Bogor Creative Center Sudah Mati, dan Gubernur Jawa Barak yang Membunuhnya

Bogor Creative Center Sudah Mati, dan Gubernur Jawa Barak yang Membunuhnya

dok. local architecture bureau


Baru saja angin kabar berembus: Bogor Creative Center, ruang yang mestinya jadi tempat hidup bagi ide-ide liar, komunitas kecil, teater kecil, sablon manual, ruang rapat para peragu dan para pemimpi—diinstruksikan untuk diubah jadi kantor Samsat atau kantor pajak.

Belum terjadi. Tapi arah sudah jelas. Tangan kekuasaan sudah menggaris denahnya. Dan setiap kita yang pernah masuk ke gedung itu—melihat rekan-rekan kita mendiskusikan buku, membuat event kolektif, membuat film pendek, atau sekadar duduk memeluk keresahan hidup—pasti tahu: ini bukan berita biasa. Ini alarm kematian berikutnya.

Karena kita tahu persis pola mereka: dimulai dari instruksi, lalu jadi fakta. Dimulai dari pembiaran, lalu jadi pemakaman.

Contohnya sudah ada: Gedung Kamuning Gading.

Sebelum Bogor Creative Center jadi korban selanjutnya, Kamuning Gading sudah lebih dulu dibunuh. Pelan. Tanpa darah. Tapi mematikan. Dibiarkan mati dalam kesengajaan. Tidak dirawat. Tidak difungsikan. Tidak diselamatkan. Karena mereka tahu: ruang yang terlalu hidup, ruang yang terlalu organik, ruang yang terlalu dekat dengan denyut warga adalah ruang yang berbahaya.

Dan apa yang bisa lebih membahayakan negara selain ruang bebas tempat warga berpikir dan bersuara?

Lalu kita diberi narasi: bahwa Bogor Creative Center “tidak optimal”, “tidak sesuai regulasi”, “tidak ada dana operasional”. Omong kosong! Mengapa saya sebut omong kosong? Sebab kantor dinas, posko pemilu, mobil Dinas baru, hingga papan iklan partai menjamur terus dengan banal.

Mereka tidak kekurangan uang. Mereka hanya kekurangan imajinasi dan takut pada imajinasi kita. Karena kota ini sedang mereka desain ulang: bukan untuk hidup, tapi untuk didata. Bukan untuk tumbuh, tapi untuk dipetakan. Dilayani. Diarahkan dalam logika kuasa.

Bogor Creative Center—meski baru seumur jagung—adalah benih kreativitas, benih kebudayaan. Tapi alih-alih disiram dan disinari, benih ini sedang dialihkan menjadi mesin. Menjadi kantor Samsat. Atau kantor pajak. Atau mesin pencatat, mesin penarik, mesin pendata, bahkan tak mustahil akan menjadi mesin korupsi.

Karena kreativitas tak dianggap menghasilkan cuan. Tapi pajak, ya, cuan yang sangat bisa dihitung, dimasukkan ke kas, dijadikan dasar pembangunan yang kering dan tuli. Dan kekuasaan memang selalu lebih cepat mencium uang ketimbang mencium harapan, apalagi geliat kesenian berikut kebudayaan.

Jadi, kita tunggu apa lagi? Apakah kita akan menunggu BCC bernasib seperti Kamuning Gading—menjadi rumah kosong, berselimut debu, lalu dijual murah atas nama efisiensi? Apakah kita hanya akan jadi saksi sunyi kota yang kehilangan jiwa?

Atau kita mulai berdiri. Mencoret plang nama dengan spidol tebal. Menempel poster-poster marah di temboknya. Memekik di lorong-lorongnya bahwa kota ini bukan milik negara. Tapi milik kita yang tumbuh di dalamnya.

Sudah cukup kita menjadi penonton. Sudah cukup kita tunduk pada logika pembangunan yang mengebiri warga. Kita tidak minta banyak. Hanya ruang untuk hidup. Untuk berpikir. Untuk tumbuh. Dan jika mereka tetap merampasnya, kita tidak punya pilihan lain, selain merebut balik.

Karena kota ini bukan hanya gedung-gedung. Bukan kantor. Bukan pajak. Kota ini adalah suara. Dan kita adalah suaranya.