Foto: Halimun Salaka
: Menziarahi Arca Domas dan Gunung Padang
Sebelum masuk-tenggelam ke Situs Arca Domas dan Situs Gunung Padang, saya akan membuka catatan ini dengan kutipan pantun Bogor berjudul, “Dadap Malang Sisi Cimandiri”, begini bunyinya: Pun, Sapun! Ka luhur: Ka Bale Agung, Ka Papayung Pamunjang Anu Nunggal di Mandala Agung! Ka handap: Ka Batara pangraksa jagat, Ka Batari penghurip-numi, Ka Ambu Sari Pohaci, Ka Nyi Sri Ambu Pangasih. Dalam terjemahan bebasnya, saya memaknainya menjadi, begini: Sang Maha Pencipta (Allah SWT) menciptakan langit yang diperandai sebagai Bapak — wujud-zat (atas kehendak-Nya) yang menjaga serta memelihara Bumi sebagai Ibu, dan lalu dalam (kasih-sayang) rahimnya melahirkan kehidupan.
Mengapa saya membuka catatan ini dengan pantun? Saya merasa bahwa, ketika menyusuri kehidupan Nenek-moyang Sunda, kita mesti kembali ke jalan alam (semesta-Nya) dan menyatu bersamanya. Sebab leluhur Sunda mempunyai pegangan hidup yang terhimpun dalam Sastra Jen Ra Hayu ning Rat Pangruwat ing Diyu (yang mengalami pemangkasan istilah menjadi Sasajen atau Sajen). Akibat jagat kehidupan terlampau luas bagi diri kita yang amat sangat kecil ini, Nenek-moyang kita lalu menyadari hal itu, dan-lalu menciptakan pengandaian-pembelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus dipahami oleh anak-cucunya ketika ingin menziarahi peradaban silam Nenek-moyangnya, juga kebesaran Tuhannya.
Terciptanya Sastra Jen Ra Hayu ning Rat Pangruwat ing Diyu yang sampai saat ini masih diburu, ditelusuri, dicari-cari oleh anak-cucunya, menyangkut kebenaran mutlak isinya, bagaimana muatan maknanya, dan seterusnya, melahirkan banyak sekali pemaknaan yang beragam. Menurut sebagian para pakar budaya Sunda, dan saya setuju akan hal itu, yang mana memaknainya sebagai wahana-pembelajaran membaca-mengamati tulisan (Sang Maha Pencipta) alam-semesta, yang berada dalam diri kita (manusia) menjadi zat-zat tanah (raga), air (darah), api (hawa-nafsu), udara (roh), dan yang berada di luar diri kita (jagat semesta).
Memangnya, apa hubungannya dengan menziarahi Situs Arca Domas dan Situs Gunung Padang? Dengan prosesi di atas, ketika menziarahi Arca Domas dan Gunung Padang, membawa saya untuk belajar membaca-mengamati untuk apa peninggalan Nenek-moyang kita itu ada, dan apakah peninggalannya itu mampu menjadi pembelajaran dalam hidup kita dewasa ini, dan seterusnya. Karena saya menyadari, di masa kita yang serba-serbi ajaib dan cepat ini, tentu tidak lepas dengan peradaban pembaharuan-pembaharuan apa yang sudah dialami Nenek-moyang kita sendiri semasa hidupnya. Eiii, apa buktinya?
Situs Arca Domas (biasa disebut Salaka Domas) dan Situs Gunung Padang-lah bukti (biasa disebut Situs Nagara Padang) yang menyiratkan peradaban-hidup pengembaraan-manusia (lebih khusus manusia-sunda), tidak hanya meninjau secara badaniah-raga tetapi juga mendalami nilai rohaniah-jiwa, atau yang sering kita sebut perjalanan lahir dan batin – mengisyaratkan proses pencapaian manusia dalam laku hidupnya. Begitulah bayangan saya ketika menziarahi kedua tempat tersebut, yang lalu saya padukan dalam falsafah hidup manusia-sunda, istilah “jelema” (orang/seseorang) dengan “manusa” (manusia).
Pemaknaan semacam itu tentu tergantung tujuan untuk apa dan bagaimana seseorang mengemukakannya, dan saya memaknainya menjadi, begini: pertama, jelema, diumpakan ketika seseorang lahir (bayi menuju remaja) – ia baru menjelma sebagai makhluk, (memungkinkan) belumlah menjadi manusia seutuhnya. Sebab, seorang yang baru lahir itu, mesti menempuh-menjalani ilmu-pengetahuan-hidup agar terbentuk siapa dirinya, untuk apa ia dilahirkan, dan mengalami pengembangan diri, lahir maupun batin.
Kata kedua, manusa, mengandaikan kondisi manusiawi yang telah sampai pada proses panjang dan tujuan hidupnya (dari remaja ke masa tua). Kondisi manusiawi dalam kata “manusa” diterangkan dengan hakikat kamanusiaan. Hakikat ini berisi tiga pencapaian: ada yang beranggapan, pertama kepada Yang Maha Kuasa pemberi kehidupan, lalu kepada orangtua sebagai “sebab” keberadaan (cukang lantaran), dan kepada alam sebagai sesama mahluk dalam jagat kehidupan.
