Perlukah Memperjuangkan Museum Perjuangan Bogor?

Perlukah Memperjuangkan Museum Perjuangan Bogor?

gambar: dok. halimunsalaka


Catatan ini akan saya mulai dengan sedikit cerita. Seorang Kawan, Tenu namanya, mengirim pesan pada saya via-WhatsApp dengan mengatakan, “Mangs, pernah main ke Museum Perjuangan Bogor terus ngecek-ngecek surat kabar Gelora Rakjat gak? Pengen maen ke sana, tapi kata Reza, gak bisa sembarang orang buat lihat koran-korannya.” Membaca pesannya itu saya kaget bukan main, ternyata salah-satu surat kabar yang sedang saya cari itu tersimpan di Museum Perjuangan Bogor.

Tak lama saya lalu membalas pesannya, “belum pernah mangs, malah baru denger ada arsip koran di situ. Berarti ada syarat tertentu ya, Mangs?.” Tenu langsung membalas pesan saya dengan mengatakan, “kata Reza gitu sih. Ini juga lagi nyari koneksi nih. Soalnya semua koran Gelora Rakjat, yang ngeberitain Bogor di awal kemerdekaan sampe tutupnya Gelora Rakjat itu malah di-simpen di museum perjuangan, bukan di Perpus Kota Bogor.” Dan lalu ia melanjutkan, “kalo mau maen ke sana, ayo Mangs, bareng. Penasaran juga.”

Membaca pesan balasannya itu, saya langsung membalas cepat dengan mengirimkan gambar yang berisikan nama-nama surat kabar di Bogor dalam putaran waktunya, “ini list surat kabar yang mesti kita susur, antara lain:

 1) Aosan Moerangkalih tahun 1920 – berbahasa Sunda, 2) De Archipel post tahun 1921 – berbahasa Belanda, 3) Bogor – Majoe tahun 1938 – berbahasa Indonesia, 4) Buitenzorg’s Dagblad tahun 1946 – berbahasa Belanda, 5) De Buitenzorgsche post: weekblad, bijblad van de archipel post tahun 1922 – berbahasa Belanda, 6) Garuda tahun 1930 – berbahasa Belanda, 7) Gelora Rakyat: dalam perdjoeangan tahun 1946 – berbahasa Indonesia, 8) De Middagpost algemeen dagblad voor Buitenzorg, Soekabumi, Tjiandjoer, en omstreken tahun 1931 – berbahasa Belanda, 9) Pelita: orgaan oentoek pengikat dan penjoeloeh keselamatan lahir dan batin tahun 1934 – berbahasa Belanda, 10) Perantara tahun 1937 – berbahasa Indonesia, 11) Soeara Kita: Orgaan dari Post, telegraaf en Telefon Personeel tahun 1921 – berbahasa Indonesia, 12) Tiong Hoa wi Sien Po tahun 1917 – berbahasa Indonesia, dan 13) Tjaja Bogor penjokong gerakan kebangsaan tahun 1937 – berbahasa Indonesia. Dan seterusnya.”

Begitulah sedikit cerita pembukanya. Sebab melalui sedikit cerita di ataslah, yang lalu membawa saya untuk ziarah sekaligus kunjungan ke Museum Perjuangan Bogor. Walaupun sudah banyak yang saya baca tentang apa dan bagaimana Museum Perjuangan Bogor, rasa penasaran saya tentu menitik-beratkan pada keberadaan dan isi surat kabar Gelora Rakjat itu sendiri. Bukan tentang persoalan benda-benda atau senjata-senjata hasil perampasan pejuang dari tangan penjajah pada waktu perang kemerdekaan. Malahan yang lebih menarik minat saya berkunjung ke sana selain surat kabar, ialah tentang berbagai tokoh-tokoh penting pejuang Bogor yang sebagian terhimpun peninggalannya di sana.

Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak peninggalan Kapten Muslihat di museum tersebut. Dan  bagaimana cerita perjuangannya gugur di depan jalan Stasiun Bogor hari ini. Sekarang kita temui bersama, sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terimakasih atas jasanya, di sepanjang jalan depan Stasiun itu Pemkot menamainya dengan Jalan Kapten Muslihat. Tentu masih banyak contoh-contoh lainnya.

Riwayat Singkat Museum Perjuangan Bogor

Ketika sampai di Museum Perjuangan Bogor, kita akan disuguhkan pemandangan benda-senjata hasil perampasan para pejuang dari tangan-tangan para penjajah, senjata-senjata pejuang pribumi ketika melawan penjajah, seperti bambu-runcing dan sebagainya. Kesan pertama itu pula yang saya dapatkan ketika mulai masuk ke museumnya, ditambah para penjaga museum langsung menjelaskan hal-ihwal tersebut dengan panjang-lebar.

Namun jauh sebelum itu, sebagaimana anak-cucu yang kemarin-sore lahir, tentu terhadap hal-hal baru kita akan menimbulkan pertanyaan agar tereaksi menjadi pengetahuan. Sejak kapan Museum Perjuangan Bogor ini didirikan, dan bagaimana prosesinya?

Secara singkat, menyetir penelitian seorang yang bernama Santi Mulyasari yang berjudul, Sejarah dan Perkembangan Museum Perjuangan Bogor, tahun 2010. Sebelum menjadi Museum Perjuangan Bogor, gedung Museum Perjuangan Bogor yang bertingkat-dua itu, yang terletak di Jalan Merdeka Bogor (dulu disebut Jalan Tjikeumeuh Bogor No. 28) berhadapan dengan kuburan Belanda Memento-Mori, dan sekarang berhadapan dengan Pusat Grosir Bogor (PGB) mulai didirikannya awal 1879. Kemudian tanggal 7 Juli 1879 dimiliki oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Wilhelm Gustaff Wissner, dan bangunan tersebut dijadikan gudang barang-barang.

Setelah beberapa-kali beralih kepemilikannya, pada tanggal 16 Desember 1953, gedung itu dimiliki oleh orang yang bernama Umar bin Usman Alwahab dengan surat Firgendom Verponding Nomor: 4016. Kemudian, beberapa tahun selanjutnya pada tanggal 17 Maret 1958 oleh pembantu utama pelaksana Kuasa Perang Daerah KMS Bogor, diserahkan sepenuhnya kepada Yayasan Museum Perdjoangan Bogor untuk digunakan sebagai Sekolah Rakyat. Dari proses itulah pada tanggal 20 Mei 1958, setelah sekolah rakyat dipindahkan ke tempat lain, gedung itu dihibah-sumbangkan sepenuhnya kepada Yayasan Museum Perdjoangan Bogor dengan akta Notaris J.L.L. Wonas di Bogor.

Para pemimpin pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dari daerah Keresidenan Bogor dan sekitarnya mengadakan pertemuan di rumah Bupati RE. Abdullah di Jl. Panaragan No. 31 pada Tanggal 26 Oktober 1957. Pertemuan tersebut membuahkan hasil satu ketetapan untuk menjadikan Gedung di jalan Tjikeumeuh No. 28 atau sekarang Jalan Merdeka Bogor sebagai Gedung Monumen Nasional (atau Gedung Perjuangan) untuk selamanya.

Jauh sesudah itu, yang menarik ialah, Museum Perdjoangan Bogor yang terletak di pusat kota Bogor ini dikelilingi oleh jalan-jalan yang mempunyai latar belakang sejarah, seperti Jalan Kapten Muslihat, Jalan Mayor Oking Djajaatmadja, Jalan Veteran dan Jalan Merdeka, di mana gedung Museum ini berdiri dengan nomor jalan 56. Sangat berkait-kelindan tentunya pemilihan tempat dan nama-nama jalan tersebut dalam bingkai sejarah. Lalu, pada tanggal 10 November 1957, tepat pada peringatan hari Pahlawan, Museum Perjuangan Bogor dibuka secara resmi oleh Ibu Kartinah TB Muslihat (istri mendiang Kapten Muslihat) dan dituangkan dalam Surat Keputusan Pelaksana Kuasa Militer Daerah Res.Inf 8/III no.Kpts/3/7/PKM/57.

