Khotbah Iblis di Gedung yang Rapuh

Khotbah Iblis di Gedung yang Rapuh

dok. tendensibunuhdiri


Teater RAS menutup kalender 2024 dengan pagelaran 11 tahunnya berkarya, melalui “Khotbah Iblis” yang disenyawakan dengan grup musik Katapel berhasil membangun kecemasan, rasa takut, gamang, realita, kemarahan, humor, mencekam, dan derai air mata.

Sabtu (28/12), bangunan yang sudah terlihat rapuh dan separuh hancur di bagian atasnya menjadi saksi pagelaran naskah kolektif Teater RAS. Orang-orang berduyun-duyun melangkahkan kaki menuju ruang pementasan, semua terkoordinir dengan baik tanpa rasa takut meski mereka ada di dalam bangunan yang terlihat rentan. Teater RAS seolah menghipnotis para penonton dan memeluk mereka dalam rasa aman melalui kolaborasi magisnya bersama katapel.

Pertunjukan dimulai dengan penampilan musik dari Katapel. Sebagian besar penonton di sana tentu sudah cukup akrab dengan alunan musik Katapel, sekalipun akustik ruangan dipenuhi dengan gaung derau dari luar karena ruangan ini hampir tidak terurus, namun penampilan Katapel tetap saja memukau seolah kami (penonton) menikmatinya di ampitheater mewah nan megah. Sekali lagi, sayang beribu sayang, alunan musik sedikit terganggu karena ruangan (Gedung Kesenian Kemuning Gading) yang kurang mendukung. Rasanya aneh jika arena pagelaran dibangun tanpa menimbang gaung dan sudut-sudut akustik yang memadai.

Zody, pimpinan produksi pagelaran (Teater RAS) mengisi mimbar pendahuluan, bait demi bait dilantunkan sebagai bentuk curahan hati bertahun-tahun, perjalanan panjang dari Teater RAS dirangkum dalam pembukaan dari carikan kertas yang digenggamnya penuh getar, membayangkan bagaimana terbuang dan sedikit dukungan termasuk dari keluarga. Hal itu mengingatkan saya ketika membaca kafka dalam diarinya, dengan memilih tetap berseni dan sastra adalah jawaban untuk tetap hidup, dan karya semakin tajam saat kondisi semakin rentan.

Saya cukup kagum dengan kebebalan mereka (Teater RAS) yang terus bertahan dalam ajeknya pendirian untuk terus berada di area permainan peran ini. Bagaimana tidak, dukungan yang hampir tidak ada dari keluarga bahkan cenderung diremehkan, belum lagi pemerintah yang abai dan tidak peduli atas arena seni, tidak ada ruang ekspresi yang memadai, minimnya modal kapital untuk menghidupi, tetapi dengan arogan mereka menantang waktu dan tetap hidup dalam berkesenian sampai hari ini, ini adalah kegilaan yang luar biasa gila.

Musik bernuansa atmosfer lalu mengambil peran, pertanda adegan cerita akan dimulai. Cerita dibuka dengan latar Kerajaan Iblis, di mana para iblis sedang berkumpul, mereka sedang membicarakan hal-hal dan capaian atas tersesatnya manusia. Raja Iblis menanyakan perkara-perkara yang sekarang digandrungi manusia dalam kesesatan kepada para bawahannya. Bahkan para iblis tidak habis pikir atas rusaknya moral manusia hari ini, karena banyak kekacauan yang terjadi membuat iblis tidak lagi memiliki peran dalam menggoda manusia, hingga mereka memutuskan untuk turun ke bumi.

Manusia modern memanifestasikan setiap perilaku modernnya serupa iblis, bahkan iblis sampai harus menggoda manusia untuk beribadah agar pekerjaan utama mereka tidak tergantikan. Babak berganti, suasana panggung menampilkan bagaimana manusia saat ini sudah layaknya purwa-rupa iblis, atau mungkin jauh lebih dari iblis itu sendiri. Peran iblis sudah hampir tergantikan secara utuh, manusia tidak perlu lagi digoda untuk berlaku buruk, mereka dapat mengakses setiap bentuk maksiat dalam gawai yang mereka genggam, entah itu zinah dalam pandangan hingga beradu nasib dalam daring di-perjudian. Kekayaan, ketamakan, kerakusan, kekuasaan, nafsu, hasrat, perzinahan hingga kebohongan sudah menjadi hal yang lumrah sehingga iblis tidak perlu lelah menggoda karena manusia sudah melakukannya secara alamiah.