Pencapaian atau perjalanan di atas menggambarkan secara kodrat manusia mampu mewujudkan “kasampurnaan”. Maksud kesempurnaan ini tentu dalam konteks tugasnya untuk memelihara dan menata dirinya, sesama manusia, kepada alamnya, dan-lalu berdasarkan kekuasaan yang dititipkan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa. Atau dalam pengandaian lain, kesempurnaan memang mengandaikan kelebihan manusia dibandingkan mahluk lainnya, sebagaimana hewan dan tumbuhan misal. Kelebihan itu justru menjadi amanat dan mandat yang sewajarnya diwujudkan karena kodrat yang didapat manusia, dari wujud keutamaan, sikap hidup, dan perilaku yang mulia.
Perjalanan hiduplah (seperti uraian di atas) yang dapat saya (mungkin kita) petik dari kedalaman memaknai apa yang dapat diperoleh sebagai anak-cucu di masa kini ketika melihat Arca Domas dan Gunung Padang. Perwujudan peninggalan itu menyiratkan peristiwa kembali ke diri dan mengalami “gumulung” dengan Yang Maha Kuasa dan semesta-Nya. Walau, tidak menutup kemungkinan, kedua tempat itu sudah banyak diteliti dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan, dan memang yang menarik dari Arca Domas dan Gunung Padang, semenarik bagaimana ilmu pengetahuan bisa timbul dan hadir dalam metode-metodologi-mitologi yang logis dalam kesinambungan dengan kajian ilmu pengetahuan hari ini, ternyata bisa ditinjau-maknai lewat kedua tempat tersebut.
Itulah perjalanan atau “nyukcruk galuran” saya bersama Kawan-kawan Halimun-Salaka, yang menemukan gambaran silam Nenek-moyang dalam wujud lain, nama lain, dan makna lain dari batu-batuan yang (di-waris-tinggalinya) ada di Arca Domas dan Gunung Padang. Batu-batuan itu, dalam manusia-sunda, dapat dimaknai sebagai buku yang di dalamnya terdapat bahasa dan cerita untuk dimaknai isinya. Mungkin itulah mengapa sebagai anak-cucu (manusia-sunda) kita dianjurkan untuk membaca-semesta dan membaca jauh ke dalam diri dan bahkan ke luar diri. Terjadilah muara dari membaca alam-semesta (jagat raya) dan diri sendiri itu bisa kita sirat-suratkan menjadi: ada dahulu – ada sekarang, ada kehidupan – ada kematian – dan ada yang menghidup-ciptakan, dan sebagainya, pula seterusnya.
Oleh sebab itu, ketika masuk ke dalam diri melalui cerminan Arca Domas dan Gunung Padang, entah mengapa saya merasa malu sudah lahir dan hidup di Kota yang bernama Bogor ini (lebih luas tatar parahiyangan), dan dikaruniai sebagai anak-cucu manusia-sunda. Malu tersebut tentu dalam arti lain, disebabkan ketidak-mengertian saya terhadap kehidupan Nenek-moyang saya sendiri, ketidak-mampuan saya menelusuri jejak-arsip yang lengkap menyangkut ceritanya, dan tentu kebodohan saya yang akhir-akhir ini baru menyadari pentingnya menziarahi semua rahasia yang menjadi peninggalan peradabannya. Berbekal keriuhan di dalam diri itulah, akhirnya saya mencoba melihat-membaca Arca Domas sebagai Arca yang ada di dalam diri, dan juga melihat-membaca Gunung Padang sebagai Pegunungan yang ada di dalam diri sendiri.
Arca Domas – Arca Diri
Situs Megalitikum Arca Domas terletak di Kampung Cibalay RT 03 – RW 05, Desa Tapos 1, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Luas kawasan ini sekitar (kurang-lebih) 1 hektar. Secara topografis, kondisi kawasan tersebut terletak di hulu Sungai Cisadane yang merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian rata-rata antara 700-900 mdpl. Kata Arca Domas sendiri berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti “800 Patung” (namun anehnya tidak ada patung di area arca domas, hanya terlihat batuan-batuan berundak yang memang menyimbolkan beberapa ikon, seperti Singgasana Raja, Kujang, Harimau, Gunung Salak, Gede-Pangrango, dan lain sebagainya), belum ada yang menghitung pula ada berapa jumlah batu-batuan yang berada di sekitar situs ini.
Atau lebih tepatnya, Arca Domas berada di Kawasan yang bernama Situs Cibalay, yang terdapat 8 situs, terdiri dari Arca Domas, Situs Bale Kambang, Jami Paciing, Batu Bergores, Cipangentehan, Kebon Kopi, Endong Kasang dan Pasir Manggis. Tentu, tidak menutup kemungkinan masih terdapat beberapa situs lagi yang masih terpendam di kawasan Situs Cibalay ini. Dari 8 situs tersebut, situs paling luas yang ditemukan di kawasan Situs Cibalay merupakan Situs Arca Domas, yang mana hendak saya urai-paparkan di sini, dan menjadi fokus refleksi-penziarahan.