Secara struktur-koleksi, Museum Perjuangan Bogor melakukan kegiatan pengelolaan koleksi atau ornamen sebagai bagian dari kegiatan pengelolaan museum, dan juga sebagai objek wisata-sejarah. Setiap jenis koleksi memiliki keunikan dan sejarah tersendiri tentunya, dengan bentuk pameran yang ditampilkan secara utuh itu diharapkan mampu menjadi komoditas wisata yang menarik perhatian generasi mendatang. Sedangkan data yang diperoleh menurut penjaga museum, jumlah koleksinya kurang-lebih 1000 buah, namun data itu sebelum terjadinya penambahan koleksi pada Tahun 2005. Sebab, kegiatan inventarisasi mengenai koleksi atau ornamen Museum Perjuangan Bogor baik jumlah dan jenisnya, terakhir kali dilakukan pada tahun 2004, dan nihilnya menurut pihak pengelola data tersebut telah hilang karena sesuatu hal yang bahkan anehnya tak dijelaskan.

Bentuk pameran koleksi Museum Perjuangan Bogor yang terdapat di ruang-pameran antara lain, ada diaroma atau bentuk-gambar-dimensi tentang peristiwa pertempuran, lalu wadah lemari pameran kaca dengan isi senjata, pakaian, arsip, dan sebagainya. Ada juga mading, auditorium mini, dan seterusnya. Secara umum, dominasi koleksi senjata di Museum Perjuangan Bogor itulah yang secara tidak-langsung merupakan daya tarik masyarakat Bogor khususnya, umumnya yang disukai para pengunjung.

Namun, pengalaman saya sebagai pengunjung jauh berbeda dan lebih menyukai arsip non-perjuangan-fisik, seperti koran-koran dan kliping, lebih khusus surat kabar Gelora Rakjat itu sendiri. Dan perlu saya sampaikan, pembicaraan saya dengan Tenu jauh di muka terkait ada prasyarat khusus jika hendak membaca surat kabar Gelora Rakjat di Museum Perjuangan itu memang benar demikian adanya, sebab media kertasnya sudah dimakan waktu dan rentan sobek pula. Itulah mengapa tak sembarangan orang bisa membaca bundel bukunya secara lengkap.

Bahkan saya sendiri tak berani membuka bundel surat kabar itu secara lengkap, walaupun penjaga museum menyilakan saya untuk membuka lemari kaca dan membacanya. Sebab di museum itu tak disediakan alat bantu seperti di museum arsip umumnya, misal sarung-tangan khusus, dan lain-lain. Saya hanya melihat-membaca sedikit beberapa kliping surat kabar Gelora Rakjat di tempatnya yang sudah di bingkai oleh lemari kaca, lalu mendokumentasikannya dengan memfoto kliping tersebut agar sisanya bisa dibaca di rumah.

Setelah itu tiba-tiba penjaga museum yang sialnya saya lupa menanyakan namanya, berkata pada saya, “mengenai kelayakan tempatnya, museum ini sudah sangat mengkhawatirkan. Kami pihak Yayasan sudah mencoba menghubungi pemerintah terkait untuk meminta bantuan, namun belum mendapat jawaban lanjutan.” Begitu kata si Mamang, sambil menunjuk ke atap-atap gedung yang sudah banyak bolongnya dan sangat rentan untuk roboh. Ditambah debu menempel di-mana-mana, karena kebersihannya kurang dijaga.

Saya tak menjawab panjang lebar pernyataan si Mamang penjaga museum, dan hanya mengangguk saja. Sebab saya sudah membaca terlebih-dahulu polemik antara Yayasan pengurus Museum Perjuangan Bogor dan Pemkot atau dinas terkait. Dan saya sedikit mengerti pula, mengapa pemerintah tak sigap menangani hal semacam itu, tentulah disebabkan karena kepemilikan Museum Perjuangan Bogor masih dikelola oleh Yayasan, bukan atas nama Pemkot atau dinas-dinas terkait.

