Gelombang pemberontakan yang mengakibatkan revolusi pada negara-negara besar di zaman dahulu, tidak sedikit karena dipantik oleh pajak yang besar untuk membiayai kehidupan kesenangan hidup oligarki. Kita memang sering lupa atau bahkan tidak tahu sejarah. Padahal, gelombang amarah rakyat bisa meletuskan tembok-tembok para penguasa.
Bayangkan saja, misalnya, hasil pemilihan umum untuk mendapatkan satu kursi DPRD saja butuh puluhan ribu suara rakyat. Bagaimana jika wakil-rakyat itu tidak bisa menyenangkan bahkan terbalik menyakiti rakyat? Apakah sanggup mereka melawan amarah-amarah rakyat jika tidak ada Undang-undang dan senjata aparat yang kita biayai pakai uang gaji kita? Tentu tidak.
Namun, revolusi memang bukan satu-satunya jalan untuk memperbaiki “jahatnya” wakil-rakyat kepada rakyatnya. Kita bisa saja mendoakan mereka agar merasakan betapa sulit hidup dengan kungkungan kebijakan yang mencekik atau mungkin mendoakan mereka agar hidup dengan gaji di bawah UMR dan dipaksa menyisihkan uangnya untuk membayar pajak yang tidak tahu bagaimana pengalokasiannya.
Pergantian kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo Subianto dirasa belum benar-benar mengganti segala sakit yang rakyat rasakan. Bahkan, tidak sedikit malah menambah beban masyarakat dalam menjalani hidup sebagai warga negara.
Pajak-pajak Untuk Siapa?
Pemerintah Prabowo Subianto, sejak menggantikan Jokowi, tidak sedikit anak buahnya menakut-nakuti masyarakat dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Meski informasi teranyar, pajak itu hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, motor yacht, dan rumah mewah. Yapsss benar, orang miskin seperti kita mungkin tidak mendapatkan dampak secara langsung, tapi entah bagaimana ke depannya.
Terbaru, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, memperketat para pengemplang pajak yang belum membayar kewajibannya, akan dipersulit dengan cara pengintegrasian sistem digitalisasi. Nantinya, orang-orang yang enggan atau belum membayar kewajiban pajak mereka, akan dipersulit segala keperluan administrasinya, seperti pengurusan paspor dan proses administrasi lainnya.
“Kamu ngurus paspormu, enggak bisa karena kamu belum bayar pajak. Kamu enggak bisa nanti kalau lebih jauh lagi, kamu memperbarui izinmu, enggak bisa. Karena kamu belum bayar ini. Jadi semua ngerti,” ujar Luhut dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Pemerintah akan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), Blockchain dan Bigdata agar sistem mengawal wajib pajak tersebut bisa benar-benar tepat. Sehingga, tiada celah bagi kita untuk menolak membayar pajak, sekalipun kita tidak ingin membayarnya.
“Kalau data saya baik, mesin itu nanti akan merilis. Jadi tidak perlu antre. Tapi kalau saya punya data yang tidak bagus, itu mesin akan nge-block dan nanti kita periksa. Kalau salah, perusahaan saya bisa saja nanti akan kena blok. Jadi saya tidak bisa jalan,” kata dia.
Sungguh, kita sudah tidak bisa melarikan diri dari bayang-bayang pajak yang saat ini gencar dilakukan pemeriksaan kepada rakyat. Apakah kita akan menerima dengan pasrah begitu saja, atau bagaimana?
Revolusi Perancis dan Pajak
Revolusi Perancis dikenal sebagai salah satu keberhasilan rakyat yang dikungkung oleh kekuasaan Monarki Absolut. Rakyat Perancis pada masa Louis XVI itu berhasil meruntuhkan rezim karena pemerintah tak sanggup mengatasi krisis ekonomi pada saat itu.
Louis XVII beserta Istrinya Ratu Marie Antoinette memang terkenal sebagai sosok raja yang gemar menggelar pesta dan hidup bermewah-mewahan di tengah sulitnya kehidupan masyarakat. Singkatnya, era raja serakah itu runtuh karena mereka menekan pajak tinggi kepada rakyatnya untuk membantu Amerika Serikat meraih kemerderkaan. Rakyat diperas pajak, sementara para bangsawan dipermudah segalanya.
Revolusi itu pecah saat rakyat bertindak dengan ditandai dengan penyerbuan penjara Bastille. Rakyat yang sudah muak dengan monarki yang memimpin mereka mulai bertindak, termasuk memenggal kepala orang-orang istana. Louis XVI dan istrinya yang cantik pun berakhir di Guillotine.
Kejadian itu, seperti melihat Indonesia saat ini. Di tengah sulitnya mendapatkan bayaran yang layak dari pekerjaan mereka, pemerintah malah menaikkan pajak dan membuat aturan-aturan pajak agar uang rakyat itu bisa membayar “nafsu” kekuasaan mereka.
Protes-protes rakyat atas aturan-aturan yang tidak diterima itu, bisa menjadi gejala besar jika keinginan dominasi rakyat tidak segera dikabulkan, misalnya kesejahteraan, ketimpangan sosial, hingga aturan-aturan yang pro rakyat.
Pemerintah, mestinya melakukan evaluasi secara mendalam ke akar apa sebetulnya peran mereka. Sebagaimana asas demokrasi yang sering kita dengan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” belum benar-benar berjalan dengan semestinya. Masih banyak rakyat yang tidak tahu makan apa esok hari di tengah jutaan rupiah anggaran makan-minum untuk satu kali kegiatan para pemangku kepentingan.
Penulis, tidak sama sekali mempropaganda rakyat agar melakukan hal-hal yang tidak semestinya, membenturkan antara rakyat dengan kekuasaan atau mengajak rakyat untuk melawan. Namun, tulisan ini murni diniatkan untuk menjadi bahan evaluasi bahwa “ternyata kita sudah sejauh ini”, khususnya pada sektor pemungutan uang rakyat melalui kebijakan-kebijakan perpajakan.