Ketika menziarahi Situs Arca Domas, saya ditemani langsung oleh juru-pelihara, Kang Deni. Ia menjelaskan, menurut catatan dari pihak Kebo Bule, situs Arca Domas ini dilaporkan pertama kali oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844) lalu Muller (1856) dan yang terakhir oleh N.J. Krom dalam “rapporten Oudheidkundigde Dienst” tahun 1914. Dalam hati, lalu saya bergurau: ketika mereka melaporkan kepada Pemerintah Hindia-Belanda, para peneliti asing itu tentu hanya melaporkan, yang menemukan temuan peninggalan Arca tentulah hasil temuan masyarakat kita. eih! Benarkah demikian?
Sambil-lalu diselang-seling “nyaneut”, Kang Deni lalu melanjutkan penjelasannya bahwa, kondisi tinggalan berundak Situs Arca Domas ini memang tidak terlalu utuh, beberapa bagian sudah rusak, terutama bagian tangga naik dari bagian terbawah di sisi utara menuju bagian yang lebih tinggi mengarah ke sisi selatan. Bagian tangga naik yang masih tersisa terhitung hanya beberapa anak buah anak tangga yang terbuat dari susunan batu andesit berbentuk lempengan.
Berdasarkan hasil pengamatan dan penjelasan Kang Deni, jenis dan bentuk bahan batuan yang digunakan untuk menyusun punden berundak Arca Domas dapat disimpulkan bahwa punden berundak tersebut masing-masing undakannya terbuat dari batu andesit berbentuk lempeng, begitu juga dengan menhir-menhir yang terdapat di masing-masing undakan, diantaranya ada yang dibuat dengan bentuk persegi dan juga dengan bentuk menyerupai kujang, bentuk kepala binatang, Gunung Salak, Singgasana, dan masih banyak yang lainnya.
Masyarakat lokal percaya, peninggalan megalitik ini berkaitan erat dengan pemujaan arwah nenek moyang, berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara kehidupan dan kematian. Ada kemungkinan punden berundak di lokasi ini sempat dipakai pada masa kerajaan, salah satunya Kerajaan Sunda Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1485-1521 M) yang mendirikan istananya di Pakuan atau Bogor saat ini. Lanjut menurut cerita dari masyarakat setempat, kemungkinan itu bahkan mereka anggap logis, jika Pajajaran sudah memanfaatkan kawasan Situs Arca Domas (lebih luasnya Cibalay) sebagai salah satu tempat peribadatan dan aktivitas lainnya, disebabkan masyarakat Sunda percaya bahwa Sundapura (daerah pegunungan) merupakan tempat sucinya orang Sunda.
Di mata seorang awam, begitu pula di mata saya, ketika melihat situs ini memang seperti terdiri dari berbagai macam bentuk batu-batuan saja, namun di mata arkeolog tentu lain hal, mereka melihat batu-batuan di situs ini memiliki nama dan bentuk—sebagaimana punden berundak, batu datar, batu gores dan menhir. Situs ini pula dibagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing letaknya dihubungkan oleh anak tangga. Tiga bagian tersebut, lalu saya padu-kaitkan dengan Pikukuh-Sunda, yang mempunyai metode tempat Resi, Ratu, dan Rama. Bagian-bagian itu, dianggap menjadi tempat untuk menyatukan Dunia Atas (Buana Nyungcung), Dunia Bawah (Buana Larang), dan Dunia Tengah (Dunia Panca Tengah) yang mana memang disakralkan (dalam hal positif) oleh manusia Sunda.
Lalu apa maksudnya, dari kesinambungan Arca Domas dan Arca Diri? Tiga bagian undakan yang ada di Arca Domas-lah yang saya kaitkan menjadi Arca Diri. Di dalam diri saya (dan mungkin kita semua), tentulah saya menyadari adanya Rama sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas jiwa dan raga. Adanya Resi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan raga. Dan adanya Ratu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kematian jiwa. Di atas semua pemegang kekuasaan tersebut, tentulah pemegang kekuasaan dari segala kekuasaan ialah Hyang Tunggal, Yang Maha Kuasa, Allah SWT.
Sejalan dengan itu, Situs Arca Domas dalam kaca-mata lainnya, sering digunakan bahkan hingga saat ini, banyak rombongan peziarah yang datang untuk tujuan berdoa atau sekedar bertapa dan mengeheningkan cipta dengan membakar dupa. Di sini-lah letak propaganda yang sering kita dengar, banyak yang menyeru mereka memuja batu, dan sebagainya. Sangat disayangkan memang, ketika ada yang beranggapan mereka sedang memuja batu. Sebab, tidak logis dan tidak ilmiah tentunya jika manusia memuja batu, yang dengan kecerdasannya sudah menyadari, bahwa tingkat kekuasaan tertinggi ialah Hyang Maha Gaib: Tuhan.
