Dok. Morfem Band
Keriuhan pecah di Q Square Lifestyle Park Bogor di malam minggu. Semua penonton sing a long mengikuti front-man dari band-band idola. Hingar-bingar sound system dan distorsi gitar lebur dengan teriakan, keringat dan keriangan kerumunan. Jimy Multhazam berbagi suara dengan para penggemarnya. Pandu dengan gitarnya pun menyapa crowd yang penuh dengan lautan orang-orang berbaju hitam-hitam bertuliskan Morfem di belakang baju mereka. Jersey hasil tiki-taka antara Morfem dengan FC Rain Fall ikut pula menjadi ombak crowd di acara bernama Distorsi Gigs malam itu (16/12).
Acara pun selesai sesuai jam, lancar seperti harapan penyelenggara. Semua orang yang datang telah berbagi keseruan. Semua penampil tampil dengan sangar. Sayang, keseruan yang terjadi di dalam venue terhenti. Sebab saat para penonton hendak pulang, ada segerombolan orang entah dari mana sweeping dan menyerang dengan senjata tajam.
Penyerangan ditujukan kepada orang-orang yang berbaju Rain Fall. Dalam kepastian yang saya dapatkan langsung dari pihak FC Rain Fall, ternyata penyerangan dilakukan oleh supporter sepak-bola yang berkandang di lokasi acara itu dilangsungkan.
Tidak ada yang Keren dari suatu Penyerangan
Pasti yang ada di benak kalian, “Hah, kok bisa nyerang ke gigs musik?”. Saya pribadi tak heran, toh semua kebodohan memang sudah pernah dilakukan oleh supporter sepak bola. Yang malah buat saya penasaran, bagaimana awal mereka mengkonsolidasikan dan memutuskan untuk melakukan penyerangan.
Pasti ada yang mulai, dari chattingan atau ajakan pribadi, lalu di-iya-kan, dan dirapatkan. Dan bukankah amat menjemukan, bersembunyi lalu stand by dengan memegang senjata tajam, untuk menunggu satu acara selesai. Apa yang ada di kepala mereka saat menunggu untuk melakukan penyerangan? Merasa gagah kah, keren kah, atau apa?
Informasi dari pihak Rain Fall yang saya dapat, sweeping yang dilakukan oleh supporter lain itu pun membingungkan bagi mereka.
“Sejauh ini masih menjadi pertanyaan bagi para pendukung fc rainfall apa alasan salah satu kubu supporter itu nekat melakukan sweeping apa kah faktor kecemburuan sosial? Ultra-sektarian terhadap komunitasnya sendiri kah? perbedaan ideologi kah?”
Untuk terjadinya penyerangan, saya pikir ini seperti semacam away yang tak berizin, sebab lokasi yang menjadi tempat acara ada di teritorial (kandang) mereka, dan supporter yang melakukan sweeping ini tahu, jika acara Distorsi Gigs menghadirkan guest star Morfem, yang pasti ngajak kolaborasi Rain Fall untuk sing a long bareng, karena kedua pihak ini telah bekerja sama dalam pengerjaan jersey.
Sweeping semacam ini mungkin mereka anggap sudah lumrah dalam dunia per-supporter-an, tapi mereka kelewat keblinger dengan mengganggap gigs musik juga adalah suatu pertandingan. Iya juga sih, sepak bola dan musik itu seperti dua sisi dalam sekeping koin yang sulit dipisahkan. Tapi ah sudahlah, nampaknya para pelaku sweeping itu memilih menjadi rabun dalam memisahkan.
Rain Fall Memeluk Mimpi yang Akhirnya Kesampaian
Rain Fall adalah klub sepak bola alternatif yang lahir dari sekelompok supporter di Bogor. Sama halnya dengan tim-tim alternatif lainnya, Rain Fall terbentuk karena muak dengan kekerasan antar supporter sepak bola, dan kebobrokan manajemen klub dan federasi yang sudah ada. Rain Fall juga adalah wadah untuk meluapkan ekspresi dan emosionalnya terhadap sepak bola.
Klub sepak bola alternatif, untuk sekarang memang bukan hal yang baru di Eropa, yang dunia sepak bolanya kadung profesional dan menjadi jalang jenis lain dalam kapitalisme. Di sana, sudah ada banyak macam klub sepak bola alternatif. Seperti punk F.C. United of Manchester yang muak atas keserakahan Glazzers, identitas sosialisme yang diusung oleh Red Star F.C, afinitas yang membidani klub antifa Clapton CFC hingga upaya pendefinisian ulang Wolfgang Natcalen atas sepakbola lewat unit seni kontemporer A.S. Velasca di Milan. Atau yang lebih dulu ada di Indonesia, yakni Riverside Forest yang berasal dari Bandung.
Semua klub-klub alternatif rasa-rasanya lahir dari kemuakan atas aturan-aturan dan industri sepakbola mainstream. Sehingga melalui klub-klub alternatif yang dibuat DIY, mereka ingin bebas mengekspresikan, swakelola dengan mandiri, bahkan membuat aturan-aturannya sendiri.
