Gambar: Historia dan DAPKB
Sekitar sepuluh tahun lalu setelah kegiatan Malam Puisi Bogor, saya pernah berkelakar dengan seorang senior, soal Jalan Gajah Mada. Entah awal perbincangannya seperti apa, sayangnya saya lupa. Tiba-tiba, beliau kurang lebih bilang, begini: “coba, di Jawa Barat, di tataran Sunda, ada tidak jalan yang menggunakan nama Gajah Mada atau yang berbau Majapahit?”. Saya, barang tentu belum ngeuh soal ini. Saya dan teman-teman lain yang mendengarkan pertanyaan itu terdiam saja memikirkan. Saya bilang bahwa saya hanya tahu nama Gajah Mada itu digunakan menjadi salah satu nama ruas jalan di Jakarta. Dan di Bogor sendiri, sepertinya tidak ada jalan yang menggunakan nama tersebut. Apakah pembaca pernah mendengar nama jalan Gajah Mada di Bogor?
Tak lama, sang-senior itu bilang bahwa sampai hari itu belum ada ruas jalan di Jawa Barat menggunakan nama Gajah Mada atau yang berbau Majapahit. Konon, kata beliau, hal itu diakibatkan oleh perselisihan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit pada perang Bubat. Perselisihan tersebut ternyata mendarah-daging ke beberapa turunan masing-masing Kerajaan. Para Budayawan, pemerintahan daerah, bahkan masyarakat masing-masing suku, masih menaruh kekesalan masing-masing terhadap peristiwa perang Bubat. Benarkah demikian?
Nah, konon, perselisihan tersebut juga mengakibatkan di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, tidak ada yang menggunakan nama berbau kerajaan Sunda menjadi nama ruas jalan. Begitupun sebaliknya; di Jawa Barat tidak ada ruas jalan berbau nama Kerajaan Majapahit. Emang ngaruh ya sampai ke penamaan ruas jalan? Setahu saya cuma ngaruh ke pepatah orang tua Sunda: “Jangan sampai perempuan Sunda menikah dengan Lelaki Jawa!”. Glek! Percaya tidak percaya, ternyata ada saja orang yang masih percaya. Hiyahiyahiya.
Sebagai pembuka, ingatan percakapan itu sangat membekas bagi saya. Saya tidak akan membahas hal tersebut lebih dalam tentunya, biarlah para budayawan-sejarawan saja yang mengurusnya. Maka yang akan saya bahas yaitu percakapan selanjutnya bersama teman-teman Halimun-Salaka, yaitu tentang hasil diskusi kami tentang toponimi nama jalan. Apa dan bagaimana percakapan itu?
Bagaimana Nama dan Penamaan Jalan di Bogor?
Di Bogor, tersebar banyak ruas jalan dengan berbagai tipe jalan sesuai dengan Perda nomor 1 tahun 1997 tentang Tata Cara Pemberian Nama Jalan, Taman dan Bangunan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor yang ditandatangani oleh Bupati H.M. Eddie Yoso Martadipura dan Ketua DPRD H. Eso Sukarso. Kemudian lembaran itu diundangkan dalam lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor nomor 10 tanggal 18 Agustus 1997 Seri D oleh Sekertaris Wilayah/Daerah Tingkat II Bogor, Drs. H. Dadang Soekaria, AK.
Pada lembaran peraturan tersebut sangat jelas bahwa tipe jalan yang dimiliki oleh Daerah Tingkat II Bogor terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan khusus, dan gang. Masing-masing tipe jalan tersebut memiliki pengertian dan batasan tertentu untuk membedakan suatu ruas jalan dengan ruas jalan lainnya. Sebagai contoh, jalan arteri memiliki pengertian suatu jalan yang melayani angkutan utama dengan perjalanan jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk dibatasi secara efisien. Begitu pula dengan jalan kolektor dan jalan lokal yang memiliki pengertian yang menjelaskan tentang angkutan jarak sedang dan pendek, serta memiliki kecepatan rata-rata di bawah jalan arteri. Sementara jalan khusus yaitu jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan hukum/perorangan untuk kepentingan masing-masing. Terakhir, gang memiliki arti suatu lorong atau jalan kecil yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat atau lebih.