Doktrin kolonialisme si Kebo Bule yang dibalut doktrin perseteruan agama-lah yang menurut saya, dalam rentang waktu yang sangat lama, bahkan hari ini sebagian masyarakat kita masih percaya jejak leluhur kita sedemikian kuno-mistisnya. Padalah jauh sekali tudingan itu dengan kenyataan yang kita hadapi. Ketika saya jauh mendalami keukeuh ingin mengetahui benarkan Nenek-moyang saya begitu tidak logis dalam laku hidupnya? Ternyata tidak demikian. Nenek-moyang kita (lebih khusus manusia-sunda) sangat religiositas dibalut teknologi hidup yang ajaib, dan kelogisan itu akan saya uraikan tentunya. Saya ambil contoh dengan satu pertanyaan: benarkah fenomena sajen atau sasajen manusia-sunda yang sering dimaknai dengan memuja batu, memuja setan dengan lewat menyediakan makanan atau hasil sumber daya alamnya dalam suatu upacara spiritualnya itu tepat sasaran?
Sajen atau Sasajen bahkan jauh lebih filosofis dari ilmu filsafati Thales, Sokrates, dan lainnya. Sajen (Sastra Jen Rahayu ning Rat Pangruwat ing Diyu), merupakan karya sastra hasil daya cipta para leluhur bangsa kita yang memang tidak menggunakan aksara, melainkan dengan cara meminjam hasil daya cipta Yang Maha Kuasa (Allah SWT) untuk menyampaikan pesan kepada segala lapisan kehidupan di Jagat Agung ini. Hal tersebut tentu saja dilakukan karena adanya kesadaran leluhur kita, bahwa lidah manusia tidak mampu untuk berbicara tentang kebesaran Jagat Raya dan Tuhannya. Dengan sajen atau sasajen itulah, leluhur kita menyampaikan rasa syukurnya kepada Yang Maha Kuasa, ingat bukan kepada batu, setan, atau apalah tuduhannya itu.
Catatan di atas dapat dibuktikaan dengan, bahwa hari ini tidak ada satu orang manusia pun yang mampu membuat: buah kelapa, sebutir padi, setangkai bunga, setetes air, sebutir garam, dan sebagainya yang termuat dari sajen. Pada dasarnya, leluhur kita telah menyadari bahwa dengan Sajen yang dikumpulkan dari ciptaan Tuhan berisi 4 unsur bahasa utama yaitu; Api, Udara, Air, dan Tanah—lalu ditambah dengan berbagai rupa silib-siloka yang terdiri dari benda-benda alam, dengan penjelasan benda-benda alam atau yang hidup di alam, tidak ada satu orang pun manusia yang bisa menciptakannya. Tugas manusia hanya menyusunnya, memanfaatkannya, dan merawatnya. Apakah hal demikian tidak logis di akal-pikiran kita manusia dewasa ini?
Jika masa lalu Nenek-moyang kita digelapkan kebenarannya, dan kebenaran yang kita dapat hanya kepalsuan sejarah-budayanya, kembali-lah ke diri: ada arca diri di sana, ada pegunungan diri di sana, jauh di puncak kesadaran hidup kita. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhan-nya.
Gunung Padang – Pegunungan Diri
Dalam menyusuri pemaknaan Gunung Padang sebagaimana prosesi di atas, pembacaan lanjutan saya akan mencoba mendalami bagaimana leluhur kita menaburkan simbol-pengandaian dalam peninggalannya. Dalam hal ini, saya (bersama kawan-kawan Halimun Salaka) silaturahmi kepada Kang Nanang selaku juru-pelihara di Situs Gunung Padang.
Situs Gunung Padang (terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur) merupakan punden bangunan berundak (diperkirakan) peninggalan zaman prasejarah, sebagaimana Situs Arca Domas. Konon situs ini merupakan salah satu situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Secara wilayah terletak di puncak bukit yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan perbukitan. Di sebelah tenggara terdapat Gunung Melati, di sebelah barat daya terdapat Pasir Empat dan Gunung Karuhun, di sebelah barat laut terdapat Pasir Pogor dan Pasir Gombong, dan di sebelah timur laut terdapat Pasir Malang. Begitulah Kang Nanang, membuka ceritanya.
Ketika melihat struktur Gunung Padang seperti terbagi menjadi 5 teras mengerucut dan dibangun (menurut beberapa peneliti) dengan batuan vulkanik alami yang berbentuk persegi panjang. Teras pertama merupakan teras terbawah dan terluas berdenah segi-empat. Pada jalan menuju teras pertama terdapat beberapa batu tegak di kiri kanan jalan. Di depan pintu itulah terdapat susunan batu berdenah segi empat dan beberapa menhir serta adanya batu lumpang di sudut timur laut.