Kecurigaan itu patut kita garis-bawahi bersama. Namun, jika Pemkot dan dinas terkait sangat mencintai-menyayangi nilai sejarah-budaya Bogor, hal kepemilikan dan pengelolaan itu mestinya bukan persoalan serta sudah bukan lagi wahana untuk dipersoalkan, yang penting bukankah nilai-nilai itu dirawat secara bersama-sama. Apalagi kita semua sepakat bahwa, uang yang dikelola pemerintah merupakan hasil pengolahan pajak dari rakyat juga. Ehehehe. Jadi, apakah segala sesuatu yang mendapat bantuan pemerintah mesti menjadi bagian darinya?

Mengintip Surat Kabar Gelora Rakjat

Pada tajuk Siaran Kilat. Surat Kabar Gelora Rakjat edisi Saptoe 29 Desember 1945. No 8-Tahoen Ke 1. Saya mengintip berita yang cukup menarik. Berita itu menyampaikan: MAKLOEMAT

1. Semoea Kepala Kantor Djawatan dikota Bogor atau disekitarnja jang dalam soeasana jang genting ini tidak sempat mendjalankan kewadjibannja dgn sempoerna bersama dgn ini diminta soepoja selekas moengkin beroesaha, agar kantornja djawatannja dapat bekerdja sebagai biasa.

2. Djika tempat bekerdjanja kantornja ada didalam daerah lg berbahaja kepala kantor djawatan ito dipersilahkan mentjari tempat lg agak aman.

3. Tempat itoe hendaknja selekas moengkin diberitahoekan kepada Kepala Kota dan kepada saja.

4. Diharap sedapat moengkin pada hari Rebo 2-1-1946 kantor semosa telch dapat berdjalan sebagai biasa.

5. Kantor Keresidenan (ketjoeali bagian kemakmoeran) centaek sementara bertempat dikantor Kaboepaten, Panaragan. Hendaknja para pegawal mamperhatikannja dan datang bekerdja sebagai biasa moelai hari terse boet dalam fatsal 4.

Residen Bogor,

R. Barnas Wiratanoeningrat

Bogor, 29 Desember 1945

Membaca berita tersebut, akan langsung membuka cakrawala kita memandang bagaimana perjuangan para pendahulu Bogor mempertahankan kemerdekaan dan prosesi berjuangnya. Hal tersebut tentu kita ketahui bersama, pada awal pra dan bahkan pasca kemerdekaan, kerja pers memiliki peranan penting dalam perjuangan memulai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, lebih khusus Kota-kota di dalamnya. Pada masa pergerakan nasional pula, media-massa berperanan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme. Surat kabar juga sebagai sarana komunikasi turut menghasilkan perjuangan pada geraknya masa revolusi, karena keberhasilan perjuangan juga bergantung pada keberhasilan media dalam menyampaikan pesan-pesan ke tengah masyarakat luas.

Selanjutnya, saya juga menemukan berita yang menarik, masih dalam tajuk Siaran Kilat. Berita itu menyampaikan: MAKLOEMAT

Moelai hari ini didaerah kota dan kaboepaten Bogor ada dalam keadaan perang dengan NICA (Belanda). Pelanggaran perampokan dan lain-lainja jang meroesak keboelatan tenaga berperang bangsa Indonesia choesoesnja kedjahatan terhadap negara Republik Indonesia oemoemnja, dilarang keras dan akan dihoekoem dengan hoekoeman militer. Poelisi Republik Indonesia dengan adanja perang ini soedah dileboer mendjadi Tentera keamanan Ra’jat.

Rajat Indonesia djalankan kewajibannja. Tanah Air dan Seroene Agama memanggil. Perlihatkan kepahlawananja. Lebih baik hantjour leboer daripada diperbroedak didjadjah kembali oleh Belanda.

