Wali Kota Bima Arya vs Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra: Tak Ada yang Beda dalam Memandang Pasar Bogor, Keduanya Melihat Berdasarkan Cuan dan Keuntungan

Wali Kota Bima Arya vs Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra: Tak Ada yang Beda dalam Memandang Pasar Bogor, Keduanya Melihat Berdasarkan Cuan dan Keuntungan

Plaza Bogor

Gambar: Portal7bogor


Apa yang telah ada – akan ada lagi, dan apa yang telah dibuat – akan dibuat lagi. Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari tentunya, atau kalau kata Mas Pram — yah, saya sengaja menyebutnya Mas Pram, untuk sastrawan besar: seorang Pramoedya Ananta Toer. Tidak ada yang baru di bawah kolong langit. Begitulah kira-kira tanggapan saya, yang lalu saya hubungkan ketika mendapat warta dari seorang kawan mengenai penggusuran atas relokasi yang dilakukan Pemerintah Kota terhadap para pedagang kaki lima di Pasar Bogor.

Mengapa saya menganggap demikian? Karena sejarah kekuasaan memang selalu demikian, selalu abai, jika tidak mau disebut memperkosa hak-hak hidup kebanyakan orang atas nama pembangunan. Sialnya, kekuasaan juga selalu melihat spasial ruang hanya berdasarkan (cuan) nilai dan keuntungan. Dan sejarah Pasar Bogor memperlihatkan hal demikian. Oits!

Tidak percaya? Okey, mari kita tarik dari kehidupan kita sekarang di abad ke-21 dan mundur dua abad sampai pada cikal-bakal sejarah adanya Pasar Bogor di abad ke-19. Untuk itu mari kita mulai benang merah ini ke hari rabu, tanggal 21 Ferbruari 2024, ketika ratusan pedagang Pasar Bogor mendatangi gedung DPRD Kota Bogor untuk memenuhi undangan audiensi yang telah lama molor dijadwalkan. Di Audiensi ini hadir juga Ketua DPRD Kota Bogor, Atang Trisnanto yang juga mengundang beberapa pihak terkait, dan Plt Direktur Utama Perumda Pasar Pakuan Jaya (PPJ), Agustian Syach, yang juga menjabat Kasatpol PP Kota Bogor.

Jika Beautifikasi Jadi Tumpuan Kebijakan Jelas Itu Jauh Menjangkau Solusi Apalagi Inklusivitas

Dalam audiensi itu, para pedagang menanyakan kepastian mengenai penggusuran dan relokasi yang dijanjikan. Namun dari apa yang para pedagang inginkan tentang Pasar Bogor adalah tidak adanya penggusuran. Dan seperti apa yang mereka sampaikan pada awak media Target Tipikor, Kita punya hak, karena dulu orang tua kita beli tempat itu. Janganlah kita digusur begitu saja, kita ini rakyat kecil jadi harap pemerintah juga memperhatikan”. Selain itu para pedagang juga tegas menyatakan, bahwa para pedagang akan bertahan di Pasar Bogor, karena menurut mereka lokasi Pasar Bogor terpisah dari Plaza Bogor.

Pernyataan tersebut memang tepat sasaran. Karena Rencana penggusuran tersebut imbas dari revitalisasi Plaza Bogor yang akan dipercantik menjadi Park and Ride. Mengutip apa yang disampaikan Evan, salah satu pedagang Pasar Bogor yang diwawancarai, “Lokasi Pasar Bogor belakang itu terpisah dari Plaza Bogor yang bersengketa dengan Pemkot Bogor, jadi jangan disamakan dan kita dijadikan korban yang harus diusir”. Selain itu, Evan juga menuntut, “Pasar basah (Pasar Bogor) itu dipertahankan, bila mau dibangun tiga lantai kedepannya kita diberikan tempat untuk dapat berjualan. Jangan karena mereka memiliki uang lalu kita dibiarkan begitu saja tanpa diperhatikan lagi”.

