dok. laidenuviversity
Di satu waktu, dalam lini masa hidup saya yang terlunta di dunia sastra. Saya pernah keranjingan dalam mempertanyakan satu hal: Di Bogor, apa hanya hujan yang bisa diromantisasi jadi suatu karya? Apa hanya hujan yang bisa diromantisir dalam mengenang suatu Kota?
Sekarang pun jika saya tanya, apa yang terlintas dipikiran kalian tentang Bogor? Pasti jawaban yang terlintas cepat adalah hujan. Sejuknya. Bau tanahnya. Serta sederetan genangan eh kenangan lainnya yang ikut merebak ketika hujan. Memori-memori tentang hujan itu pun kemudian berserak ketika diabadikan menjadi karya dalam mengambil tema kebogoran.
Tapi jika saya tanya, apa karya-karya lainnya selain bertemakan hujan yang dapat menggambarkan kebogoran? Saya tebak kalian langsung mendehem dan bilang: iya juga ya, apa ya? Dan seperti apa yang digugat oleh karakter Inez Fiancee dalam pembukaan film Midnight In Paris besutan Woody Allen — Kenapa tiap kota harus terguyur hujan? Apa bagusnya berbasah-basahan?
Bukan. Bukan saya tidak suka hujan. Tapi yang mau saya ketengahkan, apa tidak ada kenangan yang termanifestasikan menjadi suatu karya — ketika kita membicarakan Bogor yang tidak membicarakan hujan. Saya tidak mau mengambil sastra atau film buat jadi contohnya dan lagi, sebab kedua kegiatan itu bukan bagian dari keseharian khalayak kita. Saya mau menariknya ke dalam senandung lagu. Karena mau bagaimanapun karaktermu, suasana hatimu, latar belakang dan status sosialmu, musik atau lagu adalah teman setiamu.
Selain itu, dalam hal ekosistem, di Bogor sendiri, sehemat saya musik adalah bagian yang paling berjalan ekosistemnya. Mulai dari band-band yang mulai memapankan diri dan terus bermunculan, penikmatnya yang siap sedia menonton dan membeli merchandise, dan rilisan— sampai showcase dari berbagai EO yang saban minggu dilangsungkan.
Membicarakan suatu lirik dan kota pasti kiblat kita tidak akan jauh dari Jakarta dan Jogja. Bagaimana tidak, Jakarta punya Matraman (The Upstair) Jogjakarta punya Sayidan (Shaggydog). Dari lagu “Matraman”, kita langsung kebayang nafas kehidupan daerah Matraman yang berada di Kota Jakarta di era akhir 90-an. Dari lagu “Di Sayidan”, kita langsung merasakan tempat berbagi cerita dan rasa orang-orang yang tinggal di sepanjang jalan/gang Sayidan.
Bogor Apa Punya Lagu Yang Serupa?
Jawabannya jelas ada! Oleh karena itulah tulisan yang berisikan mixtape “Bogor Dalam Senandung Lirik” ini saya buat. Tapi karena saya tidak punya nada keilmuan menyoal musik, jadi yang mau saya bicarakan hanyalah berfokus pada lirik.
Yang pertama, untuk pemanasan, adalah “Gadog”. Lagu ini milik Texpack yang berkolaborasi dengan Edo Wallad. Gadog menjadi lagu ke lima dari album “Spin Your Wheels” yang rilis pada tahun 2019. Gadog setidaknya bisa menjadi jawaban yang sebanding dengan Matraman dan Sayidan. Sama-sama mencuplik peristiwa kehidupan biasa yang terjadi di Gadog dalam suatu masa dan sama-sama memakai nama tempat dan jalan untuk judul lagunya.
