Panembrama Orakel & Orasi Kebudayaan

Panembrama Orakel & Orasi Kebudayaan

Panembrama

Adalah suatu orakel kebudayaan, ketika kita membicarakan tentang ruang kesenian di Bogor (baca: Kota Bogor & Kabupaten Bogor). Adalah suatu orakel kebudayaan pula, ketika kita mencari data-sumber apa dan bagaimana ekosistem kesenian di Bogor dari waktu ke masa. Adalah suatu kesia-siaan, apa yang akan kita dapati bersama. Dan adalah suatu kesia-sialan pula, apa yang akan kita hadapi bersama.

Di sini saya memilih kata orakel untuk merefleksikan situasi-kondisi bagaimana ajaibnya kesenian di Bogor berikut ekosistemnya, yang walaupun diterpa kabut dan diguyuri hujan terus-menerus, kehidupan kesenian di Bogor setidaknya masih bisa tumbuh-berkembang dalam arus alternatifnya, dalam kemiskinan jalan panjang sejarah arsip-dokumentasinya, dan masih sanggup bertahan di bawah naungan kesengsaraannya. Entah leluhur macam apa yang menjaga jalan panjang kesenian Bogor yang begini nasibnya. Entah anak-cucu kesenian Bogor macam apa yang dianugerahi kesabaran atas warisan nasib yang begini tragisnya, tanpa ada usaha untuk merubah masa depan hidupnya bersama-sama.

Saya rasa problematika yang terpenting dalam fenomena ini adalah ketiadaan arus utama, dalam hal ini fungsi Dewan Kesenian Bogor, menyebabkan ketiadaan kesadaran kita akan pentingnya arus utama dalam kancah kesenian. Ekosistem kesenian di Bogor, jika meminjam gaya ungkap Rendra, merasa dirinya gagah dalam kemiskinan. Kegagahan yang miskin itu membuat kita tidak menyadari mengapa begini ekosistem seninya, mengapa sebegini miskin fasilitasnya, dan mengapa kita masih bertahan di dalam pengkaryaan arus alternatif yang sejatinya hanya berjalan di tempat masing-masing, di tiap kelompok-individu masing-masing, tidak sampai pada suatu ledakan-guncangan yang besar secara bersama-sama.

Maka, bukankah sudah waktunya orakel kebudayaan semacam itu kita dobrak menjadi suatu orasi kebudayaan? Bukankah sudah saatnya diperlukan suatu orasi kebudayaan ketika kita membicarakan tentang ruang kesenian di Bogor (baca: Kota Bogor & Kabupaten Bogor), ketika kita membahas data-sumber apa dan bagaimana ekosistem kesenian di Bogor dari waktu ke masa? Dan saya rasa, merupakan suatu kewajiban kita semua untuk menyelenggarakan simposium secara terbuka (baik Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor), membikin kajian bersama-sama secara terbuka publikasinya, dan sekaligus menagih tata ruang kebudayaan yang jelas, memadai, dan inklusif, tepat di momen Hari Jadi Bogor ke-543 ini.

Inilah saatnya, dan sudah waktunya kita mempertimbangkan kembali fungsi pemerintahan, fungsi mereka yang duduk sebagai panembahan di Bogor: apa tugas mereka di dalam kerja kebudayaan dan kesejarahan Bogor, yang di dalamnya tentu saja terhimpun dimensi kesenian. Inilah saatnya, dan sudah waktunya kita meninjau ulang sejauh mana mereka peduli terhadap kebudayaan dan kesejarahan, yang di dalamnya tentu saja terhimpun sebundel ilmu-pengetahuan.

Dengan meneroka sakitnya kondisi dan kelayakan ruang aktivasi kreatif-rekreatif Kamuning Gading, Gedung Kesenian Tegar Beriman, dan polemik alih-fungsi Bogor Creative Center itulah muatan inti bahasan untuk kita bisa meninjau serta mempertimbangkan ulang seberapa pentingnya forum diskusi terbuka atau suatu simposium bersama, suatu orasi kebudayaan bersama, ketika kita menagih tata-ruang kebudayaan kepada pihak pemerintah sebagai fasilitator, sebagai abdi-rakyat kebudayaan. Tidak perlu dijelaskan kembali bagaimana geliat komunitas, kelompok, bahkan persona yang bergiat di Bogor: dari sastra, musik, teater, rupa, film, dan sebagainya itu, sebab mereka sudah mapan sejak dalam pembelajaran ruang alternatifnya dan kelompoknya masing-masing.