Keberatan para pedagang untuk direlokasi memang masuk akal, selain hak atas tempat itu yang sudah diturun-temurunkan, dan otomatis sudah menggantungkan hidupnya di Pasar itu, ada harga yang tak masuk akal dalam relokasi para pedagang Pasar Bogor tersebut, yang niatnya akan dipindahkan antara ke Pasar Jambu Dua atau Pasar Sukasari. Seobrolan saya dengan para pedagang yang mau direlokasi, mereka harus ada 5 – 35 juta untuk menyewa atau membeli satu kios yang ukurannya hanya 2×3 meter dan jelas angka sewa itu sangat memberatkan para pedagang. Edans!

Rencana mempercantik Plaza Bogor dan relokasi para pedagang Pasar Bogor memang sudah direncakan dari enam tahun yang lalu, tepatnya pada tahun akhir tahun 2018.  Sekitar enam tahun itu juga para pedagang terus gelisah dan dihantui oleh penggusuran. Sebab dalam kepala para pedagang, penggusuran sama dengan penghilangan kehidupan, dan penghilangan kehidupan itu tentu berakibat pada kegonjang-ganjingan tanggung-jawab mereka pada keluarga-keluarga di rumah yang harus mereka nafkahi.

Tetapi ada yang menarik dari pernyataan Bima Arya saat sedang kunjungan ke Pasar Bogor dengan tujuan meluruskan isu penggusuran di akhir bulan Oktober tahun 2018. Saat menegaskan bahwa revitalisasi Plaza Bogor itu tidak hanya untuk menjadi tempat parkir saja, dan Bima Arya juga mengatakan, bahwa program utama dari mempercantik Plaza Bogor itu adalah untuk menekan kemacetan, kesemrawutan dan ketidaktertiban. Dengan keoptimasannya itu Bima bilang bahwa, “Kawasan emas ini (Pasar Bogor) jika ditata dengan baik pasti akan hidup dan keuntungannya menjadi berlipat”.

Sedari Dulu Pasar Bogor Memang Hanya Dipandang Sebatas Keuntungan Dan Keuntungan

Apa yang ada dalam kepala Bima tak jauh beda dengan apa yang ada di kepala Petrus Albertus van der Parra, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1761 -1775) yang terkenal dengan hasrat kekuasaan dan skandal korupsinya. Dalam kepala Gubernur Jenderal itu ruang atau lahan hanya dilihat sebagai nilai. Setiap kebutuhan masyarakat dikonversi dengan melihat seberapa besar keuntungan yang akan dihasilkan. Karena pada sekitar tahun 1745 – 1750-an, saat pertumbuhan penduduk pribumi berkembang dan membutuhkan lahan untuk permukiman. Van der Parra tahu persis, Isatana tempatnya bekerja tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya kerumah-tanggaan yang mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Akhirnya van der Parra menyewakan lahan-lahan sekitar Istana Bogor kepada siapa saja yang mampu membayar sewanya, termasuk kepada para bumi putera.

Lahan yang disewakan oleh van der Parra letaknya di sebelah timur Istana, tidak jauh dari sebuah perkampungan yang didirikan oleh Tanoedjiwa. Lahan tersebut berupa sebuah lapangan atau alun-alun yang konon pada waktu Kerajaan Pakuan Padjajaran sering digunakan sebagai tempat berlatih para prajurit kerajaan. Alhasil, perkampungan pertama berdiri di tahun 1752, yang bernama Kampeong Bogor, lokasi yang bisa dilacak berada di lokasi yang sekarang menjadi Taman Meksiko di Kebun Raya Bogor. Yang terpisah hanya oleh jalan Otto Iskandardinata dan pagar Kebun Raya.

Hal tersebut tentu saja mengundang kontroversi di kalangan penjajah di Hindia Belanda. Apalagi di saat itu, para penjajah ini melarang siapa saja selain orang-orang Eropa untuk melakukan aktivitas bisnis di Bogor, karena daerah ini sudah ditetapkan hanya untuk tempat peristirahatan Gubernur Jenderal dan para pejabat negara. Namun karena hasrat ingin memperkaya diri dan menunjukkan kekuasaan, van der Parra mentulikan telinga dan menabrak segala aturan yang ada.