BERSIAP. GEMPOER!!!

KITA HAROES MENANG!!!

Markas Barisan Ra’jat Keresidenan Bogor

Bogor, tanggal 14 boelan 10, 1945.

Peristiwa di Bogor pada masa merebut kemerdekaan merupakan hal yang lazim, dan pasti terjadi pula di Kota-kota lainnya. Sebab pada waktu itu, keadaan masyarakat yang masih tertekan, kekurangan informasi, dan akhirnya melakukan perlawanan terhadap kelompok atau organisasi yang menginginkan Indonesia kembali dijajah, motifnya tentu ada saja oknum pribumi yang masih diperalat penjajah dengan imbalan harta dan kekuasaan.

Itulah mengapa, surat kabar Gelora Rakjat menjadi salah satu usaha masyarakat Bogor dalam berjuang mempertahankan kemerdekaannya di Republik Indonesia. Kelahiran Gelora Rakjat selain berperan untuk memberikan semangat perjuangan bagi rakyatnya, saya rasa juga menjadi alat kontrol sosial di dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat itu kemudian mendapatkan informasi tentang situasi dan keadaan yang terjadi di wilayah Bogor secara khusus dan utuh, atau umumnya kondisi Indonesia pada saat itu.

Gelora Rakjat (kurun waktu 1945-1947) bisa kita katakan merupakan pers yang berpengaruh pada zamannya, bila dilihat dari jumlah tiras dan daerah penyebarannya yang relatif luas bila dibandingkan dengan pers lain yang terbit pada masa revolusi Indonesia. Dengan demikian, apa yang disajikan oleh surat kabar tersebut, baik dalam bentuk berita news maupun pandangan-pandangan views, dianggap penting oleh pemerintah dan masyarakat pembacanya.

Dan menariknya, surat kabar Gelora Rakjat bersifat independen, tidak memiliki hubungan secara formal dengan organisasi sosial dan politik tertentu pada masa bergejolak itu. Dengan demikian, dalam derajat tertentu, pandangan-pandanganya pun relatif independen dengan lebih mementingkan kepentingan hidup masyarakat, terutama masyarakat Indonesia daripada kepentingan partai politik tertentu.

Terakhir, akan saya hadirkan berita yang juga masih dalam tajuk Siaran Kilat. Berita itu menyampaikan maklumat lainnya, begini:

MAKLOEMAT

Djam 8 malam sampai djam 6 pagi orang- orang semoea haroes tinggal dalam roemah; jang keloear bisa ditembak, ketjocali orang- orang jang resmi jang mendjalankan peker- djaan dengan memakai ,,ban lengan”.

Markas Besar Barisan Rajat Keresidenan Bogor

Bogor 16 boelan 10 tahoen 1945

Mengenai pergolakan yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan itu sangat berpengaruh terhadap penerbitan surat-surat kabar milik republik, termasuk geliat Gelora Rakjat. Hal itu sejalan dengan penelitian Mardika Ardiwinata tahun 2018, berjudul: Fungsi Surat Kabar Gelora Rakjat di Bogor Sebagai Media Penguat Spirit Nasionalisme Indonesia Pada Masa Revolusi 1945-1947, mengatakan bahwa,kedatangan tentara NICA yang menduduki Jakarta, membuat pusat pemerintahan waktu itu pindah ke Yogjakarta. Dan Bogor yang secara geografis berdekatan dengan Jakarta dan Bandung, menjadi daerah yang sangat penting bagi para sekutu, sehingga Bogor menjadi daerah yang selalu diawasi, termasuk pergerakan kehidupan pers (Gelora Rakjat) dan masyarakatnya.