Mungkin, dari pengertian tersebut, masyarakat masih akan kebingungan untuk membedakan antara jalan arteri, kolektor, dan lokal. Kebingungannya adalah manakah contoh nama jalan yang termasuk ketiganya? Misalkan saja, jalan antara Pasar Cibinong menuju Citeureup termasuk jalan apa jika mengikuti pengertian jalan di atas? Atau jalan antara pusat Kecamatan Jonggol menuju daerah Raweuy dan Dayeuhkolot termasuk jalan apa? Dan jalan dari Sadeng Pasar menuju Cisaranten itu merupakan jalan apa? Mungkin kita bisa menerka saja bahwa ruas jalan pertama adalah jalan arteri, kemudian ruas jalan kedua adalah jalan kolektor, dan yang terakhir jalan lokal. Itu pun kalau kita merujuk pada pengertian sederhana yang ada pada perda tersebut.
Bagaimana dengan jalan khusus dan gang? Kita bisa lihat contoh jalan khusus jika kita memasuki wilayah pemda Bogor di sekitaran gedung Tegar Beriman. Jalan-jalan yang ada disana merupakan jalan khusus yang memang dibangun dan dipelihara oleh instansi pemerintah Bogor sendiri atau bisa juga melihat contoh jalan-jalan perumahan yang juga dibangun dan dipelihara oleh perusahaan perumahan. Kemudian, contoh gang, sangat banyak saya rasa. Coba saja teman-teman yang ada di perkampungan keluar rumah, pasti akan menemukan sebuah gang. Misalkan, Gang Denok yang berada di Leuwisadeng. Namun, anehnya, kadang kita menemukan sebuah nama gang tertentu yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat, padahal jelas dikatakan bahwa gang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat atau lebih. Maksudnya, penamaan sebuah ruas jalan sebagai “gang” kadang masih keliru dan seharusnya dinamai “jalan”, jika bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.
Eits! Persoalan bukan pada kebingungan itu sendiri sebenarnya. Saya pernah membaca Keputusan Bupati (kepbup) Bogor tahun 2011 nomor 620/426/Kpts/Per-UU/2011 tentang Penetapan Ruas Jalan menurut statusnya sebagai Jalan Kabupaten yang ditanda-tangani oleh Bupati Bogor saat itu, Rachmat Yasin. Pada Kepbup tersebut terdapat 466 nama ruas jalan beserta panjangnya yang telah resmi menjadi ruas jalan Kabupaten Bogor. Anehnya, dari 466 nama ruas jalan tersebut, hanya ada dua nama ruas jalan yang memiliki penamaan nama jalan dari nama orang, yaitu Jalan H. Nawawi di Kelurahan Cirimekar Cibinong, dan Jalan Dr. Nurdin di Cibinong. Kenapa dibilang aneh?
Karena penamaan jalan dengan nama orang di Kabupaten Bogor cukup banyak. Misalkan saja, di daftar nomor 115 pada kepbup tersebut terdapat nama ruas jalan Panyaungan-Nanggung sejauh 5,1 KM. Padahal ruas jalan tersebut bernama Jalan Ace Tabrani yang diambil dari sosok pahlawan dan ulama dari Bogor Barat (Leuwiliang) yaitu Ace Tabrani yang juga mantan Pengurus Daerah Muhammadiyah. Lain halnya, misalkan pada nomor urut 131, 137, dan 139 pada Kepbup tersebut juga masih menggunakan nama batas jalan bukan nama ruas jalannya. Masing-masing ruas jalan tersebut sebenarnya bernama Jalan Moh. Noh. Noer yang diambil dari mantan pejabat di Bogor (Nomor 131, Leuwiliang-Karacak). Kemudian Jalan Abdul Hamid yang diambil dari nama pahlawan dan ulama (Nomor 137, Cemplang-Ciasmara), dan Jalan Dasuki Bakri yang juga berasal dari nama pahlawan sekaligus ulama (Nomor 139, Cibatok-Cibening).