Edo Wallad, yang membuat lirik dan juga menyanyikannya. Atau lebih tepatnya berdongeng dengan di-latari bebunyian gitar dan bas serta dentuman drum yang santai, tengah menceritakan kehidupan seseorang bekas pekerja kreatif/advertising “hipster//medioker” di Ibu Kota dan sekarang kembali menghidupi hidupnya yang biasa di tanah kelahirannya dengan usia yang cukup mature, “Tiga puluh empat, setidaknya angka itu teringat”
Lagu “Gadog” entah kenapa terdengar puitik sampai ke telinga saya. Entah karena memang musiknya yang terdengar cheesy dan nyaman di telinga. Atau entah karena Edo Wallad sang pencipta liriknya juga berkecimpung juga di dunia sastra. Tak percaya? Coba dengarkan bagian idiomorfis ini:
“Tak perlu kau gulung lengan bajumu
Hari memang sudah tua
Tapi November tahun ini mendung terus menggelayuti langit
Sembunyikan matahari”
Dalam lirik tersebut, kita bisa melihat bagaimana Edo mempersonifikasi hari seperti bapak-bapak berkemeja lengan panjang yang memiliki usia. Dan entah karena kegerahan atau apa ingin kembali menyuntikan di guratan nadi untuk bisa mendapatkan smile dari matahari. Tapi November tahun ini mendung dan ingatan-ingatan dari kesibukannya saat menjadi pekerja pun semakin tergerus.
Kehidupan di Gadog, bagi Edo telah berjalan mengikuti porosnya Menjadi kuli // Menjadi kolektor // Menjadi tukang ojek // Menjadi tukang gorengan // Menjadi tukang listrik // Dan selalu menjadi santri. Di titik ini Edo paham, kebudayaan atau suatu perkotaan tidak bisa eksis dalam sejarah tanpa kerja dari pekerja. Dan dalam sistem masyarakat yang kapitalistik dan feodal pandangan hidup yang demikian ini membuat masyarakat menerima begitu saja nasibnya. Lebih jauh lagi, mereka para pekerja — yang adalah kita — menerima begitu saja “kodratnya” sebagai pekerja yang menggarap kebutuhan untuk para bos yang menganggap dirinya laksana Sultan dan Raja. Tapi dari mendungnya nasib yang terus menggelayut, Kita tidak tahu apakah harus bersyukur atau mengumpat // Pagi menulis di Gadog.
Yang kedua, dan kita tidak bisa sekalipun melewatinya adalah “Bayang” dari RRAG. lagu ini ada di EP “Bayang” yang dirilis tahun 2022 oleh RRAG. Bayang adalah salah satu yang cukup berhasil menggambarkan kebiasaan orang-orang Bogor di masa sekarang dalam melakukan perjalanan keseharianya. Meski ada kata “gerimis” dalam untaian liriknya, tapi “Bayang” jauh dari kata pengobjektifikasian hujan yang melahirkan kemelowan. Bahkan “Bayang” merekam dengan amat sinematik setiap perjalanannya melintasi jalan-jalan kota.
“Kenakan jas hujan dari surga ke Villa Duta
Ratusan sutet menjulang di Pandu Raya
Telusur jalan nikmati takdir di bayang Kota”
Acil yang menuliskan “Bayang”, yang terinspirasi dari pengalaman diri sendirinya pun berhasil membikin kita yang mendengarnya, ikut terlibat dalam perjalanannya. Karena apa yang dinyanyikannya adalah kehidupan kebanyakan dari kita yang hanya bisa mengendarai roda dua untuk menunjang pergaulan dari satu tempat nongki ke tempat nongki lainnya. Dan dalam perjalanan ketika gerimis menyerap di kulit muka, pilihannya hanya dua: meneduh atau kenakan jas hujan untuk bisa tetap sampai ke Villa Duta.
Elektronika dari melodi gitar yang terdengar pun, menambah nikmat nuansa perjalanan dari rumah melewati Pandu Raya dengan julangan sutetnya ke Taman Kencana. Relasi sintagmatik (in-praesetia) dari nama-nama jalan yang hadir dalam “Bayang” pun erat kaitannya dengan keseharian kita. Ketika mendengar nama-nama jalan dan taman itu dinyanyikan oleh Ajeng sebagai pengisi vokalnya ada in-absentia (asosiatif) kehidupan lainnya yang turut serta. Waria yang jadi Pak Ogah di putaran Pandu Raya. Kios kecil bernama 150 yang menerawang uang di bawah lampu, yang berada di sisi jalan ketika kita bersiap ambil belokan ke kiri di lampu merah Taman Corat-Coret. Dan ketika ku menunggu tanpa wajah ku terpaku di taman kencana, ada memori dalam satu masa yang terkenal dengan “agata” (Anak Gaul Taken) yang jejaknya tersapu dan seketika merebak dan tersibak.