Rain Fall sendiri dari awal kemunculannya telah banyak menarik perhatian. Tak heran di usianya yang belum setahun, Rain Fall sudah dapat banyak dukungan. Dengan kepercayaan itu, Rain Fall pun mengorganize acara dan memberikan judul acara “Deertroops Event: Going Underground”. Sayang acara yang diberi nama ‘going underground’ malah membikin subculture baru yang banyak digandrungi anak-anak muda di Bogor.
Terlebih nama Rain Fall makin dikenal luas setelah bekerjasama dengan Morfem dalam pembuatan jersey. Bahkan untuk promonya saja, memakai Pak Vincen dan Iqbal Ramadhan, dua orang yang menjadi magnet kekerenan anak muda masa kini. Dan seperti yang diduga, penjualan jersey hasil kerjasama itu pun laku keras. Baru-baru ini pun Rain Fall kembali bekerjasama dengan membikin tshirt bersama The Kuda band punk tenar kebanggaan Bogor.
Mungkin hal ini juga yang mendasari adanya sweeping dari supporter lain itu ke orang-orang yang memakai baju Rain Fall di acara gigs tersebut. Sekelompok orang dari supporter lain itu takut tersisih dengan kehadiran Rain Fall. Mereka takut dengan terus banyaknya Rain Fall melakukan perayaan sepak bola yang menyenangkan para pemain dan pendukungnya, mereka takut sebagian dari kelompok mereka ikut beralih dan pindah menjadi Deer Troops.
Jika ini benar yang mereka pikirkan, kelewat aneh juga, toh Rain Fall tidak akan mungkin jadi lawan atau rival klub mereka. Atau alih-alih benci dan melakukan sweeping, bukankah mereka harusnya ikut merayakan sepak bola membakar flare dan bernyanyi bersama?
Kendati demikian, memang selalu rumit jika sudah membicarakan tim kesukaan dengan membawa embel-embel kebanggaan. Bahkan Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistentialis saja, sampai komentar, “di dalam sepak bola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan”.
Saya harap, semoga sekelompok orang yang melakukan sweeping ini benar-benar oknum dari supporter sepak bola, sebab jika yang lain juga memiliki maindset kesebelasan lain merupakan musuh alih-alih lawan, hal ini akan menjadi tanda bahaya, sebab ke depan akan muncul rasa benci dan antipati yang tumbuh tanpa bisa dijelaskan alasan apa dan kenapanya, tapi dilanggengkan dan ditularkan.
Keep The Faith, Rain Fall
Sebenarnya ini bukan kekerasan yang pertama yang dialami oleh orang-orang Rain Fall, di bulan oktober, saat beberapa orang dari Rain Fall hendak menghadiri undangan konsolidasi aksi menolak kebrutalitasan aparat, yang diinisasi oleh Keluarga Mahasiswa Pakuan, entah bagaimana mereka yang memakai baju Rain Fall dihadang di gerbang Universitas Pakuan, dan tiga orang yang datang dari Rain Fall dikeroyok dan dihajar sekelompok orang.
Rain Fall yang ingin menyuarakan “Footbal Not War” dalam kiprahnya malah mendapat banyak pukulan. Semoga dari dua kejadian, Rain Fall makin gigih untuk menyuarakan “Footbal Not War” dan apakah nanti Rain Fall akan gigih atau malah meng-counter-attack kekerasan dengan kekerasan. Meski dalam beberapa kesempatan saya rasa memang diperlukan.
Selain itu, saya berharap Rain Fall terus mengimani sepak bola sebagai permainan massa, dan terus mengimani ke-alternatifan-nya yang berfungsi sebagai media untuk menentang federasi sepak bola Indonesia. Sebab jika Rain Fall sudah berpijak pada kedaimanan, keindahan dan sukacita yang ada dalam sepak bola, ini berarti Rain Fall harus menolak sepak bola sebagai industri.
Sejalan dengan itu, harus menolak menjadi warung dagangan. Jangan sampai dengan lakunya merchandise yang telah dijual, dan meraup banyak cuan untuk tabungan klub, Rain Fall malah terus menjual dan menjual. Melihat para pendukung dan ketenaran sebagai komoditas. Andai jika sudah begitu, hilanglah inklusivitas dalam suatu kealternatifan. Kendati terus mengomongkan semua setara dan semua sama, toh percuma, sebab jiwanya sudah berkepentingan kapital dan pemasukan.
Dalam alternatif sepak bola, saya percaya seperti apa yang disampaikan Gabriel Kuhn dalam wawancaranya, bahwa, “dalam dunia sepakbola, pada umumnya, adalah penting untuk mendukung inisiatif akar-rumput yang tidak hanya menjanjikan sukacita dalam suara politis dan lingkungan non-komersial, melainkan juga untuk menciptakan peluang bagi pengorganisasian masyarakat dan aktivisme politik harian yang lebih efektif”.***
Penanam kesan.