Yang teramat penting dan perlu ditekankan adalah maukah kita bersama-sama berkumpul di suatu forum diskusi (ririungan) dengan konsep simposium untuk membahas miskinnya tata-aktivasi-ruang kebudayaan tersebut, dan agar sesegera tobat untuk mulai mengumpulkan secara bersama-sama dokumentasi yang hilang-lenyap menyangkut jalan panjang kesenian di Bogor? Di dalam simposium itulah wahana pegiat kreatif, seniman-budayawan dari setiap penjuru Bogor ini berkumpul-berorasi dan menyajikan tinjauan-kajiannya masing-masing mengenai konsep tata-ruang kebudayaan Bogor ini ke depan akan seperti apa dan bagaimana, disaksikan langsung oleh pihak pemerintah terkait sekaligus mereka yang menjadi panembahan di Bogor. Dengan demikian, dialektika serta refleksinya akan terarah-tepat, terstruktur, dan mencapai hasil terbaiknya secara bersama-sama. Suara-suara kecil yang terhimpun menjadi ledakan bersama itulah jalan keluar untuk kita bisa mendobrak orakel kebudayaan yang merasuki kehidupan kesenian di Bogor sampai hari ini.

Orakel & Orasi Kebudayaan

Saudara-saudariku yang kreatif-inovatif.

Propaganda simposium ini tidak perlu saya uraikan jika Dewan Kesenian Bogor hidup sebagaimana tugas dan fungsinya. Sebab, dibentuknya Dewan Kesenian Bogor berikut kota-kabupaten lainnya di Indonesia, mengacu kepada Dewan Kesenian Jakarta sebagai cikal-bakalnya (baca: Meninjau Posisi, Mereposisi, dan Merevitalisasi Dewan Kesenian Bogor), yang bertugas sebagai jembatan antara masyarakat seniman-budayawan kepada pihak pemerintah/panembahan di Bogor. Matinya Dewan Kesenian Bogor itulah titik-tumpu kita untuk sesegera mungkin mengadakan simposium bersama, membahas tata-ruang kebudayaan dan ekosistemnya, sekaligus merevitalisasi-menghidupkan kembali Dewan Kesenian Bogor dari dalam kuburnya.

Tidak perlu bertanya apakah dengan simposium atau forum diskusi bersama semacam itu akan berhasil memecahkan segala permasalahan kesenian di Bogor berikut ekosistem dan tata-ruangnya. Kemustahilan Sumpah Pemuda saja yang mengais berbagai suku, ras, agama, dan bahkan tiap pulau di Nusantara itu berhasil membikin suatu bangsa yang satu, suatu bahasa persatuan. Atau lainnya lagi, geliat reformasi yang menggulingkan kekuasaan Soeharto misalnya. Jadi, hapuslah sejak dalam pikiran kita untuk mempertanyakan kemungkinan yang hanya menghambat jalannya suatu perubahan. Ini hanya skala kota-kabupaten Bogor, skala kecil bagi kemustahilan atas pertanyaan-pertanyaan remeh, apalagi bagi suatu kegagalan.

Ekonomi Kreatif kota-kabupaten Bogor (Reka & Kabekraf) bukan suatu ruang yang didesain untuk menjembatani masyarakat seniman-budayawan kepada pihak pemerintah, mereka hanya ruang kecil eksklusif yang bertugas mengelola dan memasarkan suatu produk kreatif saja. Jelas, kita tidak bisa berharap pada mereka. Dan tentu saja kita juga tidak bisa berharap pada salah-satu kelompok untuk mereka bisa menghadap dan menggedor-menagih tata-ruang kebudayaan itu sendiri. Kita perlu kehadiran Dewan Kesenian Bogor. Atau kita perlu bersama-sama, dengan serangkaian diskusi dan kajian terlebih-dahulu, barulah menghadap-mendobrak sekaligus membikin simposium bersama untuk memecahkan masalah kecil namun teramat penting ini.