Yang ketiga, dan hitunganya cukup lama adalah “Please Dong Ah” dari Fade 2 Black. Lagu ini adalah sekelumit pengalaman surealis dari para personilnya dalam satu hari yang kagak oke. Mulai dari lupa pakai sandal dan dicap mau maling mangga. Kesiangan buat nongkrong lalu ketabrak motor dan pengkor, dan diajak kenalan sama perempuan aduhai dan akhirnya kecopetan.
Lagu “Please Dong Ah” adalah pengalaman hidup di medio tahun 2000-an. Pergaulan yang jauh dari kata pakai kendaraan. Suatu waktu ku berjalan tak tentu // Mengitari sudut kota mulai dari warung jambu // Kemana-mana pilihannya jalan atau ngangkot. Selain itu, ada daerah “Pajajaran” yang pada masanya pernah menjadi pusat hang out dan pergaulan. Nongkrong di pajajaran waktu tak ditentukan.
Meski bukan era yang sama, tapi dalam lagu ini setidaknya kita bisa membayangkan anak-anak Bogor yang lahir di tahun 80-an dan menjadi dewasa di tahun 2000-an. Namun untuk orang-orang yang lahir di bawah 2000-an tentu kita ingat bagaimana rawannya naik angkot di kota dengan banyak trayek yang membingungkannya. Padjajaran pun tentu masih kita alami sebagai pusat pergaulan anak sekolah pada masanya. Di sana ada dua kompetisi yang bergengsi: Gamagudabo dengan futsalnya, dan DBL dengan basketnya. Pada masa ini semua anak gaul berbondong-bondong mejeng di Gor Padjajaran. Anak-anak STM berkiblat fashionnya ke anak SMA. Celana abu yang cutbray untuk pria. Rok span untuk wanita. Dan dalam hal ini “GOR PING!!! terdengar sinkronik dalam status BBM kita.
Yang keempat, dan mari kita sedikit bercinta-cintaan dengan lagu “Semalam di Kota Bogor” yang dipopulerkan oleh Pat Boone-nya Indonesia: Alfian. Lagu yang jauh dari hingar bingar dan hentakan khas musik kiwari ini, setidaknya sudah berusia lebih dari setengah abad. Diciptakan oleh Zaenal Arifin, yang seorang Minang, kemudian dinyanyikan di depan umum untuk pertama kalinya pada tahun 1967. Pertama saya mendengarkannya jelas ada kesan yang mendalam dalam setiap baitnya.
“Kini ku takkan lagi
Mengembara sendiri
Kota Bogor menahan
Daku pergi”
Lagu dengan aku-lirik “daku” yang khas dari pujangga-pujangga telah dengan sendirinya menunjukan usia lagunya. Berbeda dengan lagu-lagu sebelumnya yang diambil dengan POV warlok (warga lokal), lagu ini memakai POV pendatang yang ketika hanya semalam menginap di Bogor langsung terkesima dan menahan si aku-lirik untuk menetap dan menanggalkan pengembaraanya. Banyak kota daku bermalam // di masa hidupku yang silam // Kota Bogor di kebun raya, mengakhiri segalanya//.
Paduan kesederhanaan yang hanya melibatkan jiwa dan suaranya memberikan nyawa seakan-akan Bogor begitu berarti bagi si aku-lirik. Tapi, memang dasar pujangga. Sekali jatuh cinta rela meninggalkan semuanya. Begitulah kira-kiranya inti dari lagunya.
Amblas Jika Tanpa Perspektif Kelas
Sebelum masuk ke lagu berikutnya, mari kita masuk ke genre yang lekat dengan perjuangan. Dan agar tidak seperti resepsi yang hanya berkutat pada kesukaan dan perasaan. Sekarang mari kita sedikit menegakan badan.
Selain itu, di twitter banyak yang memberi warning bahwa ketika menganalisis satu fenomena budaya tanpa memasukan perspektif kelas itu hanya akan seperti pelajaran SBK (Seni Budaya dan Kesenian). Oleh karena alasan itulah, ”Bunder” dari Oncom Hideung saya letakan di urutan kelima untuk menjadi main course-nya.