Sedangkan di teras kedua, tedapat batu-batu tegak berukuran besar. Lalu di teras ketiga, terdapat lima kelompok bangunan yang sebagian besar berupa kelompok batu tegak, sebagian dari batu-batu tersebut telah roboh. Di teras empat, terdapat balok-balok batu pada bagian tengah dan tiga bangunan di bagian timur laut, dan bagian barat daya teras ini berupa tanah kosong. Memasuki teras kelima, merupakan bagian paling atas dari situs ini, terdapat susunan batu tegak yang membentuk ruang segi empat. Terdapat juga tinggalan lainnya berupa tumpukan monolit.
Kalau kita menengok-merujuk pada Naskah Bujangga Manik, Gunung Padang ini diperkirakan merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya dan terus menziarahi apa makna kehidupan. Pangeran tersebut tentulah tidak asing di mata-telinga kita, ialah yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besarnya masih dapat dikenali dan bertahan sampai saat ini.
Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, berada di Inggris. Dari catatan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana, di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang itu sendiri.
Uraian tersebut akan saya padu-kaitkan dengan prosesi bagaimana manusia-sunda dahulu melakukan penziarahannya ketika mengunjungi Gunung Padang itu sendiri. Dimulai dari Mata Air Cikahuripan: mata air gunung ini diibaratkan sebagai air susu ibu, dalam bahasa sunda disebut cai nyusu. Berbicara tentang air, tentulah air sebagai sumber dan asal kehidupan manusia (kondisi dalam rahim janin hidup dari dan dalam cairan). Hampir seluruh tradisi di muka bumi ini meyakini manusia berada dalam kondisi yang bersih. Maksudnya begini, bersih dalam arti suci atau dalam istilah keagamaan putih tanpa dosa.
Karena itu, manusia selayaknya senantiasa membersihkan diri dengan kembali ke air. Air tidak hanya membersihkan tubuh, tapi bisa membersihkan jiwa. Dalam kondisi bersih itu manusia mengalami kehidupan untuk memulai perjalanan spiritualnya. Membersihkan diri dengan mata air Cikahuripan atau cai nyusu, manusia-sunda dahulu memaknai bahwa kehidupan memiliki awal, manusia berasal dari air. Kesadaran akan awal membawa penyadaran akan tujuan hidup. Kehidupan mempunyai tujuan, dan karena tujuan itu lahirlah alasan untuk menghidupi hidup itu sendiri. Ajaib!
Lalu, Lawang Saketeng. Gapura di Gunung Padang konon menyimbolkan penyadaran siapa yang masuk, mengisyaratkan keberadaan diri seseorang akan keterkaitannya dengan Semesta dan Yang Maha Kuasa. Keterkaitan ini disadari melalui doa pembukaan di gapura. Menurut Kang Nanang, rangkaian doa ini menunjukkan bahwa seseorang selalu berkaitan dengan para leluhur (karuhun, orangtua), Semesta dan Yang Maha Kuasa. Keterkaitan itu disimbolkan dengan 9 anak tangga memasuki situs Nagara Padang. Angka 8 mewakili setiap penjuru mata angin dan yang 1 ialah inti dari kehidupan yakni Sang Maha Pencipta.
Doa pembukaan dalam pengandaian di gapura Gunung Padang bertujuan juga untuk mendoakan orangtua dan para leluhur, dan memohon doa mereka untuk perjalanan dan penemuan hakikat diri. Seseorang mendoakan orangtua dan leluhur kepada Yang Maha Kuasa agar amal-bakti yang mereka lakukan sepanjang hidup menjadi keharuman bagi keturunannya. Orangtua atau leluhur itu (karuhun) disatukan dalam jagat-semesta akan menjadi perantara yang menghantar seseorang (anak-cucunya) untuk mengungkap jati-diri dan hakikat diri.
Ada juga Palawangan Ibu. Batu ini diandaikan menjadi simbol atas dan untuk rahim ibu. Keberadaan manusia dan perjalanan hidupnya diawali dengan kelahiran. Kelahiran juga mengingatkan seseorang pada awal dan tujuan hidup. Dengan kelahiran, setiap orang memiliki tugas yang harus dikerjakan. Hal tersebut tentu relevan dengan kita sebagai anak-cucu sebuah bangsa, menemukan dan menjalani takdir. Batu ini pun menandai kelahiran baru bagi seseorang yang memiliki visi dan misi tertentu, dan mempengaruhi bagaimana kemudian kita menyadari bahwa hidup itu sendiri selalu menjadi langkah baru bagi setiap orang.
Lanjut, ada Batu Paibuan. Batu yang konon mengingatkan seseorang pada pengasuhan ibu yang diterimanya pada saat kelahiran, dan pengasuhan ibu yang dialaminya setelah ia “baru lahir”. Pengasuhan ibu berhubungan dengan pendidikan rasa. Maksud rasa inilah yang penting ditumbuhkan karena kepekaan dan kesadaran akan kehidupan itu sendiri berasal dari kemampuan serta kepekaan. Ketika rasa berkaitan dengan pikiran, hasilnya ialah pertumbuhan memandang peradaban, manusia yang berbudaya.