Saya yakin, masih banyak di nomor-nomor lainnya yang masih menggunakan nama batas jalan, dan bukan nama jalan pada Kepbup tersebut. Pasalnya, kita mengenal banyak nama orang yang sudah dijadikan nama jalan seperti Jalan Atang Senjaya di Rancabungur, dan Jalan Haji Miing di Ciseeng. Kemudian, apa masalahnya? Tidak ada sebenarnya. Hanya mungkin bisa kita ulas bersama, apakah penamaan jalan dengan nama orang (pahlawan dan atau lainnya), atau nama lainnya bisa dikatakan tidak resmi? Jika memang sudah resmi, bisa saja di Kepbup tersebut dibubuhkan saja nama ruas jalannya dan letak daerah serta batasnya agar memperjelas lokasi nama ruas jalan tersebut, contoh: Jalan Dasuki Bakri (Cibatok-Cibening, 6,64 KM).
Dalam Perda nomor 1 tahun 1997 juga dijelaskan bahwa ada beberapa tata cara pemberian nama jalan pada suatu ruas jalan. Pada BAB II Pemberian Nama Jalan, Taman, dan Bangunan, Pasal 2 menjelaskan tentang aturan bahwa seluruh jalan yang ada di daerah harus diberi nama jalan, dan terdapat juga aturan pembatasan jalan tersebut, serta pemberian nama dan wewenang pemberi nama. Artinya, amanat perda mengatakan bahwa suatu ruas jalan harus dan wajib diberi nama jalan, dengan dijelaskan batas-batas tertentunya oleh yang berwenang yaitu jika jalan arteri ditetapkan oleh Kepbup dengan persetujuan DPRD dan jika jalan kolektor dan lokal ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah. Lalu bagaimana tata cara penamaan jalannya? Tentu dijelaskan juga pada Pasal 3.
Pasal 3 mengatakan bahwa pemberian nama jalan menggunakan sistem blok dengan ketentuan sekurang-kurangnya ada tiga pembatas jalan yang boleh terdiri dari: jalan arteri, kolektor, lokal, sungai, dan rel kereta api. Pada pasal tersebut juga dikatakan bahwa pemberian nama dan penempatan nama blok tersebut juga ditetapkan oleh keputusan bupati. Selain itu, nama-nama blok sebagaimana aturan yang ada di pasal 3 ini terdiri dari nama kerajaan, kota, wayang, gunung, pulau, burung, binatang, bunga, buah-buahan, pohon kayu-kayuan, sayur-sayuran, sungai, ikan, dan nama lain yang bersifat khusus. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa maksud dari sistem blok ini? Jujur, saya juga kurang paham. Mungkin suatu ruas jalan terhubung di pertigaan atau perempatan di satu ujungnya (artinya memiliki dua atau tiga batas yang berbatasan dengan jalan arteri, kolektor, atau lokal) dan berbatasan dengan metode yang sama atau dengan sebuah sungai, atau rel kereta api pada batas ujung satunya.
Bahkan yang menarik justru pada pasal-pasal seperti pada pasal 4, 5, dan 6 yang menerangkan tentang kewenangan, pemilik kewenangan, dan usulan penamaan jalan. Kita fokus pada pasal 6 terlebih dahulu yaitu tentang usulan nama jalan. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa masyarakat dapat mengusulkan suatu jalan dan gang kepada Bupati Kepala Daerah. Tentu yang menarik adalah masyarakat yang seperti apa yang bisa mengusulkan dan bagaimana tata caranya? Pastinya jalurnya harus dengan proposal pengajuan oleh suatu lembaga misalnya, dengan telah melakukan kajian-kajian tertentu yang bisa menjadi alasan kuat untuk suatu nama agar dijadikan menjadi nama ruas jalan. Barang tentu, Bupati juga bisa menolak dan menyetujui sesuai dengan urgensi usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan yang ada.