Lirik-lirik dalam lagu “Bunder” jelas adalah nyanyian dari suatu kritik. Menyanyikan lanskap keruwetan daerah bogor post–industrial dengan fragmentasi yang baru mengurban. Dengan penanggalan-penanggalan pertanian dan kehijauan—yang sialnya lirik-liriknya masih menjadi representasi acak-kadut yang terus relevan. Lihat saja spoken word repetisi yang sedikit divariasi ini:
“Tales Bogor yang sudah kesohor
Tersisih oleh buahnya dari impor
Panas bogor sudah mirip panas kompor
Jangan-jangan biar kotor asal kesohor”
Coim pentolan band sekaligus pencipta lagu ini amat bersahaja merekam semua permasalahan yang ada di Bogor. Komprehensif tanpa ada yang terlewat. Mulai dari penyakit kesundaan yang rela tekor asal kesohor yang membikin rugi dong. Kenaikan-kenaikan harga. Ruwetnya struktur tata kota. Transportasi umum yang membuat mengelus dada. Pendidikan dasar yang tidak untuk semua warga. Kebutuhan hidup yang membuat harus turun cari uang di jalan. Sampai krisis iklim yang membikin cuaca mirip panas kompor.
Kesan mendalam dari lagu ini adalah kesantaian iramanya dipadukan dengan dendang sanksi yang mendesak-desak untuk didengarkan. Dengan menggunakan frasa kami-kami dari Bogor Raya // ingin bernyanyi mewakilkan suara // Coim sudah jelas menunjukan stand karyanya untuk menyuarakan kelas yang mana, dan itu adalah kelompok 99% yang kebanyakan dari kita adalah jadi bagiannya.
Walter Benjamin, sang pemikir Jerman dalam tulisannya On The Concept of History mengatakan bahwa kelas tertindas, “…hidup dalam perjuangan sebagai sebuah keyakinan, sebuah keberanian, humor, kecerdikan dan ketabahan dan [semua itu] memiliki efek yang jauh mencapai masa lalu”. Dan briliannya lagu ini, bagi saya setidaknya adalah mereka tidak hanya melakukan representasi akan gagalnya pemerintah kota dalam membangun suatu kota yang ramah untuk semua warganya tapi sekaligus melakukan interpretatif, meski tidak secara gamblang.
Lihatlah lirik “jangan-jangan biar kotor asal kesohor” itu adalah bentuk lain untuk mengatakan tak peduli mau angkot pelerot bikin kepala pusing, mau anak-anak putus sekolah karena harus menyambung hidupnya cari recehan sambil nebeng angkutan, mau pedagang-pedagang kaki lima membanjiri tiap ruang publik dan jalanan, mau kebun raya – puncak panas kebakaran, pepohonan tumbang, musim hujan kebanjiran, dan warga-warga menjadi korban, itu semua tidak masalah selagi citra pemerintah dan kota Bogor terjaga di media—dan pemerintah pusat. Karena sekali lagi apapun permasalahan yang ada di kota Bogor, yang dilakukan pemerintah untuk meresponnya hanya dengan tiga cara: pertama, memperbaiki citranya, kedua, memperbaiki citranya, dan ketiga memperbaiki citranya.
Dengan kekhasannya, Coim bernyanyi seperti menahan sesuatu yang mendesak-desak hendak bertanya; Oooh…. siapa? // Ooh…. mengapa? // Ooh… di mana? // Ooo… bunder. ‘ dengarkan, ada “oh… bunder” yang berasosiasi dengan “oh atuh” yang menunjukan ada humor yang ngenes di sana. Sebab sense of humor muncul dari ketertindasan demi ketertindasan yang di-derita dari hari ke hari. Penindasan dan ketertindasan yang dirasakan — yang menjadi bagian dari kehidupan itu pun kemudian merasuk menjadi ketakutan, sampai-sampai untuk menunjuk batang hidung — yang seharusnya bertanggung jawab akan kesialan hidup pun kita tidak sanggup.
Saat ini, pasukan angkot, menurut data Pemkot, ada di kisaran lebih dari 3.400. Mereka beroperasi dan mencari penumpang dengan cara yang sama dan sistem transportasi yang buruk menghadirkan cara hidup yang ‘meresikokan hidup’. Tentu deru mesin yang membanjir itu akan semakin bising dan sekarang Anda bayangkan untuk angkot saja ada 3.400 dan itu hanya ada di kota Bogor yang ruang dan wilayahnya segitu.
“Sudah begini tanggung jawab siapa
Ooh… siapa? Ooh… mengapa?
