Pantulan Literasi

Literasi, satu kata sejuta makna, suatu seruan bermacam program, yang sampai hari ini upaya peningkatannya selalu mendapat perhatian luas, dan yang perlu diprioritaskan terutama adalah budaya membaca (menulisnya belakangan), sendiri atau bersama-sama, melalui berbagai pendekatan dan cara berkenalan dengan buku, hingga tercapai suatu normalisasi baca buku di tempat umum (atau transportasi umum?) dengan menerapkan prinsip “don’t mind what other people think”.

Dalam konteks perbukuan, literasi di Indonesia telah mengalami peningkatan. Perubahan ini terjadi karena masyarakat yang gemar membaca kian hari bertambah banyak. Program demi program inovatif terus bermunculan sebagai komitmen bersama untuk memperluas akses bacaan dan kualitas informasi. Bersamaan dengan ini, berbagai kajian juga dilakukan agar menjadi acuan untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif (berfokus pada pembinaan dan pengembangan dari segi pelayanan) dalam meningkatkan literasi masyarakat di Indonesia, dan diharapkan dapat senantiasa seiring-sejalan dengan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang lambat laun juga sama-sama mengalami peningkatan.

Intensifikasi budaya membaca ini menjadi syarat untuk mengejar ketertinggalan literasi. Virus membaca, bukan soal mau atau tidak mampu, melainkan harus atau bahkan wajib, disebarluaskan agar makin banyak orang gemar membaca buku. Tak heran bila literasi ternyata mendapat dukungan penuh serta peran dari banyak pihak, sebutlah para pecinta buku (lintas julukan): ada bookstagram, influencer seputar dunia buku, bibliofili (bibliophile), bibliomania, logophile, bibliobibuli, book hangover, abibliophobia, bibliognost, librocubicularist, bookarazi, book bosomed, omnilegent, bookworm, bibliolatry, pecandu buku, komunitas buku, dan lain-lain.

Selain untuk menyebarluaskan virus membaca, literasi menurut Neil Degrasse Tyson, adalah vaksin untuk melawan para penipu dunia yang ingin mengeksploitasi ketidaktahuanmu. Tetapi, perlu diingat juga, bahwa orang hidup memang lebih banyak tidak tahunya daripada tahunya. Sebab, yang diberi akal itu manusia, bukan iguana. Allah menganugerahi akal supaya kita berpikir, bukan untuk tidak berpikir. Kalau manusia malas berpikir (enggan menggunakan akalnya), berarti derajatnya sama dengan iguana. Sedangkan kalau manusia berpikir, sedikit-dikitnya atau setidaknya sanggup membedakan, bahwa bodoh itu manusia yang tidak mengerti, tidak tahu, tidak mau berpikir, atau tidak bisa berpikir? Bahwa kebanyakan dari kita ada yang mau belajar, ada yang tidak mau belajar, ada yang bodoh, dan adapula yang tidak bodoh. Yang bodoh itu berpikirnya selangkah-selangkah, sedangkan yang mengaktivasi akalnya itu punya orientasi ke depan, jangka panjang. Seminimal-minimalnya tahu diri dalam berkomunikasi, siapa yang sedang diajak bicara, pesan apa yang ingin disampaikan, sehingga dampaknya mau apa?

Lebih lanjut dari sekedar membaca adalah berpikir, tanpanya mungkin akan seperti kata Plato, bahwa orang yang terus belajar dan tidak mengamalkan ibarat orang yang membajak dan membajak tetapi tidak pernah menanam. Itulah mengapa berpikir adalah jalan yang mesti ditempuh untuk memberi makna mendalam, berdialog dengan dirinya sendiri, merefleksikan dirinya sendiri, menggali potensi dan pengembangan dirinya sendiri, dan implikasinya agar senantiasa merelevansikan diri di dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai pedagang buku bekas, membaca buku itu penting sekaligus banyak manfaatnya, tetapi boleh jadi juga cuma percuma. Menjadi penting kalau dalam konteks penjara di Brazil, misalnya, ada satu penelitian unik bahwa semakin banyak baca buku, semakin masa penahanan dikurangi. Program ini diberi nama “redemption through reading” yang diterapkan dalam beberapa penjara negara federal. Barangsiapa telah menuntaskan bacaan satu buku, maka masa tahanan para narapidana di sana akan dikurangi 4 hari. Setahun diberi maksimal 12 buku. Artinya, kalau sebagian napi mampu merampungkan 12 buku dalam setahun, maka masa tahanannya akan dikurangi sebanyak 48 hari. Tapi ini bukan sekedar membaca saja, ada syarat dan ketentuan yang berlaku, setiap napi diharuskan menulis rangkuman tentang buku yang dibacanya, dan tata penulisannya, hampir atau mirip atau persis, mesti laiknya esai. Tanpa penulisan yang dapat mudah dibaca dan dimengerti, napi tersebut dianggap gagal (belum beruntung dan silakan coba lagi) atau berbohong karena belum menyelesaikan bacaan bukunya.