Apalagi ketika van der Parra mengetahui hasil dari penyewaan lahan itu mendatangkan keuntungan yang besar. Akhirnya, van der Parra menyewakan lebih banyak lahan lagi dan mengundang semua kalangan untuk dapat menyewa lahan yang dimiliki pemerintah kolonial dengan harapan akan mendapatkan pemasukan yang semakin menggunung lagi. Dalam hal ini ada dua hal yang berkaitan dengan awal mula berdirinya Pasar Bogor. Pertama, adalah peristiwa pembantaian etnis China di Batavia tahun 1740 yang memakan korban mencapai 10,000 orang.

Dari pembantain tersebut menyebabkan adanya eksodus etnis-etnis China dari Batavia. Salah satu tujuan pengungsian mereka adalah Bogor. Untuk pengawasan akibat apa yang terjadi di Batavia, kelompok etnis China yang mengamankan diri dari Batavia dilokalisir di kawasan sekitar yang sekarang bernama Jalan Suryakencana. Kedua, adalah berkembangnya perekonomian yang membuat kebutuhan akan interaksi antara penjual dan pembeli juga meningkat. Akhirnya di tahun 1770 pembangunan Pasar Bogor yang berlokasi dekat dengan pemukiman penduduk Kampung Bogor ini dimulai. Pembangunan Pasar yang berdekatan dengan kampong Bogor ini masuk akal, karena situasi Bogor saat itu masih berupa hutan, bahkan jalan-jalan yang ada sekarang pada saat itu belum tercipta.

Untuk tahun adanya Pasar Bogor ini terbilang unik, meski banyak sumber tulisan yang mengatakan Pasar Bogor ini dibangun pada tahun 1770-an, namun jika kita melihat peta yang ada di Bogor pada tahun 1898 yang dibuat oleh Topographisch Bureau dengan judul peta “Java: Res Batavia” belum ada lokasi Pasar Bogor pada peta tersebut, Pasar Bogor ini baru ada di Peta pada tahun 1914 yang dibuat oleh Wagner & Debes Leipzig dengan judul peta “Buitenzorg” (sumber: catatannusantara.com)

Pasar Bogor ini pun mulanya hanya beroperasi seminggu sekali. Namun karena ada peningkatan kebutuhan dan permintaan konsumsi serta banyak pedagang etnis China yang ikut berdagang dan menetap di kawasan ini, jadwal operasional Pasar Bogor pun kemudian menjadi setiap Senin dan Jumat. Apalagi saat itu, ada juga pembangunan klenteng Hok Tek Bio (Vihara Dhanagun) tak jauh dari sekitar Pasar, tak lama juga kawasan ini dikenal dengan nama Handelstraat atau Jalan Perniagaan. Kawasan pemukiman yang semula berada di sekitar lelerang Ciliwung yaitu di lebak Pasar, menjalar sampai ke atas hingga ke Jalan Perniagaan. Gudang-gudang untuk menyimpan hasil bumi yang dibawa oleh para pedagang mulai didirikan, atas alasan ini juga yang menjadi cikal bakal adanya Kampung Gudang.

Berbagai macam hasil bumi yang dihasilkan oleh para petani pribumi diperdagangkan di Pasar Bogor. Bahkan sayur-mayur serta berbagai hasil bumi dari daerah Puncak masuk ke Pasar Bogor dan menjadi komoditi yang terkenal di Pasar Bogor dan harap diingat, semakin ramainya prosesi jual-beli di Pasar Bogor, penyewaan lahan pun akan ditingkatkan dan dari itu van der Parra mendapatkan keuntungan yang makin berlimpah.

Pembangunan Jalan Raya Pos dan Rel Kereta Penghubung Bogor-Batavia Jadikan Pasar Bogor Beralih Dari Pasar Lokal Jadi Pasar Regional

Beberapa puluh tahun setelah berdiri, perkembangan Pasar Bogor semakin pesat. Hal ini disebabkan karena semakin terhubungnya akses dari dan menuju Bogor pada tahun 1808. Pembangunan Jalan Raya Pos yang melintasi Bogor mendongkrak perdagangan di Pasar Bogor. Di tahun 1873 akhirnya Pasar Bogor pun mau tidak mau menjadi beroperasi setiap hari, hal ini dikarenakan efek berantai dari dibangunnya jalur kereta api sepanjang 60-kilometer yang menghubungkan Batavia- Bogor.