Ooh… di mana? Ooh…. bunder”
Sekarang mari kembali bayangkan setiap sabtu di taman topi sekitar 2010-an. Bebaskanlah keinginan untuk menghentak-hentakkan kaki, tangan yang bergerak bebas menari, serta kepala yang bergoyang tak tentu arah. Lantas, rasakan dan resapi lirik-lirik yang terkutipkan di atas. Lapangkan pikiran dan sambutlah realitas penindasan. Di sini Oncom Hideung tengah bicara tentang perjuangan kelas.
Yang keenam, dan sekarang mari kita panaskan lagi lantai dansa ini dengan nge-punk. Karena di track keenam dari Mixtape ini ada lagu “Buitenzorg” dari tetua band Punk di Bogor, The Kuda. “Buitenzorg” ada dalam split album dengan band Jakarta the Vague dan untuk itu nama albumnya pun split lengkap dari nama band mereka “The Kuda/Vague”. Buitenzorg tentu kita tahu adalah nama lama dari Bogor yang dititimangsakan oleh penjajah Hindia-Belanda. Dan dalam lagu ini meski tidak ada satupun lirik yang melekatkan nama jalan, nama tempat, ataupun masa yang melekatkan pada identitas kebogoran, tapi bagi saya dengan judul yang terus terang dan dengan lirik-lirik yang mendesak “Buitenzorg” menjadi lagu yang menggambar bogor yang mengurban.
“Nada sumbang memukul telinga
Jejak bau memperkosa kota
Lalu lalang tanpa diminta”
Bagi Pati pencipta lirik dengan spirit punk-nya, hemat saya di antara lagu dan liriknya, yang terpenting adalah liriknya. Musiknya tentu saja cepat dan beringas, yang membawa pesan tentang kondisi terkini dari rakyat, serta peristiwa-peristiwa lain yang tidak dituliskan dalam laporan resmi pemerintah kota dan daerah.
Trek berdurasi kurang dari 2 menit yang memperdengarkan kita nada-nada agresif, dengan gelegar vokal yang meneriakan tentang respons mereka pada obskuritas // Manusia telah berdebat // Orang-orang berbicara // Beberapa orang marah //. Namun ada yang ganjil di penghujung liriknya, yakni pada kata “fantasi”. Karena implikasi dari lirik “Fantasi” bisa saya tangkap dengan cara terbentur. Maksudnya, ada fantasi yang merealita dan ada realita yang memfantasi. Jelas dalam hal ini “Buitenzorg” seperti ingin menggambarkan kehidupan warga kota di era pasca-kebenaran.
Jika kita membacanya dengan cara normal seperti membuka pintu untuk masuk ke liriknya, tentu pembacaan telanjang kita pada “fantasi” memiliki metabahasa repetitif yang hanya membenarkan bahwa Ini Fantasi // Ini Fantasi // Ini Fantasi, // Dari ampas Kota. Namun saya ingin membaca kata “fantasi” itu melalui jendela atau mungkin melalui celah-celah atap. Karena jika kita merujuk langsung pada “Buitenzorg” sebagai judul lagu yang otomatis menjadi ibu dari anak-anak liriknya, tentu kita melihat setiap liriknya sebagai pengembangan dari suatu struktur kehidupan nyata. Perlu kita ingat juga Buitenzorg dalam kata asalnya dipahami sebagai kota peristirahatan, dicita-citakan sebagai kota yang hanya dipakai untuk senderan para pejabat Hindia-Belanda. Jadi ketika lirik-liriknya menggambarkan keriuhan di mana pengemis tidur, bau kota, dan nada sumbang (yang) memukul telinga bisa jadi ini dibayangkan oleh Pati yang saat membuat liriknya merasa (berfantasi) dialah pejabat Hindia-Belanda yang tengah memprediksi masa depan Buitenzorg sebagai ampas kota.
Tak perlu membayangkan Buitenzorg periode 1800-an hingga 1920-an, untuk memahami perjuangan melawanan kolonial. Ketika itu Hindia Belanda hanya membuat Buitenzorg sebagai persinggahan dan tanah-tanahnya dijadikan ladang uang. Dengan menjadikan daerah-daerah sebagai tanah partikelir milik sang Tuan. Dalam sinkronisasi waktu hingga kiwari, tak heran di akhir lirik, untuk pengaburan timeline kesejarahan Pati mensugestikan bahwa “Ini Fantasi”.