Pengasuhan rasa dikaitkan dengan pendidikan pikiran. Pendidikan pikiran merupakan bagian dari seorang Ayah. Pendidikan pikiran berkaitan dengan penanaman ilmu dalam artian kemampuan teknis dan pengetahuan umum mengenai hidup-kehidupan. Pendidikan Ayah berikaitan dengan derajat martabat kemanusiaan. Seseorang akan belajar mengenal rasa dan pikiran melalui perilaku orangtuanya. Melalui pendidikan Ayah dan Ibu, seorang anak mengenal juga prinsip dan keutamaan melalui teladan. Dengan demikian, seorang anak akan mengalami bahwa prinsip dan keutaman hidup merupakan kekuatan kodrati.
Lalu juga tentang Panyipuhan. Simbol ini diandaikan sebagai tempat pendidikan formal: hari ini bernama sekolah, madrasah atau pesantren. Seseorang dapat mengalami pengembangan dan pembentukan ilmu, watak, karakter dan perilaku dari pendidikan formal. Seseorang mengasah ilmu, mengolah fisik, belajar membentuk watak dan karakter, belajar memperlakukan keutamaan dan prinsip-prinsip hidup dalam pergaulan sehari-hari di sekolah. Seseorang akan belajar mengenal kekuatan kodrati dalam dirinya ketika dia memperlakukan hal-hal yang dipelajari di atas. Kekuatan itu berasal dari Yang Kuasa, dan diberikan agar manusia bertindak sebagai pengemban kekuasaan tersebut dalam menyempurnakan fitrah alam-semesta ini.
Batu Poponcoran. Menyimbolkan tahapan ujian dan kelulusan. Setiap orang pada saatnya akan diuji. Jika seseorang sudah menggali ilmu, mengembangkan dan membentuk diri: watak, karakter dan perilaku, ia harus melewati tahap ujian akhir. Jika ia dapat melewati ujian akhir ini, ia lulus dari sekolah, madrasah atau pesantren. Artinya, ia menyelesaikan tahapan penggemblengan fisik dan mental. Pendidikan telah dialami secara lengkap: pendidikan pikiran, rasa dan tubuh.
Batu Kaca Saadeg. Batu ini mengisyaratkan saat bercermin diri: mengingat identitas dan tujuan hidup. Misal pertanyaan, siapa saya? Apa tujuan hidup saya ini? Apa keinginan saya dalam hidup?. Proses tersebut sering disebut menerawang diri. Refleksi diri semacam itu menentukan tujuan dan keinginan dari makna hidup. Atau dalam bahasa lain, visi dan misi membantu seseorang menyempurnakan diri, atau mewujudkan kemanusiaan dalam dirinya. Karena itu, visi dan misi hidup merupakan tugas yang harus dipenuhi sebagai seorang manusia.
Batu Gedong Peteng. Menyimbolkan pemaknaan diri yang masih gelap dan ingin mendapatkan penerangan atau petunjuk untuk menapaki hidup berdasarkan fitrahnya. Setiap orang harus menentukan hidupnya, sebagaimana dalam pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Hal tersebut penting agar seseorang yang baru saja menyelesaikan tahap pendidikan dapat terus mengembangkan ilmu, watak, karakter dan perilaku.
Batu Karaton. Istana menyimbolkan kedudukan, dan kewibawaan seseorang berdasarkan tugas yang diembannya. Jika seseorang bekerja berdasarkan pekerjaan yang dipilihnya, ia akan mengalami kenaikan tingkat keahlian. Seseorang juga dapat mendapatkan kedudukan berdasarkan pilihan bersama siapa ia akan menjalani hidupnya, nama lain dari membentuk keluarga.
Batu Kutarungu. Menyimbolkan sikap hati yang teguh seperti digambarkan oleh Batunya yang menjulang tinggi. Sikap hati yang teguh akan mendengarkan suara hatinya, dan tidak mendengarkan suara-suara yang dapat membelokkan jalan yang ditempuh untuk mewujudkan impian dan tekadnya. Kearifan hidup manusia-sunda menekankan pentingnya mengenali kemampuan pancaindra bagi kehidupan.
Dan lalu Bumi Agung. Batu yang menyimbolkan sikap menjunjung tanah air atau membela bangsa. Kesadaran bahwa pemilik kehidupan bukanlah diri pribadi, tetapi Yang Maha Kuasa berkoneksi dalam kesadaran kita untuk menjunjung tanah air dan menjaganya. Tanah air dan bangsa meliputi semesta berikut benda dan mahluk yang mengisinya. Dalam arti lain, seseorang mempunyai tugas untuk membaktikan keberhasilannya untuk segenap mahluk dan semestanya. Di sinilah prinsip silih asih, silih asah, silih asuh hendak diwujudkan di tengah-tengah semesta beserta isinya.