Selain usulan penamaan jalan, Perda ini juga menjelaskan tentang pertimbangan perubahan nama jalan yang harus ditempuh dengan cara yang hampir sama, namun dengan pertimbangan dan alasan yang lebih kuat. Misalkan pada pasal 2 dijelaskan bahwa penggantian nama jalan dapat diusulkan jika nama yang ada dianggap sudah tidak sesuai. Setelah ada kajian ketidaksesuaian nama jalan yang ada, barulah diajukan nama baru yang dirasa lebih sesuai dan urgensi penggantiannya pun harus diputuskan oleh yang berwenang diantaranya Bupati dan DPRD.
Sekilas Contoh Usulan Penamaan Jalan
Baru-baru ini, tersiar kabar bahwa telah diusulkan penamaan ruas jalan di daerah Bogor Barat. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) dan keluarga Brigjen TNI Tarmat Widjaya mengusulkan nama Tarmat Widjaya menjadi nama ruas jalan antara Galuga-Ciampea (jalur Cijujung) yang kemungkinan bertipe jalan kolektor (atau lokal?). Siapakah beliau sehingga tim TP2GD dan keluarga mengusulkan namanya untuk menjadi nama ruas jalan? Brigjen Tarmat merupakan seorang pejuang Putra Daerah Cijujung (yang dilalui jalur ruas jalan) yang juga seorang pahlawan kemerdekaan dan dalam mengisi kemerdekaan.
Dahulu, beliau adalah salah satu pejuang yang tergabung bersama KH Sholeh Iskandar dan Mayor Dasuki Bakri yang keduanya telah diabadikan lebih dulu namanya menjadi nama ruas jalan. Dalam suatu laporan berita, Ace Sumanta sebagai salah satu tim TP2GD dan anak kedua dari Brigjen Tarmat, berharap usulan ini dimudahkan dan diberi kelancaran agar segera disahkan oleh pemilik wewenang, yaitu Bupati Bogor.
Pada tahun 2018, menurut suatu portal berita, pernah juga ada usulan nama ruas jalan dengan menggunakan nama HR Ipik Gandamanah. Usulan itu ditujukan oleh Ace Sumanta kepada Walkot Bogor agar Tol BORR diberi nama Jalan HR Ipik Gandamanah, yaitu Bupati pertama Bogor yang juga pernah menjadi Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri RI. Menurut Ace, HR Ipik Gandamanah dengan segala dedikasi dan perjuangannya terhadap kemerdekaan RI dan menjaga kedaulatan RI di Bogor, sudah seharusnya menjadi pahlawan nasional dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di Bogor. Sekda Bogor waktu itu pun mengaku mendukung pengusulan tersebut kepada kementerian PUPR yang merupakan pihak berwenang terhadap Jalan Tol BORR tersebut. Hasilnya? tentu belum terealisasi.
Sejak tahun 2011, sebenarnya, Ipik Gandamanah telah diusulkan menjadi nama ruas jalan. Contohnya saja, pernah diusulkan menjadi nama ruas jalan di Dramaga, namun setelah berkomunikasi dengan IPB, Ace Sumanta mengaku bahwa usulan itu belum bisa diterima. Kemudian, tahun 2015, Pemkot Bogor pernah mengusulkan kepada Pemkab Bogor untuk bersama-sama menjadikan Ipik Gandamanah sebagai nama ruas jalan yaitu ruas dari Alun-alun Empang, Pasir Kuda, Gunung Batu, Laladon, gingga ke Nanggung. Namun pada suatu portal berita, Usmar Hariman yang saat itu menjabat Wakil Walikota Bogor mengaku sedang menunggu respon dari Pemerintah Kabupaten Bogor. Sampai-sampai berita itu bertajuk sangat mengerikan “Bogor Abaikan Nama Ipik Gandamanah Jadi Nama Jalan”, yang artinya tentu hasilnya belum terealisasi.
