Dok. halimunsalaka
Setelah berita Sendi Fardiansyah, selaku sekretaris pribadi Iriana Jokowi, yang niat jadi orang nomor satu kota Bogor itu memenuhi pemberitaan media, lantaran harus minta restu dulu Jokowi. Saya jadi inget kegiatan iseng saya ketika aksi di Balai Kota di awal bulan Februari ini.
Saat itu, ketika kami mau masuk pintu Balai Kota, kami di hadang oleh jejeran plokis yang dibantu Satpol PP dengan wajah garang. Saat Ibu-ibu pedagang pasar sedang orasi dan mengungkapkan kekecewaannya karena wali kotanya absent di tempat kerjanya, saya iseng nyeletuk ke teman sebalah saya — coba ya wali kota kita itu Gibran, pengen banget ngelihat dia gelagapan pas dicecer media dan ibu-ibu yang pada kritis itu secara langsung.
Sekarang setelah ramai pemberitan Sendi yang ternyata adalah sespri-nya Iriana, dan seketika ngebet jadi wali kota, saya jadi merasa absurd dengan celetukan saya tersebut. Maksudnya lho-lho, kok Kota Bogor kebagian juga kena dinastinya.
Meritokrasi Mati Dihadapan Marriedtokrasi
Demokrasi memang terbuka untuk siapa saja tanpa terkecuali. Begitu juga dengan Kota Bogor, siapapun berhak untuk menyalonkan diri untuk jadi pemimpin. Tapi mari lihat tweet yang saya ketemukan ini:
Apa yang dicuitkan oleh @unamekyy tepat sasaran. Emang siapa yang kenal dengan Sendy? Andaipun ngeh, karena belakangan kita selalu dijegat oleh wajahnya di baliho-baliho. Dan ketika kita nginget namanya, itu untuk ngeperkuat rasa kesal kita pas ketemu balihonya: Mukanya Sendy lagi, Mukanya Sendy lagi.
Lagi pula coba kalian baca apa yang Sendy sendiri sampaikan ketika diwawancara Antara, sehabis bertemu dengan junjungannya — Joko Widodo, katanya:
“Tujuan saya menghadap adalah melaporkan beberapa hal, hasil survey terkait Pilkada Kota Bogor, laporan kegiatan yang saya dan tim lakukan selama 1 tahun ke belakang, laporan program yang akan dikerjakan dalam menghadapi Pikada.”
Nah coba, lihatlah. Emang tak ada rekam jejak di Bogor dan doi baru pengen tahu asam garam kehidupan Kota Bogor baru satu tahun kebelakang. Parahnya, kesemuanya hanya untuk survey dan kebutuhan kampanye untuk di Pilkada mendatang. Tidak ada kepedulian. Tidak ada satupun mengenal secara detail suatu permasalahan. Tidak percaya? Silakan baca statement kelanjutannya, masih dalam wawancara yang sama. Begini, katanya:
“Alhamdulilah pertemuan berjalan lancar dan Bapak Presiden memberikan banyak masukan. Beliau juga meminta saya bekerja keras untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Alhamdulillah, beliau mendukung untuk terus maju.”
Sekali lagi, lihat. Andaikan satu tahun ke belakang dia buat kegiatan di Kota Bogor semuanya hanya untuk meningkatkan “popularitas” dan “elektabilitas”. Hm, Sendi memang Jokowisme sekali. Anda anggap saya terlalu sinis lantaran mendakwa Sendi tidak bisa apa-apa dan tidak pantas untuk ada di Pilkada? Saya berhak melakukannya—dan semua berhak sinis terhadapnya. Okey, sekarang anggaplah semenjak kecil dia — sama halnya dengan kita memang punya cita-cita untuk menjadi pemimpin kota, tapi siapa yang tahu jalannya? Siapa yang tau caranya?
Mereka yang berani, sehemat saya pasti bukan karena percaya pada kredibilitas dan kesanggupannya membawa perubahan kota, tetapi karena punya koneksi, dan kekuasaan yang membekingi. Untuk itu semua berhak muak bila mendengar para kerabat atau sanak saudara politikus ikut mengajukan diri hanya lantaran ayahnya, omnya, pamannya, punya jabatan. Apalagi mereka bilang ingin memperbaiki kota dan memperbaiki nasib rakyat. kita memang berhak muak, atau bahkan berhak meludah dihadapan wajahnya.
