diganti dengan “hal yang lebih penting”, menurut para pemegang kebijakan. Seperti Bogor Creative Center yang rencananya akan dijadikan kantor pajak. Pajak! Betapa banal. Ketika ruang bagi kreasi diubah menjadi tempat mengais uang rakyat.

Apakah mereka lupa, bahwa sebuah kota tanpa seni hanyalah pasar besar? Kota yang dihuni tubuh-tubuh yang bekerja. Makan. Tidur. Dan mati. Kota tanpa makna. Tanpa sihir. Kota yang kehilangan dirinya sendiri.

Gedung Kamuning Gading bukan sekadar ruang. Ia adalah teks kota. Di dindingnya tersimpan nama-nama. Jejak-jejak. Bahkan luka-luka. Dicatat dan dibaca. Ia telah menjadi tempat bagi seniman lokal dan nasional untuk berkumpul, berlatih, dan mengadakan pertunjukan. Di sinilah seni rupa, teater, musik, dan tari tumbuh dengan indahnya, memadu padankan tradisi dan modernitas, dan menciptakan sebuah ekosistem seni yang hidup.

Gedung Kemuning Gading tidak hanya sekadar tempat untuk berkesenian. Tetapi juga merupakan ruang sosial yang mengikat kita dalam memori kolektif2. Bagi banyak seniman muda, terkhusus saya, Kamuning Gading adalah tempat pertama di mana kita bisa mengeksplorasi potensi diri. Berekspresi tanpa takut dihukum dan memperkenalkan karya-karya kepada dunia. 

Di sanalah, pada akhir tahun 90-an, suara distorsi dan amarah anak-anak scene hadcore-punk bergema setiap pekan3. Di sana pernah ada pertunjukan Ruhak Pajajaran (2018), tari kolosal yang menyusun kembali sejarah Bogor dari serpihan-serpihan mitos dan memori. Di sana pernah dipangungkan Kemasan Seni Pertunjukan (2018). Di sana pernah dilombakan Parade Teater Kampus Bogor, Festival Drama Basa Sunda, Festival Drama Perjuangan dan Festival Teater Madya. Di sana hampir setiap bulan—Dipokersen, RAS, Karoeng, Diksatrasia, USB, dan teater-teater SMA—bergantian mengadakan pentas tunggal. 

Gedung Kamuning Gading dulunya penuh suara. Penuh tubuh. Penuh ide. Tapi sekarang? Ia kosong. Mati. Dibiarkan busuk oleh apatisme pemerentah kota yang lebih sibuk mengecat trotoar daripada merawat ingatan.

Gedung Kamuning Gading telah dijajah. Bukan oleh musuh dari luar. Tapi oleh ketidakpedulian yang lahir dari dalam. Dari mereka yang seharusnya menjaga. Tapi memilih menelantarkan. Yang seharusnya menyiram. Tapi malah mengeringkan. Maka tak heran, belakangan Gedung ini tak lagi menjadi ruang hidup, tapi sekadar bangunan kosong yang kehilangan ruh. Dan dari kekosongan itu, yang dicuri dari kitai bukan hanya tempat. Tapi juga semangat. Imajinasi. Identitas kolektif.

Adakah yang lebih tragis daripada ketika pemerentah kota membiarkan warganya kehilangan imajinasi dan identitasnya?

Inilah yang membuat kasus Kamuning Gading bukan sekadar kisah tentang gedung tua. Tapi kisah tentang bagaimana Bogor kehilangan jiwanya karena keputusan-keputusan yang tampak teknis. Namun sebenarnya politis dan ideologis.

Tragedi Kota Yang Kehilangan Imaji

Menelantarkan Gedung Kamuning Gading bukan sekadar soal birokrasi. Atau menyoal administratif. Ini adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap kita. Hak warga kota. Dalam kerangka teori hak atas kota yang digagas Henri Lefebvre (2000), di sana dijelaskan bahwa, setiap warga kota berhak untuk mengakses ruang yang memungkinkan mereka berinteraksi dan berkembang secara sosial dan budaya. 

Ketika pemerentah kota memilih untuk mengalihkan fungsi ruang budaya menjadi urusan birokrasi yang steril. Mereka tidak hanya merampas ruang fisik. Tetapi juga hak kita untuk mengalami seni. Berkolaborasi dalam komunitas kreatif dan menumbuhkan identitas bersama kita sebagai warga.

Pengalihan fungsi ini adalah cerminan dari kecenderungan yang lebih besar—sebuah pengabaian terhadap pentingnya seni dalam pembangunan sosial. Charles Landry dalam teori creative city-nya (2000) menekankan, bahwa ruang budaya adalah inti dari sebuah kota yang hidup dan berkelanjutan. 