Selain itu, status pasar yang sebelumnya berkategori pasar lokal berubah menjadi pasar regional. Pasar Bogor berubah menjadi Pasar Regional karena Pasar Bogor mampu menjadi penyuplai berbagai hal seperti kina, kopi, gula, kentang, sayur mayur bagi Batavia. Untuk catatan tambahan, tak lama Stasiun Bogor diresmikan, dibangun juga Pasar Anyar, dan Pasar Anyar inilah yang kemudian dijadikan pasar lokal di Bogor.

Memasuki akhir abad ke-20 masyarakat dari berbagai daerah yang tinggal di daerah sekitar Pasar Bogor mulai tersisihkan, hal ini lantaran karena keuletan pedagang dari kalangan etnis China yang semakin mendominasi. Tak ayal daerah sekitar Pasar Bogor ini lambat laun membentuk sebuah perkampungan China, yang kita kenal sebagai Pecinan. Ciri khas kawasan Pecinan ini adalah bangunan rukonya yang berdempet rapat dan tidak adanya halaman pada bangunan. Namun karena berubahnya pandangan mengenai kebersihan dan kesehatan maka fungsi-fungsi yang ‘kotor’ dan ‘basah’, seperti dapur, jamban, dan kamar mandi akhirnya dipindahkan ke bagian belakang. Fisik ruko pun bervariasi seiring dengan perkembangan waktu dan letak geografis.

Penulis dan perempuan penjelajah asal Amerika Serikat, Eliza Ruhamah Scidmore, tercatat pernah berkeliling Jawa tahun 1896, bersamaan dengan Belanda yang mulai melakukan liberalisasi. ER Scidmore dalam bukunya yang berjudul Java The Garden of the East mencatat kehidupan di Bogor dan menyebut Kota Bogor sebagai tropical garden atau taman dunia tropis karena suasana nyaman dan aneka tanaman tropis yang tumbuh di sana termasuk keragaman buah dan bunga di Pasar Bogor yang dilihatnya saat bertualang menjelajahi Pulau Jawa.

Dalam bukunya ER Scidmore juga menggambarkan Pasar Bogor yang dibangun dengan bentuk paviliun memanjang dengan ruangan lapang yang berlantai ubin tegel. Para pedagang kecil dari kampung-kampung datang seminggu dua kali untuk berjualan di pasar yang berada di kawasan pecinan (pemukiman Tionghoa) dan terletak di seberang pintu masuk kebun raya. Selain paviliun dengan los terbuka, di Pasar Bogor juga terdapat bangunan permanen dengan tembok, tempat penjahit dan pedagang kebutuhan rumah tangga berjualan tiap hari. Para penjahit di Pasar Bogor duduk di lantai menghadap mesin jahit tangan buatan Amerika Serikat.

Umumnya, mereka menjahit rok, kain sarung, ataupun jaket tutup khas warga Bumiputera. Para pelanggan menunggu para penjahit bekerja. Di luar kompleks pasar tersebut, pedagang musiman dari kampung menggelar dagangan di bawah kerimbunan payung tradisional. Mereka menjual aneka tanaman, buah, dan aneka bunga. Tak jauh dari sana membentang rumah-rumah warga Tionghoa di Pecinan dengan gantungan lampion dan kertas azimat dari kelenteng, di ambang pintu.

Sebenarnya sulit untuk menggambarkan situasi Pasar Bogor di saat sekarang, terlebih merujuk pada lokasi Pasar Bogor yang kabur batas dan titik lokasinya. Karena pasar tradisionalnya sendiri sudah bergeser lebih ke dalam di sebelah jalan Roda sampai Jalan Surya Kencana bahkan menjalar ke Jalan Otto Iskandardinata.