Lagi pula siapa yang percaya dia ini berkompeten, adakah rekam jejak yang melegitimasi hal tersebut? Karena dua harian ini saya sudah berselancar di berbagai media Bogor, namun naas, saya tidak menemukan apa visi-misinya. Radar Bogor menuliskan semua pengalamannya, tetapi, rasnya semua orang ketika punya koneksi bisa mendapatkan pengalaman tersebut: Ketua Umum Kawani Bogor (April 2023 – Sekarang) dan Pengurus Pusat Syarikat Islam (SI) Masa Jihad (2021 -2026). Ayolah semua jabatan dan kepengerusan itu pasti ada andil karena dia jadi Sesprinya Iriana. Lihat saja semua masa jabatan yang didapatnya saat dia menjadi sespri Iriana dan saat Dinasti Jokowi tengah berkuasa.
Sekarang andaikan dia memiliki kepercayaan diri maju menjadi orang nomor satu di Kota Bogor, saya rasa itu hanya karena dia punya ikatan dengan keluarga Jokowi, khususnya karena jadi sespri Iriana. Kita tahu, Iriana ikut bermanuver saat Gibran naik menjadi Wakil Presiden. Bahkan di Bocor Tempo Alus edisi khusus yang membahas Iriana, kita tahu ambisi dan manuvernya. Jadi siapa yang bisa menjamin kalo Sendy maju bukan karena ada andil Iriana juga. Sebaliknya, Sendy memanfaatkan relasi dan momentum tersebut. memanfaatkan timbal baliknya, dan akan menghamba lagi pada tuannya, bukan kepada rakyat—yang adalah sebenarnya tuan dalam suatu pemerintahan.
Dalam hal ini saya membayangkan, ketika Sendy sudah mendapat restu, namun masih ragu karena kapasitas dan kemampuannya, dia merenung dan berkontemplasi dengan dirinya. Dan dalam kegamangannya mau menjadi Wali Kota, Sendy sampailah pada kesadaran spiritual yang sureal: Ah, anaknya Bu Boss, yang planga-plongo aja bisa, sampe jadi wakil presiden malah. Masa gue enggak.
Lawan Kita Adalah Dinasti Dan Segala Hal Yang Merongrong Demokrasi
Sekali lagi, bukan maksud saya ingin mengerdilkan Sendy. Karena maaf saja, kehormatan yang besar bagi Shendy jika saya menganggap Sendy penting, dan lagi pula Sendy bukanlah lawan yang ingin saya lawan. Karena dalam periode reformasi yang tengah dikorupsi dan dibajak Neo-Orba ini, kita berhadapan dengan Dinasti Jokowi. Sebuah keluarga yang potongannya hanya mas-mbak Jawa biasa, namun punya alter-ego yang sangat otoritarian, serta bengis pada kekuasaan. Dan dengan wajah tanpa malunya telah memanfaatkan kekuasannya, bahkan sepenuh-penuhnya, parahnya dengan cara sebebal-bebalnya.
Dinasti yang mengidap narsisme akut ini, telah menganggap negara adalah rumahnya, setiap daerah adalah kamar-kamar yang semuanya harus dikerjakan dan diisi oleh keluarganya, kerabatanya, dan seluruh innercircle-nya. Mari kita sebut satu persatu: Gibran Rakabumi Raka, anaknya jadi Wali Kota Surakarta, dan akan jadi Wakil Presiden Indonesia.[1] Bobby Nasution, mantunya jadi Wali Kota Medan.[2] Kaesang Pangarep, anaknya jadi ketua Partai Solidaritas Indonesia.[3] dan yang akan datang: Kahiyang Ayu, anaknya akan maju Pilkada[4] Erina Gudano, mantunya santer dikabarkan maju di Pilkada Wali Kota Sleman.[5]
Segala pemberhalaan itu terbangun hanya karena mereka punya alat negara. Punya legitimasi kekuasaan. Dengan demikian, mereka percaya bahwa semua langkah politiknya bisa dilaksanakan, semua yang diinginkan harus terealisasikan. Semua sanak-saudara, kerabat, tante-om dan ponakannya, semua harus kabagian. Dan dari semua keberhasilan—meski inkonsitusional dan melacurkan moral—yang telah mereka rengkuh, mereka menganggap kita sebagai rakyat hanyalah sekumpulan anak kecil yang hanya bisa merengek dan merengek.