Namun sialnya ketika Pati meyakini itu adalah fantasi, tapi kenyataanya itu adalah realita dari kehidupan kota yang dia alami. Sebab apa yang diidealkan tentang “keluar dari kesibukan”, dan tanpa kerisauan, itu tidaklah abadi. Tapi bagaimanapun suara-suara pinggiran bukanlah sekadar pengisi prasyarat keberagaman untuk menyandang kota ideal. Untuk menjadi “Buitenzorg” atau kota tanpa kerisauan, tentu semua kehidupan yang ada di kota haruslah ramah untuk semua, dan semua memiliki hak yang sama untuk mengaksesnya. Tanpa terkecuali. Tanpa diminta.
Tetapi seandainya pun semangat dan perebutan kota itu belum bisa kita dapatkan, itu tidak jadi masalah. Toh perjuangan banyak macam caranya dan ada banyak jalan menuju Roma. Salah satunya, rasakanlah beat-beat yang ada di lagu ini. Pahami kontradiksi yang ada dalam lirik-liriknya. Pati tengah berbisik: ‘Ini Fantasi // Ini Fantasi // Ini Fantasi // Dari ampas Kota.
Yang ketujuh, dan masih satu tarikan genre yang sama dengan The Kuda, ada “Sore Di Kebun Raya” dari The Jansen. Lagu ini berada di track ketiga dari album fenomenalnya “Banal Semakin Binal”. Umpama “Bunder” (Oncom Hideung) dan “Buitenzorg” (The Kuda) berbicara dengan kacamata kelas, “Sore Di Kebun Raya” mencoba ke horizon yang lebih luas dan berbicara keresahan kontemporer dari muda-mudi generasi di bawahnya.
“Sore di kebun raya
Diatas kain kita bertamasya
Silau matahari terhalangi
Sebaya kita berakhir di sini”
The Jansen yang kerap membuat pemotretan dan video-clip di Kebun Raya, saya kira terlewat iseng untuk memperhatikan gelagat-gelagat remaja ibu kota yang menjadi turis lokal di Kebun Raya dan kemudian dijadikan lagu oleh mereka. Tapi Adji sebagai pencipta lagunya, tidak hanya memerhatikan layer pertama dari kebiasaan pengunjung-pengunjung di Kebun Raya. Adji merasuki apa yang ada dibalik kepala dan raut wajah mereka.
Dan dari pembacaan semantiknya yang memasuki ranah-ranah idea. Adji menangkap keresahan tentang suatu masa depan. “Hidup Untuk Hari Ini” tidak menjadi pedoman oleh wajah-wajah yang Adji amati. Bicara tentang masa depan // Hilang sudah raut wajahmu // Mampus dihajar harapanmu.
Tapi ada apa di masa depan? Begitu tidak ada kepastian kah di masa mendatang? Apakah kebahagian tidak bisa kau rebut dan nikmati di hari ini dan di sini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin tengah Adji kuliti. Tapi kenaifan yang Adji saksikan jelas menunjukan kebitteran khas generasi yang lebih tua memandang ke generasi lebih muda.
Tentu, masing-masing dari kita sepakat kebun raya adalah amazon menyenangkan dari hasil kolonial. Tapi di lagu ini Adjie tidak sedang meromantisasi keindahan atau mengipas-ngipasi eskapisme yang tengah dihirup oleh para remaja — dalam kepenatan hidup beserta belangsaknya tawaran dalam ruang hidup kota. The Jansen dalam liriknya, justru sedang menertawakan, entah mimpi entah trend gaya hidup ala stoic yang tengah remaja-remaja itu imani.
Bagi saya, mendengarkan “Sore Di Kebun Raya” seperti mendengar kejulidan mental yang terlampau fomo terkait benturan kecemasan akan masa depan: ketidakpastian kerja dan harga rumah yang tak menapak tanah. Tokoh ‘Remaja’ dalam lagu ini adalah gambaran diri yang ambles secara fisik maupun mental. Dan tanpa diberikan nafas mereka terus dijebak algoritma dari trend yang terus dilacurkan oleh influencer dan tokoh idol mereka.