Pada tahun 2022, kemudian, lagi-lagi tergaung Ipik Gandamanah akan menjadi nama jalan di Kabupaten Bogor. Tepatnya, pada perayaan HJB ke-540, Bayu Rahwanto yang bertindak sebagai ketua panitia mengaku bahwa Ipik Gandamanah akan menjadi nama ruas jalan dengan melihat dan mengenang perjuangan dan jasa bupati pertama itu terhadap Bogor. Disambung pula oleh Suryanto, sebagai Kepala Bappedalitbang saat itu, beliau mengaku bahwa nama Ipik Gandamanah bukan hanya sekedar nama, tapi punya arti yang bernilai sejarah untuk Kabupaten Bogor. Hasilnya? Anehnya, belum terealisasi.
Rentetan peristiwa pengusulan Ipik Gandamanah menjadi nama jalan memperlihatkan pada kita bahwa pertimbangan dalam usulan penamaan jalan harus memiliki urgensi dengan alasan yang sangat kuat. Seorang Bupati Pertama Bogor dengan segala perjuangannya mempertahankan keutuhan NKRI di wilayah Bogor hingga harus diasingkan ke wilayah barat Bogor dan berkantor di Nanggung dan jauh dari perkotaan, belum cukup untuk membuktikan bahwa Ipik Gandamanah merupakan seorang yang cocok disebut pahlawan. Atau mungkin ada pertimbangan tertentu yang menyebabkan kegalauan pemerintah untuk menjadikan nama Ipik Gandamanah menjadi nama penting seperti di kota kelahirannya, Purwakarta.
Di Purwakarta, Ipik Gandamanah telah diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungkan sekitaran Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Raya Sadang-Subang. Selain itu, nama Ipik Gandamanah juga diabadikan menjadi nama Mesjid di Purwakarta. Bahkan baru-baru ini, Bupati Purwakarta Ambu Anne Ratna beserta warga masyarakat Purwakarta membuat suatu Turnamen Bola Basket dengan nama Ipik Gandamanah Cup I. Mengapa demikian, tentu masyarakat Purwakarta beserta jajaran Pemerintahnya sangat menghargai, menghormati, dan memiliki kebanggaan terhadap putra daerahnya yang diakui sebagai pejabat negara yang telah memimpin berbagai daerah di Jawa Barat, pernah memimpin Jawa Barat, dan menjadi Menteri Dalam Negeri RI.
Apakah mungkin karena itulah (baca: karena Ipik Gandamanah bukan putra daerah seperti Dasuki Bakri, Sholeh Iskandar, Abdul Hamid, Ace Tabrani, Mayor Oking, Hj. Miing, dan lain-lain), begitu sulit nama Ipik Gandamanah diabadikan menjadi nama jalan? Tapi, di Kota Bogor, terdapat jalan Jenderal Sudirman (ruas antara Jalan Ir. H. Juanda-Air Mancur) dan bukan merupakan putra daerah Bogor. Namun, Jenderal Sudirman memang merupakan Pahlawan Nasional dan pernah menjadi tentera PETA yang bermarkas di Bogor (Sekarang Museum PETA) bersama Kapten Muslihat. Mungkin pemerintah Kota maupun Kabupaten Bogor dalam atau pihak yang berwenang menangani dan menetapkan, belum melihat seberapa urgen dan pentingnya Ipik Gandamanah untuk diabadikan namanya menjadi nama jalan.
Kita berdoa saja, mudah-mudahan alasannya tidak sama dengan mengapa dulu Majapahit dan Gajah Mada tidak diabadikan menjadi nama jalan di Jawa Barat (juga Bogor). Syukurnya, keturunan Sunda dan Majapahit telah islah sekarang secara rekonsiliasi budaya dengan bukti telah adanya jalan Hayam Wuruk dan Majapahit di Bandung sejak tahun 2018 dan disahkan oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Hal tersebut sebagai balasan kebaikan telah adanya nama Jalan Siliwangi, Pajajaran dan Pasundan di dataran Jawa seperti Yogyakarta dan Surabaya.***
seorang Guru Bahasa Indonesia. Pernah bermimpi menjadi Ikan Koi.