Tambah brengsek karena dari semua gerbang kehancuran demokrasi, kebanyakan orang masih akan tetap menjawab dengan: Lho, kan rakyat yang memilih. Rakyat juga yang menilai. Hm, jawaban yang menggemaskan dan memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Siapa saja memang boleh untuk menceburkan diri ke lumpur-lumpur kotor politik; dan pada akhirnya, memang rakyat yang menentukan.
Namun, barangkali, perlu diingat siapapun yang berkontestasi karena dibekingi dinasti, sebutlah keluarganya Jokowi dan keluarga Yasin, yang selalu terjerat korupsi, atau para politikus yang mengendorse anaknya masuk politik—-mereka-mereka ini memiliki privilese yang amat kuat dan menguntungkan. Para politkus yang maju karena nepotisme tentu tidak perlu repot-repot membangun kepercayaan publik dari bawah, ikut organisasi kepemudaan, bergaul dengan rakyat biasa, atau mengubah hal-hal kecil di sekitarnya. Apa lagi membaca dan menguasai teks-teks teoretis Marxis. Karena semuanya sudah diatur oleh keluarganya yang memegang kekuasaan.
Demokrasi memang meniscayakan setiap orang berhak memilih dan dipilih. Tetapi siapa yang tega menyerahkan tanggung jawab suatu tata kota kepada yang barangkali tak pernah tahu sejarah dan permasalahan suatu kota. Bahkan tak pernah kita kenal orang dan rekam jejaknya? Siapa yang bisa menjamin kebijakannya pada ketersediaan rumah layak huni jika pemimpinnya tak pernah memasuki gubuk-gubuk, di kawasan urban maupun wilayah pinggiran? Mereka yang besar karena kekuasaan biasanya mereka-mereka yang tak pernah menginjak tanah dan tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam realitanya.
Memang Apa Yang Bisa Kita Harapkan Pada Pemerintahan
Kendati demikian, percayalah, saya sebenarnya adalah orang yang pemaklum. Saya dapat memaklumi bila Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor bilang, pembangunan fasilitas umum terkendala oleh anggaran belanja yang sudah difokuskan pada taman-taman. Saya pun dapat memaklumi bila wali kota yang sudah dua periode menjabat ini tak berkutik dalam memberangus kemacetan dan kebringasan angkot-angkot yang ngetem di jalanan. Namun, saya rasa cukup mempunyai wali kota yang bisanya hanya mengonten dan mengonten. Cukup rasanya dua periode dipimpin oleh Wali Kota yang hanya bisa memperbaiki citra dan hanya memperbagus tengah kota. Maka untuk itu, please tak mestilah Kota Bogor harus dipimpin oleh orang-orang Jokowi yang tidak lebih parah dari wali kota sebelumnya. Kita warga Bogor kenyang dengan pemimpin yang caper dan tebal-muka. Jangan ditambah-tambah lho, ya.
Tetapi saya juga bukan orang yang kelewat ideal, saya tidak mengharapkan wali kota yang memperjuangkan hak-hak warga-masyarakat atas kotanya. Saya percaya rakyat punya kehidupannya sendiri, rakyat bisa mengatur dirinya sendiri. Kita terbiasa dengan suatu kota yang digerakan secara otopilot. Lagi pula, kita perlu renung-pikirkan apa yang disampaikan Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan apa yang disampaikan oleh Mas Uceng tadi di Aksi Kamisan Jogja, bahwa, “demokrasi tidak pernah kalah, namun ia harus diperjuangkan”, jadi saran saya, tak mestilah ada wali kota, pemerintah atau negara-negaraan. Kita lanjutkan saja saling rangkul-merangkul sebagai sesama rakyat dan mari terus berbagi kebahagiaan dan kebaikan meski orkestrasi kehidupan menyedihkan dan serba pas-pasan.***
Penanam kesan.