Begitulah sedikit intipan-pembacaan saya mengenai surat kabar Gelora Rakjat. Tentu, jika saya dapat membaca secara utuh bundel surat kabarnya itu, mungkin akan saya transformasikan dalam bentuk catatan yang lebih spesifik dan mungkin akan panjang-lebar, guna dapat kita pelajari bersama. Tapi itu lain waktu saja. Sebab perlu banyak waktu dan prosesnya sangat berteman dengan kesabaran untuk mengulas semua yang terjadi, apalagi menyangkut masa yang lampau. Perlu modal khusus kerja-kerja prosesinya, dan mestinya pemerintah terkaitlah yang memperhatikan sekaligus memberikan sumber-pendanaannya pada mereka (para pegiat dan peneliti) yang rela meninjau dan terjun kembali menghimpun peninggalan dari nilai-nilai sejarah-budaya. Eheiheee kode banget!

Memperjuangkan Museum Perjuangan Bogor

Dengan demikian, maka yang saya maksud memperjuangkan Museum Perjuangan Bogor, tentu tentang nasib museum yang sangat mengkhawatirkan, lebih khusus pemeliharaan arsip surat kabar dan bangunan museumnya. Terlepas dengan polemik antara Yayasan Museum Perjuangan Bogor dan pihak Pemkot atau dinas terkait, mestinya ada tindak-lanjut mengenai bagaimana arsip itu dijaga dan dipelihara, bagaimana kelayakan gedung museum yang sudah menjadi wisata-sejarah itu dirawat bersama.

Itulah mengapa, sangat perlu memperjuangkan Museum Perjuangan Bogor, dan mesti segera ditindak-lanjutin perawatan arsip serta pemeliharaan bangunannya. Kalau boleh memberikan sedikit saran, mengenai arsip surat kabar Gelora Rakjat, sudah selayaknya disimpan di Galeri Perpustakaan Kota Bogor yang memiliki gedung yang cukup terjaga kebersihan dan fasilitasnya. Namun jika hal demikian memberatkan pihak Yayasan, maka jalan lainnya mengarah-tertuju pada kewajiban Pemkot untuk membantu dalam memelihara bangunan museum dan fasilitas tetek-bengeknya, agar setidaknya Museum Perjuangan Bogor itu menjadi layak, baik dari segi bangunan ataupun pemeliharaannya.

Melalui catatan kecil ini, semoga Pemkot atau dinas terkait dapat segera membantu keberlangsungan perawatan Museum Perjuangan Bogor, dan semoga pula pihak Yayasan Museum Perjuangan Bogor sedikit membuka kesempatan jika Pemkot atau dinas terkait sebagaimana seperti saran saya, misal mereka mau menyediakan ruang di Galeri dan Perpustakaan Kota Bogor untuk menyimpan dan merawat arsip surat kabar Gelora Rakjat itu, jangan berat-hati untuk memberikannya. Pokoknya, dua hal tersebut mesti segera dilakukan, jika kita sama-sama masih mencintai-menyayangi nilai-nilai peninggalan sejarah-budaya Bogor itu sendiri.

Kalau tak percaya, silakan pembaca lihat dan kunjungi sendiri Museum Perjuangan Bogor. Namun, jika pembaca sekalian ketika mengunjungi museum itu sudah dalam keadaan bangunannya direnovasi dan rapi-terpelihara, lalu arsip surat kabar terkhusus Gelora Rakjat sudah ada di Galeri dan Perpustakaan Kota Bogor, maka saya akan mengucapkan banyak terima-kasih atas perhatian Pemkot tercinta dan kebijaksanaan pihak Yayasan Museum Perjuangan. Tandanya kita mesti berbahagia bersama-sama, mereka semua masih mencintai dan menyayangi nilai-nilai peninggalan yang diwariskan para pendahulunya.

Syahdan. Bagaimana geliat propaganda dan bercyandaan saya ini, pemirsa?***    

Sumber Bacaan:

Santi Mulyasari. 2010. Sejarah dan Perkembangan Museum Perjuangan Bogor

Mardika Ardiwinata. 2018. Fungsi Surat Kabar Gelora Rakjat di Bogor Sebagai Media Penguat Spirit Nasionalisme Indonesia Pada Masa Revolusi 1945-1947