Membaca dan menulis, bagi Bambang Sugiharto sebagaimana dalam buku “Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi” itu mengatakan, bukanlah hanya memberi efek informatif, melainkan juga berdampak formatif, refleksif, dan kreatif. “Formatif karena ia membentuk cara berpikir mendalam dan sistemik, refleksif karena membaca memaksa kita berhadapan dengan pikiran kita sendiri secara kritis, kreatif karena kebiasaan membaca memungkinkan kita menulis, mengartikulasikan diri dan melahirkan pemikiran baru.” Demikianlah, membaca buku selain sebagai syarat untuk menjelajahi dunia kepenulisan, juga merupakan salah satu cara meluangkan waktu bagi diri sendiri, sehingga dengan atau dalam menyendiri itu kemungkinan dapat menurunkan emosi negatif sekaligus membangun interaksional pada diri sendiri.

Adapun yang berbahaya setelah lepas dari sekedar membaca buku adalah saat ketika kita mulai melupakan banyak hal yang terjadi, baik secara arti-arti, tanda-tanda maupun gejala-gejala. Lupa membaca hidup. Lupa membaca informasi aktual maupun faktual secara pertimbangan pikiran. Lupa membaca lingkungan. Lupa membaca desas-desus politik. Lupa membaca gerak-gerik kekuasaan. Lupa membaca skandal polri. Lupa membaca pelanggaran HAM. Lupa membaca kerusakan alam dan lingkungan hidup. Lupa membaca ketimpangan ekonomi. Lupa membaca keadaan bahwa ketika kita merasa bebas berteriak secara kritis, padahal tekanan ada dari mana-mana. Lupa membaca ketidakadilan ternyata lebih halus daripada lembaran demi lembaran kertas. Lupa membaca bahwa banyak penulis yang memproyeksikan hidupnya hanya untuk menjadi sastrawan sehingga apa yang mereka tuliskan adalah dunia lain yang asing, yang justru tidak akrab dengan hidupnya sendiri. Lupa membaca keterasingan dan ketersisihan rakyat secara politis maupun ideologis. Lupa membaca dunia. Lupa membaca keluarga. Lupa membaca sesuatu yang berarti dan berharga dari hidup ini.

Meningkatkan literasi dengan membaca buku boleh saja, tapi jangan lupakan buku dalam hubungan antara pengarang, penerbit, dan pencetak. Sadar dan sadarlah bahwa ongkos cetak plus kertas kini telah mengalami peningkatan yang dahsyat. Hal ini disebabkan karena biaya produksi bertambah, pajak naik terus, royaltinya macet, biaya distribusi perjalanannya menguras banyak hal, sedangkan buat margin distributor dan toko buku dibiarkan stagnan, kalau bukan dalam keadaan stone.

Begitupun harga buku bekas, atau harga buku di masing-masing penerbit, dipaksa harus segitu-gitu saja, alias tidak berkutik dan tidak berani gerak. Maka, mohon maaf apabila literasi dalam hal ini, membaca buku disebut cuma percuma, sebab apa guna meningkatkan literasi, kalau pada kenyataannya orang yang menggerakkan dunia perbukuan tak pernah dimanusiakan. Negara hanya mempedulikan PPN, menarik pajak lebih banyak lagi, tapi tidak pernah mengapresiasi penulis atau menghargai sastrawan sebagai orang besar dan berjasa karena telah memperjuangkan nilai-nilai seumur hidupnya. Pun tidak pernah mengetahui, memahami, apalagi mengalami bahwa menjadi penulis di Negara ini akan senantiasa hidup dalam lumpur kemiskinan, dan sepanjang hidupnya melarat.

Di situlah, hamartia atau keluncasan literasi terjadi, yang artinya merujuk pada cacat atau kesalahan fatal atau ketidaktepatan anak panah sasaran literasi. Lebih keras sedikit disebut dosa-dosa literasi. Hingga saat ini ditulis, yang dipahami sebagai literasi hanyalah melulu soal bagaimana meningkatkan gemar membaca buku, tapi tidak pernah meningkatkan bagaimana cara-cara berpikir. Bahwa di Negara yang ketinggalan literasi ini, faktor yang mungkin dapat menunjang peningkatan literasi bukanlah masyarakat gemar membaca, melainkan apabila aspirasi (gugatan ataupun tuntutan) masyarakat dapat tersalurkan dan Negara menerimanya. Rendahnya tingkat literasi bukan semata-mata karena masyarakat malas membaca, tapi ada faktor yang jelas bahwa Negara belum sanggup mengatasi kemiskinan struktural (dan menyeluruh), dan tidak pernah memahami apalagi mau mengerti perbedaan prioritas di dalam keseharian hidup masyarakatnya.

Literasi menjadi hamartia kalau ia justru meninabobokan pikiran untuk bergumul, bergulat, berdialektika, dan bernalanala. Literasi selama ini dijalankan secara monolog, tanpa ada keterbukaan dialog. Literasi melulu dipahami sebagai aktivitas membaca buku, dan bukan mengalami, merasakan, melihat, mengamati, dan hal-hal lain sebagai bentuk perhatian pada sekeliling hidupnya. Semestinya literasi adalah mengamati, memahami, dan menelaah sesuatu dari dekat di sekitar kita. Literasi merupakan cara melihat atau cara pandang dari berbagai perspektif, sehingga kalau dalam analisis sosial, literasi adalah keberpihakan. Buku itu referensi, yang berposisi di belakang. Sedangkan literasinya itu manjing ing kahanan (mengalami langsung), menghayati, dan merasakan sebagai upaya riset kontekstual.Literasi ialah tentang peristiwa apa, dan bukan mencari referensi di awal.

5 Januari 2025

  • Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.

    Lihat semua pos