Puing-puing Batu Abadi dan Puisi lainnya

Puing-puing Batu Abadi dan Puisi lainnya

ilustrasi: @Alanwari


Puing-puing Batu Abadi

Di kemacetan ini, bersandar suatu cerita:

tentang laut yang menyusut, menjadi sebuah

jalanan yang semrawut

menjemput orang-orang yang sibuk

berebut matahari yang terbit dari gundukan kapur

dan panas tak terukur oleh kulit-kulit

tanah yang kering

helai-helai daun kuning yang menjuntai menutupi kepala-kepala itu

Tapi tetap saja, cahaya bisa berenang-renang di keringat orang-orang

Konon, kisah berbeda jauh di masa ini

Tentang suatu tempat bersandarnya kapal-kapal besar

sampai menjadi tempat denyut jantung berdebar-debar tak sabar: Taruma,

Tarumanagara, di mana kah kamu?

– 

Mereka bilang kisah itu tentang kemakmuran

Titik tumpu peredaran barang-barang jajakan

Turun dari tongkang-tongkang peradaban

Di saksikan oleh batu-batu Cisadane,  Ciaruteun, yang tercengang

Menyaksikan logam-logam uang berkilauan

Pernah Taruma diisi dewa-dewa

Yang mengendalikan alam dan semesta

Yang menurunkan kelembaban di rawa-rawa sawah

Yang menaikan keadi-jayaan sang raja puja

Yang membawakan matahari bagi rakyatnya

Melemparkan jantungnya sendiri untuk dilahap seisi negara

lalu kembali di kemecatan ini, air-air berdesak

Pertemuan sungai yang menjadi peraduan Muara

Nisbah perjamuan dan peramuan para penguasa

dengan dosa

dengan mulut dan kata-kata

dengan segala rahasia dan obat-obat sengsara

Sementara rakyat sampai kini tak ada beda

Pohon abadi di tengah abdinya bersaksi

tak ada lagi yang diwariskan selain kisah

Bahkan singgasana yang membakar kota-kota musuh,

dilahap oleh rajanya sendiri

juga kitab-kitab yang dijarah lenyap oleh rayap-rayap waktu

mereka punah dan hancur seiring kejayaan

seiring kekuasaan berpindah tangan dan kepalan

Sejak dulu aku menyaksikan banyak perubahan, tapi,

Tuhan, apakah batu waktu bisa berubah sekeras kepala buntu?

Melayat di Kematian Sendiri

Di rumahku, masa lalu adalah hujan yang turun dan terbuang

ke aliran got, sungai, dan berkumpul menjadi laut yang sulit diterka

Kadang juga menjelma penyejuk di kala kemarau

pohon-pohon mengeluarkan pucuk daun hijaunya

dan kuncup-kuncup bunga yang mekar disambut angin

Lalu hujan bisa menjadi air mataku yang tak bisa mengenalmu sama sekali

Dari dua bukit merah yang berseteru merebutkan Tjianten

Pernah ada kisah tentang kekuasaan yang bukan milik siapa pun selain angin

Orang-orang asing itu menenggelamkan diri di aliran darahnya sendiri

Dari perut waktu yang dibuahi kenangan, masa lalu melahirkan mereka di buku-buku

Tapi dari dua dada di antara kamu dan aku, ada kenangan

yang coba kamu tenggelamkan di genangan-genangan

yang mengalir, dan terbawa arus Tjianten berwindu-windu

Sejak beratus kali kematianku, baru hari ini aku harus melayat diriku sendiri

Di sebuah tugu yang di bawahnya terkubur kisah yang bukan aku

Kisah yang diberi jarak seperti jembatan yang dihancurkan suatu pagi

Menyisakan ruang kosong-lengang yang direncanakan

menjadi tempatmu mengukirkanku dalam aksara-aksara

Dan masa lalu hanya suatu pejaman mata

bagimu yang tak pernah menggapaiku

Kematianku adalah pilihan antara Leuwiliang dan Galuga

Burung-burung yang tak lagi mengais biji-biji padi di antaranya

Orang-orang yang bertempur sejak subuh dan tak pernah mengenal pagi setelahnya

Suara deru mesin perang yang berganti suara orang menjajakan pajanan

Atau suara senapan siap-telah-terkokang yang tiba-tiba senyap dan lekang

Kamu melontarkan kata-kata dan waktu-waktu, sampai aku mati

Terjatuh dari atas bukit menuju Tjianten

Hingga kamu temukan aku berpuluh tahun kemudian

dalam catatan yang sempat kamu hilangkan di dadamu

Di rumahku, kamu pernah menceritakan kisah

tentangku yang pernah mati, namun abadi.

Bicaralah Fa-hsien

Bicaralah Fa, tentang perjalananmu

dari Alengka menuju China. 

Tentang badai yang membawamu ke tanah jelema Dewa Wisnu

Tentang orang-orang yang memuja Purnnavarmmanah di dataran

Bukit Pasir Sinala

Bicaralah Fa, doa-doa agamamu

dan tongkat bambu

Sejahteranya bangsamu

dengan senyum baku

Dan sejarah digdayanya seperti Taruma penguasa Cisadane

O.. Fa, di mana Visnoriva padadvayam!

Criman data krtajnyo narapatir asamilo yah

Yang sama kita rindukan

Bicaralah Fa, tentang hari itu

yang bukan hari ini

Kotor-kotor yang kau katakan

pada sejumput catatan

Adalah orang-orang yang kulihat tadi pagi

yang ingkar pada purl tarummayan

penyubur padi-padi, penyehat ikan-ikan, penggali emas-emas

Yang kau puja! 

Bicaralah Fa, Taruma terkubur

dalam buku-bukumu

Hilang menjadi debu

bersama moksa-endrasya

menjadi batu-batu

pengganti koran-koran

ditumbuhi lumut-lumut

Tenggelam bersama caah

Tumbuh kerdil bersama cerita

orang-orang yang melupakannya

Bicaralah Fa, 

Kau pergi dengan berita

dan Taruma pernah ada.