Jadi Pasar Bogor yang ada dalam pengetahuan kita sekarang sebenanrya tidak memiliki bentuk yang pasti mana yang dirujuk karena Pasar Bogor dewasa ini seperti sudah menjadi istilah untuk nama sebuah kawasan dibandingkan nama sebuah pasar. Kendati demikian, saat ini Pasar Bogor sudah menjadi tempat berkumpulnya lebih dari 2000 pedagang yang tiap hari menyediakan kebutuhan masyarakat Kota Bogor. Lihat saja dua pekan kedepan saat Ramadhan pengunjung di Pasar Bogor mencapai sepuluh ribu orang per-hari.

Tapi jangan sekali-kali merupakan sejarah. Jangan sesekali melihat hanya dalam satu arah. Toh kita tahu sekarang bahwa awal dibangunnya Pasar Bogor hanya berlandaskan keuntungan penguasa tanpa memedulikan aturan, dan sekarang ketika Pemerintah Kota datang dengan membawa aturan relokasi dan penggusuran tetap saja program utamanya adalah keuntungan. Bagaimana, sudah merasakan de javu?

Hak Atas Kota

Sekarang sebutlah penggusuran itu demi kebaikan. Demi kerapihan. Demi keteraturan. Tapi jangan lupa, kota bukan saja milik pemerintah, apalagi Perumda Pasar Pakuan Jaya, atau milik kaum kaya, sama sekali bukan kota adalah milik semua rakyatnya. Untuk itu semua orang berhak mendefinisikan ruang hidupnya, dalam hal ini adalah para pedagang di Pasar Bogor.

Kalian kira, pemerintah kota, dinas-dinas, kontraktor swasta, dan investor dalam merncanakan tata kota, memikirkan perasaan atau kenangan warga-wargi akan suatu wilayahnya? Tidak, setiap perancangan dan pengembangan kota yang dipikir selalu tentang hitungan, tentang modal, tentang siapa yang akan menang tender dan tentang kerapihan untuk bisa menyembunyikan kemiskinan dan para tuna wisma di kota.

Tapi penguasa dan swasta selalu punya pembenarannya yang lain, baca saja statement dari Agustian Syach, PLT Perumda Pasar Pakuan Jaya di laman berita Target Tipikor:

“Memang intinya para pedagang menolak untuk pindah, nanti kita kaji penolakan para pedagang itu apa penyebabnya? Kalau masalah history, itu juga bukan historical. Penempatan relokasi ini kan sudah termuat dalam renbis Perumda Pakuan Jaya selama 5 tahun dan sudah termuat disitu semua”.

Itu baru PLT-nya, karena setahun sebelumnya saat Direktur Utama Perumda Pasar Pakuan Jaya bernama Jaya Muzakkir di laporan berita Antaranews tertanggal 29 Agustus 2023 membicarakan niat utamanya:

“Tidak ada lagi pasar basah, nanti di situ (di lahan eks Pasar Bogor dan Plaza Bogor) ada gedung parkir, ada pusat kuliner, ada pasar tematik yang menjual khas-khasnya Kota Bogor … nanti juga akan ada pembangunan Hotel bintang 4 dan ruang pertemuan yang menjadi satu”.

Perumda penanggung-jawab Pasar Bogor itu ingin bilang, Pasar Bogor yang sekarang itu jelek dan becek, hanya dikunjungi oleh kelas bawah, sulit untuk pasar tradisional dikunjungi kelas menengah atas, untuk iotu diperlukan pasar modern, pasar yang bersih dan serba putih untuk kelas menengah atas sudi untuk berbelanja di sini, perputaran uangnya pun tentu akan menjadi lebuh besar dan semakin cepat mendatangkan keuntungan.

Melihat Kapitalisme Bekerja Dalam Suatu Pembangunan Kota

Yaps, kalian tak salah menduga. Kota memang tak pernah luput dari pertarungan makna, karena kota menjadi arena pertarungan yang tidak pernah selesai diperebebutkan. Menurut Henry Lefebvre dalam teorinya The Production Space kota sebagai ruang selalu terdiri dari tiga hal yang dialami oleh seluruh warga secara bersamaan. Pertama, ruang yang dipersepsikan. Kedua, ruang yang dikonsepsikan. Ketiga, ruang yang dihidupi atau dialami.