Ketika pemerentah terus mengorbankan seni dan budaya demi efisiensi administratif. Maka mereka merusak potensi ekonomi dan sosial yang justru lahir dari kebudayaan. Sebuah kota yang tidak memberi ruang bagi seniman dan kegiatan budaya, sesungguhnya sedang menggali kubur bagi jiwanya sendiri. Dan dampaknya bukan hanya ideologis. Tetapi juga sangat nyata dan sosial.

Selain itu, kebijakan semacam ini hanya memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada. Dengan semakin terbatasnya ruang seni yang dapat diakses oleh masyarakat, terutama kalangan muda dan komunitas seni lokal, kita akan semakin terpinggirkan. Alih-alih mendukung perkembangan kita sebagai warga kota, kebijakan pemerentah ini justru semakin mengasingkan kita ke ruang-ruang yang lebih sempit dan berbayar. 

Jika ruang seni hilang. Maka suara-suara kreatif yang selama ini memberi warna pada kehidupan sosial Bogor juga akan lenyap. Ini adalah fenomena yang tidak hanya mengancam keberlanjutan seni. Tetapi juga keberagaman budaya kota Bogor itu sendiri.

Tetapi jelas fenomena ini tidak berdiri sendiri. Apa yang terjadi pada Gedung Kamuning Gading adalah bagian dari tren yang lebih besar di Indonesia. Di mana ruang-ruang seni dan budaya semakin tergerus oleh kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan pragmatis. Saat negara terus mengabaikan kebutuhan ruang budaya, mereka tidak hanya mengurangi kualitas hidup warga. Tetapi juga merusak keberagaman sosial dan budaya yang ada. 

Ketika ruang budaya hilang, apa yang tersisa hanyalah kota yang kering. Tanpa jiwa dan tanpa identitas.

Kehilangan Gedung Kamuning Gading adalah sebuah tanda peringatan. Ini adalah saatnya bagi kita sebagai warga Bogor bertanya pada diri sendiri: Apa arti menjadi warga kota, jika tidak punya ruang untuk menulis, menari, melukis, dan bersuara? Apa makna menjadi manusia kota, jika hanya dibatasi menjadi konsumen ruang dan bukan pencipta ruang?

Apakah kita rela membiarkan ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat bernaungnya seni dan budaya diambil alih untuk kepentingan sesaat? Jika kita membiarkan hal ini terus terjadi, maka kita sedang membiarkan kota kita kehilangan nyawanya, dan itu adalah kerugian yang tidak akan bisa diperbaiki. Bahkan berpuluh-puluh tahun kemudian.

Maka dalam menghadapi tantangan ini, kita harus berpikir lebih jauh dari sekadar fungsi utilitarian ruang. Kita perlu menjaga keberadaan ruang budaya. Tidak hanya sebagai tempat fisik. Tetapi sebagai simbol identitas dan kekuatan sosial.

Tanpa ruang seni, kita tidak hanya kehilangan pertunjukan dan pameran. Tetapi kita juga kehilangan kesempatan untuk membangun kota yang penuh kreativitas, solidaritas, dan kehidupan. Ini bukan hanya tentang gedung-gedung. Ini adalah tentang hak kita sebagai warga untuk hidup dalam sebuah kota yang mendukung seni, budaya, dan kreativitas.

Dan kalau gedung itu akan benar-benar dibiarkan runtuh oleh penguasa4. Maka biarlah kita, warga kota, yang berdiri di atas reruntuhannya—sambil bersumpah: kita akan membangun ulang kota ini dengan puisi dan darah.

Catatan:

1Perlu riset mendalam untuk mengetahui sejarah keberadaan Gedung Kamuning Gading berasal. Di satu tulisan, ada yang bilang Kamuning Gading adalah kelanjutan dari Gedung Nasional yang didesain oleh F. Silaban (Selayang Pandang Sejarah Kota Bogor, 2017), Tapi di tulisan ini, ada yang bilang gedung ini baru berdiri di tahun 1980-an dan diresmikan oleh Wali Kota Suratman.

2Perlu ada riset lebih mendalam perihal kesenian atau kolektif apa saja yang memang pernah menjadikan gedung Kamuning Gading sebagai ruang hidupnya. 

3.Beberapa juga telah diarsipkan dan diunggah oleh @bogormusicarchive di akun instagramnya. Arsip perihal ini juga tersebar di zine-zine yang terbit saat acara hc/punk digulirkan. Tapi karena terbatas tentu sulit untuk bisa menemukan untuk bisa membacanya kembali.

4.Saat tulisan ini ditulis, bertepatan dengan berita yang keluar dari Radar Bogor yang memberitakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) sudah mau merevitalisasi Gedung Kamuning Gading pada 2026 dengan anggaran yang dibutuhkan sebesar 10 milyar.