Korsi Gading. Batu yang menjadi simbol untuk membaktikan kekuasaan berdasarkan tugas yang diemban untuk merawat dan menata diri sendiri, tanah air dan bangsa, atau semesta. Masih berkaitan dengan Bumi Agung, tempat sejalan dengan makna untuk membaktikan kedudukan berdasarkan tugas untuk menjunjung tanah air dan membela bangsa. Dharma seseorang termasuk membaktikan kedudukan bagi nusa dan bangsa. kedudukan itu akan memunculkan kekuasaan atau kemampuan menata dari dalam diri seseorang. Dan wajib diwujudkan untuk menolong dan membantu sesama, atau secara luas memelihara dan mengembangkan kehidupan. Dengan kata lain, semakin berkuasa seseorang – semakin ia dituntut oleh kodratnya sendiri untuk mengungkapkan welas asih.
Pakuwon Eyang Prabu Siliwangi. Batu ini menjadi simbol untuk mensyukuri prinsip dan keutamaan silihwangi pada zat Yang Maha Kuasa. Batu ini masih berhubungan dengan Batu Bumi Agung, dan Batu Korsi Gading, yang bertujuan menjalani prinsip silih asih, silih asah dan silih asuh dan tentu mesti welas-asih dan silih–wangi-an. Silih-wangi-an yang berarti saling menghormati, saling menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Batu Lawang Tujuh. Menyimbolkan perjalanan menempuh lajur hidup yang sudah ditentukan berdasarkan waktu kelahiran (sering diumpamakan 7 hari). Setiap orang mempunyai jalannya masing-masing untuk mewujudkan capaian hidupnya. Jalan itu tentu sudah diberikan berdasarkan hari kelahiran oleh Yang Maha Pencipta. Tugas manusia untuk menjalani lajurnya sesuai kodratnya, hal tersebut bersemayam jauh di dalam diri manusia.
Padaringan atau Leuit Salawe Jajar. Batu yang menyimbolan lumbung padi (leuit atau padaringan) menandai kesejahteraan manusia dan pencapaian kepenuhan hidup sebagai manusia. Kesejahteraan itu hendak dialami nuansa kebersamaan. Nuansa kebersamaan ini digambarkan dengan posisi sejajar. Di sinilah keutamaan istilah Sapajajaran dikenali. Tugas seseorang yang sudah mencapai keberhasilan dan kedudukan untuk menyejahterakan bumi atau semesta beserta isinya. Menyejahterakan bumi dan seisinya ibarat mengisi lumbung, atau menyediakan sumber kehidupan bagi tanah air dan bangsa.
Puncak Manik. Batu yang menyimbolkan pencapaian dan perwujudan capaian pribadi serta kembalinya atau bersatunya manusia dengan jagat-semesta kekuasaan-Nya. Usaha mewujudkan capaian tentu mengenal batas. Batas itulah puncak keberhasilan dan kedudukan. Dalam bahasa lain, segeralah menggunakan kedudukan dan keberhasilan, atau kemampuan untuk beramal-ibadah, berbakti dan berbagi. Puncak manik juga menyimbolkan pemaknaan kembalinya seseorang pada jatidirinya yang asali. Jati-diri setiap manusia kembali ke asal dan tujuan hidupnya: Yang Maha Kuasa. Peristiwa tersebut lalu kemudian sering kita namai pulang ke ribaan-Nya. Dengan bahasa lain, sebenarnya pencapaian tertinggi usaha dan kekuasaan manusia adalah keunggulan dan kewibawaan yang akhirnya akan kembali.
Begitulah pembacaan simbol yang diutarakan Kang Nanang terkait peninggalan batu-batuan yang ada di Situs Gunung Padang, yang pasti akan luput dan sebagian akan keliru, disebabkan ingatan saya tidak sanggup menampung dan menyimpan semuanya secara rapi. Namun, hal tersebut, tentu saya padu-kaitkan dengan beberapa falsafah manusia-sunda, yang semoga dapat melengkapi kekeliruannya.
ke dalam diri – ke luar diri
Kesatuan ke dalam diri dan ke luar diri, saya kaitkan dengan metafor “Diri”, yang merupakan kesatuan jiwa-raga. Tanpa kesatuan dalam “diri” hidup manusia tentu tidak akan berarti apa-apa. Metafor “Diri” menurut falsafah manusia-sunda merupakan permainan suku kata dari “Da” dan “Ra”. “Da” bermakna semesta dan “Ra” mengarah pada cahaya. Permainan suku kata atau aksara Sunda ini menempatkan “Diri” sebagai “Cahaya Semesta”. Makna permainan kata berdasarkan aksara ini menempatkan “diri” di tengah-tengah. “Posisi tengah” digambarkan dengan metafora-puitik “Buana Pancer Tengah”. Tengah memang sangat mudah diartikan “pusat” dan secara diagramatik pula – tengah selalu mengacu pada pusat.