Dalam ruang yang dipersepsikan dan dikonsepkan lah terjadi pertarungan yang mana warga kebanyakan selalu dikalahkan, karena dalam dua ruang tersebut, selalu tentang pemerintahan, perancang kota dan investor yang selalu menjadi penentunya. Karena pihak inilah yang terus ingin mendominasi makna atas pemanfaatan atas suatu ruang yang bernama wilayah Pasar Bogor itu. Pemerintah Kota beserta Perumda Pasar Pakuan Jaya terus memproduksi dan mempertahankan hegemoninya untuk bisa mendoktrinisasi bahwa Pasar tersebut kumuh dan kurang terawat dan kita membutuhkan revitalisasi untuk kebutuhan publik, dan dengan alasan rasional ini mereka mengorbankan para pedagang dan memanfaatkan wilayah tersebut untuk memuluskan pembangunan pemanfaatan yang mendukung neoliberalisme dengan caplokan kapitalisme.

Kendati demikian, disinilah pentingnya saran Henri Levebfre dan David Harvey mengenai pentingnya Hak atas Kota. Terminologi hak atas kota ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh sosiolog-cum filsuf Prancis, Henri Lefebvre. Menurut Lefebvre, hak atas kota tidak bisa dipahami secara sederhana sebagai hak untuk bersih, bebas polusi, bebas macet, tanpa gedung-gedung pencakar langit, langit cerah dengan awan putih yang menghiasi kanvas biru raksasa nan eksotik.

Jika seperti itu makna dari right to the city, maka kita sebenarnya sedang membangun sebuah ilusi, karena ingin menyelesaikan problem kekinian dengan panduan atau rujukan ke masa lalu yang sebenarnya tidak kompatibel. Contohnya, menyelesaikan kesemrawutan Kota Bogor dengan merujuk pada cetak biru yang dibangun kolonial Belanda, jelas ini hanya akan menjadi lelucon intelektual.

Bagi Lefebvre hak atas kota berarti hak terhadap kota itu sebagai sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik yang relevan. Dengan pengertian ini, maka hak atas kota itu tidak sekadar dimaknai bahwa penduduk miskin berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya, tapi juga penduduk miskin tersebut memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Singkatnya, Hak atas kota adalah hak penduduk miskin yang menetap di suatu wilayah untuk dapat mengubah kota sesuai kebutuhannya sendiri, bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, tapi aktif terlibat dalam proses perubahan tersebut.

Untuk itu, menarik menengahkan pertanyaan: Apa kalian percaya, jika para pedagang kios di Pasar Bogor itu digusur untuk dipindahkan, macet akan dengan sendirinya terurai? Apa beautifikasi kawasan Pasar Bogor akan terus estetik dengan niat utamanya yang menjadikan kawasan itu pasar tematik? Padahal Pasar Bogor sudah jelas adalah cagar budaya dan tempat yang bersejarah untuk saksi hidup tumbung kembangnya Kota Bogor. Selain itu, apa artinya kerinduan akan jalanan yang teratur dan ruang terbuka hijau namun dalam prosesnya ternyata menggusur ratusan para pedagang dan membuat keluarga-keluarga para pedagang kelimpungan untuk mengembalikan kestabilan atas nafkahnya?

Hegemeni Neoliberal Dalam Memproduksi Pengetahuan Tentang Suatu Kota 

Hak atas kota itu bukanlah sebuah inisiatif atau kerja individu dan kelompok, tapi lebih merupakan inisiatif dan kerja kolektif dari warga. Kenapa partisipasi warga menjadi titik berangkatnya? Karena dalam hal ini kita menempatkan makna hak atas kota pada konteks pembangunan Kota Bogor yang jelas sudah menerapkan paradigma pembangunan perkotaan neoliberal, atau meminjam bahasa arsitek Arif Hasan sebagai neoliberal urban development paradigm. lihat saja bagaimana Pemkot Bogor dalam membangun perkotaan sepuluh tahun kebelakang, faktanya bangunan yang banyak dibangun adalah bangungan-bangunan yang sifatnya komersialisasi penggunaan kota, dengan dominasi kawasan-kawasan industri dan perdagangan.