Saudara-saudariku yang berseni-berbudaya.

Kebudayaan adalah kerjaan banyak orang, kata Umar Kayam. Dan adalah juga tugas kita bersama-sama untuk meninjau serta mempertimbangkan kebudayaan. Di satu sisi, kita tidak bisa melemparkan sepenuhnya tugas ini kepada Dinas Kebudayaan Kota dan Kabupaten Bogor. Jelas, mereka hanya fasilitator. Tapi, di sisi lain, seharusnya merekalah yang bertugas untuk mendokumentasikan, merancang-menata, mewadahi apa-apa yang berkaitan dengan kebudayaan. Maka, polemik tata-ruang kebudayaan di Bogor ini merupakan bagian dari tugas mereka untuk menjembatani masyarakat seniman-budayawan kepada pihak pemerintah. Bahkan, seharusnya merekalah, bersama Dewan Kesenian Bogor itu, yang pada mulanya berdialog kepada pihak pemerintah terkait mengenai permasalahan fasilitas kebudayaan berikut memecahkan suatu masalah yang menimpa ekosistem kesenian di Bogor ini.

Jika kedua ruang itu, maksudnya Dinas Kebudayaan dan Dewan Kesenian Bogor tidak bisa memecahkan masalah, langkah apalagi yang mesti kita tempuh selain mengadakan simposium bersama? Di lapangan sejarah, sebagaimana kita amini bersama, sejak Pakuan Pajajaran runtuh, Tanujiwa mengambil inisiatif sebagai peletak dasar hunian Bogor, dengan membabat hunian bekas Pakuan Pajajaran dan mendirikan Kampung Baru sebagai cikal-bakal Bogor kita hari ini. Artinya, mesti ada tumbal untuk membikin suatu perubahan. Pertanyaannya, siapa yang mau menumbalkan diri untuk perubahan ekosistem kesenian di Bogor? Atau, kelompok/komunitas apa dan siapa yang mau memulai menginisiasi-mengundang kelompok/komunitas berikut pegiat-kreatif seni lainnya untuk membikin titik-temu bersama agar tercipta simposium tersebut?

Mari kita tengok tahun 1971(?)/1973(?), ketika serangkaian Sidang Paripurna mengenai penetapan Hari Jadi Bogor, DPRD Kota dan Kabupaten Bogor membikin titik-temu bersama di Gedung Merdeka. Dengan serangkaian analisis-kajian yang berpijak pada data-sumber sejarah tentang perayaan Ibukota Pakuan Pajajaran sekaligus penobatan Prabu Siliwangi itu, mereka akhirnya membuahkan kesepakatan bahwa Bogor berpijak pada peristiwa tersebut, tepatnya mengacu pada tanggal 3 Juni 1482 yang kini pada tahun 2025 akan diperingati sekaligus dirayakan hari jadinya yang ke-543. Itu artinya, geliat forum diskusi dan simposium adalah cara jitu untuk kita bisa membuat suatu perubahan bersama yang tentu saja hasilnya disepakati secara bersama-sama.

Suadara-saudariku yang cerdik-cendekia.

Saya rasa, nyanyian sumbang penghormatan untuk saudara-saudari sekalian ini saya cukupkan di sini saja. Selanjutnya, adalah saudara-saudari sekalianlah yang menentukan nasib kebudayaan berikut kesenian di Bogor itu sendiri mau seperti apa dan bagaimana. Adalah keputusan saudara-saudari sekalianlah yang dapat menentukan masa depan ekosistem kebudayaan berikut kesenian Bogor ini akan seperti apa dan bagaimana. Dan adalah hanya kepada saudara-saudari sekalianlah nyanyian sumbang penghormatan ini saya persembahkan.

  • Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.

    Lihat semua pos