Konteks buana pancer tengah atau diri sebagai cahaya semesta merujuk pada makna “di antara”. Posisi tersebut agaknya berfungsi menjaga keterjalinan antar unsur yang berada di sekitarnya, seperti kita dan alam semesta ini. Dalam pemahaman ini, kita mencoba melihat diri sebagai cahaya semesta, yang menerangi atau gerak ke luar. Ia bukan pusat yang bersifat menarik atau gerak ke dalam. Dengan bahasa lain, diri manusia hanyalah bagian dari percikan Cahaya Ilahi. Ia hanya dititipi cahaya sebagai kekuasaan untuk menata dan memelihara semesta. Hadirnya metafor buana pancer tengah, sekaligus kata Diri berarti jagat kecil, yang dibandingkan dengan pemangku sejati kekuasaan alam-semesta, Jagat Besar. Dengan kata lain, falsafah manusia-sunda memiliki makna spiritual dari “Diri” yang bermakna luas.
Ukuran pembelajaran diri dapat dilakukan dengan membaca alam dan mengekspresikan hasil pembelajaran (membaca alam itu) dengan perilaku sehari-hari. Dalam konteks inilah Situs Arca Domas dan Situs Gunung Padang dimengerti sebagai sarana pembelajaran. Permainan simbol dalam batu-batuan, memiliki pemaknaan yang beragam, tergantung seseorang mau memaknainya dalam ilmu-pengetahuan apa. Dan penilaian perilaku dikembalikan pada diri sendiri. Oleh sebab itu, kita mengenal istilah “ngaji diri” agar penilaian perilaku tidak dilakukan tanpa dasar, merumuskan nilai baik dan buruk, merefleksikan sebelum melontarkan keputusan mengenai perilaku dan kehidupan kepada sesama.
Secara sederhana dan mungkin semacam kesimpulan, Situs Arca Domas dan Situs Gunung Padang, merupakan wahana anak-cucu menjalani “ngaji diri”. Walaupun memang, panduan ngaji diri amat sangat beragam, tentu bukan masalah, semua akan kembali pada dirinya sendiri, dirinya masing-masing, mencermati secara luas dan detail keragaman bentuk peristiwa hidup ini. Mengolah pengalaman diri dan menata diri, membiasakan diri belajar menjadi terang dan menjadi pusat, dengan jagat-semesta-Nya, sebelum akhirnya kembali pulang kepada-Nya.
Karena dibuka-awali dengan pantun, maka akan saya tutup-akhiri dengan serpihan kecil perjalanan puisi, yang saya beri judul:
Megalitikum Diri
I
ke sana, ke Salaka Domas
kunjungan yang mulia Pajajaran
melihat bayangan benteng Sinatria
bertaruh-tarung dalam kasih-sayang
jauh mendiami undakan jiwa dan raga.
O, ayo pergi ke pengadilan hidup!
di atas langit burung-burung
itu mencari-cari bersama
para pengikutmu, Prabu Siliwangi
..Domas Layang-layang
Domas Layang-layang…
dibuat sebagai jimat mengobati
wabah penyakit diri
para pengikutmu, Prabu Siliwangi
Sinatria Pajajaran yang kesulitan
memanah langit, tak lagi kembali,
dan terkubur di pangkuan bumi
meski mati dalam rasa rindu
pengikutmu tetap bersandar pada
Tuhanmu, Sang Maha Tunggal
lewat pesan rahasia di belantara
lamunan: tegas, tegur, tegar!
jangan menyerah. jangan menyerah.
II
Ke sini, ke Nagara Padang
kunjungan yang luhur Pajajaran
membaca citra pegunungan lampau
lukisan mahadalam peradaban
Sang Hyang dan nenek-moyang.
Eiii, mari terjun ke lembah kematian!
di bawah tanah cacing-cacing
menjaga batuan-purba, dan pengikutmu
masih saja mencarimu, Prabu Siliwangi
..Padang cahaya–terang
Padang cahaya–terang…
dibuat sebagai doa pengantar
pulang ke alam diri
makna pegunungan di sini
adalah mitologi menghadap
bapak langit, namun pengikutmu
tersesat mencari di mana
pijakan kaki ibu bumi
meski hidup dalam kehampaan
pengikutmu tetap mencari jalan keluar
dari labirin hidup yang kesekian.
–
Bogor-Cianjur, 2023
Kepustkaan:
Buku Adat istiadat Sunda karya R.H. Hasan Mustafa: terjemahan Maryati Sastrawijaya HS. Bandung, 1991.
Buku Kesusastraan Sunda Dewasa ini sebuah tinjauan Ajip Rosidi. Tjucumanik, 1966.
Buku Sanghiyang Siksakanda Ng Karesian (nakkah kuno tahun 1518 Masehi) oleh Atja dan Saleh Dnasasmita. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1981.
Babad (Karya Sastra Sejarah) Sebagai Obyek Studi Lapangan Sastra, Sejarah, dan Antropologi oleh E.S. Ekadjati. Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran Bandung, 1978.
Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno. J. Noorduyn: diterjemahkan Iskandarwassid. KITLV (Netherland) dan LIPI (Indonesia, Jakarta), 1984
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.