Untuk itu hak atas kota yang harus diperjuangkan mengandung dua aspek fundamental sekaligus tak terpisahkan: kesatu, penolakan terhadap neoliberalisme; dan kedua, partisipasi warga yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya atas proses pembangunan perkotaan. Sekarang pertanyaannya, emang kenapa kita musti nolak paradigma pembangunan perkotaan neoliberal?

Dalam hal ini mari kita tekankan pada esensi neoliberalisme dalam kacamata Harvey, yang menyatakan bahwa Esensi neoliberalisme tidak lain adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk merestorasi dan memperluas kekuasaan elite kelas kapitalis pada tingkat nasional dan global melalui kontrol, supereksploitasi dan represi terhadap kelas pekerja di seluruh dunia.

Pada tataran idea, para pengusung neoliberalisme meyakini bahwa pasar yang tidak teregulasi, yang bebas dari segala bentuk intervensi negara, terbuka dan kompetitif adalah karpet merah untuk menuju ke podium kemajuan dan kemakmuran bersama. Di tataran kebijakan, proyek kelas ini direalisasikan melalui serangkaian kebijakan deregulasi, privatisasi, pemotongan anggaran publik, pasar kerja fleksibel, liberalisasi perdagangan jasa dan keuangan.

Dampaknya kota-kota dibangun mengikuti kota-kota di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang yang megah dan dalam hal ini ada kesombongan untuk merasa tidak ingin ketinggalan dan menjelmalah serangkaian kebijakan seperti privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang kota, pembangunan mall-mall, pelebaran dan pembangunan jalan-jalan tol, pembangunan pusat-pusat perkantoran pemerintah dan bisnis berskala besar, sertifikasi tanah yang segera diikuti dengan penggusuran paksa penduduk dari tanah tersebut, kriminalisasi terhadap penduduk di area pemukiman kumuh, pemberian ijin-ijin pembangunan perumahan, superblok-superblok mewah, pembangunan pabrik-pabrik, komersialisasi barang-barang publik seperti air minum, pendidikan, kesehatan, dan seterusnya.

Kesemuanya itu bertujuan untuk menjadikan kota sebagai mesin pertumbuhan ekonomi guna melayani kepentingan kelas borjuasi nasional dan internasional. Ide inilah yang menjadi penggerak mengapa Pasar Bogor dan Plaza Bogor harus dipercantik dan jangan lupa, dengan alasan yang sama juga mengapa Pemkot Bogor berhasrat sekali merelokasi bangunan pemerintahan ke tempat yang lebih luas, kesemuanya hanya untuk menyamankan para tamu kelas menengah dan para oligar.  

Dampak dari gejala pembangunan yang berorientasikan pada neoliberalisme ini, membuat pemandangan ketimpangan dalam perkotaan semakin tajam, semua bangunan megah, tol merajela dengan jalan-jalannya yang lebar, pusat perbelanjaan menjamur di setiap sudut kota, namun pada saat yang sama kota tidak ramah terhadap penduduk miskin yang terus membanjiri kota untuk mencari sesuap nasi sebagai akibat dari pembangunan yang tidak seimbang antara kota dan desa, pusat dan pinggiran. Warga miskin dianggap sebagai biang kesemrawutamn, tukang buang sampah sembarangan, sumber segala kriminalitas, yang mengganggu kenyamanan dan kebersihan kota dan hal ini akan menjadi fenomena yang tidak dilihat karena tertutupi bayang-bayang kota yang terus tumbuh dan menjadi cantik nan estetik.

Inilah yang disebut sebagai diskriminasi struktural pembangunan kota, yang lucunya mau diselesaikan secara kultural dan bersifat individual: semisal bikin sosialisasi, tentang kesadaran tidak membuang sampah sembarangan, berkendarang dengan tidak ugal-ugalan, membawa tumbler, budaya antri, dan hal lainnya yang ini jauh dari penyelesaian struktural.