Manusia modern, sebagamana diberitakan Teater RAS, merasa tidak ada satupun yang melihat mereka, selayaknya mereka telah membunuh Tuhan mereka sendiri dan menggantinya menjadi hasrat, nafsu dan dunia. Saya melihat dan mengamati setiap gerak dan dialog yang terbangun dalam pertunjukan, beberapa kali saya melihat realita yang tidak bisa dihindari, terlebih ketika adegan kampung yang sangat ikonik, di mana seorang ketua RT memiliki perilaku manipulatif dengan mengizinkan setiap tindakan buruk selama semuanya saling melindungi. Saya seperti melihat kondisi negara saat ini, belum lagi selipan-selipan pesan simbolik yang terlempar sekali dua-kali bahkan puluhan kali.

Ada hal yang amat sangat rapi disajikan, ketika adegan kampanye di mana diceritakan ada seorang calon pemimpin bernama Pak Jayadi yang secara terang-terangan juga terbuka mengatakan keberpihaknnya terhadap orang kaya, warga yang merupakan masyarakat menengah ke bawah atau mungkin dalam kemiskinan ekstrim awalanya tidak suka, akan tetapi mereka menjadi setuju saat asisten dari Pak Jayadi memberikan uang kepada pak RT, lalu pak RT mengambil jatahnya dan sisanya dibagikan. Saat itu warga kembali gembira, dan saat itu pula dibenak saya langsung tergambarkan bagaimana mereka menulis naskah kolektif ini dengan penuh riset dan ketelitian kondisi yang terjadi dewasa ini. Cukup luar biasa.

Konfilk semakin besar ketika para Iblis datang untuk mengingatkan manusia tentang perilaku Pak Jayadi, akan tetapi warga malah menolak, bersama dengan asisten Pak Jayadi mereka mengatakan bahwa perkataan iblis itu jangan diperacaya. Padahal kini perilaku manusia itu justru lebih parah dari iblis. Sejujurnya saya sampai kehabisan kata-kata untuk menggambarkan luar biasa megahnya cerita yang dibuat oleh Kawan-kawan Teater RAS. Di penghujung cerita, manusia datang berbondong dengan pakaian serba putih sambil melakukan gerakan sufistik, menari berputar lalu berbaris melihat ke arah sang Raja Iblis yang berada di tempat tinggi, manusia yang penuh dosa itu mendengarkan khotbah sang Iblis, dengan menukil al qur’an, surat Ibrahim ayat 22 yang, berbunyi:

“…dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu’. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih…” (QS. Ibrahim ayat 22).

Saya merasakan nuansa yang cukup mencekam dipenuhi kengerian dan kepedihan, dengan hadirnya musik atmosfirik dari Katapel yang menambah aksen mencekam, beberapa kali saya harus susah payah menyeka air mata sambil malu-malu, bagaimana manusia bisa terjerumus begitu dalam dan dihadiahkan oleh iblis kalimat-kalimat yang menyesakan dada, karena manusia malah berlaku selayaknya iblis, acap kali berpikir bagaimana bisa segila dan seluar biasa ini. Bang ayenk, mereka biasa memanggilnya, sutradara gila yang berhasil memorakporandakan pikiran dan perasaan saya kala itu, cukup gila karena dengan beban cerita seberat ini, ia bersama kawan-kawan yang terlibat berhasil membungkus konflik dengan rapi, padahal banyak aktor yang masih pemula dan amat sangat pemula dilibatkan dalam naskah ini, sungguh edan!

Pertunjukan selesai. Kesan-pesan membawa saya pada luar biasa gilanya pertunjukan Khotbah Iblis, bahkan mungkin akan jauh lebih luar biasa lagi jikalau ditampilkan di tempat yang jauh lebih baik, dengan standar akustik ruangan yang sesuai serta kualitas audio yang memadai. Namun apa yang bisa kita harapkan dengan bangunan separuh renta tidak terawat yang berada di area kantor pemerintahan Kota Bogor ini? Jangankan berharap para seniman Bogor ini akan hidup, ruang hidup mereka saja tidak sepenuhnya diperhatikan oleh pemerintah. Jadi siapa sebenarnya yang menjelma menjadi iblis?