Hidup yang terus mengejar ke-masa-kini-an membikin manusia makin murung dan rusak mentalnya. Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (I-NAMHS) menyebutkan bahwa 17,9 juta remaja Indonesia punya masalah mental. Mercer Marsh Benefits mengungkap 37% pekerja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental sehari-harinya imbas ketidakpastian ekonomi yang mencekik. Dan di atas kain kotak-kotak merah yang dibeli di shopee, keranjang yang berisi wafer dan cake, serta novel-novel berbahasa Inggris, dan dengan paduan outfit musim panas bernada cerah, para remaja itu bersuka rela memberikan dirinya untuk di objektifikasi sesukanya.
Asumsi bahwa semua orang bisa setara dan berkesempatan meniti karir menjadi “Orang” di bawah kapitalisme, bahwa orang bisa mendulang keuntungan dari pro-kontra yang dihasilkan dari tindakannya di media sosial terlepas apapun profesinya. Di dunia seperti inilah orang bisa terlihat memiliki gagasan, berkhotbah tentang pentingnya kepercayaan diri, atau sebaliknya, mengasihani dirinya sendiri. Dalam mimpi yang timpang dan harus ditopang previlaged keluarga yang berpengaruh dan berada itulah, Adji dalam liriknya menghentak untuk meminta perhatian.
“Hey kau naif sekali remaja ibu kota
Hey kau naif sekali remaja ibu kota
Hey kau naif sekali remaja ibu kota
Hey kau naif sekali remaja ibu kota”
Semenjak ide dan keterampilan ditukar jadi nilai-nilai abstrak. Semenjak kelahiran ditulis dengan angka-angka dan masuk mesin cetak-siap-kerja. Semenjak kepingan koin menjadi biografi kekayaan yang samar. Dan dalam hal ini, The Jansen yang menaifkan remaja-remaja ibu kota dengan sendirinya ada dalam rumah kaca yang sama dan memiliki kenaifan yang sama. Sebab menjadi musisi, yang anggaplah sudah mapan dan memiliki kepastian masa depan, tetap saja mereka dilihat sebagai sapi perah di bawah sistem kapitalisme. Para musisi seolah memiliki ketangguhan tiada tara ketika berpikir mereka bisa mandiri dari kekacauan dunia nyata, tapi pada detik berikutnya, ketika mereka lelah dalam skup kecilnya, hanya ada dua pilihan yang tersisa: bubar atau berdamai dengan dunia yang telah didikte oleh pasar dan kapital. Setelahnya kita tahu cerita yang akan terjadi kemudian: kompleksitas babak belur oleh angka dan income.
Musisi, kata Deugalih, dipaksa menjual dirinya yang sama sekali tak memiliki hubungan dengan karya seni pita suara dan alat musik. Memaksa musisi aktif membuka kehidupan privat yang seringkali palsu di dua dunia: nyata dan maya. Akibatnya musisi menjadi profesi yang rentan sakit akibat: lingkungan hidup, cara kerja yang toxic, penilaian masyarakat, dan harapan hidup layak yang tak mampu terjawab
Last but not least
Untuk dua lagu di penghujung mixtape ini, ada dari “Bogor” dari Hidden Massage dan “Kota Hujan” dari Lepas Landas. Dua lagu pop-punk ini barangkali adalah yang paling mengobjektifikasi hujan dan kenangan. Tanpa ada spesifikasi cerita di mana dan peristiwa apa. Tapi diluar itu semua, dua lagu ini adalah eceran dari satuan kenangan yang beda-beda dari setiap generasi dan penghuninya. Karena seperti apa yang dibilang Gold D. Roger “Setiap Masa ada orangnya. Setiap Orang ada masanya.
Untuk itu lagu “Bogor” dari Hidden Massage, barangkali paket kilat untuk memeluk rindu pada kota kelahiran di saat kita sedang jauh di perantauan.
“Masa-masa yang indah
Begitu banyak kisah nostalgia
Berjanji didalam hati
Suatu hari pasti aku kembali
Kumerindu hujan kotaku”
Jika rindu itu masih menggebu dan tiket kepulangan untuk menjejakkan kaki ke Bogor masih kelabu, kalian bisa langsung putar “Kota Hujan” dari Lepas Landas dan nostalgia serta segala kenangan yang retak akan menguar terputar: Kota Hujan disini kan kuraih harapan. Kota Hujan tersimpan beribu kenangan~~~
Side A
Texpack Feat. Edo Wallad – Gadog
Semalam Di Kota Bogor – Alfian
Side B
Oncom Hideung – Bunder
Penanam kesan.