Sebagai dampaknya, hegemoni pengetahuan terus direproduksi untuk mempertahankan konsep ruang sebagai suatu hasrat untuk memamerkan diri. Konsekuensinya adalah pengetahuan mengenai kota (the science of the city) mengukuhkan konsep kota hanya sebagai “objek” melalui ideologi yang bersandar pada netralitas ilmu pengetahuan dan mengabaikan konteks sejarah sosial perkembangan masyarakat yang menghidupkan ruang itu. Dalam hal ini sejarah Pasar Bogor yang terus hidup dan dihidupi oleh setiap warga dan dalamhal ini adalah warga kebanyakan yang kelasnya mengenah ke bawah. Oleh karena itulah, Lefebvre menggarisbawahi pentingnya mengartikulasikan “produksi ruang sosial” sebagai basis ideologis dalam arena reproduksi pengetahuan mengenai kota”.

Secara konkret, Lefebvre menjabarkan bahwa perkembangan hegemoni kapitalisme modern secara paralel berkonsekuensi logis pada produksi “ruang abstrak” untuk mewujudkan kehendak a desire of self exhibition atau bahasa kitanya “memamerkan diri”. Pada ruang “abstrak” inilah kapitalisme menciptakan bentuk-bentuk homogenisasi, hierarki, dan berbagai macam fragmentasi sosial lainnya.

Di sisi lain, kapitalisme dan globalisasi, atau kapitalisme yang berlangsung secara global dan secara spasial di berbagai tempat, melahirkan berbagai bentuk dan pola relasi yang “sama”, “serupa”, “hampir mirip” di berbagai belahan dunia, tetapi juga sekaligus melahirkan “perbedaan-perbedaan” praktik dan konsepsi terhadap “ruang” itu sendiri. Ruang komunal, sejarah lokal suatu tempat, serta kekhususan yang dimiliki suatu masyarakat atas tempat yang mereka huni bersama merupakan proses budaya yang ikut mempengaruhi konsepsi atas ruang “representasional” dan keunikan yang dimilikinya masing-masing.

Maka tepat jika para pedagang memperjuangkan ruang hidupnya di Pasar Bogor dengan mengatakan bahwa Pasar Bogor sudah menjadi “Cagar Budaya” dan bagian dari identitas hidupnya serta keluarga-keluarganya. Sebab dalam memperjuangkan hak atas kota itu harus melebihi kebebasan individu dalam mengakses sumber daya kota: hak atas kota merupakan sebuah hak untuk merubah diri kita dengan merubah kota.

Lebih jauh lagi, hak ini merupakan sesuatu yang komunal, mengingat transformasi tidak dapat dipisahkan dari kebergantungan atas kekuasaan koleftif dalam membentuk ulang proses-proses pengkotaan. Kebebasan untuk membuat dan juga membuat ulang kota dan juga diri kita, adalah bagian yang sangat berharga, namun hal-hal ini yang terus ditelantarkan dari hak asasi kita sebagai warga kota.

Akhirul-kalam, apa yang bisa terus kita lakukan adalah menyuarakan dan membawa permasalahan sebagian warga kota untuk menjadi permasalahan seluruh warga kota. Narasi kita sebagai warga kota yang harus mengepung ruang-ruang rapat dan peutusan pemerintah kota. Dari semua kekuatan yang kita punya, karena hanya kekuatan kelompok dan saling berempati dan bersimpati yang kita punya, kita harus terus mendesak agar kota bisa dibangun sesuai kebutuhan kita, bukan atas permintaan dan pelayanan untuk segelintir elit, kelas menengah atas dan kaum-kaum bermodal.

***

Bacaan Lebih Lanjut:

Indoprogress.com (akses: 2024)

Alfredo Saad-Filho and Deborah Johnston (ed.), Neoliberalism A Critical Reader, Pluto Press, 2006.

Ana Sugranyes and Charlotte Mathivet (ed.), Cities for All Proposals and Experiences towards the Right to the City, Habitat International Coalitions (HIC), 2010.

David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press, 2009.

—————–, Rebel cities From the right to the city to the Urban Revolution, Verso, 2012.

Eliza Ruhamah Schidmore, Java: The Garden of The East, Oxford University Press, 1984.

Neil Brenner and Nick Theodore (ed.), Spaces of Neoliberalism Urban Restructuring in North America and Western Europe, Blackwall Publishing, 2002.